Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. 1 Menurut Y.B. Mangunwijaya, “Pendidikan mengantar dan menolong peserta didik untuk mengenali dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusaiaan yang semaikn sejati dengan jati diri dan citra diri yang semaikn utuh, harmonis, dan integral”. 2 Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan pendidikan tertentu. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya kearah posistif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan di Indonesia ditinjau dari landasan sejarahnya, memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini sesuai dengan pendapat Redja Mudyahardjo, yang mengatakan bahwa, “Pendidikan itu telah ada sejak zaman 1 Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. h.3 11 2 A. Ferry T. Indratno, Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif, Jakarta:PT Kompas Media Nusantara 2007, h. 191 1 kunotradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman kemerdekaan”. 3 Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit. 4 Dasar pendidikan di negara Indonesia adalah falsafah negara Pancsila. 5 Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu; 1 Ketuhanan yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang Adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila ini merupakan sebuah sistem nilai- nilai dasar yang menjadi sumber hukum dari segala penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, termasuk penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu pancasila disebut dasar Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. 6 Adapun tujuan pendidikan berdasarkan pasal 3 UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikn Nasional adalah: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 7 Reformasi di bidang pendidikan sangat penting terutama sejak diberlakukannya KTSP tahun 2006 yang secara subtansial sama dengan KBK 3 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal. 3 - 4 4 Nasution M.A. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jemmars, 1987, h. 1 5 Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, h. 422 6 Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal…..,h.354 7 Nana Supriatna, dkk, Pendidikan IPS SD, Bandung: UPI Press, 2007. Cet.1, h.19 yang ditetapkan tahun 2004. Dalam kurikulum 2006, guru dan pihak sekolah bebas untuk menentukan sendiri materi, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian yang harus dicapai oleh siswa. Dengan demikian pendidikan tak terlepas dari sejumlah permasalahan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang cukup kompleks, karena terkait dengan masalah kuantitas, masalah relevansi, masalah efektivitas dan masalah kualitas. Masalah kuantitas timbul sebagai akibat hubungan antara pertumbuhan sistem pendidikan dan pertumbuhan penduduk. Sedangkan masalah relevansi timbul dari hubungan antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional, dan harapan masyarakat tentang peningkatan output pendidikan. Masalah efektivitas merupakan masalah kemampuan pelaksanaan pendidikan. Sedangkan masalah efisiensi pada hakekatnya juga merupakan masalah pengelolaan pendidikan. Sehubungan dengan aspek permasalahan di atas pemerintah telah banyak melakukan serangkaian kegiatan secara terus menerus melalui tahapan pembangunan di bidang pendidikan. Semuanya diarahkan pada pencapaian peningkatan mutu pendidikan atau menyangkut aspek kualitas pendidikan. Pada sisi lain, upaya pembaruan pendidikan ini juga berkiblat pada visi dan misi pembangunan pendidikan nasional yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu sebagai berikut. Pertama, meningkatkan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bersamaan dengan peningkatan mutu. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 sebagai landasan yuridis pendidikan nasional, Pasal 31 ayat 1 : “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 Ayat 1 : “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Kedua, mengembangkan wawasan persaingan dan keunggulan bangsa Indonesia sehingga dapat bersaing secara global. Ketiga, memperkuat keterkaitan pendidikan agar sepadan dengan kebutuhan pembangunan. Keempat, mendorong terciptanya masyarakat belajar. Kelima, merupakan sarana untuk menyiapkan generasi masa kini dan sekaligus masa depan. Keenam, merupakan sarana untuk memperkuat jati diri dalam proses industrialisasi dan mendorong terjadinya perubahan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi di abad ke-21. 8 Adapun masalah kualitas adalah masalah bagaimana meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Masalah kualitas pendidikan merupakan masalah yang cukup serius di dalam rangka kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, dalam konteks hubungan bangsa dengan peradaban dunia. Dalam peningkatan kualitas pendidikan salah satunya adalah penyempurnaan kurikulum berbasis kompetensi KBK menjadi tingkat satuan pendidikan KTSP yang telah disinggung diatas tadi. Dalam penerapan KTSP ini, siswa harus mencapai setiap indikator yang terdapat dalam kompetensi dasar melalui pengalaman belajar yang harus dilakukan oleh siswa. Dengan kompetensi yang dimiliki diharapkan siswa menjadi peserta aktif dalam masyarakat. Dalam KTSP ini, peran guru mengalami pergeseran. Guru tidak hanya sebagai sumber informasi tetapi juga menajdi fasilitator yang membelajarkan peserta didik. Sebagai fasilitator, guru harus menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan membimbing peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan perubahan dalam diri peserta didik, baik dalam pengetahuan kognitif, sikap apektif, dan keterampilan psikomotorik. Seperti yang diungkapkan oleh W. S Winkel tentang belajar yaitu” suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, sikap, pemahaman, serta keterampilan dan perubahan itu bersikap relatif konstan dan berbekas”. 9 Guru sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar memiliki tugas yang tidak mudah karena ia merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap pencapaian proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki sejumlah kemampuan, keterampilan di bidangnya, serta memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Banyak sekali bentuk kemampuan, 8 Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, cet.Ke-3, h. 5 9 W. S Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996, hal. 53 keterampilan, dan keahlian yang harus dimiliki seorang guru yang profesional, karena guru merupakan fasilitator maupun motivator bagi siswa. Di antara kemampuan, keterampilan dan keahlian yang harus dimiliki oleh sosok guru adalah kemampuan untuk menyusun bahan pelajaran dan keterampilan menyajikan bahan untuk mengkondisikan keaktifan belajar siswa serta mengevaluasi keberhasilan siswa untuk mengetahui pencapaian belajarnya. Karena evalusi atau penilaian merupakan salah satu komponen penting dari kegiatan belajar mengajar untuk mengetahui keberhasilan dalam mencapai tujuan dari kegiatan belajar mengajar tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka pembangunan pendidikan sekarang harus mengalami perubahan. Misalnya penyampaian pelajaran tidaklah cukup dengan mengutarakan secara tulisan saja. Ini berarti bahwa sistem intruksional menghendaki para pengajar berusaha menjadikan keterlibatan mental maupun fisik siswa dalam proses pengajaran. Sehingga pengajaran yang efektif dapat menunjang untuk pencapaian tujuan. Hal ini menuntut pihak pengajar sedapat mungkin mencari pola organisasi pengajaran yang tepat sebagai alternatif yang sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan. Salah satu acuannya adalah analisis materi atau strukturisasi konsep. Dalam hal ini, sudah barang tentu perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi adalah perubahan yang bercorak positif, yaitu perubahan yang semakin mengarah ke taraf kedewasaan. Hal ini kelihatannya sudah jelas dengan sendirinya, namun ternyata perlu dikaji lebih lanjut. Suatu proses belajar juga dapat menghasilkan suatu perubahan dalam sikap atau tingkah laku yang dipandang bercorak negatif. Misalnya seorang anak sekolah SMA yang sering melakukan tawuran di lingkungannya sendiri dan kiranya akan menimbulkan kesulitan dalam hidup bermasyarakat kelak. Oleh karena itu, masyarakat mutlak perlu mendampingi anak dalam belajarnya di berbagai aspek kehidupan, sehingga nampaklah peruhan-perubahan yang semakin membuat anak semakin dewasa, sesuai dengan norma-norma hidup bermasyarakat. Maka lahirlah lingkungan-lingkungan pedagogik pendidikan yang bertugas mendidik anak dan mengarahkan semua pengalaman belajar, sehingga proses perkembangan berlangsung sebagaimana mestinya. Demikian pula untuk mendukung terwujudnya suasana belajar mengajar yang aktif dan konstruktif, dalam mata pelajaran Sosiologi diperlukan dukungan dan kerjasama masyarakat. Pembelajaran sosiologi ditujukan untuk memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam memahami konsep- konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, interaksi soial, perilaku menyimpang dan konflik sampai pada terciptanya integrasi sosial. Dalam kedudukannya sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang sudah relatif lama berkembang di lingkungan akademika, secara teoretis sosiologi memiliki posisi strategis dalam membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial-politik dan budaya yang berkembang di masyarakat dan selalu siap dengan pemikiran kritis dan alternatif menjawab tantangan yang ada. Melihat masa depan masyarakat kita, sosiologi dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi yang di dalamnya mencakup demokratisasi, desentralisasi dan otonomi, penegakan HAM, good governance tata kelola pemerintahan yang baik, emansipasi, kerukunan hidup beragama, dan masyarakat yang demokratis. Pembelajaran sosiologi dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pemahaman fenomena kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan, metode, dan teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata di masyarakat. Mata pelajaran sosiologi diberikan pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Pentingnya peranan sosiologi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, malah dianggap sebaliknya oleh siswa. Dari apa yang penulis amati dan pengakuan beberapa siswa, mereka menganggap bahwa mata pelajaran IPS yang diantaranya sosiologi merupakan mata pelajaran yang kurang disukai atau diminati. Persepsi-persepsi negatif telah menjadi milik sejumlah siswa SMA, ilmu-ilmu sosial itu membosankan karena sajiannya yang bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan kemampun untuk menghafal yang luar biasa. Selama ini Sosiologi dianggap sebagai pelajaran masa lampau yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan sosiologi dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat menjadi penyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada pelajaran sosiologi, di samping pengajar sosiologi yang monoton dalam mengajar, metode pebelajaran yang kurang bervariasi dan hanya berpegang pada sebatas LKS atau buku-buku paket saja. Sehingga anak didik pun tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak memiliki semangat untuk belajar. Sehingga bolos sekolah merupakan salah satu cara untuk melewati kebosanan dalam belajar. Yang pada akhirnya siswa sering melakukan tauran dan kenakalan-kenakalan lainnya, hal ini dikarenakan kesibukan belajarnya berkurang. Walaupun demikian tidak semua siswa menganggap pelajaran sosiologi membosankan, misalnya ada beberapa anak yang mengaku bahwa setelah mempelajari sosiologi mereka jadi memahami kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Sehingga perilaku mereka tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan mereka dibanggakan ditengah-tengah lingkungan masyarakat. Dengan demikian sikap pelajar bervariasi, ada yang positif dan ada yang negatif. Hal ini tergantung dengan pola pikir dan pandangan mereka masing-masing. Profesionalitas guru dalam pengajaran sosiologi juga sangat berpengaruh dalam mengubah pandangan siswa yang semula menganggap sosiologi sebagai mata pelajaran yang membosankan menjadi mata pelajaran yang menarik dan menyenangkan. Untuk mengubah pandangan tersebut, seorang guru harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang materi-materi yang akan disampaikan serta mampu mengolah materi dengan baik. Seorang guru juga harus memiliki strategi belajar mengajar yang tepat, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, salah satu di antaranya adalah pemilihan dan penggunaan media yang tepat dalam proses pembelajaran. Penyajian materi dan pemilihan media yang tepat dalam proses pembelajaran sangat penting dalam menarik minat dan perhatian siswa. Media pembelajaran berfungsi sebagai penunjang dan daya dukung terjadinya keefektifan proses pembelajaran, sehingga dapat mempermudah siswa dalam belajar. Mengingat bervariasinya sikap siswa di tengah-tengah masyarakat, maka perlu diteliti apakah ada kaitannya dengan hasil belajar sosiologi di sekolah. Dalam upaya untuk mengetahui ada tidaknya hubungan hasil belajar sosiologi dengan sikap siswa, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR SOSIOLOGI DENGAN SIKAP SISWA TERHADAP LINGKUNGAN SOSIAL Studi Penelitian di SMA PGRI 56 Ciputat”

B. Identifikasi Masalah