sengketa ekonomi dalam islam (1)

SYAIFUL ILMI PENYELESAIAN

SENGKETA EKONOMI DALAM ISLAM

(Studi terhadap Buku I dan II dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah)

Editor:

DR. Firdaus Achmad, M.Hum

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI DALAM ISLAM

(Studi terhadap Buku I dan II dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)

Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved © 2015, Indonesia: Pontianak

Penulis:

SYAIFUL ILMI

Editor:

DR. FIRDAUS ACHMAD, M.HUM

Cover dan Layout:

SETIA PURWADI

Diterbitkan Oleh:

IAIN Pontianak Press

Jl. Letjend. Soeprapto No.19 Pontianak 78121 Telp./Fax. (0561) 734170

Cetakan Pertama: September 2015 (113 hal : 16 x 24 cm) ISBN: 978-602-0868-23-3

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

KATA PENGANTAR

S lesaian Sengketa Ekonomi Dalam Islam (Studi terhadap Buku I dan II

yukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT sela- lu melimpahkan berkah, mairah, hidayah serta perkenan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik buku “Penye-

dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)” Selawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW serta para sahabat, keluarga sampai pada pen- gikut-Nya akhirulzaman, karena beliaulah kita semua dapat menikmati indahnya Iman serta Islam.

Harapan saya juga para pembaca budiman sekalian, semoga saja sajian akan isi dapat membantu mahasiswa menyiapkan materi kuliah dan secara umum lebih jauh tahu tentang penyelesaian sengketa eko- nomi dalam Islam dengan melihat aspek-aspek seperti: sejarah peru- musan kompilasi hukum ekonomi syari’ah (KHES) terhadap kebutuhan sosial dan politik hukum, beberapa Kritik terhadap KHES seperti pen- gertian umum penyelesaian sengketa, defenisi sengketa, pendekatan dalam resolusi konlik, alternative dispute resolution (ADR). Sengketa dalam ekonomi syari’ah seperti pengertian sengketa ekonomi syari’ah,

4|

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

sumber hukum penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, bentuk-ben- tuk alternative dispute, resolution (ADR), penyelesaian sengketa dalam Islam. Analisa pasal-pasal terhadap akad: sengketa disekitarnya, subyek hukum dan persoalan disekitarnya, aspek-aspek amwal dan persoalan- nya, asas-asas akad, akad-akad lainnya dan sulhu/perdamaian dalam KHES.

Buku ini merupakan bagian besar dari penelitian yang dilakukan dalam melihat dunia ekonomi Islam dalam kenyataan serta menemukan titik terang penyelessaian sengketa dalam ekonomi Islam. Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada saudara Syahbudi, M.Ag dan Dr. Firdaus Achmad, M.Hum, yang telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengedit buku ini sehingga layak diterbitkan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa buku ini yang ada dihadapan pembaca tidak luput dari kekurangan serta kekhilafan baik disenggaja maupun tidak sengaja. Berangkat dari hal tersebut semoga buku yang penulis hadirkan didepan para pembaca sekalian dapat berguna. Buku ini tidak ada apa-apa kalau dibandingkan dengan kesempurnaan yang dimilik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik serta saran yang bersifat membangun demi mencapai kesempurnaan dari para pembaca sangat diharapkan guna perbaikan buku ini kedepan. Walaupun yang memi- liki kesempurnaan mutlak hanya Allah SWT namun kita semua harus berusaha bisa memperkecil kesalahan.

Pontianak, September 2015 Penulis

H. Syaiful Ilmi, M.S.I

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

BAB I PENDAHULUAN

S mayoritas muslim, tetapi juga di beberapa negara yang notabenenya

ejak wacana dan praktek ekonomi Islam menggeliat, berbagai upaya serius dilakukan untuk mengimplementasi-kannya. Ti- dak hanya disambut dengan baik di negara-negara berpenduduk

dikenal sebagai penggiat ekonomi kapitalis. 1 Respon positif juga di- tunjukkan dengan munculnya berbagai paradigma terkait dengan di-

scourse ekonomi Islam, bahkan saat ini -menggunakan skema islamisasi pengetahuannya Ismail Ruji al-Faruqi sebagaimana yang dikutip Louay Sai sudah mencapai pada tahapan desiminasi melalui pendirian pendi- dikan formal yang mengajarkan ekonomi Islam, dan penerbitan buku- buku teks terkait dengannya. 2

Untuk Indonesia sendiri, hiruk pikuk ekonomi Islam juga bukan sesuatu yang baru, sekalipun institusinya baru didirikan tahun 1992.

1 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest; A Study of the Probihition of Riba and its Contemporary Interpretation, New York; Köln: E. J. Brill, Leiden, 1996.

2 Louay Sai, he Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Malaysia: Internasional Islamic University and IIIT, 1996.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Namun, secara historis, ide untuk pendirian institusi keuangan berba- sis Islam sudah ada sejak tahun 1940-an sebelum masa kemerdekaan. 3 Memasuki tahun 2000-an konsep ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam mulai melembaga di berbagai institusi keuangan makro dan mikro. Un- tuk itulah, seiring dengan perkembangan tersebut, muncul tuntutan dari berbagai pihak yang bergerak di bisnis syari’ah untuk mendapa- tkan payung hukum yang tegas. Dasar hukum yang bisa memberikan kepastian dan atau keadilan hukum.

Sebagai contoh, dalam pasal 26 KHES tentang kategori hukum akad dinyatakan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan: a. syari’at Islam, b. peraturan perundang-undangan, c. ketertiban umum; dan/atau d. kesusilaan. Keempat persyaratan tersebut masih sangat ka- bur dan menimbulkan penafsiran yang saling bertolak belakang. Jika suatu akad sudah sesuai dengan pertauran perundang-undangan, na- mun dianggap belum sesuai syari’at Islam, maka dasar untuk memba- talkannya tidak kuat, karena negara Indonesia tidak menganut sistem pemahaman atau mazhab keagamaan tertentu.

Disamping itu, persyaratan yang dimaksud dalam pasal 26 KHES tersebut bersifat komulatif. Terutama kata tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam Islan sendiri, banyak terjadi perdebatan tentang sebuah produk atau sesuatu tindakan itu boleh atau tidak. Bahkan po- sisi hukumnya bisa berada pada wilayah yang absurd. Misalnya, hukum Islam menerima adanya ketetapan hukum yang kategoristik namun ti- dak berjenjang, mulai dari halal, haram, makruh, sunnah dan mubah. Lima kategorisasi tersebut sulit untuk mengidetiikasinya dalam kon- teks tidak bertentangan dengan syarat perundang-undangan, keterti- ban umum serta kesusilaan.

Sebagai contoh, kodok oleh sebagian ulama merupakan binatang yang haram dimakan, Karena masuk binatang yang hidup di dua alam. Namun, menjualnya, bagi sebagian ulama dibolehkan. Oleh karenanya,

3 Syahbudi, “Gelombang Pemikiran dan Gerakan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia” dalam Jurnal Hermeneia, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2003).

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

MUI pernah mengeluarkan fatwa, bahwa memakan kodok haram ka- rena merujuk pada pendapat Imam Syai’i, sementara memperjual be- likan kodok dibolehkan karena merujuk pada pendapat Imam Malik.

Untuk itu, perlu pemahaman terhadap pasal-pasal lainnya untuk mendapatkan penyelesaian persyaratan pasal 26. Misalnya merujuk pada pasal 54 yang menyebutkan kata yang pengertiannya tidak dibatasi, diterapkan apa adanya, sepanjang tidak terbukti ketentuan syari’ah atau hasil pemahaman yang mendalam, membatasinya. Jadi, kata syari’ah Islam tidak bisa berlaku tanpa adanya pembatasan. Pembatasan-pem- batasan sekali lagi sangat subyektif. Karena di dalam Islam, kesepakatan ulama secata keseluruhan tidak terjadi dalam semua hal. Disamping itu, para ulama juga tidak melakukan kesepakatan dalam satu Majlis untuk menentukan suatu dasar fakta hukum. Kalaupun terjadi, masing-ma- sing diberi hak untuk berpendapat sendiri. Namun pada pasal 55 di- sebutkan apabila suatu akad dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkin- kan akad itu dilaksanakan daripada memberikan pengertian yang ti- dak memungkinkan suatu pelaksanaan. Pasal 55 ini mengandung asas pragmatisme, karena inti dari akad adalah bagaimana bisa diwujudkan dengan pengertian yang kuat dan jelas.

Pragmatisme merupakan salah satu aliran ilsafat yang lebih mem- berikan perhatian pada dilakukannya pengamatan empiris yang bersifat penyelidikan melalui cara eksperimen (tindak percobaan), kemudian diikuti dengan pembentukan kebenaran yang mempunyai akibat-akibat yang memuaskan. Bisa juga pragmatisme berarti keadaan mempergu- nakan segala sesuatu secara berguna atau bermanfaat.

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “rragma” yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). “Isme” sendiri bermakna ajaran atau paham. Oleh karenanya, pragmatisme bermakna paham yang menjelaskan bahwa tindakan yang bermanfaat adalah ukuran dari semua kebenaran tindakan.

Aliran ini menerima semua hal tindakan apapun yang menim- bulkan akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, masyarakat dan peraturan hukum semua bisa diterima sebagai kebenaran serta da-

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

sar tindakan asalkan membawa akibat praktis yang bermanfaat. Dengan kata lain, pragmatism memegang prinsip “manfaat untuk tujuan hidup praktis”.

Secara teoritis (lex generalis) yang menjadi sumber hukum sya- ri’ah memiliki kesamaan di seluruh dunia, namun dari segi prakteknya di beberapa negara memiliki perbedaan-perbedaan yang lebih rinci (lex specialis) menyesuaikan dengan pengaruh kondisi idiologi-politik, so- sial-ekonomi masing-masing tempat. Namun, adanya perbedaan-per- bedaan tersebut menjadi gambaran bahwa hukum Islam mengalami dinamika perubahan yang menunjukkan sifat elektisitasnya (al-sa`ah wa al-murunah).

Dari aspek kelembagaan, yang berwenang untuk menangani sen- gketa syari’ah adalah pengadilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal itu semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada pasal 55 tentang Penyelesaian Sengketa disebutkan: (1). Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. (3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syari’ah.

Hanya saja, pegangan yang harus dijadikan rambu-rambu dalam memutuskan perkara di luar ijtihad hakim sendiri- masih sangat bera- gam. Kemudian inilah yang menginspirasi lahirnya Perma No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (selanjutnya disebut: KHES) tersebut. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) sebagai upaya penyelesaian sengketa berbasis Islam yang menjadi rujukan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama (litigasi) dan juga dapat digunakan sebagai guidance di luar jalur pengadilan (non-litigasi).

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

BAB II TEORI

A. Kajian Teks

Kajian teks yang mengungkap wacana penye-lesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) belum ditemukan. Selama ini, kajian penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam literatur iqh di bahas di dalam bab al-sulh, 1 itupun tidak dikhususkan pada kasus ekonomi saja tetapi juga terkait didalamnya masalah-masalah lain seperti hudud, dll. Pembahasan penyelesaian sengketa juga tersebar pada seluruh bab sesuai dengan masing-masing tema kecuali masalah ibadah-, misalnya ada dalam bab bayu’, bab syir- kah, bab mudharabah, bab talis dst.

Namun, terkait dengan penyelesaian sengketa dalam pengertian yang umum, ada beberapa hasil yang dapat ditampilkan. Seperti peneli- tian yang dilakukan oleh Syahbudi, dkk tahun 2009 tentang Paradigma Al-Qur’an tentang Resolusi Konlik (Studi Terhadap Ayat-Ayat Hukum

1 Lihat misalnya dalam ‘Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Jilid 2, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1938), h. 269-dst. Wahbah al-Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (ttp: Dar al-Fikr, 1984).

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Mu’amalah), yang direlease oleh STAIN Pontianak. Penelitian ini beru- paya mengungkap landasan ideal dan praktis perspektif al-Qur’an ten- tang konlik dan resolusinya dengan fokus pada kasus hukum syiqaq dan qishash. Menurut Syahbudi, berdasarkan lafaz-lafazh dan istilah tehnis dalam al-Qur’an yang terkait dengan resolusi konlik, secara jelas menegaskan sebuah paradigma teo-antrophomorpisme. Dari dua kasus yang dijadikan contoh, puncak resolusi yang paling tinggi adalah sanksi moral untuk mempertanggung jawabkannya pada Allah, meskipun ke- pentingan pihak-pihak tetap diperhatikan. Terjadinya putusan atau ke- sepakatan terhadap kasus syiqaq, tidaklah hanya berorientasi pada isu yang dikemukakan masing-masing pihak. Jelas dinyatakan bahwa Al- lah senantiasa bersama pihak-pihak yang mengalami syiqâq. Ini sebuah keterlibatan teologis (theology intervention) yang memberikan warna dalam resolusi konlik syiqâq, demikian juga terhadap kasus pembu- nuhan. Kesimpulan ini sekaligus mematahkan asumsi beberapa kelom- pok masyarakat bahwa Islam dekat dengan kekerasan dan kanibalisme. Justru sebaliknya, melalui paradigmanya yang memadukan antara un- sur manusia dan teologi, Islam ingin menjadikan resolusi konlik mem- patkan manusia itu pada kedudukan yang sebenarnya. 2

Hal senada juga terdapat pada artikel yang ditulis Abu Rohmad dengan judul Paradigma Islam dalam Penyelesaian Sengketa. 3 Artikel ini mengkaji bagaimana paradigma hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa, apakah cenderung menggunakan pranata litigasi atau non-li- tigasi? Serta masalah-masalah apa saja yang dapat diselesaikan melalui dua kecenderungan tersebut? Rohmad berupaya menggambarkan se- cara luas paradigma Islam dalam menyelesaikan perkara. Namun, ar- tikel ini hanya mendasarkannya pada kasus sengketa kepemilikan tanah

saja. 4

2 Syahbudi, dkk, Paradigma Al-Qur’an tentang Resolusi Konlik (Studi Terha- dap Ayat-Ayat Hukum Mu’amalah), (STAIN Pontianak: P3M, 2009), tidak diterbitkan.

3 Abu Rohmad, ”Paradigma Islam dalam Penyelesaian Sengketa” dalam In- ternational Journal Ihya ’lum al-Din, Vol. 10, Number 1, June 2008, IAIN Walisongo Semarang, Indonesia.

4 Ibid., h. 116.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Obyek yang berbeda juga dilakukan oleh Siti Zainab dengan ju- dul Manajemen Konlik Suami Istri dalam Perspektif al-Qur’an. 5 Peneli- tian ini menitik beratkan pada kasus konlik yang terjadi dalam rumah tangga yang dianalisa berdasarkan tiga ayat yang terdapat dalam: Su- rah al-Nisa’/4: 34; 35 dan 128, dengan menggunakan pendekatan tafsir maudhu’i dan content analysis.

Pada konteks yang sama Ratno Lukito menulis artikel dengan judul Religious ADR; Mediation in Islamic Family Law Tradition. 6 Di- dasarkan pada judulnya, maka dapat dipastikan tulisan Ratno Lukito terfokus pada wacana mediasi dan hubungannya dengan resolusi kon- lik dalam keluarga. Dalam tulisan ini, Ratno mendeskripsikan tentang teori umum mediasi dalam sistem keilmuan ADR (Alternative Dispute Resolution) dan kemudian menghubung-kannya dengan tradisi mediasi dalam masyarakat Islam yang diambil dari al-Qur’an surah al-Nisa’/4:

35. Menurut Ratno, ADR yang tumbuh dan berkembang sebagai meto-

de modern sangat dimungkinkan untuk diterapkan tanpa mengabaikan tujuan utama dari dasar pengajaran al-Qur’an surah al-Nisa’/4: 35 yaitu tindakan menghindari terhadap putusnya perkawinan dalam konlik

keluarga (the circumvention of marital dissolution in family disputes) 7 . Selanjutnya buku mediasi dan Resolusi Konlik di Indonesia: dari Konlik Agama hingga Mediasi Peradilan, yang ditulis oleh Musahadi HAM (dkk). Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang menguraikan berbagai pendekatan mengenai mediasi, resolusi konlik dan peace bu-

ilding dalam konteks ke Indonesiaan. 8 Buku yang hampir mirip juga ditulis oleh hoha Hamim (dkk) dengan judul Resolusi Konlik Islam

5 Siti Zainab, ” Manajemen Konlik Suami Istri dalam Perspektif al-Qur’an” dalam Jurnl Studi Agama dan Masyarakat, Volume 3, No. 1 Juni 2006, P3M STAIN Palngkaraya, Kalimantan Tengah.

6 Ratno Lukito, “Religious ADR; Mediation in Islamic Family Law Tradition” dalam Journal al-Jami’ah, Vol. 44, No. 2, 2006 M/1427 H, UIN Sunan Kalijaga, Yogya- karta.

7 Ibid., h. 343 8 Musahadi HAM, dkk., Mediasi dan Resolusi Konlik di Indonesia: dari Konlik

Agama hingga Mediasi Peradilan (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007).

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Indonesia. Buku ini banyak membahas tentang konlik dan model reso- lusi dari perspektif etno-sosio- historis kemudian konlik dan model re- solusi dari perpektif teologis, serta membaca realitas konlik dan model resolusinya berdasarkan analisis tekstual serta diperkaya dengan hasil penelitian lapangan. 9

Penelitian tentang aturan yang berkaitan dengan perdata syari’ah pernah dilakukan oleh Rahmat dengan judul Syirkah (Kerjasama) da- lam Tinjauan Kitab Undang Undang Hukum Perdata Islam (KUHPI) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer). Penelitian ini tidak menjelaskan tentang penyelesaaian sengketa apabila terjadi dalam syirkah (kerjasama). Lebih pada mencari persamaan dan perbedaan sisi paradigmatik terkait dengan kerjasama (in abstracto) yang mencakup nilai-nilai dasar atau ilosois serta asas-asas kerjasama yang terdapat pada KUHPI dan KUHPer. 10

Untuk penelitian yang berhubungan dengan studi terhadap Kom- pilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) seperti yang dilakukan oleh Abdul Mughist yang berjudul Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam. Tulisan ini berupaya memaha- mi KHES melalui perspektif hukum Islam. Menurut Mughist, penyu- sunan KHES merupakan upaya positiisasi hukum ekonomi ke dalam sistem hukum nasional untuk merespon secara sosiologis kebutuhan terhadap pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Bagi Mu- ghist, KHES merupakan bentuk dari iqh Indonesia dan ijtihad kolektif. Dalam tulisan ini, Mughist tidak mendalami muatan makna pasal demi pasal khususnya tentang penyelesaian sengketa yang terkandung di da-

lam KHES baik secara eksplisit maun implisit. 11

9 hoha Hamim, dkk., Resolusi Konlik Islam Indonesia (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Sosial (LSAS) dan IAIN Sunan Ampel: IAIN Press, 2007).

10 Rahmat, Syirkah (Kerjasama) dalam Tinjauan Kitab Undang Undang Hu- kum Perdata Islam (KUHPI) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer) , (STAIN Pontianak: P3M, 2010), tidak diterbitkan.

11 Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjau- an Hukum Islam, Al-Mawarid, Edisi XVIII, Tahun 2008, hlm. 149.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

B. Teoretik Mendalam

Apa itu teks? Pertanyaan mendasar ini tidak berkaitan dengan pe- nulisan opini atau artikel, pembuatan undang-undang atau jenis-jenis teks yang mengikat, sebaliknya, ini merupakan pertanyaan yang men- cakup berbagai macam model tekstual yang muncul dalam argumen-ar- gumen terkini mengenai apa itu hukum dan bagaimana hukum harus

dipahami. 12 Teks hukum hadir untuk menceritakan bagaimana kondisi masyarakat dalam relasi kekuasaan politik dan sosialnya. Kaum post- strukturalis bahkan memahami kehadiran teks adalah ungkapan keti- dakbebasan manusia dalam ketidakberdayaan linguistik. Sebaliknya, kaum positivistik masih memiliki pandangan bahwa teks hukum harus ditafsirkan berdasarkan model proposisi logis, yaitu sebagai sebuah sta- temen yang bisa dinilai benar atau salah (dalam pengertian tertentu)

menurut aturan-aturan penalaran. 13

Teks berhenti sementara peristiwa bergerak (An-Nushus Mu- tanahi Wa al-Waqa’i ghairu Mutanahi) adalah ungkapan dalam teori hukum Islam (baca: usul al-iqh). Ungkapan ini kemudian melahirkan dua pendekatan utama dalam penemuan hukum Islam; antara pendeka- tan teks dan pendekatan non teks seperti teleologis. Kekuatan teks tidak hanya terletak rumusan-rumusannya, tetapi ungkapan-ungkapannya juga memberikan keterangan atau penjelasan terhadap suatu perbuatan yang baru. Untuk itu, penelitian ini berupaya mengkaji dan mendalami pernyataan-pernyataan normatif melaluiteks atau pasal demi pasal yang terdapat dalam KHES khususnya pada buku I dan II.

12 Gerald L. Bruns, Hukum dan Bahasa: Hermeneutika Teks Hukum, dalam Gregory Leyh (ed.), Hermeneutika Hukum; Sejarah, Teori dan Praktik (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 41.

13 Dalam pengertian lain, pemahaman ini sama dengan konsep teori hukum murni yang di gagas oleh Hans Kelsen yang berpendapat hukum dalam pengertian yurisprudensi, bukan politik atau sosiologi hukum. Teori hukum murni berupaya membatasi pengertian hukum pada aspek-aspek hukum, bukan untuk menghindari- namun hanya upaya menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang ber- beda metodologi (sikretisme metodologi) sehingga dapat mengaburkan esensi ilmu hukum dan batas-batas serta sifat yang dimaksudnya. Hans Kelsen, Pure heory of Law (Berkeley, University of California Press, 1967), h. 1.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Di Indonesia ada dua kerangka penyelesaian perkara: (1). Pen- dekatan Litigasi (peradilan). (2). Pendekatan non litigasi (di luar pera- dilan). Pendekatan litigasi sifatnya formal dan menghabiskan biaya dan waktu yang lama. Sementara pendekatan terakhir bersifat informal dan

lebih leksibel dalam hal waktu dan biaya. Gerald Turkel 14 , membuat klasiikasi mengenai tipe-tipe penyelesaian sengketa secara hierarki atau berjenjang (Hierarchy of Dispute Resolution). Penjenjangan dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rasional informal dan tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type of dispute resolution) sampai dengan tipe yang paling rasional formal dan berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type). Hal ter- sebut tergambar pada visualisasi berikut ini:

Informal, Non-legally Rational Formal, Legally Rational Consultation Negotiation Mediation Arbitration Litigation

Terlepas dari keuntungan dan kerugian dari berbagai pendeka- tan tersebut, kajian terhadap pemberlakuan sebuah peraturan harus mempertimbangkan: (1). Kondisi yuridis; terkait di dalamnya tentang kesesuaian secara vertikal dan horizontal dengan aturan lainnya yang menjelaskan topik yang sama. Rumusan kaidah-kaidah ikih pada da- sarnya berupaya untuk memberikan penyelesaian terhadap berbagai sengketa yang terjadi terutama pada keadaan di mana tidak ada dalil hukum yang mengaturnya secara jelas. Namun, pendekatan linguistik saja tidak akan memadai untuk menyelesaikan beragam persoalan baru. (2). Kondisi Filosois; pertimbangan ini untuk mengkaji secara menda- lam hakikat dan tujuan dari bunyi sebuah peraturan. (3). Kondisi Sosio- logis; menyangkut pengenalan watak hukum dalam konteks sosiologis. Artinya, hukum bukanlah berada di ruang hampa, tetapi mereleksikan kehendak sosial masyarakat. 15 Penelitian ini akan lebih fokus pada

14 Gerald Turkel, Law and Society: Critical Approaches, (Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996), h. 208.

15 R. B. M. Cotterrell, “Jurisprudence and Sociology of Law”, dalam William M. Evan (ed.), he Sociology of Law (New York: he Free Press, 1980), h. 23.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

aspek pertama yaitu kondisi yuridis dengan mengkaji teks normatif KHES tentang penyelesaian sengketa sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal Buku I dan II.

Agak sulit membedakan defenisi yang tegas antara sengketa dan konlik. Keduanya mengandung pertentangan kepentingan, sikap, pen- dapat, keyakinan bahkan nilai-nilai, namun tidak harus sampai menim- bulkan kekerasaan isik (violance). Menurut Ralf Dahrendorf, konlik merupakan inhern omni presence baik dalam tingkatan individu mau-

pun kelompok. 16 Intinya, setiap adanya relasi lebih dari dua individu, maka potensi sengketa atau konlik akan muncul. Namun, setiap ada sengketa atau konlik, maka dihadapkan pula pada upaya resolusi atau transformasinya. Tindakan tersebut menjadi satu kesatuan dalam se- buah istilah manajamen konlik.

Di dalam iqh, hubungan keperdataan antara dua individu atau le- bih disebut dengan akad. 17 Melalui akad, semua bentuk kerjasama diatur dan dirumuskan secara bersama-sama dengan aspek legalitas suka-sa- ma suka (ridho). Perjanjian yang sudah disepakati tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika satu pihak merasa kesulitan untuk melaksanakan isi akad, maka ada upaya yang keringanan dengan menggunakan prinsip

la dharara wa la dhirara 18 Sebagaimana terangkum dalam kaidah: Al Ashl i al-Mu’amalah al-Ibahah dan Al-Ashl i al-’Aqd rid al-Muta’aki- dain Wa Natijatuhu Ma Iltajamu bi al-Ta’akud. 19

Merujuk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai lam- piran Peraturan Mahkamah Agung RI nomor: 02 tahun 2008 yang di- pergunakan sebagai pedoman para Hakim dalam lingkungan Penga- dilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara

16 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conlict in Industrian Society (Stamford: Stamford University Press, 1995), h. 241-243.

17 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Mu’amalat (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2007), h. 68.

18 Imam Malik, Al-Muwatta (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t), II, h. 754. Artinya, setiap pihak dilarang untuk merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain.

19 Kegiatan mu’amalah itu aslinya adalah boleh. Asal setiap akad adalah keridoan dari pihak-pihak yang berakad dan hasilnya berlaku sah sebagaimana yang diakadkan.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, dalam Pasal 20 ayat 1 yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian an- tara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Oleh karena itu, berdasarkan rumusan tersebut maka akad harus merupakan perjanjian tertulis kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khu- sus. Sekalipun kata-kata ”tertulis” tidak dicantumkan, namun secara pembuktian, hukum tertulis lebih kuat daripada tidak tertulis yang bia-

sanya bersifat moral. 20 Setiap akad harus mengandung Ijab dan Kabul. Ijab yaitu pernyataan keinginan dari pihak pertama tentang isi perjanjian. Sementara Kabul berupa pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Kehadiran Ijab Kabul menjadi bukti bahwa telah terjadi asas suka sama suka (ridha) di antara kedua belah pihak.

Secara umum rumusan yang penting untuk memahami akad ada empat hal, yaitu: (1) adanya hubungan hukum. Hubungan hukum ialah hubungan yang di dalamnya melekatkan ketentuan hukum yang men- gatur tentang hak dan kewajiban hukum para pihak. Apabila terjadi wanprestasi atau pembatalan sepihak terhadap hubungan hukum terse- but, maka hukum memiliki kewenangan memaksakannya agar hubun- gan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali. (2) adanya para pihak. Terjadinya hubungan hukum sebagai telah dijelaskan pada paragraf se- belumnya, haruslah terjadi antara dua orang atau lebih. Mereka ini yang disebut dengan subyek perikatan/perjanjian. (3) adanya harta kekaya- an. Pada awalnya, harta kekayaan dalam arti uang atau materi lainnya menjadi mainstream sebab adanya hubungan hukum. Namun, saat ini jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan hukum itu diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan aki- bat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan. (4) Presta- si/ Obyek Hukum. Maksudnya di dalam akad sudah ada kesepakatan untuk melakukan jenis tindakan tertentu yang membawa manfaat atau keuntungan namun tidak bertentangan dengan hukum syari’ah.

20 Al-Baqarah (2): 282.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Secara umum, apabila terjadi perselisihan atau konik atau sen- gketa, maka penanganannya bisa dilakukan dengan menggunakan ber- bagai pendekata yaitu: (1) saling menaklukan, (2) saling mengalah, (3) saling menghindari, (4) saling berkompromi dan (4) berusaha meme- cahkan masalah. Kelima pendekatan penyelesaian sengketa atau kon- lik tersebut bisa berjalan efektif sangat ditentukan oleh jenis dan model sengketanya termasuk di dalamnya pentingnya melibatkan pihak ketiga

(the third intervention). 21 Dalam pendekatan inilah, analisis pasal-pa- sal dalam buku 1 dan II dalam KHES untuk menyelesaikan sengketa dikonstruksi dan dipetakan.

21 Hugh Miall, Oliver Rambotham, Tom Tom Woodhouse, Contemporary Conlict Resolution (USA: Polity Press, 1999), hlm. 25-30.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

BAB III SEJARAH PERUMUSAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (KHES)

A. Kebutuhan Sosial dan Politik Hukum

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008,merupakan respon terhadap perkembangan praktek hukum mu’amalat (ekjonomi Islam) di Indonesia. Meskipun, praktek ekonomi Islam secara institusional dan yuridis di Indonesia sudah di- mulai sejak berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, yang disusul oleh beridirnya berbagai Lembaga Keuangan Sya- ri’ah (LKS) lainnya, seperti BPRS dan BMT. Perkembangan inilah yang menginspirasi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan yang bias menjembatani atau mencegah adanya kebutuhan penyelesaian perka- ran-perkara yang berkaitan dengan ekonomi Islam.

Selama ini, jika terjadi sengketa menyangkut permasalahan ekonomi syariah maka diselesaikanlewat Badan Arbitrase Sya- riah Nasional (Basyarnas) yang bertindak sebagai mediator dan ti- dak mengikat secara hukum. Artinya, jika para pihak ingin men- dapatkan putusan yang inal dan mengikat, maka pengadilannya tempatnya. Semntara di Basyarnas, peraturan yang diterapkan hanya

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

menga-cu pada peraturan Bank Indonesia (BI) dengan meru-juk ke- pada fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam hukum Islam, merupakan opini hukum (legal opinion) atau pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam. Upaya menjadikan hukum Islam sebagai dasar penyelesaian perkaran dan sifatnya menjadi hukum positif, pernah dilakukan oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam memberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam yaitu: Majalah al- Ahkam al-’Adliyyah, yang terdiri dari 1851 pasal.

Penting untuk dijelaskan pada bab II ini, bahwa penggunaan kata Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (MAA) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam (KUHPI), pada dasarnya adalah dua nama yang berbeda tetapi sama kandungan isinya. Penamaan ini hanyalah perso- alan transliterasi ke dalam bahasa Indonesia. Disamping juga untuk memudahkan penerjemahannya dalam mengakomodasi istilah-istilah hukum yang sudah beredar kuat di masyarakat Indonesia atau lebih umum pada masyarakat pengguna hukum modern. Hanya ada dua isti- lah yang mudah dikenal, yaitu terkait dengan hukum pidana dan perda- ta. Oleh karenanya, MAA diterjemahkan ke dalam istilah perdata, kare- na memang isinya adalah mengenai keperdataan. Untuk itu, kadangkala digunakan istilah KUHPI dan kadangkala menggunakan istilah MAA.

MAA adalah kompilasi hukum Islam di bidang iqh mu’amalah (hukum perdata Islam) yang disusun lebih kurang tujuh tahun mulai tahun 1869-1876 M dan diberlakukan sebagai hukum positif di seluruh wilayah kekhalifahan Turki Usmani, sebelum Turki menjadi negara re- publik sekuler. Namun sejalan dengan merosotnya kemampuan ber- tahan kerajaan Turki Usmani, Majallah akhirnya tidak diberlakukan lagi di negara-negara yang termasuk ke dalam wilayah jajahannya. Mi- salnya di Libanon sejak tahun 1932, Syiria sejak tahun 1949, Iraq sejak

tahun 1953 dan lain-lain. 1

1 M. Rusydi “Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang dan Tantan- gan, (Menyikapi UU No. 3 Tahun 2006) dalam Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, edisi

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Sementara itu, masa kekhalifahan Turki Usmani sendiri, berdiri sejak tahun 1288-1924 M, yang sama dengan 636 tahun atau 6 abad lebih. Untuk itu, jika dikurangi sejak selesainya pembuatan MAA dan berakhirnya kekhalifahan Turki usmani, MAA hanya berlaku selama

48 tahun saja, sekitar hampir setengah abad. Pertanyaannya, apakah ini merupakan waktu yang cukup untuk menilai efektiitas dan manfa- at MAA bagi kekhalifahan Turki Usmani? Mengapa seiring runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, berakhir pula masa berlakunya MAA? Nampaknya, ini perlu penelitian lebih lanjut.

Sebelum munculnya MAA, kekhalifahan Turki Usma- ni dihadapkan kepada masalah keberagaman keputusan dari lembaga pengadilan perdatanya, karena setiap pengadilan mengambil bahan pertimbangan hukumnya dari berbagai macam kitab iqh yang sangat banyak jumlahnya meskipun masih dari satu mazhab yaitu mazhab Ha- nai. Maka untuk lebih menjamin kepastian hukum, dibentuklah satu panitia yang terdiri dari ulama-ulama besar dan para fuqaha yang dike- tuai oleh Ahmad Judat Basya, seorang ulama ahli hukum Islam terkenal

yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri kehakiman. 2 Dari hasil jerih payah ulama pada kekhalifahan Turki Usmani ini, terwujudlah satu karya besar berupa kodiikasi hukum perdata Islam yang bersum- ber kepada al-Qur’an dan al-Hadis dan kitab-kitab iqh standar khusu- snya di dalam mazhab Hanai, yang menjadi pegangan para hakim per- data dan warga negara di seluruh wilayah kekhalifahan Turki Usmani.

Musthofa Ahmad Zarka menyebut perkembangan hukum Islam yang menggunakan cara-cara kodiikasi ini dengan istilah “hukum Islam dalam bajunya yang baru (al-Fiqh al-Islam i Tsaubihi al-jadid) artinya bajunya yang baru, sedang isinya tetap dipegang teguh mate- ri-materi yang terdapat di dalam iqh Islam khususnya mazhab Hanai.

Sesungguhnya dengan munculnya kodiikasi hukum Islam di khalifahan Turki Usmani ini, ada satu perkembangan baru yang pen-

XVII Tahun 2007, h. 10. 2 Nampaknya mirip dengan alasan epistemologis perumusan dan pember-

lakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

ting di dalam hukum Islam, yaitu: berpindahnya kewenangan peneta- pan hukum dari mujtahid fardi (individual), kepada mujtahid jama’i (ijtihad kolektif) dan lebih jauh lagi kewenangan pembentukan hukum diserahkan kepada negara, khususnya lembaga legislatif. Ini merupakan suatu cara yang menjadi kecenderungan umum di dunia Islam sekarang ini, terutama di bidang hukum keluarga, wakaf dan zakat yang sering disitilahkan dengan taqnin ( نينقتلا). 3

Taqnin tidak dapat dikategorikan sebagai ijtihad yang bersifat tarjih dalam konteks iqh muqarin (perbandingan mazhab dan hukum). Taqnin sekalipun hanya mengambil pendapat mazhab tertentu, tetapi upaya yang dilakukan tetap melalui proses seleksi di antara penda- pat-pendapat ulama tetapi masih dalam satu mazhab tertentu. Adapun pilihan MAA fokus pada pendapat Imam Abu Hanifah, hal itu hanyalah kebetulan yang berkembang dan populer adalah adalah Mazhab Hanai.

Setidaknya mirip yang dilakukan di Indonesia terhadap Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Domi- nannya mazhab Syai’i pada dasarnya bukan karena lebih kuatnya pen- dapat Syai’i dibandingkan pendapat ulama lainnya sebagaimana yang dipahami dalam ilmu tarjih. Tetapi memang yang populer dan berkem- bang adalah pendapat Syai’i dan mazhabnya.

Adapun istilah kanunisasi berasal dari akar kata “kanun” atau “qa- nun”. Sekalipun dalam Islam sendiri, kodiikasi atau kanunisasi meru- pakan istilah tehnis yang tidak dikenal di masa Nabi Muhammad SAW dan khulafaurrasyidin. Istilah tehnis kodiikasi setidaknya mendapa- tkan embrio pada akhir abad 1 H awal abad ke 2 H atau masa pemerin- tahan Umayyah.

Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berarti “alat pengukur” atau “kaidah”, “hukum” (law) “peraturan” (rule, regulation) ataupun undang-undang

3 Oleh karena itu tidak mengherankan apabila banyak penulis sejarah hukum Islam (Tarikh al-Tasri’) menunjuk majallah al-ahkam sebagai titik awal perkembagan baru hukum Islam.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

(statute, code). 4 Pada dasarnya hampir semakna dengan kodiikasi atau “ نيناوقلا عمج” yang di dalamnya terdapat intervensi negara. Lahirnya ide kanunisasi, kodiikasi atau sejenisnya dapat didekati melalui tiga pokok pokiran:

1. Dengan menggunakan konsep yuristik. Ide ini berpijak pada per- nyataan bahwa yang terpenting dalam fenomenologi hukum ada- lah pengetahuan tentang yurisprudensi (iqh) dan bukan perangkat negara yang bertindak sebagai badan pembuat hukum. Pandangan dasarnya adalah bahwa suatu persoalan dapat dipecahkan hanya dengan cara membangkitkan prinsip ijtihad.

2. Teori imitatif. Ide ini sangat dipengaruhi oleh rumusan hukum yang didasarkan pada kebutuhan politis oleh para muti serta alasan sosi- ologis. Misalnya, raja Aurangzeb, seorang Sultan Moghul abad 17 di India yang bergelar ‘Alamgir tertarik untuk menghimpun fatwa-fat- wa hukum. Pengumpulan fakta-fakta itu dikerjakan oleh panitia yang diketuai oleh syaikh Nidham Burhanpuri dari Delhi. Hasil kompi- lasinya terkenal dengan nama al-Fatawa al-Hindiyah atau al-Fatawa al-‘Alamgiriyah.

3. Konsep hukum personal dengan mengikuti sistem hukum sipil. Se- bagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani menetapkan Kode sipil Usmani dengan iradah (dekrit sultan) yang diberinama Majallat al-Ahkam al-Adliyah yang disusun dalam satu pendahuluan yang berisi defenisi dan qawaid iqhiyyah dan 16 buku yang berisi peraturan mengenai hukum perjanjian, seluruhnya terdiri dari 1851 pasal.

Dalam perkembangannya, kanun menurut Qodri Azizy diiden- tikkan dengan undang-undang di negara Islam atau negara yang mayo- ritas penduduknya beragama Islam, yang berupa:

1. Mengatur hal-hal yang berhubungan antarsesama manusia. Memuat hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokok nashn-

4 he Encyclopedia of Islam (new edition), IV: 558. Bandingkan dengan istilah qanun menurut al Mawardi. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1973), h. 23, 33 dan 215.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

ya beserta yang belum jelas melalui pendekatam ‘urf, istihsan atau maslahah. Hal ini mengantisipasi perkembangan hukum dan mas- yarakat yang begitu cepat:

2. Kanun berarti telah memilih salah-satu dari sekian banyak ikhtilaf dikalangan fuqaha untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh mas- yarakat.

3. Dalam beberapa hal bisa saja melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah murs- alah) dengan dalih siyasah syar’iyyah (politik hukum).

4. Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau ekse-

kutif yang mempunyai fungsi legislasi. 6

Kodiikasi majallah bisa dikatakan lahir dari upaya tanzimat 7 yang terjadi pada waktu itu. Tanzimat adalah suatu gerakan reforma- si yang muncul secara resmi di Turki Usmani setelah wafatnya Sultan Mahmud II yang mendominasi sejak tahun 1839 hingga tahun 1871. Kemunculan ide tanzimat disebabkan oleh kemunduran masa kejayaan kekhalifahan Turki Usmani yang tidak hanya secara geograpi-politik,

tetapi juga pemikiran sosial-keagamaan. 8

Atas kondisi tersebut, selama era tanzimat setidaknya terdapat tiga aliran hukum: pertama, diwakili oleh kelompok Islam konserpatif

5 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz 1 (Kairo: Dar al-Fikr, 1965), h. 5-7.

6 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Is- lam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 61-61.

7 Tanzimat berasal dari bahasa arab yang bermakna “mengatur atau menata, dalam bahasa Inggris padananan dari reform yang berkna “menata kembali”.

8 Satria Efendi M. zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nais, dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995), h. 287. Untuk penjelasan lebih lanjut, suasana politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di Turki Usmani saat itu dapat dilihat dalam Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 1999), h. 514-530.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

yang ingin mempertahankan status quo hukum Islam yang ada saat itu. Alasan utamanya adalah, bahwa Islam sudah inal. Kedua, kelompok yang mengganggap pentingnya reformasi dan reformlasi hukum secara parsial terutama terkait dengan masalah-masalah yang ijtihadi. Ketiga, kelompok westernis-sekularis yang menginginkan adalah dekonstruk- si hukum-hukum Islam yang ada. Kelompok ini berpendapat bahwa hukum Islam sudah tidak applicable lagi sehingga perlu diganti den-

gan hukum-hukum barat. 9 Untuk itu, kehadiran kodiikasi Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah merupakan salah satu keberhasilan dari pentin- gnya upaya reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang

ada pada masa itu. 10 MAA merupakan upaya menjembatani tiga aliran hukum yang berkembang saat itu. Secara materil tetap mempertahan- kan pendapat-pendapat ulama, sementara dari sisi formil mengikuti aturan hukum yang berkembang di barat.

Memang benar bahwa hukum Islam di masa kini -di dalam men- ghadapi proses perubahan sosial, ekonomi dan politik, dihadapkan kepada pilihan yang tidak mudah. Apabila mengambil keseluruhan hukum Islam tanpa penafsiran kembali sering tidak realistis, dan se- baliknya, meninggalkan hukum Islam adalah tidak islami. Di dalam menghadapi masalah ini, ulama-ulama zaman Turki Usmani dengan MAA telah mengambil jalan tengah, di satu sisi melakukan per-tarjih- an (menguatkan salah satu pendapat ulama) terhadap pendapat-penda- pat ulama yang ada dikalangan Mazhab Hanai. Kemudian digunakan

sembilan puluh sembilan qaidah hukum Islam 11 yang sering menjadi

9 Satria Efendi M. zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nais, dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995), h. 288-289.

10 Lebih lanjut dijelaskan oleh Ikhwan, “Reformasi Hukum di Turki Usmani Era Tanzimat (Suatu Tinjauan Historis-Sosiologis)”, dalam Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007.

11 99 qaidah tersebut diambil dari kitab al-Asybah wa al-Nazhair karangan Ibn Nuzaim (w. 970 H) dari mazhab Hanai. Dalam banyak hal mirip dengan qaidah-qa- idah hukum Islam dari mazhab Syai’i dalam kitab al-Asybah wa Nazhair karangan Imam al-Suyuthi (w. 911 H).

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

acuan dari pasal selanjutnya agar tetap hukum tersebut islami. Di sisi lain dilakukan studi banding dengan hukum barat dan digunakan si- stematiknya agar tetap realisitis. Selain itu juga MAA menggunakan metode Istihsan (mengacu pada semangat hukum) seperti pada pasal 544, 1187, 1517, 1601 dsb. Adapula yang menggunakan istishab (tetap hukumnya sebelum datangnya hukum yang baru secara meyakinkan) seperti pasal 1224, 1228, 1229, 1683, dsb. Dan juga menggunakan al-’a- dah/al-‘uruf (adat kebiasaan yang masalahat) seperti pasal 168, 298, 527, 528, 574, 816, 821, 876, 1515, 1473, 1498, 1509, dsb.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh luar terha- dap pembuatan MAA? Jika ditelisik tanggal dan masa kodiikasinya, MAA dimungkinkan sangat dipengaruhi oleh tata hukum Eropa, tepa- tnya Perancis. Kemunduran Turki Usmani sebenarnya sudah didahului dengan takluknya Mesir di tangan Perancis melalui Napoleon Bonapar- te tahun 1798-1801. Maka sangat dimungkinkan terjadinya pengaruh hukum-hukum Perancis di daerah-daerah sekitar Mesir. Karena Mesir merupakan daerah jajahan Turki Usmani sejak tahun 1571. Sampai abad 18 kesultanan Usmani melalui Sultan Salim III mengambil tela- dan dari Eropa, dengan mengasumsikan bahwa reformasi di perbata- san dengan Barat akan mengembalikan keseimbangan kekuatan. Pada tahun 1789, dia membuka sejumlah sekolah militer dengan instruktur

dari Perancis. 12 Pada kondisi yang demikian, Perancis sudah mengalami revolusi pada tahun 1789 jauh sebelum MAA dibuat. Kemajuan pasca revolusi Perancis, dalam beberapa catatan sejarah memberikan dampak

terhadap daerah-daerah jajahan Perancis. 13 Demikian juga dari tehnis penyusunan MAA. Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa signiikansi Majallah antara

12 Karen Amstrong, Islam: A short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakar- ta: Ikon Teralitera, 2002), h. 161

13 Misalnya, KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civ- il Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kes- amaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan ikih Muamalah terse- but, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

lain: (1) Majallah merupakan bukti nyata akan kemampuan iqh Islam untuk membenahi diri, dan penyesuaian dengan perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ruh-ruh dasarnya. (2) Majallah merupakan asas nyata bagi perkembangan yang diterima praktisi iqh islami, sebagi momentum awal untuk menemukan UU baru yang lebih komprehensif berdasarkan kemaslahatan, yang terambil dari mazhab yang tak terba- tas. (3) Majallah memberikan inspirasi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa hukum iqh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan baha- sa Yordania tahun 1976, dan UU Kepemerintahan Arab tahun 1985. (4) Majallah memberikan uraian istilah-istilah iqh padasetiap buku, sehingga mudah untuk diketahui .

Kemestian hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syariah di In- donesia dipandang sangat mendesak, karena ekonomi syariah telah dipratekkan dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, sekalipun masih ada KUH Perdata konvensional yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) era ko- lonial. Tidak hanya sudah ketinggalan zaman, tetapi tidak sesuai den- gan nilai-nilai syari’ah. Sekalipun ada satu dua azas yang masih bisa digunakan. “Al-Muhafazah ’alal qadim ash-sholih wal-akhzu bil jadid al-ashlah”. Memelihara hukum masa lalu yang relevan dan mengan- dung kemaslahatan dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahah.

Dan pada akhirnya, bentuk dan isi KHES sendiri banyak menga- dopsi atau diinspirasi oleh Majallah. Terutama yang berkaitan dengan konsep-konsep dasar tentang beberapa kegiatan ekonomi Islam yang susah dan sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, semnagat pembuatan KHES bias di pahami dari dua sisi. Per- tama, sejarah umat Islam menunjukkan bahwa peraturan hukum Islam yang mengatur tentang khusus mengatur kegiatan ekonomi sudah ada sejak lama. Kedua, adanya hubungan yang tidak terpisahkan dari sisi isi, antara peraturan hukum yang lama dengan sekarang. Sehingga, tidak dikatakan, bahwa KHES adalah benar-benar produk hukum yang baru tentang ekonomi Islam.

Lahirnya KHES tersebut berawal dari terbitnya Undang-Un-

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

dang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). UU No. 3 Tahun 2006 ini mem- perluas kewenangan PA sesuai dengan perkembangan hukum dan ke- butuhan umat Islam Indonesia saat ini. Dengan demikian Pengadilan Agama semakin memiliki kewenangan yang lebih luas. Tidak hanya sekedar pada bidang-bidang perkawinan, waris, hibah, wasiat, wakaf dan shadaqah saja, tetapi meliputi hubungan keperdataan yang lebih luas lagi yaitu menyangkut setiap transaksi atau perjanjian yang telah didasarkan pada sistem syari’ah.

Sebagai sebuah produk kesepakatan, hukum tidak bisa bebas seca- ra sendiri di ruang publik. Di dalam hukum ada tarik menarik berbagai kondisi, baik itu politik, sosial, budaya, ekonomi maupun hukum In- ternasional. Keinginan umat Islam untuk menjamin „keamanan“ tinda- kan syari’ah kegiatan ekonominya, harus juga melibatkan situasi-situasi yang disebutkan sebelumnya. Salah satunya adalah politik hukum. Po- litik hukum merupakan bagian dari disiplin yang secara khusus meng- gunakan hukum sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Disamping itu sarana atau alat politik hukum juga merupa- kan kebijakan negara (legal policy) yang diwakilkan melalui badan-ba- dan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang di- kehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan sesuai dengan iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku. Atau suatu upaya yang konsisten untuk me- wujudkan peraturan-peraturan yang mampu menampung berbagai ek- spresi kebutuhan sesuai dengan situasi dan waktu saat itu.