Beberapa Kritik terhadap KHES

B. Beberapa Kritik terhadap KHES

Beberapa pihak memberikan catatan terhadap isi Kompilasi Hukum Ekonomi Syai’ah (KHES). Diantaranya adalah:

1. Persipan Penyusunan KHES

Sejak dari persiapan hingga selesainya penyusunan KHES terke- san kejar tengat waktu. Bagi sebagian pihak, penyusunan KHES per- lu melibatkan masukan dari berbagai pihak. Masa satu tahun diang- gap belum representative untuk menganalisa berbagai persoalan yang biasanya muncul sekaligus belum mengakomodasi berbagai khasanah local, dimana beebrapa daerah memiliki “warisan” pengetahuan ten- tang berbagai transaksi yang didasarkan pada pemahaman keagamaan. Apalagi -sebenarnya bukan hal yang tepat untuk dibandingkan- den- gan penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dipersiapkan se- menjak tahun 1985 dengan adanya SKB Ketua 10 Mahakmah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tangal 25 Maret 1985. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama dua tahun terhitung sejak ditetapkannya SKB. Hal yang menjadi factor pen- ting dalam pertimbangan perumusan sebuah hukum mencakup tiga aspek. (1) aspek ilosois. (2) aspek yuridis. (3) aspek sosiologis. Banya- knya pertimbangan hukum atau (legal opinion) diharapkan akan se- makin memperkuat dan menanmpung berbagai pandangan yang telah ada di masyarakat. Bagi sebagian pihk, upaya ini adalah menjembatani anatara kepentingan Islamisasi pengetahuan dengan corak budaya dan kultur masyarakat Indonesia. Tidak muncul kesan bahwa KHES hanya- lah sekedar “mengindonesiakan Majallah”. Pada sisi yang lain, dengan banyaknya masukan baik dari aspek ilosois, yuridis maupun ssosiolo- gis, maka akan semakin menambah daya rekat KHES di tengah-tengah masyarakat.

Pada hal yang lebih penting adalah, KHES harus dimaknai seba- gai produk hukum Islam Indonesia. Sehingga terekam secara baik kon-

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

igurasi dan pemahaman masayarakat Islam Indonesia tentang ekonomi syari’ah. Sebuah peraturan hukum atau perundang-undangan, bukan- lah hidup diruang hampa, tanpa ada nilai dan perspektif yang lahir di dalamnya. Setidaknya KHES bias dianggap sebagai gerakan sejarah re- formasi pemikiran hukum Islam di Indonesia.

Menarik untuk mempertimbangkan teori sistem hukum dike- mukakan oleh Lawrence Meier Friedman memperkenalkan three ele- ments law system yaitu; struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). 14

Elemen pertama adalah legal structure yaitu: First many feature of a working legal system can be called structural the moving parts, so to speak of the machine court are simple and obvious example; their structu- res can be described; a panel of such and such a size, sitting at such and such a time; which this or that limitation on jurisdiction. he shape size, and powers of legislatures is another element of structure. A written con- stitution is still another important feature in structural landscape of law. It is, or attempts to be, the expression or blueprint of basic features of the

country’s legal process, the organization and frameworks of government. 15 Elemen struktur dari sistem hukum mencakup berbagai lemba-

ga (institusi) yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai fun- gsinya dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut. Kedua, substance element yaitu; he second type of component can be called substantives. here are the actual products of legal system – what the judges, for example, actually say and do. Substance, include, na- turally, enough, those propositions referred to as legal rules; realistically, it also include rules which are not written down, those regulates of behavior that could be reduced to general statement. Every decision, too, is in court, or enacted by legislature, or adopted by agency of government. 16

Komponen substance sistem hukum adalah semua hasil dari

14 Lawrence M. Friedman, he Legal System: A Social science Perspective (New York: Russel Sage Foundation, 1975), h. 81.

15 Lawrence M. Friedman, “On Legal Development”, Reutgers Law Review, Vol. 24, (1969), h. 27.

16 Ibid.,

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

struktur yang didalamnya termasuk norma-norma hukum baik berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan, maupun doktrin- doktrin.

Ketiga, legal culture yaitu: By this means people’s attitudes toward and legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other wor- lds, it is the part of the general culture which concerns the legal system. 17 Budaya hukum mencakup sikap, keyakinan, nilai-nilai yang dia- nut masyarakat, serta pemahaman dan harapan masyarakat yang da- pat menentukan bekerjanya sebuah sistemhukum. Sikap dan nilai-nilai itulah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga budaya hukum merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan keua- tan sosial ayng menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihinda- ri atau dilecehkan.

2. Terminologi Rumusan Teori Akad

Di dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan defenisi akad dengan kese- pakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk me- lakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Rumusan ini terkesan hanya sebuah duplikasi dari KUH perdata yang diterjemahkan

sebagai hukum perjanjian atau kontrak. 18

Sebagi contoh, beberapa pendapat ahli hukum Islam tentang akad sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Az-zuhaili yang mende- inisikan akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan

oleh syara’ dan menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. 19 Se- mentara menurut Syamsul Anwar menjelaskan deinisi akad dengan pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau

lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. 20

17 Ibid., h. 7. 18 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007),

h 68. 19 Musthafa Ahmad Az-zarqa, al-Fiqh al-Islami i Tsaubuhi Al-Jadid; Al-mad-

khal alFiqh al-‘Aam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968) I: 291. 20 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah…, Ibid.,

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Berdasarkan dua pandangan defenisi akad tersebut, maka dapat diambil kesimpulan: Pertama, hakikat akad adalah keterikatan atau pertemuan ijab dan kabul yang mengakibatkan hadirnya akibat hukum. Kedua, akad merupakan pilihan tindakan dari dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak dari pihak lain. Ketiga,

tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. 21 Untuk itu, pengertian tentang akad tidak hanya satu perspektif saja, tetapi mem- pertimbangkan pengertian yang lainnya.

3. Istilah Syari’ah dalam KHES.

Penggunaan istilah menjadi hal krusial dalam sebuah konsep. Dalam Islam sendiri, antara istilah syari’ah dan Islam memiliki akar katanya masing-masing. Sekalipun, dalam “perbincangan” masyarakat, kedua istilah ini sama dan saling melengkapi. Belum lagi jika dikai- tkan dengan istilah hukum Islam, iqh atau hukum itu sendiri. Materi KHES sebenarnya merupakan kumpulan berbagai pendapat atau pan- dangan ulama tentang ekonomi. Tentu saja, antara yang berubah dan tetap harus menjadi pertimbangan. Istilah syari’ah sendiri lebih pada padanan yang tetap dan tidak berubah, sementara ekonomi mengalami perubahan yang dinamis dan tidak kaku. KHES adalah hasil produk ijtihad dan bukan sumber hukum yang permanen. Ringkasnya, istilah syari’ah merupakan peraturan-peraturan yang mengandung sifat asasi, tetap dan cakupannya yang bersifat global. Untuk itu, mempergunakan istilah syari’ah dalam KHES, akan mengandung perdebatan karena eko- nomi adalah bagian dari iqh mu’amalat.

Terutama tingkat dinamisasi ekonomi berkaitan dengan beebrapa istilah yang mengikui perkembangan ekonomi dunia. Misalnya prinsip bursa saham atau akutansi. Istilah-istilah tersebut bukanlah bagian sya- ri’ah. Tetapi hanyalah sebuah nama yang bias berubah dan berkembang.

21 Tauik R. Syam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: sebuah Tinjauan Sing- kat tentang Materi KHES dan Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia. http://badilag. net/data/. Di akses tanggal 07 September 2014.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Seolah ada penggabungan makna syari’ah dan iqh dalam satu tubuh KHES. Pada sisi komersialisasi, penggunaan istilah syri’ah juga menga- lami “marketisasi”. Bagi sebagian orang, istilah ekonomi syari’ah terke- san sangat kaku dan eksklusif dan kurang familiar.

4. Pengertian Riba dalam Akad Qardh

Pengertian al-Qrdh perlu penjelasan yang lebih konkrit. Me- rujuk pada berbagai kegiatan yang ada dalam jasa perbankan syari’ah atau LKS lainnya, pada umumnya jenis pinjaman qardh merupakan pinjaman yang bersifat kebajikan/lunak tanpa imbalan, terutama un- tuk pembelian barang-barang yang terukur dan fungsional. Sementa- ra dalam KHES tidak menyebutkan tentang status hukum riba dalam akad qardh, dipihak lain disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad qardh dibebankan kepada nasabah dengan tidak diberi batasaan. Di kahwatirkan hal tersebut dapat menimbulkan masalah ketika kredi- tur menafsirkan secara berlebihan dalam mengambil biaya administrasi secara zhalim dan berlebihan dari debitur. Ini bias menjadi dasar untuk melakukan hilah untuk menghindari keharaman riba. Untuk itu, pen- ting kiranya KHES mengatur mekanisme pembebanan biaya admnin- trasi sehingga semua pihak merasa terlindungi.

5. Dominasi Konsep Akad

Menelisik seluruh isi KHES, menunjukkan pentingnya pengertian akad dan hal-hal yang terkait dengannya. Kalau dipahami secara her- meneutic, iqh mu’amalah atau hubungan antar manusia, bias diwakili dengan istilah akad. Hanya saja, terjebak pada lingkaran defenisi akad, akan mengurangi cakupan ekonomi yang sangat luas. Menurut hakim Agung Dr. Abdurrahman, KHES hampir 80 % berisi tentang akad. Se- suai dengan isi dari KHES, pada dasarnya menyangkut persoalan akad. Meskipun dalam beberapa pasal, misalnya pada pasal 580-583 tentang pasar modal bukan termasuk tentang akad akan tetapi tentang tempat dilangsungkannya akad, namun porsinya sangat kecil.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

6. Belum Menyebutkan Sub-Sub Topik Penting dalam Akad

Merujuk pada luas sempitnya cakupan KHES, tema-tema yang ditawarkan di dalamnya juga masih terlalu general. Akibatnya ada- lah pemaksaan interpretasi antara satu hakim dengan hakim lainnya. Sejatinya, sebuah aturan memiliki satu makna yang tidak memberikan peluang adanya “pengobralan” makna hukum. Penghindaran adanya globalisasi penafsiran hukum harus dihindari sesempit mungkin, agar hukum bias menemukan kepastiannya.

7. Adanya Barang Jaminan dalam Mudhorobah

Merujuk pada penjelasan iqh awal Islam, tidak menjelaskan se- cara tegas adanya barang jaminan yang harus diserahkan oleh seorang mudharid kepada pemilik modal dalam akad mudharabah. Hal itu disebabkan mudharabah adalah bersifat bantuan yang mengutamkan kekeluargaan dan perkawanan. Orang yang tidak memiliki modal, ke- mudian diberikan modal untuk berjualan, agar kehidupan ekonominya bias terbantu, sekaligus memberikan pekerjaan. Jika, orangnya tidak memiliki modal tetapi mau bekerja,bagaimana mungkin orang tersebut harus dimintai benda yang menjadi jaminan.

Tetapi memang harus menjadi kesadaran, bahwa situasi saat itu, mudhorabah bias diwujudkan dalam suasana kekeluargaan dan solida- ritas yang kuat. Di saat sekarang ini, prinsip kerjasamanya seringkali didasarkan pada dua hal, keuntungan dan jaminan modal aman. Dua prinsip ini melampaui prinsip-prinsip kekeluargaan dan gotong royong.

Saat ini juga, modhorabah tidak lagi melibatkan dua pihak saja, tetapi sudah dimediasi oleh pihak ketiga seperti pihak perbankan. Seba- gai pihak ketiga, perbankan juga tidak mau rugi. Dan menanggungkan keamanan modalnya itu dengan meminta jaminan dari si mudharib. Satu-satunya pelajaran berharga dari adanya barang jaminan adanya, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan amanah (moral hazard).

Untuk itulah, oleh beberapa pihak diperlukan adanya terobosan baru agar semua pihak bias dijamin kepastiannya untuk tidak mengalami kerugian akibat kelalaian atau kecerobohan satu pihak saja. Di dalam al- qur’an dijelaskan untuk tidak saling menganiaya dan juga tidak dianiaya.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

8. Nishab Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Nishab merupakan jumlah minimal yang wajib dikeluarkan za- katnya. 22 Dalam hal ini nishab dihitung dari harta yang melebihi keper- luan pokok: sandang, pangan, dan papan. Ketentuan nishab merupakan hal penting dalam zakat karena dengan batas berapa seseorang wajib mengeluarkan zakatnya. Dalam KHES pembahasan tentang nishab za- kat bagi tanaman dan buah-buahan belum ada ketentuannya.

Hal ini dianggap dapat melahirkan perdebatan atau perselisihan untuk menentukan jumlah minimal batasan tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun mayoritas para ahli iqih ber- pendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat hasil tanaman dan buah- buahan sebelum mencapai lima wasaq. Berdasarkan hadis tersebut, para ulama telah menghitung persamaan lima wasaq (kata tunggal dari ausaq) dengan ukuran takaran masa kini, dan mendapati bahwa jumlah tersebut sama dengan kira-kira 653 (enam ratus lima puluh tiga) kg bi-

ji-bijian makanan pokok di setiap negara. 23 Di Indonesia, tentunya bisa mempersamakannya dengan beras.

22 Abdullah Nasih Ulwan, Hukum Zakat Dalam pandangan Empat Mazhab, (Jakarta: Litera antar Nusa, 1985), h. 8

23 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunah, (Mesir: Dar al-Fikr, 1977), I: 299.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)