Konsep Jaminan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah

BAB IV APLIKASI KONSEP JAMINAN DALAM HUKUM ISLAM

DALAM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. Konsep Jaminan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah

Perkembangan lalu lintas ekonomi semakin luas jangkauannya. Dalam dunia modern seperti sekarang ini membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia transaksi. Hal ini bila tidak dibingkai dengan koridor norma dan atau undang-undang yang mengikat, akan terjadi kesewenang-wenangan yang merugikan orang lain. Maka jauh sebelum hukum Islam telah mengantisipasi hal yang demikian dengan diterapkannya aturan mu’amalah yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat. 138 Merebaknya lembaga-lembaga perbankan syariah sebagai aplikasi dan perkembangan lalu lintas ekonoi tersebut, menunjukkan tingkat kemajuan sistem ekonomi dan bisnis Islam khususnya di Indonesia, hal ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan 138 Ahmad Azhar Basyir, Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII, 1990, hal. 7 Universitas Sumatera Utara menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan Syariah. Akan tetapi pada gilirannya perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan teori yang memadai. Kajian teoritis yang menyangkut masalah lembaga perbankan syariah datang belakangan setelah lembaga-lembaga tersebut berdiri. Hal ini dapat dikatakan terjadinya teori akomodasi untuk legitimasi sebuah lembaga keuangan syariah, walaupun hal tersebut tidak dilarang, mengingat bagi perbankan syariah yang relatif masih muda membutuhkan bangunan teori yang kokoh,yang tidak diperoleh dalam waktu singkat. Hanya saja bagaimana sesungguhnya filosofinya khususnya masalah jaminan agar tidak menyimpang dan mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadis dan dapat memenuhi perkembangan jaman. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terdapat beberapa ketentuan umum, misalnya di dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 23, dan atau Pasal 40, yang menjadi pedoman teknis pelaksanaan mudarabah dan harus menjadi bagian dari kesepakatan antara keduanya dalam hal ini adalah masalah jaminan. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemauan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu, bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kedua hal tersebut menjelaskan bahwa bank dalam memberikan Universitas Sumatera Utara pembiayaan harus disertai dengan adanya jaminan. Sementara menurut ulama fiqh klasik, jaminan pembiayaan dalam Islam tidak dijumpai. Hal ini berarti bila dikaji lebih jauh, ketentuan tersebut bertentangan dengan fatwa ulama fiqih klasik. Dalam Pasal tersebut seseorang kreditur harus bertanggung jawab terhadap harta modal jika terjadi kerugian. Hal ini melenceng dari makna mudarabh aslinya, yaitu bahwa kreditur adalah seorang aminm, terbebas dari kerugian bila tidak sengaja. Maka apabila harta itu rusak tanpa disengaja oleh pelaksana, maka tidak berkewajiban membayar kerugian. Yang menjadi pegangan adalah kata-kata dia di samping itu harus bersumpah kalau ia mengaku harta itu hilang, ata binasa, karena pada asalnya tidak ada penghianatan. 139 Apabila berbicara masalah jaminan dikaitkan dengan wacana fiqih, baik berupa jaminan hutang rahn atau perorangan kafalah, maka tidak ada masalah, namun bila jaminan tersebut digunakan sebagai pembiayaan mudharabah, maka akan timbul berbagai pendapat hukum Islam. Dalam tinjauan fiqih, mudhabarah dilaksanakan atas dasar kepercayaan pemilik modal kepada pelaksanaan tentang keteguhannya memang amanah dan kemampuan bekerjanya. Oleh karena itu pelaksana tidak menanggung modal. Kerugian akan ditanggung sahib al mal kecuali bila terjadi keteledoran maka mudarib akan menanggung kerugian tersebut. Yang menjadi pegangan adalah kata-kata dia di samping harus bersumpah kalau ia mengaku harta itu hilang, rusak atau binasa, 139 Tahir Abdul al-Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, Alih Bahasa Anshar Umar Sitanggal, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1985, hal. 200 Universitas Sumatera Utara karena pada asalnya tidak ada pengkhianatan. Fuqaha pada dasarnya tidak setuju adanya tanggungan, alasannya mudarabah adalah kerjasama saling menanggung dan saling mempercayai dan bila ada kerugian semua pihak merasakan kerugian tersebut maka dari jaminan harus ditiadakan. Pendapat ulama tersebut sebagian besar didasarkan pada ijtihad mereka mengambil tolak ukur hukum tidak terlepas dari situasi sosial dan tempat para mujtahid berada. Karena suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari suatu sosial masyarakat, dimana sistem hukum merupakan bagiannya. 140 Seperti halnya hukum umum, hukum Islam dalam pengambilan tolak ukur suatu hukum atau kaidah hukum pun tidak terlepas dari perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat kebiasaan masyarakat yang mengitarinya. Metode pendekatan hukum ulama fiqih terhadap ketidakbolehan sahib al mal meminta jaminan pada amil dalam akad mudarabah adalah dengan istidlal dan istinbad hukum. Bank Islam ini memposisikan jaminan dalam trasaksinya adalah meminta jaminan untuk meyakinkan bahwa modal yang dipinjamkan kepada nasabah mudarib diharapkan kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipun dalam hukum Islam dijelaskan bahwa investor tidak diperkenankan meminta jaminan garansi dari mudarib. Namun dalam bank Islam tetap meminta jaminan. Mereka menegaskan bahwa jaminan tidak sekedar dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan, tetapi 140 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IX, 1999, hal. 11 Universitas Sumatera Utara untuk meyakinkan bahwa mudarib benar-benar melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak. 141 Dalam perbankan itu sendiri jaminan merupakan salah satu bentuk mekanisme bank untuk pengelolaan modal masyarakat yang mengandung unsur kemaslahatan dan merupakan suatu sistem transaksi yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang melakukan. Peminjam akan merasa diuntungkan dengan diperolehnya dana sebagai modal usah begitu pula bagi pemilik dan penyimpan dana. Dari sini dapat dipahami pendapat fuqaha tentang tidak diperbolehkannya jaminan dalam mudarabah atau utang piutang ditakhsiskan dengan maslahah. Karena lembaga bank merupakan lembaga keuangan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya terlihat bank memiliki peranan yang sangat besar di bidang perekonomian, lebih-lebih jika diingat tingginya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap bank. Dengan demikian, bank sangat potensial dalam menjalankan berbagai fungsi sosial. Dana pembangunan dalam suatu bangsa sebagian besar disediakan lembaga perbankan. Satu hal yang tidak kalah penting dalam mewujudkan kesepakatan bersama adalah aturan tentang jaminan atau tanggungan. Jaminan menjadi penting ketika sahib al mal khawatir akan timbulnya penyelewengan dari mudarib. Jaminan menjadi perlu ketika modal rusak karena sebuah penyelewengan dan besarnya kerugian melampaui batas. Pada dasarnya syariat tidak melarang perkembangan lembaga-lembaga komersial. Bukti-bukti tekstual dan historis menegaskan al-Qur’an dan as-Sunnah 141 Abdulah Saeed, Bank Islam dan Bunga, ttp, Dar al-Fikr, tt, hal. 102-103 Universitas Sumatera Utara tidak melarang perkembangan lembaga komersial dan perdagangan. Perubahan lembaga komersial dan ekonomi banyak membawa masalah yang sepenuhnya baru yang jawabannya tidak ada dalam fiqih klasik. Karena alasan inilah bisa dibenarknya perlunya melakukan ijtihad baru ataus dasar prinsip dan aturan eksplisit al-Qur’an dan as-Sunnah karena perkembangan metode perbankan dan keuangan jelas baru tidak ada pada masa-masa pewahyuan, transaksi semacam ini perlu secara terus menerus dilihat dari sudut pandang prinsip syariah yang luas, keadilan, kesamaan, dan kejujuran. Setiap orang yang belajar syariah Islam mengatakan bahwa hukum yang tertuang dalam syariah Islam berorientasi memelihara kemaslahatan para mukalaf dan menolak kemafsadatan. Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil ‘alamin sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:       Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kepentingan dan perubahan publik salah satu mekanisme yang penting yang dengannya perubahan tampak dibuat oleh aturan yang didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah adalah muslahah. Melalui pendekatan maslahah nilai hukum Islam berkembang dan memiliki cukup kemampuan dalam menyesuaikan dengan perubahan sosial. Penerapan metode maslahah dijadikan pisau analisis dan tempat berpijak guna menjawab segala masalah yang dihadapi manusia untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam al-Qur’an telah ditentukan asas pembentukan Universitas Sumatera Utara hukum Islam yaitu untuk menghilangkan kesulitan, hal ini merupakan bentuk kemudahan dalam Islam namun terdapat batas-batas yang dilakukan, yaitu tidak mengikuti hawa nafsu. Dalam lalu lintas perekonomian masyarakat modern bank muncul sebagai lembaga vital dengan inti kegiatan menyediakan jasa permintaan dan penawaran di samping jasa bidang lainnya. Bank merupakan intermediasi dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Dengan begitu bank berperan melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran serta memberi jaminan keamanan terhadap uang dari berbagai gangguan berupa fisik maupun moril. Makna mudarabah pada perbankan syariah yang digali para pemikir bank Islam berbeda dengan makna dalam teori ulama fikih klasik. Dalam perbankan syariah mudarabah mengacu pada dimensi teknis fungsionalnya yang sesuai dengan Undang-Undang perbankan. Dalam institusi perbankan syariah mudarabah memiliki makna penekanan sebagai sebuah sistem dan produk. Praktisi perbankan membolehkan garansi jaminan merujuk pada surat al-Baqarah ayat 282 dan 283. Dalam bisnis ada teori yang menyatakan tidak ada keuntungan tanpa resiko, maka sah-sah saja apabila sahib al-mal meminta jaminan risiko tersebut. Jaminan pembiayaan mudarabah yang terdapat dalam Undang-Undang memiliki fungsi sama dalam rahn. Jaminan pembiayaan dalam Undang-Undang dan rahn adalah sama-sama sebagai kepercayaan. Namun keduanya berbeda yaitu: jaminan pembiayaan mudarabah dalam Undang-Undang diberikan untuk sebuah akad bagi hasil, sedangkan jaminan dalam rahn diperuntukkan untuk akad pinjaman saja Universitas Sumatera Utara tidak untuk pembiayaan bagi hasil. Tapi ketika telah jatuh tempo keduanya memiliki pandangan yang sama. Bila telah jatuh tempo, tapi penerima hutang belum dapat melunasi pinjamannya, maka barang jaminan tidak akan lepas dengan sendirinya tapi disalurkan melalui lembaga pelelangan karena perjanjian hutang itu berkaitan dengan janji pembayaran, bukan berkaitan dengan benda jaminan. 142 Pada dasarnya ulama kontemporer yang berfatwa dan berpendapat bahwa permohonan jaminan oleh sahib al-mal kepada amil adalah dibolehkan berpijak pada prinsip al-masalih al-mursalah. Hal itu mengacu pada kebutuhan, kepentingan, kebaikan, dengan prinsip dan dalil tegas syariat dan benar-benar membawa kebaikan bersama yang tidak mempunyai dampak menyulitkan serta merugiakn orang atua pihak lain secara umum. 143 Perbankan Islam menerapkan teori maslahah mursalah, seperti diterapkan oleh al-Syaitibi yaitu memelihara maksud syara dengan jalan menolak yang merusak makhluk, 144 seperti dalam masalah jaminan tersebut. Berbicara masalah jaminan, walaupun prinsip keadilan menyentuh tiap individu namun lebih diutamakan akibat yang ditimbulkan terhadap kehidupan sosial. Persoalan keadilan akan lebih jelas lagi apabila dikaitkan dengan aspek ekonomi. Disebutkan dalam al-Qur’an Surat An- Nahl: 90 142 M. Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 58 143 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Pers, 2001, hal. 55 144 Tengku Muhammad Hasbi ash-Sidiqy, Pengantar Hukum Islam, cet. II Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 215. Universitas Sumatera Utara                   Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. As-Syaukani menjelaskan yang menjadi pokok pegangann dalam transaksi muamalah adalah kebolehan, sehingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya. 145 Termasuk jika dalam hal ini masalah jaminan, ia melihat jika dalam transaksi, perjanjian dan hubungan muamalah pada umumnya sangat dapat mengakibatkan bahaya bagi salah satu pihak pelakunya atau kedua-duanya, maka muamalah dalam bentuk demikian diharamkan. Pemaparan implementasi jaminan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditemukan beberapa perbedaan acuan dalam memandangnya. Beberapa perbedaan makna jaminan pembiayaan seperti yang dikemukakan ulama fikih klasik bukan merupakan bentuk penyelewengan hukum Islam sebagai teori jaminan dalam perbankan Islam. Tapi mereka berbeda sudut pandang dan mekanismenya. Jaminan dalam Undang-Undang tersebut adalah sebagai 145 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, Jakarta: Logos, 1999, hal. 160 Universitas Sumatera Utara keyakinan atas kesungguhan pelaksanaan modal. Dalam Undang-Undang tersebut jaminan dimaknai sebagai suatu sistem yang mengatur interaksi ekonomi perbankan antara penyedia modal pengusaha dan bank perantara. Depositor adalah sahib al- mal bagi bank. Bank menjadi sahib al-mal bagi debitur, kedua jalur walaupun dalam akad terpusat tap bersatu dalam membantu kesuksesan usaha debitur. Juga karena bank ingin kepastian bahwa pembiayaan yang diberikan debitur dapat diterima kembali sesuai dengan syarat yang telah disepakati semula. Maka jaminan dalam pembiayaan transaksi mudharabh adalah sangat penting sekali keberadaannya, karena sesungguhnya dengan adanya jaminan yang ditetapkan oleh perbankan syariah melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, telah memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat, khususnya nasabah dan bank itu sendiri.

B. Aplikasi Penerapan Jaminan dalam Perbankan Syariah