Rasulullah SAW. bersabda: Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya. H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan
dishakhihkan oleh Ibnu Hibban.
c. Ijma ulama
Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada
sanggahan dari seorang ulama-pun.
59
Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi
orang-orang yang berhutang.
60
3. Rukun dan Syarat Kafalah
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
a. Pihak penjaminpenanggung kafil, dengan syarat baligh dewasa, berakal
sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela ridha dengan tanggungan kafalah tersebut.
b. Pihak yang berhutang makful anhu ashil, dengan syarat sanggup
menyerahkan tanggungannya piutang kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
59
Sayyid Sabiq, “Fikih al-Sunnah”, vol. 3, Beirut Libanon: Dar al Fikr, hal. 284
60
Wahbah Zuhaili, “Fikih al Islam wa Adillatuh”, Vol.5, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, hal. 131
Universitas Sumatera Utara
c. Pihak yang berpiutang makful lahu, dengan syarat diketahui identitasnya,
dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat. d.
Obyek jaminan makful bih, merupakan tanggungan pihakorang yang berhutang ashil, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa
dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat luzim yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas
nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syariah diharamkan.
61
4. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung
Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminantanggungan
tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat mati yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafii,
hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah
karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan
orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.
61
Ibid, hal. 140-147. Lihat juga Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa DSN-MU1, BI dan DSN, Jakarta: 2001, hal. 72-73
Universitas Sumatera Utara
Jumhur fuqaha juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi
Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.
62
5. Masa Tanggungan