Defenisi Sengketa

A. Defenisi Sengketa

Istilah sengketa bias juga dimaknai konlik. Sehingga antara sen- gketa dan konlik memiliki makna kata yang sama. Hanya saja, jika mengacu pada istilah dari bahasa Indonesia, maka yang paling tepat adalah istilah sengketa. Namun, dalam berbagai literatur, istilah konlik yang disadur dari bahasa Inggris lebih lajim dugunakan. Untuk itu, pe- nulis akan menggunakan istilah konlik dan sengketa secara bergantian.

Konlik sendiri berasal dari kata kerja latin conligere yang berarti saling memukul, pertentangan atau perselisihan antar individu, ide, ke- pentingan dan sebagainya. Secara sosiologis, konlik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Deinisi konlik juga bisa berarti:

1. Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing dan bertabrakan walaupun belum tentu berbentuk ke- kerasan (violance).

2. Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

cara pandang di antara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya di antara dua kelompok yaitu memiliki tujuan dan pandangan berbeda dalam upaya mencapai tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi bukan kerjasama.

Menurut Caplow, konlik: ... a struggle over values, status, power and scarce resources in which the aims of the conlicting parties are not only to gain advantage but also to subjugate their vival”. Defenisi Caplow tersebut sangat memandang konlik dengan pendekatan negatif. Caplow mengasumsikan bahwa konlik cenderung untuk mencipta- kan terjadinya korban secara isik. Sedikit ungkapan yang sama dike- mukakan James F. Stoner yang mengatakan konlik itu sebagai “disa- greement about allocation of scarce resources or clashes regarding goals, values and so on, can occur on the interpersonal or organizational level”.

Pendapat ini masih menekankan bahwa konlik itu adalah situasi yang negatif dan selalu bersumber dari perebutan sumber daya. Padahal, konlik dalam arti yang lebih sempit terjadi bukan karena perebutan sumber daya alam, tetapi dapat saja terjadi kerena persoalan sikap, peri- laku dan konteks (struktural).

Sementara Hocker dan Wilmot mendefenisikan sengketa lebih pada perjuangan apa yang dinyatakan (expressed struggle) dan campur tangan pihak-pihak terhadap tujuan pihak lainnya (interference of parties).

Akibatnya, perbedaan kepentingan/keinginan yang dimaksud adalah fokus pada penekanan otonomi individual dan standar kewajaran indi- vidual (standard of fairness). Mitchell mendefenisikan konlik sebagai: “any situation in which two or more social entities or parties (however deined or structured) perceive that they possess mutually incompatible goals.”

Hingga disini, dapat disimpulkan bahwa sengketa atau konlik adalah: (1). Perbedaan kepentingan tujuan dua orang atau lebih. (2). Masing-masing pihak bersikeras memperjuangkan tujuannya. (3). Da- lam beberapa kondisi, dapat mengakibatkan korban jiwa. Menurut saya, defenisi konlik dalam literatur barat di atas lebih menekankan pada perbedaan keinginan (interest) atau isu. Kepentingan nilai-nilai diluar

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

dari nilai individu tidaklah dalam lingkup konlik. Ketegangan dalam skala massif yang melibatkan banyak orang dan berbagai tingkatan juga dianggap sebagai bagian dari persoalan individu. Manakala tujuan indi- vidu telah tercapai, maka konlikpun dianggap berakhir. Apakah tujuan yang disepakati itu melanggar standar etika sosial atau agama, bukan menjadi pertimbangan yang wajib.