Prinsip kontrak bukan merupakan syarat

psikologis, bahkan politis relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini.

3. The prifity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi contractual liability. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidamg konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum tortius liability. Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha.

4. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat

Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Dalam etika bisnis, dikenal adanya etika pengakuan yang melihat adanya asimetri dalam tugas dan kewajiban manusia, disamping itu terdapat teori pemeliharaan hak yang mengakui tanggung jawab produsen atau penjual atas produk sebagai hasil hubungan yang asimetri antara pihak konsumen yang lebih lemah dan pihak produsen atau pemasok Universitas Sumatera Utara yang lebih kuat. Teori ini melindungi hak-hak pihak yang lemah dan mendukung gagasan suatu masyarakat moral yang mempraktikkan keadilan. 21 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu kita melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia. 22 Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban- kewajiban pelaku usaha, namun kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK , lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha yang dimuat pada Pasal 6 UUPK , dan kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK lebih banyak dari kewajiban konsumen yang dimuat dalam Pasal 5 UUPK 23 . 21 Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004 hlm. 88 22 Husni Syawali, op.cit, hlm. 8 23 Lihat Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen, diantaranya : 24 a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba barang danatau jasa tertentu, serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau jasa pergantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK 25 . Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan pokok yaitu: 26 24 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 25 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 26 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hlm.41 Universitas Sumatera Utara a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 Undang-Undang Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk, berupa barang danatau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang danatau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang danatau jasa tertentu sebelum barang danatau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi masyarakat luas. 27 Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan undang-undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen 28 . Tanggung jawab untuk mengganti rugi tidak saja karena dilakukannya perbuatan melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati, bahkan tanggung jawab itu tidak hanya karena perbuatan atau tidak berbuat pelaku sendiri, tetapi juga karena 27 Ibid hlm. 42 28 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2008, hlm. 3 Universitas Sumatera Utara perbuatan atau tidak berbuat dari orang-orang yang menjadi atau termasuk tanggung jawabnya lihat Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata 29 Tanggung jawab dalam hukum dibagi ke dalam asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan liability based on fauld dan tanggung jawab tanpa kesalahan liability without fauld. Pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang menuntut ganti rugi penggugat diharuskan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang ia tuntut untuk membayar ganti rugi tersebut tergugat, sedang pada asas tanggung jawab tanpa kesalahan liability without fault seseorang bertanggung jawab begitu kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan pada dirinya. 30 Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fauld adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 31 Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum sebagai kasus perdata dan tindak 29 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: CV. Triarga Utama, 2002, hlm 77. 30 Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hlm. 82 33 Pustaka Yustisia, KUHPer, KUHP, KUHAP, Jakarta: PT. Buku Kita, 2008 Universitas Sumatera Utara pidana. Undang-undang Perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban produk oleh pelaku usaha product liability. 32 Tanggung jawab produk product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk producer, manufacture atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk prosessor, assembler atau dari orang atau badan yang menjual dan mendistribusikan seller, distributor produk tersebut. 33 Perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dicantumkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berisi “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Dalam istilah “melawan” melekat pada sifat aktif dan pasif. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan perkataan lain apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga 32 Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia”.Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996, hlm. 6 33 Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan di Indonesia, http:indoprogress.blogspot.com, diakses tanggal 11-04-2010 Universitas Sumatera Utara menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badanya. 34 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 empat unsur pokok yaitu : a Adanya perbuatan b Adanya unsur kesalahan c Adanya kerugian yang diderita d Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

1. Konsepsi

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 2 21

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 3 13

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 11

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NASABAH DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

1 1 53

Undang Undang No. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 1 45

KEDUDUKAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

0 2 12