Syarat-syarat syahnya jaminan Ada persetujuan antara yang memberikan jaminan dan yang menerima

Menurut para ilmuwan hukum Islam, jaminan yang diberikan oleh Rasulullah tersebut adalah peristiwa pertama tentang jaminan di dalam Islam. Artinya Rasul memperkenalkan jaminan ini untuk dijadikan sumber hukum Islam. Hadis ini makin memperjelas dan memperkuat diperbolehkannya ar-Rahn dalam realitas kehidupan masyarakat dan dipraktekkan sendiri oleh rasulullah SAW. Bahkan dari Hadis tersebut terkandung makna dalam muamalah yang demikian rahmah, bahwa dalam muamalah tidak dibatasi oleh keyakinan agama. Oleh karena rasulullah sendiri beraktifitas muamalah dengan non-Muslim Yahudi maka seorang Muslim diperbolehkan melakukan aktifitas muamalah dengan orang non Muslim apapun agama yang diyakininya.

3. Syarat-syarat syahnya jaminan

Untuk syahnya suatu jaminan, mayoritas para ahli hukum Islam memberikan persyaratan yang harus dipenuhinya, yaitu: a. Harus ada yang menerima jaminan yaitu yang memberikan utang almurtahin. b. Harus cakap berbuat hukum. Artinya dapat menanggung hak dan kewajiban. Menurut Imam Hanafi, anak kecil mumayiz dapat melakukan transaksi ar-rahn dengan persetujuan walinya. c. Harus ada ijab dan qabul Untuk adanya suatu jaminan, para ahli fiqih menentukan syarat-syarat sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara

1. Ada persetujuan antara yang memberikan jaminan dan yang menerima

jaminan atau orang yang memberikan utang. 2. Ada utang piutang, jaminan adalah untuk menjamin suatu utang. Oleh karena itu tidak ada jaminan tanpa utang piutang. Untuk adanya jaminan maka dipersyaratkan adanya utang piutang. Dengan demikian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang dalam literatur hukum barat disebut dengan perjanjian asessoir. Dalam hukum Islam adanya utang ini dipersyaratkan; 1 bahwa utang merupakan kewajiban debitur yang harus dilunasi kepada kreditur; 2 Bahwa utang tersebut boleh dilunasi dengan jaminan, jika ternyata kemudian debitur ingkar janji; 3 Bahwa utang yang dijamin itu harus jelas dan tertentu. Artinya dalam jumlah yang jelas dan utang tertentu. 3. Ada harta yang dijadikan jaminan Dalam uraian di atas telah disinggung bahwa jaminan bukan merupakan perjanjian pokok. Jaminan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, jaminan merupakan perjanjian tambahan yang terjadi karena adanya perjanjian pokok. Prinsip inilah yang dalam literatur hukum Islam disebut dengan akad tabiyah. Dalam akad yang demikian, maka bahwa jaminan ar-rahn baru dianggap sempurna jika pihak debitur sebagai orang yang berhutang telah menerima utang dari pihak kreditur sebagai pihak yang berpiutang dan barang jaminan telah diserahkan secara hukum berdasarkan atas hak oleh debitur sebagai pihak yang berhutang kepada kreditur sebagai pihak yang berpiutang. Persyaratan yang demikian inilah yang oleh para ilmuwan hukum Islam memasukkan ar-rahn sebagai akad ainiyah. Universitas Sumatera Utara Kesempurnaan jaminan ini didasarkan pada al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 yang menentukan “fa rihanun maqbudhah” yang artinya maka hendaklah ada barang yang dipegang. Artinya barang jaminan itu berada dalam kekuasaan orang yang memberikan utang. Tentu saja penyerahan barang dari orang yang berutang kepada orang yang memberikan, utang itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh karena itu jika jaminan berupa tanah, maka tidak mungkin tanah itu diberikan secara fisk tetapi dapat berupa alat bukti hak sertifikat. Demikian juga jika jaminan itu sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya BPKB.

4. Status Hukum Barang Jaminan Dalam Hukum Islam