Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Kelamin Gambaran Penderita DM Berdasarkan Umur Gambaran Penderita DM Berdasarkan Lama Menderita Gambaran Nilai HbA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan penelitian terhadap panderita DM tipe 2 di RSUD dr.Djoelham Binjai maka didapatkan hasil sebagai berikut.

4.1 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penderita DM pada penelitian ini paling banyak adalah perempuan sebanyak 22 orang 91,67 dan penderita laki-laki sebanyak 2 orang 8,33 Tabel 4.1. Tabel 4.1. Distribusi jenis kelamin penderita DM Jenis kelamin Frekwensi Persentase Laki-laki 2 8,33 Perempuan 22 91,67 Total 24 100

4.2 Gambaran Penderita DM Berdasarkan Umur

Pada penelitian ini pasien dikelompokkan berdasarkan umur, penderita DM terbanyak dialami pada umur antara 51-60 tahun yaitu 6 orang 50,00 pada DM dengan konseling, kemudian disusul 5 orang 41,67 pada kelompok umur antara 61-70 tahun pada DM tanpa konseling Tabel 4.2. Pengelompokkan pasien berdasarkan umur untuk mengetahui pada rentang berapa kasus DM tipe 2 banyak terjadi. Penderita DM mengalami peningkatan jumlah kasusnya paling banyak terjadi pada umur di atas 40 tahun. Data yang Universitas Sumatera Utara didapat sesuai denagn pernyataan dari American Diabetes Association ADA, bahwa usia diatas 45 tahun merupakan salah satu faktor resiko terjadinya DM tipe 2. Tabel 4.2 Distribusi penderita DM berdasarkan umur Jenis kelamin Frekwensi Persentase Laki ‐laki 2 8,33 Perempuan 22 91,67 Total 24 100

4.3 Gambaran Penderita DM Berdasarkan Lama Menderita

Berdasarkan lama menderita DM nampak bahwa yang paling banyak dialami pasien selama 1-6 tahun, sebanyak 6 orang 50,00 pada umur 49-70 tahun pada DM dengan konseling. Kemudian sama halnya pada DM tanpa konseling yang telah mengalami DM selama 1-6 yaitu 5 orang 41,67 pada umur 40-54 tahun Tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi penderita DM berdasarkan lama menderita Kelompok Konseling Kelompok Tanpa Konseling Lama menderita tahun Jumlah responden Persentase Jumlah responden Persentase 1 ‐6 6 50,00 5 41,67 7 ‐12 5 41,67 4 33,33 Universitas Sumatera Utara 13 ‐18 2 16,67 19 ‐24 1 8,33 25 ‐30 1 8,33 Jumlah 12 100 12 100

4.4 Gambaran Nilai HbA

1c pada Penderita DM dengan Konseling Sebanyak 12 subjek yang diamati dalam penelitian ini pada kelompok yang diberi konseling terdapat persentase penurunan masing-masing pasien. Penurunan terbesar pada pasien no.8 41,35 dengan nilai HbA 1c awal 10,4 dan nilai HbA 1c akhir 6,1. Disusul pada pasien no.9 34,28 nilai HbA 1c awal 10,5 dan nilai HbA 1c akhir 6.9 sedangkan persentase kenaikan terdapat pada pasien no. 2 12,5 dengan nilai HbA 1c awal 6,4 dan nilai HbA 1c akhir 7,2 Tabel 4.4. Tabel 4.4 Persentase nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling Nilai HbA 1c No Nama penderita Awal Akhir Persentase PenurunanKenaikan 1 Tn. M 6,8 6,2 8,82 2 Ny. T 6,4 7,2 12,5 Tn. Y 6,7 6,3 Universitas Sumatera Utara 3 5,97 4 Ny. S 9,4 10,1 7,45 5 Ny. Ms 9,1 7,3 19,78 6 Ny. I 10,0 7,1 29,00 7 Ny. Z 8,1 7,8 3,70 8 Ny. M 10,4 6,1 41,35 9 Ny. Sr 10,5 6,9 34,28 10 Ny. Ml 10,1 8,2 18,81 11 Ny. P 12,9 9,2 28,68 12 Ny. St 8,4 7,8 7,14 Keterangan = Persentase penurunan nilai HbA 1c = Persentase kenaikan nilai HbA 1c Universitas Sumatera Utara Tabel 4.5 Analisis nilai HbA 1c pada penderita DM dengan konseling menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test. Nilai HbA1c akhir – nilai HbA1c awal Z -1,726 Asymp. Sig. 2-tailed 0,084 Berdasarkan nilai HbA 1c pada penderita DM dengan konseling, dilakukan analisis data menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh dengan nilai kebermaknaan = 0,084 ini berarti konseling tidak memberikan penurunan nilai HbA 1c yang signifikan p 0,05 Tabel 4.5. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat kehadiran penderita DM pada saat konseling 50, ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan terapi diabetik, waktu konseling yang singkat dan sampel yang sedikit sehingga tidak dapat ditarik secara statistik, tetapi konseling yang diberikan memberikan perubahan nilai HbA 1c yang bermakna pada masing-masing pasien Tabel. 4.4. Konseling yang dilakukan diharapkan memberi pengetahuan penderita terhadap penyakit DM sehingga dapat melakukan self care perawatan diri karena terdapat hubungan yang cukup berarti antara tingakat self care dan HbA 1c pada DM tipe 2 Yulianti dkk.,2010. Dalam hal ini self care memainkan peranan penting dalam manajemen DM, terutama untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetik. Jika terjadi komplikasi, menjadikan penyakit DM semakin parah dan Universitas Sumatera Utara biaya untuk berobat pun semakin mahal. Usaha individu dapat ditunjukkan pada beberapa perilaku yang mencerminkan aktivitas self care, diantaranya pengontrolan gula darah, insulin dan perencanaan makan, olahraga, dan penanganan hipoglikemik Yulianti dkk., 2010. Namun demikian, pasien dalam menerapkan self care terdapat beberapa kendala antara lain sangat sulit menerapkan pola makan sehat setiap hari disebabkan mereka hanya makan apa yang disediakan dan karena adanya pengaruh dari lingkungan, kemudian pada pasien lanjut usia akan merasa kesulitan melakukan aktivitas olahraga akibat keterbatasan pergerakan fisik mereka. Farmasis dalam hal ini cukup berperan untuk memberikan pelayanan berupa edukasi terhadap penderita DM terlihat pada hasil persentase penurunan HbA1c masing-masing pasien meski pun sebagian nilai HbA 1c belum normal 6,5. Tetapi ini mengisyaratkan bahwa intervensi yang dilakukan memberi arti yang penting dalam menatalaksanaan pasien diabetes. Beberapa penelitian menegaskan terkait dengan peran farmasis dalam penatalaksanaan DM, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Fremantle Diabetes Study 2005 meneliti efek konseling yang diberikan selama 12 bulan terhadap risiko vaskular pada DM tipe 2, hasil studi menunjukkan setelah diberikan konseling, tekanan darah dan glikemia menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Kiel dan McCord 2005 mengevaluasi perubahan klinis untuk pasien yang terdaftar dalam program manajemen diabetes, hasil studi menunjukkan bahwa program manajemen diabetes efektif meningkatkan hasil klinis. Peningkatan nyata diamati pada HbA 1c dan nilai LDL serta kepatuhan terhadap pencegahan. Penelitian yang dilakukan oleh Arun et.al.,2008 di Universitas Sumatera Utara pedesaan India dengan program asuhan kefarmasian efektif meningkatkan clinical outcame dan Health Related Quality of Life HRQoL penderita diabetes. Manfaat intervensi gaya hidup dalam upaya pencegahan terjadinya DM tipe 2, yaitu diit saja menurunkan resiko terjadinya diabetes tipe 2 sebesar 31 sedangkan aktifitas jasmani saja menurunkan 46. Kombinasi diit dan aktifitas jasmani menurunkan resiko sebesar 42 Perkeni, 2009. Adanya konseling diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi pada penderita DM dengan kepatuhan penderita terhadap obat, modifikasi gaya hidup dan pemantauan kadar glukosa darah. The United Kingdom Prospective Diabetes Study UKPDS menunjukkan setiap penurunan 1 HbA 1c misal dari 9 ke 8, akan menurunkan risiko komplikasi sebesar 35 Yulianti dkk., 2010, dengan adanya layanan edukasi memberi pengaruh yang baik pada tingkat pengetahuan pasien diabetes terutama dalam hal kepatuhan. Pada penelitian ini, parameter yang digunakan untuk penilaian kepatuhan pasien adalah nilai HbA 1c . HbA 1c merupakan salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik. Pengendalian metabolisme glukosa yang buruk ditandai dengan kadar gula dalam darah terus meningkathiperglikemia Suyono, 2007, dan dalam jangka waktu tertentu dikaitkan dengan kepatuhan pasien terhadap program penatalaksanaan atau pengecekan kadar gula darah adalah tujuan peningkatan HbA 1c . Peranan pemeriksaan kadar HbA 1c penting untuk mengontrol kepatuhan pengobatan dan memprediksi kemungkinan terjadinya komplikasi berbagai organ pada penderita DM. Kadar glukosa darah dan HbA 1c menjadi petunjuk penting dalam pengelolaan DM. Oleh karena itu, pemeriksaan glukosa darah tidak dapat Universitas Sumatera Utara digantikan oleh pemeriksaan HbA 1c , tetapi kedua pemeriksaan ini saling menunjang untuk mencapai kualitas pengendalian DM. HbA 1c sangat stabil di dalam darah, sehingga pengukuran kadar HbA 1c dapat mencerminkan kadar gula di dalam darah, pengukuran HbA 1c mencerminkan kadar gula darah hingga kurang lebih tiga bulan sebelum pemeriksaan Darmono, 1996. Beberapa obat hipoglikemik oral OHO dapat menurunkan kadar HbA 1c sebesar 0,5-2 bergantung cara kerja obat, yang sebagian besar akan meningkatkan sekresi dan sensitivitas terhadap insulin. Terapi dengan farmakologis saja tidak akan berhasil dalam pengontrolan DM karena yang terpenting adalah merubah pola hidup seseorang. Namun perlu diperhatikan pula berbagai efek samping yang ditimbulkan, seperti hipoglikemia dan penderita perlu tahu bagaimana mengatasi keadaan hipoglikemia tersebut, tingkat HbA 1c yang buruk, mencerminkan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi diabetik Suyono dkk., 2007.

4.5 Gambaran nilai HbA