PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Indonesia.

Klitgaard, Robert,dkk. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan Keempat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Moeljatno. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Cetakan Keempat. Jakarta: Rineka Cipta. Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Prenada Media Group. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. RM, Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil: Unsur-Unsur Obyektip Sebagai Dasar Dakwaan Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Depok: Pena Multi Media. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press. Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi Dan Teknik Korupsi Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Suswinarno. 2013. Mengantisipasi Resiko Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa. Jakarta: Visi Media. Sutedi, Adrian. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika. ------------------. 2012. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Transparency International Indonesia. 2003. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Yayasan Obor Rakyat. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana Dan Pemidanaan Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. World Bank Office Jakarta. 2003. Memerangi Korupsi Di Indonesia, Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan. Jakarta: World Bank Office Jakarta. Yunara, Edy. 2005. Korupsi Dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Juncto Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan BarangJasa Pemerintah.

C. INTERNET

http:pantaupengadaan.orgfilesLaporan20Kajian20Korupsi20Pengadaan 20dan20Rekomendasi20Sanksi.pdf , Laporan Kajian Korupsi Pengadaan Dan Rekomendasi Sanksi, Diakses Tanggal 2 April 2016. https:www.google.co.idurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=9cad=rjauac t=8ved=0ahUKEwiWpMbM0MLMAhWHKJQKHdqKCXgQFghfMAgurl=h ttp3A2F2Falviprofdr.blogspot.com2F20142F062Ftindak-pidana- korupsidalampengadaan.htmlusg=AFQjCNFwbYU_PdTzMxpEbxoAmCEo1V 3txgsig2=7TnyT4CNv4yWB1hf9CbS6Abvm=bv.121421273,d.dGo , Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, diakses Tanggal 29 Februari 2016. http:nasional.sindonews.com , Perang Melawan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016. http:ti.or.idpublikasibukuhandbook_ina.pdf , Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Publik, diakses Tanggal 29 Februari 2016. http:keuanganlsm.comfinancewp-contentpluginsdownload- monitordownload.php?id=25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang- Universitas Sumatera Utara dan-Jasa.pdf , Kajian Pengadaan BarangJasa Pemerintah Dari Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi, diakses Tanggal 5 Maret 2016. http:www.bppk.kemenkeu.go.idpublikasiartikel147artikelanggarandanperbend aharaan20096 , Memahami Praktik-Praktik Yang Memicu Tindak Pidana Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, diakses Tanggal 16 Maret 2016. https:www.google.comurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=1cad=rj auact=8ved=0ahUKEwjW7vKrebMAhUEL6YKHaVKC98QFggdMA Aurl=http3A2F2Fnasional.kompas.com2Fread2F20152F05 2F252F150800312FMemahami.Tindak.Pidana.Korupsiusg=AFQj CNGZWfzRY8ePauTi7Y3hnkMEEE7ZCQsig2=MbcHp46arnTTyvFI_o F7OA , Memahami Tindak Pidana Korupsi, Diakses Tanggal 19 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA

KORUPSI DALAM PROYEK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Jo. UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Indonesia.

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggung jawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. 166 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 167 Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. 168 166 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 155. 167 Ibid, hlm. 156. 168 Suharto RM, Hukum Pidana Materil: Unsur-Unsur Obyektip Sebagai Dasar Dakwaan Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 107. Kesalahan merupakan Universitas Sumatera Utara suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. 169 Berkaitan dengan hal itu, Sudarto sebagaimana dalam buku Muladi dan Dwidja Priyatno 170 Mengenai pentingnya unsur kesalahan dalam penjatuhan pidana juga terlihat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa. 171 169 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 157. 170 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm. 68-69. 171 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 6 ayat 2 : “ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. ” yang pada pokoknya menyatakan bahwa unsur kesalahan itu sangat menentukan terhadap akibat dari perbuatan seseorang, yaitu berupa penjatuhan pidana sebagai konsekuensi dari perbuatannya tersebut. Universitas Sumatera Utara Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian. 172 1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan, dapat dikatakan bahwa pengertian kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut bisa dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara lain : 2. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa. Ini disebut bentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. 173 172 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 157. 173 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 61. Universitas Sumatera Utara Mengenai keadaan batin orang yang melakukan perbuatan adalah apa yang dalam teori merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab toerekenings vatbaarheid. Ini adalah dasar yang penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimana pun juga, keadaan jiwa terdakwa harus demikian rupa hingga dapat dikatakan sehatnormal. Hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat. 174 a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarang atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa. Berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, KUHP tidak memberikan perumusan, dan hanya jika kita temui dalam Memorie van Toelichting Memori Penjelasan secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, ada tidak adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat yaitu: b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologis pathologische drift, gila, pikiran tersebut, dan sebagainya. 175 Dalam KUHP, ketentuan yang menunjuk kearah kemampuan bertanggung jawab ialah dalam buku I Bab III Pasal 44, yang berbunyi : 174 Moeljatno, op.cit, hlm. 172-173. 175 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 75. Universitas Sumatera Utara 1 Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2 Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. 176 Mengenai ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut, M. Abdul Kholiq sebagaimana dalam buku Mahrus Ali berpendapat bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut 177 1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana. : 2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsy yang melakukan perbuatan pidana. Yang pertama merupakan faktor akal intelektual factor yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak volitional factor, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. 178 176 Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 177 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 172-173. 178 Moeljatno, op.cit, hlm. 179. Universitas Sumatera Utara Unsur kedua dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana adalah hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa 179 . Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “ Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeilm ” 1903 dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ Festcshrift Gieszen ” 1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki , apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat. 180 Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk, kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheidswustzijn, dan kesengajaan sebagai kepastian opzet bij noodzakelijkheids. Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya, arti maksud disini adalah maksud untuk menimbulkan akibat 179 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 76. 180 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 173-174. Universitas Sumatera Utara tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti. 181 KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan culpa, sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu kealpaan. Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. 182 Dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Meskipun demikian, ia tetap patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang dilarang hukum itu karena sikapnya 181 Ibid, hlm. 175. 182 Ibid, hlm. 177. Universitas Sumatera Utara yang ceroboh tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan masyarakat mengharuskan agar setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak. 183 Van Hammel sebagaimana dikutip dari buku Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu 184 1 Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. : 2 Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Dilihat dari bentuknya, Modderman sebagaimana dalam buku Mahrus Ali 185 183 Ibid, hlm. 178. 184 Moeljatno, op.cit, hlm. 218. 185 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 178. mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan culpa, yaitu kealpaan yang disadari bewuste culpa dan kealpaan yang tidak disadari onbewuste culpa. Beliau mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berpikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste schuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul. Selain syarat adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa sebagaimana yang sudah dibahas diatas, syarat lainnya untuk adanya kesalahan adalah tidak ada alasan pemaaf. Universitas Sumatera Utara Apa maksud alasan pemaaf yaitu adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berarti tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa. 186 Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. 187 Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain daya paksa over macht, pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer ekses, dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. 188 Pertama, daya paksa over macht. Dalam KUHP daya paksa diatur di dalam Pasal 48 KUHP. Secara teoritis, terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia fisik oleh orang lain, sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan 186 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 81. 187 Chairul Huda, op.cit, hlm. 121. 188 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 181. Universitas Sumatera Utara memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan. 189 Umumnya dikatakan bahwa vis absoluuta tidak masuk dalam Pasal 48, tetapi hanya vis compulsiva saja. Adapun sebabnya ialah bahwa dalam vis absoluuta, orang yang berbuat bukan yang terkena paksaan, tetapi orang yang memberi paksaan fisik. 190 Kedua, pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer ekses. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri. 191 Menurut Mahrus Ali, Pasal ini menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses, perbuatan seseorang hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh kegonjangan jiwa yang hebat, sehingga fungsi batin orang tersebut tidak berjalan secara normal. Hal demikian inilah yang menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf. Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer ekses diatur dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” 189 Ibid. 190 Moeljatno, op.cit, hlm. 152. 191 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 183. Universitas Sumatera Utara ekses, yaitu melampaui batas pembelaan yang diperlukan, kegoncangan jiwa yang hebat, adanya hubungan kausal antara serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat. 192 Ketiga, pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat 2 KUHP berbunyi 193 Mengenai isi Pasal 51 ayat 2 KUHP, Moeljatno berpendapat bahwa yang pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa di situ, meskipun tidak secara terang- terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak setiap pelaksanaan perintah jabatan melepas orang yang diperintah dan tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan. : “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” 194 Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbuatan orang itu dikategorikan sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah baik dilihat dari pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari macamnya perintah itu. Kedua, perintah yang dilaksanakan itu berdasarkan itikad baiknya harus merupakan bagian dari lingkungan pekerjaannya. 195 Ketiga unsur dalam kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urutannya dan yang disebut kemudian bergantung kepada yang disebut terlebih dahulu. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan 192 Ibid. 193 Pasal 51 ayat 2 KUHP. 194 Moeljatno, op.cit, hlm. 162. 195 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 184. Universitas Sumatera Utara ataupun kealpaan jika orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila ia tidak mampu bertanggung jawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. 196 Secara singkatnya, asas geen straf zonder schuld tidak menghendaki dipidananya seseorang yang nyata-nyata memang benar telah melakukan pelanggaran peraturan pidana, akan tetapi tanpa kesalahan. Asas termaksud walaupun tidak dimuat dalam KUHP, namun secara umum orang berpendapat asas tadi adalah wajar dan selayaknya harus ada dalam hukum pidana. 197 Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Indonesia dewasa ini sudah mengalami perubahan yang signifikan dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban pidananya dalam aturan hukum-hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melihat kenyataan dewasa ini dimana korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin universitassocietas delinquere non potest badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional dimana pembuat delik memasukkan korporasi kedalam “functioneel daderschap”. 198 Jika suatu korporasi melakukan pelanggaran, maka korporasi tersebut bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana, bahkan tidak hanya badan hukum atau korporasinya saja, tetapi juga orang-orang yang ada didalamnya yang 196 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 81. 197 Ibid, hlm. 99. 198 Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara bekerja sebagai pengurus korporasi tersebut yang tidak hanya atas nama pribadi saja tetapi juga dari sudut peranannya dalam korporasi tersebut. 199 Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP, hal ini dikarenakan KUHP adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru. Korporasi sebagai subjek tindak pidana, terutama berkembang karena adanya pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang semakin berkembang pesat. 200

B. Subjek Hukum Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

4 90 101

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan Wewenang Proyek Pengadaan Barang

1 40 2

Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan Wewenang Proyek Pengadaan Barang Dan Jasa Di PTPPN II Medan, Studi Kasus Putusan No. 411/Pid.K/2003/PN-Lubuk Pakam

1 41 181

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

2 58 104

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 35