Tinjauan Kepustakaan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus. K/ 2013/ PN.Mdn)

yang sama dengan judul skripsi ini, namun skripsi yang berkaitan dengan korupsi dalam pengadaan barangjasa pemerintah ada penulis temukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu atas nama : 1. Nama : Awlia Sofwan Lubis NIM : 090200355 Judul Skripsi : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan BarangJasa Pemerintah Ditinjau Dari UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tahun : 2013 Namun demikian, materi yang di bahas dalam skripsi ini berbeda dengan yang dibahas dalam skripsi yang penulis sebutkan di atas, dan apabila terdapat kesamaan materi yang dibahas dalam skripsi ini dengan skripsi yang lainnya, itu murni adalah ketidaktahuan dan ketidaksengajaan dari penulis. Oleh karena itu, secara moral dan secara ilmiah penulis akan mempertanggungjawabkan seluruh materi dari skripsi ini.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pidana, Tindak Pidana, dan Pemidanaan.

a. Pengertian Pidana Salah satu yang membedakan hukum pidana dengan cabang ilmu hukum yang lainnya adalah disamping mengatur tentang apa-apa saja yang menjadi keharusan-keharusan dan larangan-larangan, hukum pidana juga disertai dengan Universitas Sumatera Utara sanksi yaitu berupa penjatuhan pidana terhadap siapa saja yang melanggar keharusan-keharusan dan larangan tersebut. Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum pidana. 14 Sudarto sebagaimana dalam buku Mahrus Ali, memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 15 Sedangkan menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik. 16 Jan Remmelink dalam Mohammad Ekaputra 17 14 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 27. 15 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 186. 16 Bambang Waluyo, Pidana dan PemidanaanCetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 9 17 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2013, hlm. 140. mengemukakan bahwa pidana merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku, yang pelanggaran terhadapnya diancamkan dengan pidana. Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman keamanan dan pengaturan kontrol lebih baik dari masyarakat. Universitas Sumatera Utara Adapun unsur-unsur dan ciri-ciri pidana pada pokoknya adalah sebagai berikut 18 1 Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. : 2 Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang. 3 Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang. 4 Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum. Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, diatur jenis-jenis pidana yang meliputi : 1. Pidana Pokok : a. Pidana Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Denda e. Pidana Tutupan 2. Pidana Tambahan : a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu b. Perampasan Barang-Barang tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim b. Pengertian Tindak Pidana Sebagaimana diketahui bahwa istilah “tindak pidana” atau “peristiwa pidana” adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict”. Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” 18 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 186. Universitas Sumatera Utara didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. 19 Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 20 Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh Undang-Undang Een strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. 21 Sementara itu Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar 19 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan Keempat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 181. 20 Ibid. 21 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana Hukum Pidana Untuk tiap Orang, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara larangan tersebut. 22 Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan, baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. 23 Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi menjadi dua macam unsur, yaitu 24 1. Unsur Subjektif : Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam pasal-pasal pencurian, penipuan, dan lan-lain. 22 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Jakarta: Rineka Cipta, 2015, hlm. 59. 23 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 100. 24 P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm 193. Universitas Sumatera Utara 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP. 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP. 2. Unsur Objektif Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid. 2. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP. 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. c. Pengertian Pemidanaan. Sebagaimana terjadi di antara ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk melaksanakan kepatuhan. 25 Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum purely legal matter. J.D. Mabbott, dalam Teguh Prasetyo dan Abdul 25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 73. Universitas Sumatera Utara Halim Barkatullah 26 Jerome Hall berusaha untuk memberi batasan konseptual tentang pemidanaan yang dianggap sebagai kemajuan besar yang telah dicapai. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan sebagai berikut , misalnya memandang seorang ”penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. 27 Menurut Ted Honderich sebagaimana dalam buku Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, pemidanaan harus memuat 3 unsur berikut : Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara, ia “diotorisasikan”. Keempat, pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas kepribadian si pelanggar, motif, dan dorongannya. 28 26 Ibid. 27 Ibid, hlm. 74. : Universitas Sumatera Utara Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan deprivation atau kesengsaraan distress yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara aktual, tindakan subjek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah. Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan. Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. 2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Undang-undang hukum pidana umumnya hanya menentukan kelakuan- kelakuan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan sanksi pidana yang diancam terhadap pembuatnya. Sedangkan asas-asas umum pertanggungjawaban pidana sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk undang-undang. Masalah terakhir ini umumnya tetap menjadi bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan kata lain, seolah-olah 28 Ibid, hlm. 75. Universitas Sumatera Utara aturan perundang-undangan sengaja meninggalkan tidak menjelaskan lebih jauh masalah itu. 29 Dalam KUHP, masalah pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan alasan-alasan penghapus pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Selain itu, sekalipun dalam pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP diamanatkan pentingnya kesalahan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, tetapi keterangan selanjutnya mengenai hal ini masih sangat sedikit. Demikian pula halnya dengan pasal 6 ayat 2 dan pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah dicabut dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman . Dengan demikian, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sangat menentukan dalam Salah satu contoh dapat kita jumpai dalam pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda paling sebanyak-banyaknya Rp.900,-”. Dari bunyi pasal 362 KUHP tersebut diatas terlihat jelas bahwa pembuat Undang-Undang hanya mengatur tentang perbuatan mana yang dikategorikan sebagai pencurian dan sanksi pidana apa yang diancam terhadap pembuatnya tanpa mengatur bagaimana sebenarnya ketentuan seseorang tersebut untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut. 29 Chairul Huda, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ ”, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm. 2-3. Universitas Sumatera Utara pemidanaan pembuat, tetapi keterangannya sangat minim dalam peraturan perundang-undangan. 30 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 31 Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan schuld pada pelaku. Menurut Vos sebagaimana dalam buku Edy Yunara, pengertian kesalahan schuld mempunyai 3 tiga tanda khusus yaitu 32 1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan toerekeningsvatbaarheid van de dader. : 2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu, dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. 3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu. Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law system, 30 Ibid, hlm. 3. 31 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 156. 32 Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 28. Universitas Sumatera Utara berlaku maksim Latin “actus non est reus, nisi mens sit rea’’. Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat. Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini di sinonimkan dengan ‘guilty of mind’ atau ‘vicious will’, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. 33 Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. 34 Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis yaitu “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine Strafe”. 35 Istilah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru dikenal kali pertama dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. PrtPeperpu0131958 BN No. 40 Tahun 1958 yang diberlakukan pula bagi penduduk dalam wilayah kekuasaan 3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi. 33 Chairul Huda, op.cit, hlm. 5. 34 Ibid, hlm. 6. 35 Moeljatno, op.cit, hlm. 63. Universitas Sumatera Utara angkatan laut melalui Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. PrtZ.1I7 tanggal 17 April 1958. Dalam peraturan penguasa perang tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian istilah korupsi, tetapi hanya dibedakan menjadi korupsi pidana dan korupsi lainnya. Demikian juga istilah tindak pidana korupsi tidak dikenal dalam Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat No. PrtPeperpu0131958 tersebut. Istilah tindak pidana korupsi yang pertama dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan kita ialah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peperpu No. 24 Thun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 36 Peperpu No. 24 Tahun 1960 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi Undang-Undang defenitif atau Undang-Undang No. 24Prp1960. Undang-undang itu berupa undang- undang hukum pidana khusus pertama tentang tindak pidana korupsi yang bersifat defenitif di Indonesia, yang pada saat itu popular dengan sebutan Undang-Undang Antikorupsi. 37 Menurut Fockema Andreae sebagaimana dalam buku Jawade Hafidz Arsyad, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptive korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak 36 Adami Chazawi, Hukum Pidana Formil dan Materiil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayu Media, 2005, hlm. 3. 37 Ibid, hlm. 6-7. Universitas Sumatera Utara bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah. 38 Sedangkan pengertian korupsi dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain. 39 Dalam kamus Webster’s Third New International Dictionary adalah ajakan dari seorang pejabat politik dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya misalnya suap untuk melakukan pelanggaran tugas. Defenisi lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 40 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 41 “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi yaitu: 38 H. Jawade Hafidz Arsyad, op.cit, hlm. 3. 39 Ibid, hlm. 4. 40 Ibid. 41 H. Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi Mengenal, Mencegah, dan Memberantas Korupsi di Indonesia, Jakarta: Visi Media, 2012, hlm. 9. Universitas Sumatera Utara Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Penjabaran mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan hukum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur di dalam pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24. Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :“Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”. 42 Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara. 43 Selain itu, korupsi dapat didefenisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka. 44 Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari 42 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2010, hlm. 25. 43 H. Jawade Hafidz Arsyad, op.cit, hlm. 5. 44 Ibid. Universitas Sumatera Utara Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan pengertian Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai berikut 45 1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketenttuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi. : 2. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, danatau negara. 3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya danatau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Menurut Transparency International Indonesia, istilah pengadaan barang dan jasa procurement diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau administrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian purchasing atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perizinan, penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, dan jasa konsultasi hukum atau jasa konsultasi lainnya. 46 Pengadaan barang dan jasa di pemerintah meliputi seluruh kontrak pengadaan antara pemerintah Departemen Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Lembaga Negara lainnya dan perusahaan baik milik negara atau 45 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 46 http:ti.or.idpublikasibukuhandbook_ina.pdf , Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, op.cit, hlm. 2, diakses Tanggal 29 Februari 2016 Pukul 22.05 Wib. Universitas Sumatera Utara swasta bahkan perorangan. Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. 47

G. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

4 90 101

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan Wewenang Proyek Pengadaan Barang

1 40 2

Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan Wewenang Proyek Pengadaan Barang Dan Jasa Di PTPPN II Medan, Studi Kasus Putusan No. 411/Pid.K/2003/PN-Lubuk Pakam

1 41 181

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

2 58 104

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 35