Status Hukum Barang Jaminan Dalam Hukum Islam Pemanfaatan Barang Jaminan di Dalam Hukum Islam

Kesempurnaan jaminan ini didasarkan pada al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 yang menentukan “fa rihanun maqbudhah” yang artinya maka hendaklah ada barang yang dipegang. Artinya barang jaminan itu berada dalam kekuasaan orang yang memberikan utang. Tentu saja penyerahan barang dari orang yang berutang kepada orang yang memberikan, utang itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh karena itu jika jaminan berupa tanah, maka tidak mungkin tanah itu diberikan secara fisk tetapi dapat berupa alat bukti hak sertifikat. Demikian juga jika jaminan itu sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya BPKB.

4. Status Hukum Barang Jaminan Dalam Hukum Islam

Kedudukan jaminan adalah terjaminnya pembayaran atas suatu utang dari debitur atau pihak yang berhutang kepada kreditur atau pihak yang berpiutang. Oleh karena itu kreditur tidak mempunyai hak atas barang jaminan selama debitur belum jatuh tempo untuk melunasi hutangnya. Selama belum wanprestasi, kreditur hanya berwenang menguasai barang jaminan. Hak menguasai oleh kreditur sebatas agar barang yang menjadi jaminan tidak beralih hak dari debitur kepad pihak lain. Sebab jika hak atas suatu barang dari debitur beralih kepada pihak lain, maka kreditur menjadi terancam akan tidak dilunasinya utang debitur. Hal ini didasarkan pada Hadis riwayat Daruquthni dan Hakim: 133 133 Ibnu Hajar Al-Asqalani. Bulughul Maram, Terjemahan A. Hasan, Bandung: Diponegoro, 1996, hal. 432. Universitas Sumatera Utara Dan dari padanya ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Tidak hilang sesuatu gadaian dari pada tuannya yang menggadaikannya, keuntungannya buat dia, dan kerugiannya atasnya. Berdasarkan Hadis tersebut, maka hak atas suatu barang yang dijaminkan tetap berada di tangan debitur yang menggadaikannya, meskipun penguasaannya beralih kepada kreditur. Hak itu menjadi berkurang sebagian sebesar utang yang telah diterimanya, jika sampai saat yang ditentukan jatuh tempo, debitur tidak membayarnya. Oleh karena penerima jaminan hanya mempunyai hak menguasai sementara waktu sampai jatuh tempo, maka penerima jaminan tidak diperbolehkan mengalihkan hak atas barang yang menjadi jaminan atas namanya dan tidak diperbolehkan menjual barang yang ada dalam penguasaannya selama piutang yang telah diberikannya belum jatuh tempo dalam waktu yang ditentukan. Baru jika waktu yang telah ditentukan telah jatuh tempo, maka pemegang jaminan menjadi berhak atas barang jaminan sebesar nilai piutang yang telah diberikannya. Sedangkan sisa dari jumlah utang tetap menjadi hak debitur sepenuhnya.

5. Pemanfaatan Barang Jaminan di Dalam Hukum Islam

Universitas Sumatera Utara Di dalam Islam, terdapat dasar falsafah bahwa segala sesuatu harus dapat diambil manfaatnya. Berdasarkan asas pemanfaatan dalam Islam ini, maka tindakan menyia-nyiakan suatu barang adalah dilarang. Oleh karena itu segala sesuatu harus bermanfaat dan dapat dimanfaatkan, sehingga para ahli hukum Islam menentukan bahwa barang jaminan tidak boleh dibiarkan tanpa dapat diambil kemanfaatannya. Oleh karena itu jika dalam perjanjian tentang jaminan ditentukan adanya larangan pemanfaatan oleh pemilik barang dan atau pemegang jaminan, maka perjanjian itu tidak syah. Menurut Sebagian ilmuwan hukum madzab Hanafi, kedua belah pihak boleh memanfaat-kan barang jaminan dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya. Pemegang jaminan boleh memanfaatkan barang jaminan yang ada di tangannya asalkan mendapat persetujuan dari pihak yang memberikan jaminan. sebaliknya, pemberi jaminan atau pemilik yang menjaminkan barangnya dapat juga memanfaatkan barang yang dijaminkan itu asalkan disetujuai oleh pemegang jaminan. Lain halnya dengan pendapat para ilmuwan hukum Islam madzab Syafii, dan sebagian madzab Hanafi. Para ilmuwan ini berpendapat bahwa pemegang jaminan tidak diperbolehkan memanfaatkan barang jaminan, baik dengan persetujuan pemilik barang ataupun tidak, karena pemanfaatan barang jaminan oleh pemegang jaminan adalah riba. Untuk memanfaatkan barang miliknya yang dijadikan jaminan, pemilik yang menjaminkan tidak perlu persetujuan dari pemegang jaminan. Seorang pemilik tidak dapat dihalang-halangi untuk memanfaatkan barangnya sendiri. Namun Universitas Sumatera Utara pengambilan manfaat tersebut tidak boleh merusak, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Jika dalam mengambil kemanfaatan barang yang dijaminkan tersebut ternyata menimbulkan kerusakan, maka pemilik tersebut harus bertanggung jawab. Pendapat ini didasarkan pada Hadis riwayat Daruquthni dan hakim yang menyatakan: 134 Artinya: Dan dari padanya ia berkata: telah bersabda rasulullah saw Tidak hilang sesuatu gadaian dari pada tuannya yang menggadaikannya, keuntungannya buat dia dan kerugiannya atasnya. Menurut para ilmuwan hukum kalangan madzab Hanbali dan sebagian dari madzab Hanafi secara moderat menyatakan bahwa pemilik barang yang memanfaatkan barang yang dijaminkan harus mendapatkan ijin dari pemegang jaminan. 135 Para ilmuwan Hukum Islam kalangan yang bermadzab Maliki bahkan berpendapat bahwa pemilik barang tidak diperbolehkan memanfaatkan barang yang dijaminkan, baik dengan persetujuan pemegang jaminan atau tidak, sebab barang tersebut sudah berstatus sebagai jaminan yang tidak lagi menjadi hak milik secara 134 Ibid. 135 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 258. Universitas Sumatera Utara penuh. Larangan ini dapat difahami karena secara riil penguasaan barang yang menjadi jaminan adalah di tangan pemegang jaminan. Pemberi jaminan telah merelakan penguasaan barang yang dijadikan jaminan utangnya. Oleh karena itu pemanfaatan barang oleh pemberi jaminan dapat menimbulkan persoalan. Larangan ini sebenarnya lebih bersifat kehati-hatian, karena penggunaan barang yang telah dijadikan jaminan tersebut kemungkinan dapat merusak dan mengurangi nilai, sehingga dapat merugikan pemegang jaminan. 136 Dari berbagai pemikiran tentang pemanfaatan barang jaminan tersebut dapat ditarik benang merah kesamaan; 1 Secara prinsipil barang jaminan tidak dilarang untuk diambil manfaatnya, bahkan seyogyanya dapat dimanfaatkan, sehingga dapat mempunyai nilai tambah ekonomis. Sebab larangan pengambilan manfaat barang jaminan akan menjadikan barang jaminan tidak mempunyai makna. Larangan pemanfaatan suatu barang adalah bertentangan dengan Islam. 2 Pengambilan manfaat barang jaminan tidak boleh merusak barang tersebut baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif Sebab jika pengambilan manfaat mengakibatkan rusaknya barang jaminan, maka dapat mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pemilik barang atau pemegang jaminan. Padahal perbuatan yang merugikan pihak lain merupakan perbuatan yang dilarang Islam. Oleh karena itu pihak yang menimbulkan kerugian harus menanggung risiko kerugian yang ditimbulkannya. Sedangkan perbedaan pemikiran tentang siapa yang dapat memanfaatkan dan syarat-syarat yang diargumentasikan para ahli hukum Islam tersebut dapatlah 136 Nasrun Haroen, Op. cit, hal. 259. Universitas Sumatera Utara difahami dalam wacana keilmuan, karena tidak adanya kejelasan dari al-Quran maupun hadis yang menyangkut persoalan ini. Pendapat yang melarang pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan dapat difahami karena: 1. Barang jaminan adalah bukan miliknya, tetapi milik orang yang berhutang; 2. Barang jaminan hanya berfungsi untuk menjamin bagi adanya pembayaran atas utang dari debitur kepada kreditur. 3. Pemanfaatan barang jaminan oleh orang yang memberikan utang sebagai pemegang jaminan merupakan riba yang dilarang oleh Islam, meskipun mendapat persetujuan atau atas kerelaan orang yang berhutang. Sebab karelaan antar manusia tidak boleh melanggar larangan al-Quran dan hadis. Larangan bagi pihak yang memberikan pinjaman untuk memanfaatkan jaminan yang dikategorikan sebagai riba ini didasarkan pada riwayat al-hadis yang menyatakan: 137 Artinya: Dari Ali ia berkata: telah bersabda rasulullah saw: Tiap-tiap hutang yang menarik faedah, maka yaitu riba. Dengan demikian untuk menghindari kekhawatiran adanya riba dalam suatu jaminan, maka pemegang jaminan seyogyanya menghindari pemanfaatan jaminan yang diberikan oleh pihak yang mempunyai hutang. Di dalam hukum Islam, 137 Ibnu Hajar Al-Asqalani. Op. cit, hal. 433. Universitas Sumatera Utara diperbolehkannya jaminan adalah dalam hubungan pinjam-meminjam yang termasuk kategori tolong-menolong. Yaitu untuk menjamin adanya pembayaran atas utang yang menjadi hak kreditur dalam utang-piutang, sehingga tidak menjadi bertentangan dengan jaminan itu sendiri, yang fungsinya hanya untuk menjamin.

6. Urgensi Jaminan dalam Produk Pembiayaan Syariah