Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

F. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

Beberapa sumber hukum yang bisa digunakan sebagai landasan dalam menyelsaikan sengketa ekonomi syari’ah seperti:

1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)

Pada umumnya, pengadilan agama menggunakan hukum acara sebagaimana yang digunakan pada pengadilan umum untuk mengadili perkara-perkara sengketa ekonomi syari’ah. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Un- dang Nomor 3 Tahun 2006. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku

4 Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah dalam Persektif Un- dang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)”, Tesis MSI-UII Yogyakarta, 2007, h. 27.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglemen- t(HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittenge-we- sten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang te- lah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukanWetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasar-kan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22,

23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Veror- dering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang- undangan,yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.

2. Sumber Hukum Materiil

Tahap awal yang harus dilakukan oleh hakim adalah melakukan pemeriksaan perkara sengketa yang telah diajukan. Kemudian hakim melanjutkannya pada tahap mengambil putusan terhadap perkara yang diadilinya. Hakim akan mencari dasar hukumnya dari sumber-sumber yang sah sebagai sarana untuk menafsirkannya, untuk kemudian dite- rapkan pada fakta atau peristiwa konkret yang ditemukan dalam perka-

ra tersebut. 5 Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudi- sprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. 6

5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Lib- erty, 1999), h. 167.

6 Tauiq, Nadhariyyatu al-Uqud Al-Syar’iyyah, (Jakarta: Suara Uldilag, 2006), h. 95.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

Sumber materil yang biasanya berlaku di lingkungan peradilan agama setelah al-Qur’an dan Hadis dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syari’ah antara lain:

a. Peraturan Perundang-Undangan Sumber utamanya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Namun, untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syari’ah tidak bisa meninggalkan peraturan perundang-undangan yang ter- kait dengannya. Seperti, Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), dan sebagainya.

b. Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Dewan syari’ah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1999 berada

di bawah koordinasi MUI. Salah satu kewenangannya adalah me- netapkan fatwa terhadap berbagai produk dan jasa perbankan yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah.

c. Aqad Perjanjian (Kontrak) Menurut Tauiq 7 dalam mengadili perkara sengketa ekonomi

syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Banyak syarat yang harus dipenuhi oleh setiap akad. Diantaranya akad itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran, dan tidak melanggar aturan syari’ah lainnya seperti mengandung unsur riba, unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur zhalim atau penganiayaan. Setiap perjanjian yang bersifat keperdataan Islam, ha- rus menerapkan asas-asas tersebut.

Misalnya ketentuan tentang ganti rugi. Islam tidak membenarkan

terjadinya ganti rugi terhadap bunga. Sehingga, si “A” misalnya ti-

7 Tauiq, Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloka Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006, h. 6-7.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

dak bisa menuntut si “B” untuk mengganti semua kerugiannya den- gan menghitung bunga dari pinjamannya terhadap si “B”. disinilah posisi penting prinsip-prinsip ajaran Islam. Jika salah satu pihak ti- dak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk pu- tusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku. Namun, Islam juga ti- dak menentukan jumlah besaran ganti rugi yang bisa dikategorikan sesuai ajaran Islam. Bagi pihak yang telah melakukan ingkar jan- ji, bisa dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya, selama tidak mengandung unsur riba. Menurut CST Kansil, perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana pa- tutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terh-

adap orang lain. 8 Oleh karena itu, perbuatan ingkar janji atau wan- prestasi merupakan tindakan yang melawan hukum.

d. Fiqih dan Ushul Fiqih Fiqih dan ushul iqh bisa dijadikan sebagai sumber materil untuk menemukan atau menggali jawaban-jawaban yang mirip dengan sengketa ekonomi syari’ah yang sedang disengketakan. Bukan untuk menyelesaikannya persis sama dengan isi kitab iqh dan ushul iqh tersebut, namun sekedar mencari landasan berikir. 9

8 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 254.

9 Di samping kitab-kitab iqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab iqh dalam memutus perkara di lingkun- gan Peradilan Agama, perlu juga dipelajari berbagai kitab iqih lain sebagai bahan per- bandingan dan pedoman seperti Bidayatul Mujtahid yang ditulis oleh Ibn Rusy, Al Mulakhkhash Al Fiqhi yang ditulis oleh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah al Zuhaili, Fiqhus Sunnah yang

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

e. ‘Urf atau Adat Kebiasaan Untuk menjadikan ‘urf atau adat kebiasaan sebagai sumber mater- il dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah setidaknya harus

memiliki tiga syarat yaitu: 10

1) Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara be- rulang-ulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate con- suetindo).

2) Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates).

3) Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar. Tiga syarat tersebut berlaku secara komulatif dan bukan pilihan. Untuk itu, seorang hakim atau arbiter atau mediator harus mem- pelajari ‘urf atau adat kebiasaan pihak-pihak yang sedang ber- perkara. Setidaknya harus “melek” pengetahuan budaya.

f. Yurisprudensi Yang dimaksud dengan yurisprudensi yang dapat dijadikan sum- ber hukum untuk mengadili perkara ekonomi syariah adalah yuris- prudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syari-

ah dan benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. 11 Mengutip pendapat Hakim Agung Habibur-rahman, jenis sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan

Agama adalah meliputi: 12

ditulis oleh Sayyid Sabiq dan sebagainya. 10 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:

Liberty, 1999), h. 99. 11 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Ja-

karta: Khairul Bayan, 2004), h. 10-11. 12 Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah …. h.29.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

1) sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;

2) sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;

3) sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan den- gan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan ada- lah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.

Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah. Karekteristik sengketa di Pengadilan Ag- ama ada tiga yaitu: 13

1) sengketa yang berkarakter formal (nilai / norma)

2) sengketa yang berkarakter materiil (kebendaan)

3) sengketa yang berkarakter emosional (harga diri) Jika ditelisik lebih jauh, semua perkara termasuk sengketa ekonomi syari’ah bisa diklasiikasikan dalam tiga rumpun tersebut. Hanya satu jenis karakter akan lebih menonjol dari jenis karakter lainnya. Di sinilah peran hakim atau pihak ketiga untuk memahami serta mendeteksi metode jenis penyelesaian apa yang akan digunakan.

Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa apakah syarat ad- ministrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perk- ara yang dimaksud meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Jika syarat yang sudah ditentukan tersebut belum lengkap, maka berkas dikembalikan ke kepaniter- aan untuk dilengkapi. Namun, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS).

Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompeten-

13 http://www.badilag.net. Diakses tanggal 22 Oktober 2014.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)

si dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat me- nentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjan- jian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk me- meriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah be- rusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA No- mor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Jika tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Sebaliknya, apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap beri- kutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Hakim melaku- kan kualiisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim. Hakim melakukan konsti-tuiring yang dituangkan dalam surat putusan. 14 Dalam memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan kewa- jiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil.

14 Achmad Fauzi, S.HI, Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, hal. 3-5. www.badilag.net. Diakses tanggal 2 Oktober 2014.

Sosio Ekonomi Pedalaman

(Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Pedalaman Kalimantan Barat)