BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA AHLI WARIS
A. Hukum Kewarisan Dalam KUHPerdata Dan Hukum Islam
Menurut Klaassen-Eggens seperti dikutip oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dan
terjadinya hubungan-hubungan hukum sebagai akibat kematian seseorang, dengan atau tanpa perubahan.
138
Dalam KUHPerdata, hukum waris ini diatur dalam Buku II titel ke-12 sampai dengan 18. Hukum waris diatur dalam Buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai
benda, karena mempunyai hubungan erat dengan pandangan dari pasal 528 KUHPerdata.
Pasal 528 KUHPerdata menunjukkan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki atas suatu benda, antara lain hak waris. Pasal 528 KUHPerdata berbunyi: ”Atas
benda, orang dapat memiliki hak bezit, hak eigendom, hak waris, suatu vruchtgenot, hak erfdienstbaarheid, hak pand atau hipotek, dan oleh karenanya hal tersebut
memberikan kesan seakan-akan hak waris ini adalah suatu hak kebendaan”. Pandangan yang mengatakan bahwa hak waris adalah suatu hak kebendaan
ditentang oleh: 1.
Diephuis dan Opzoomer.
138
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op Cit, hal. 1.
2. Land, Veegens, dan Scholten.
3. Meijers.
139
Diephuis dan Opzoomer antara lain mengemukakan bahwa seorang waris memperoleh warisannya karena hukum, yang terdiri atas hak-hak dan tuntutan-
tuntutan hukum dari pewaris orang yang meninggal dunia, dan ia memperoleh hak- hak yang sama dengan si pewaris. Artinya, ia tidak memperoleh suatu hak yang baru,
yaitu suatu hak yang semula tidak dimiliki oleh pewaris. Tuntutan hukum eks Pasal 843 KUHPerdata, untuk memperoleh warisan itu
tidak berdasarkan suatu hak kebendaan, melainkan berdasarkan status menjadi waris. Status menjadi waris dari si waris ini, dianggap telah cukup untuk mengajukan
tuntutan hukum. Demikian pendapat Diephuis dan Opzoomer seperti dikutip oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo.
140
Sedangkan Land, Veegens, dan Scholten, walaupun menggolongkan hak waris itu dalam hak-hak yang absolut, yaitu hak dari si subyek hukum yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, akan tetapi pemberi kekuasaan langsung tidak dijumpai. Hak kebendaan zakelijkrecht, adalah hak mutlak yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda atau sebagian dari harta kekayaan. Meijers akhirnya berpendirian bahwa daripada memandang hak waris itu
sebagai suatu hak kebendaan, Meijers cenderung untuk memandangnya sebagai suatu
139
Ibid.
140
Ibid, hal. 2.
cara perpindahan yang khusus khas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang bersifat hukum harta kekayaan.
Klaassen-Eggens dapat menyetujui pandangan Meijers ini dan mengatakan bahwa hak waris adalah suatu kualitas yang memberikan hak atas sebagian dari
warisan itu.
141
Berdasarkan semua alasan tersebut di atas, maka para ahli cenderung untuk mengeluarkan hukum waris ini dari Buku II KUHPerdata. Opzoomer misalnya
berpendirian bahwa lebih baik membicarakan hukum waris itu secara tersendiri atau dalam hubungannya dengan hukum keluarga. Sedangkan Land, antara lain
memandang hak waris itu sebagai suatu hak untuk menggantikan hak dari pewaris atas harta kekayaannya. Beliau cenderung untuk membicarakan persoalan itu sebagai
bagian terakhir dari hukum harta kekayaan. Klaassens-Eggens dapat menyetujui kedua pandangan tersebut di atas dan
mengatakan bahwa dalam rancangan Meijers, hukum waris dibicarakan secara khusus dalam Buku IV KUHPerdata.
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal si pewaris dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan
hukum yang lain misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga, kecuali beberapa hal yang disebut dalam pasal-pasal 257, 258, dan 270 KUHPerdata. Sebaliknya ada
pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak termasuk di
141
Ibid.
sini. Jadi, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak menjadi warisan, yaitu:
1. Hak-hak yang bersifat pribadi, seperti:
a. Hak pakai dan mendiami.
b. Vruchtgenot dari orang tua.
c. Hak-hak penuh sebagai buruh berdasarkan perjanjian kerja, tidak diwaris oleh
ahli waris. 2.
Tidak termasuk hoogstpersoonlijke rechten, dan juga tidak termasuk warisan adalah hak vruchtgebruik. Selanjutnya, Klaassens-Eggens menunjuk bahwa ada
pula hak dan kewajiban yang hanya berpindah secara terbatas, misalnya perijinan mengangkut barang. Klaassen-Eggens juga meminta perhatian bahwa berakhirnya
hak dan kewajiban karena kematian seseorang tidak menghalang-halangi mengurangi kewajiban memberikan perhitungan dan tanggung gugat yang
berpindah kepada ahli waris, misalnya dalam hal executie atau pemberian kuasa.
3. Pembayaran asuransi jiwa. Pada umumnya, pembayaran asuransi jiwa tidak
termasuk warisan. Pensiun yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda,
sehingga hak itu dipandang sebagai diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenis.
142
Pewarisan dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.
Pewarisan berdasarkan undang-undang, juga disebut pewarisan ab-intestato. 2.
Pewarisan testamentair, yaitu pewarisan berdasarkan suatu testamen.
143
Di dalam pewarisan testamentair yang ditonjolkan adalah kehendak dari pewaris. Sedangkan di dalam pewarisan ab-intestato berdasarkan berbagai alasan,
sebab ada yang bersifat mengatur melengkapiaanvullend, tetapi ada juga yang
142
Ibid, hal. 3.
143
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 73.
bersifat memaksa dwingend. Salah satu alasan yaitu pandangan bahwa keluarga terdekat yang pertama berhak atas warisan itu.
144
Titel ke-12 Buku II KUHPerdata yang mengatur masalah pewarisan ab- intestato mengandung beberapa ketentuan yang berlaku pula untuk pewarisan
testamentair. Misalnya pasal 830 KUHPerdata yang menentukan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian, berlaku pula untuk pewarisan testamentair. Kata
”kematian” yang dimaksud oleh Pasal 830 KUHPerdata, adalah kematian wajar natuurlijke dood dan tidak termasuk kematian perdata burgerlijke dood.
Apabila seseorang dinyatakan ”diduga mati”
145
, maka warisannya berpindah kepada orang-orang yang diduga menjadi ahli warisnya. Hal ini bukan suatu
penyimpangan dari ketentuan Pasal 830 KUHPerdata, selama pemindahannya itu bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena jika ternyata yang diduga mati itu
masih hidup, maka umumnya barang-barang warisannya itu menjadi eigendom-nya kembali dan ia berhak untuk menuntutnya dari orang-orang yang diduga ahli
warisnya. Di samping ketentuan ex Pasal 830 KUHPerdata, masih ada satu syarat lagi
untuk pewarisan itu yang dijumpai di dalam Pasal 836 KUHPerdata, yaitu si waris sudah ada pada saat meninggalnya si peninggal warisan itu dengan memperhatikan
pula ketentuan dari ex Pasal 2 KUHPerdata. Ketentuan dalam Pasal 836 KUHPerdata yang harus juga memperhatikan Pasal 2 KUHPerdata, bagi Eggens sesungguhnya
144
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op Cit, hal. 4.
145
Syarat dan ketentuan berlaku seperti tercantum pada Pasal 467 KUHPerdata.
tidak perlu. Demikian juga tanpa Pasal 836 KUHPerdata, mengingatkan bahwa wajib memperhatikan Pasal 2 KUHPerdata, jika ada anak dalam kandungan.
Jadi untuk terjadinya pewarisan, harus dipenuhi 2 dua syarat yaitu: 1.
Harus ada orang yang meninggal dunia Pasal 830 KUHPerdata. 2.
Ahli warisnya harus sudah ada pada waktu meninggalnya si peninggal warisan Pasal 836 KUHPerdata.
146
Pengertian hukum warisan tidak dijelaskan dalam suatu pasal tertentu dalam KUHPerdata, akan tetapi melalui Bab keduabelas bagian kesatu ketentuan umum
Pasal 830 dinyatakan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Hal ini menunjukkan bahwa aturan-aturan tentang kewarisan atau hukum warisan, berlaku
setelah adanya kematian, dengan adanya kematian maka peninggalan orang yang mati itu menjadi persoalan, siapa yang berhak menerima harta yang ditinggalkannya, siapa
pula yang bertanggung jawab menyelesaikan tanggungan yang ditinggalkannya atau melaksanakan harapannya yang tertentu. Apabila ahli warisnya ada yang jauh dan ada
yang dekat, siapa yang lebih dahulu memperoleh dan berapa pula bagiannya masing- masing. Inilah gambaran umum akibat yang timbul dari suatu kematian.
Mr. A. Pitlo menjelaskan hukum waris, adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
146
Ibid, hal. 4-5.
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
147
Soebekti menjelaskan pula bahwa hukum kewarisan itu mengatur akibat- akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
148
Simanjuntak, setelah mengemukakan pendapat berbagai sarjana menyimpulkan bahwa hukum waris pada hakekatnya mengatur mengenai tata cara
peradilan harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada ahli warisnya. Jadi dalam kewarisan ini terdapat tiga unsur yaitu adanya orang yang
meninggal dunia pewaris, adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan adanya ahli waris.
149
Pengertian yang lebih umum dikemukakan oleh Oemar Salim yang menjelaskan pengertian hukum warisan sebagai hukum yang mengatur cara
penyelesaian perhubungan hukum dalam masyarakat sebagai akibat dari meninggalnya seorang manusia.
150
Dari berbagai definisi di atas dapatlah dipahami berbagai istilah yang penting sebagai unsur-unsur yang terdapat dalam hukum warisan, yaitu:
1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan atau harta warisan untuk dibagi-bagikan kepada ahli waris baik laki-laki maupun
147
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut KUHPerdata Belanda, Terjemahan Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1
148
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXI, Jakarta, 1987, hal. 17.
149
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 245.
150
Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rinneka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 2.
wanita. Sesuai dengan Pasal 830 KUHPerdata bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Pasal ini menegaskan bahwa pewaris adalah orang
yang sudah mati. Maka mereka yang belum jelas kematiannya maka otomatis diragukan keberadaannya sebagai pewaris, dengan demikian pewarisan tidak
mungkin berlangsung. Berarti penetapan kematian seorang pewaris menurut KUHPerdata sangat penting. Yang dimaksud dengan mati, wafat, atau meninggal
dunia adalah tidak bergerak; orang yang dikatakan sudah mati ialah orang yang sudah tidak bergerak lagi jantungnya, jantungnya sudah benar-benar berhenti.
151
Jadi mati bukan berarti sudah dikubur, karena siapa tahu orang yang sudah dikubur lalu keluar lagi, begitu pula mati bukan karena anggapan atau perkiraan
saja. Dalam KUHPerdata terdapat ketentuan tentang perkiraan waktu sejak kapan
seseorang dianggap hilang atau sudah mati, hal-hal ini diatur dalam Pasal 467-471 KUHPerdata. Dalam Pasal 471 dinyatakan bahwa pernyataan mengenai dugaan
tentang kematian harus diumumkan dengan menggunakan surat kabar yang telah digunakan dalam pemanggilan-pemanggilan.
152
Keraguan dalam menentukan kematian seseorang dapat terjadi terutama dalam kasus beberapa orang meninggal pada saat yang bersamaan tanpa diketahui siapa
yang meninggal terlebih dahulu diantara mereka itu. Menurut Pasal 831
151
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 24.
152
Ibid, hal. 25.
KUHPerdata mereka dianggap meninggal pada saat yang bersamaan, sehingga perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidak terjadi.
2. Harta Warisan
Harta warisan atau juga disebut harta peninggalan adalah semua harta dan atau hak-hak dan kewajiban yang beralih penguasaannya atau pemilikannya setelah
pewaris wafat kepada waris. Dalam sistem kewarisan barat sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata
hukum waris merupakan bagian dari hukum kekayaan, oleh karena itu yang dapat diwariskan terbatas pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, jadi kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak dapat diwariskan.
153
Menurut Hilman, harta warisan itu dapat dirinci sebagai berikut: a.
Semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. b.
Kewajiban alimentasi memberi nafkah hidup suami kepada bekas istri. c.
Uang santunan asuransi jiwa yang telah diterima ketika pewaris hidup. d.
Hak pengarang dan atau hak cipta menurut ketentuan undang-undang Hak Cipta.
e. Perjanjian kerja seperti diatur dalam pasal-pasal 1603 KUHPerdata.
f. Perjanjian penitipan barang, seperti diatur dalam Pasal 1717 KUHPerdata.
Sedangkan yang tidak termasuk dalam warisan adalah sebagai berikut: a.
Kedudukanjabatan. b.
Kekuasaan orang tua orderlijkemacht c.
Hak-hak dan kewajiban sebagai suami istri. d.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota organisasi. e.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan. f.
Hak-hak menikmati hasil. g.
Persetujuan kerja perorangan.
153
Subekti, Op Cit, hal. 95-96.
h. Perjanjian dagang, kongsi dagang, perseroan dan sebagainya.
i. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban memberi nafkah.
j. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kesusilaankesopanan.
k. Hak bapak menyangkal sahnya anak.
l. Hak anak menuntut agar ia dinyatakan sebagai anak sah oleh bapak atau
ibunya.
154
Dalam hal pembayaran hutang-hutang, maka merupakan kewajiban para waris yang telah menerima suatu warisan, demikian pula dengan hibah, wasiat, dan
lain-lain beban dan mereka memikul beban sesuai dengan bagiannya secara seimbang dengan yang diterimanya masing-masing dari warisan, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1100, walaupun demikian, dalam ketentuan KUHPerdata ahli waris dapat saja mengalihkan perpindahan hutang dengan 2 dua jalan, yaitu:
1. Tidak mau menerima warisan.
2. Menerima harta warisan dengan syarat diadakan perhitungan bentuk barang-
barang warisan, dengan maksud bahwa hutang-hutang pewaris hanya dibayar pada batas kemampuannya dengan menggunakan barang-barang warisan itu
Pasal 1023-1044 dan Pasal 1057 KUHPerdata.
155
Di samping pembayaran hutang-piutang serta hibah wasiat maka status perkawinan juga berpengaruh terhadap harta warisan. Status perkawinan menurut
KUHPerdata terdiri atas 3 kategori. Pertama, perkawinan menurut KUHPerdata terdiri atas 3 kategori. Pertama, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian tidak ada percampuran harta kekayaan antara suami-istri. Kedua,
154
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 34.
155
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 12.
perkawinan yang dilangsungkan dengan perjanjian adanya percampuran harta kekayaan secara bulat. Dan ketiga, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian adanya percampuran harta kekayaan dengan beberapaada pengecualian. Gambaran ini tertuang dalam Pasal 119 Buku I KUHPerdata, Pasal
128 KUHPerdata tentang harta kekayaan persatuan dibagi dua, ½ untuk suami, dan ½ untuk istri tanpa mempersoalkan dari pihak mana harta kekayaan itu
diperoleh.
156
Hal lain yang terkait dengan harta warisan adalah biaya penyelenggaraan jenazah, dalam KUHPerdata Pasal 1149 ayat 2 dinyatakan, biaya penguburan, dengan tak
mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya jika biaya-biaya itu terlampau tinggi.
Jenis hutang yang lebih dahulu dilaksanakan yaitu biaya untuk menyita barang- barang yang bersangkutan guna untuk dilelang di muka umum untuk melunasi
hutang dari pewaris Pasal 1149 ayat 1. 3.
Ahli Waris Ahli waris adalah orang-orang yang berhak mewarisi harta warisan, dalam arti
berhak untuk meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagian-bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan
menurut hukum yang berlaku.
157
156
Oemar Salim, Op Cit, hal. 18.
157
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 51, demikian pula dengan penjelasan secara bahasa bahwa waris atau Erfgenaam Belanda yang maksudnya hampir sama dengan penjelasan Hilman.
Lihat Yan Pramadya, Kamus Hukum, Aneka Semarang, 1997, hal. 898.
Secara garis besarnya, ada 2 dua jalur yang dapat menentukan seseorang sebagai ahli waris, yaitu kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh
undang-undang KUHPerdata telah ditentukan sebagai ahli waris. Kemudian kelompok kedua yaitu orang atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena
pewaris di kala hidupnya melakukan perbuatan hukum tertentu seperti testamen atau surat wasiat dan adopsi atau pengangkatan anak.
158
Ahli waris menurut undang-undang terdiri atas 4 empat golongan. Golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-
anak serta sekalian keturunan anak-anak tersebut Pasal-Pasal 832, 852, dan 852 a KUHPerdata. Golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu dan saudarai serta
sekalian keturunan saudarai tersebut Pasal 854, 855, dan 857 KUHPerdata. Golongan ketiga, terdiri atas kakek-nenek garis ibu dan garis ayah. Golongan
keempat terdiri dari sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat ketujuh karena pergantian tempat.
159
Mewarisi berdasarkan undang-undang di atas disebut juga dengan mewarisi dengan ab-intestato, sedangkan mewarisi dengan testamen atau atas dasar surat
wasiat disebut ad-testamento atau testamentair. Hal ini akan dijelaskan lebih luas pada bagian tertentu.
Berlakunya KUHPerdata di Indonesia pada awalnya didasarkan atas asas konkordansi yaitu asas persamaan berlakunya sistem hukum, di mana sistem hukum
158
Anisitus Amanat, Op Cit, hal. 7.
159
Ibid. Penjelasan lebih luas dapat dilihat pula dalam Subekti, Op Cit, hal. 98-106. Simanjuntak, Op Cit, hal. 249. Hilman, Op Cit, hal. 52.
negara Indonesia sebagai negara jajahan sama dengan sistem hukum di negeri Belanda. Melalui pengumuman tanggal 30 April 1947 berdasarkan Staatsblad No. 23
maka Burgerlijk Wetboek KUHPerdata mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda.
Asas konkordansi itu tercantum dalam Pasal 75 Regerings Reglement jo Pasal 131 Indische Staats Regeliing.
160
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, pemerintah militer Jepang di Indonesia mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1942 pada Pasal 2 ditetapkan
bahwa semua undang-undang termasuk KUHPerdata di pemerintahan Hindia Belanda tetap berlaku.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka berdasarkan Pasal II aturan peralihan menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang- undang dasar ini.
Pada saat pemerintahan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat RIS maka tanggal 27 Desember 1947, KUHPerdata masih
diberlakukan, sesuai dengan pasal 192 ketentuan peradilan Konstitusi RIS yang menyatakan, bahwa peraturan-peraturan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar
160
Soetandyo Wignyo Subroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 178.
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini.
161
Selanjutnya, RIS kembali lagi menjadi negara kesatuan Republik Indonesia dan berlaku pula Undang-Undang Dasar Sementara UUDS tahun 1950, dan
KUHPerdata masih berlaku. Sesuai dengan pasal 142 ketentuan peralihan yang menyatakan, bahwa peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak mengubah sebagai peraturan ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-
Undang Dasar ini.
162
Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Darurat No. 11951 ini, peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu untuk Pengadilan Negeri
dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia tetap berlaku yaitu: 1.
Dalam perkara perdata: a
Untuk daerah Jawa dan Madura berlaku Herziene Inlands Reglement H.I.R. b
Untuk daerah di luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten.
2. Di dalam pemeriksaan ulangan perkara perdata:
a Untuk daerah Jawa dan Madura Undang-Undang RI No. 201947 jis Undang-
Undang Darurat No. 11951, Undang-Undang Darurat No. 111955 dan Undang-Undang No. 141970.
b Untuk daerah lain:
161
Simanjuntak, Op Cit, hal. 6.
162
Ibid.
Rechtsreglement Buitengewesten jis Undang-Undang Darurat No. 11951 jis Undang-Undang Darurat No. 111955 dan Undang-Undang No. 141970.
163
Akhirnya setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, KUHPerdata pun masih dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dikodifikasi ini masih berlaku sampai saat ini untuk mengisi kekosongan hukum dan jaminan adanya kepastian
hukum, walaupun terdapat keragaman karena materinya tidak termuat dalam KUHPerdata melainkan tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Adanya keragaman Hukum Perdata di Indonesia merupakan wujud dari kebijakan pembinaan hukum guna memenuhi pentingnya perubahan hukum dan hal
itu dilakukan melalui pendekatan kultural, agar seluruh sendi kehidupan berbangsa tetap dijiwai oleh UUD 1945, sesuai dengan wawasan politik hukum yang merupakan
konsep strategis yang memberikan arahan bagi perumusan politik hukum itu sendiri yaitu hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
164
Berkaitan dengan belum dituliskannya hukum untuk bangsa Indonesia di dalam undang-undang, bagi mereka itu tetap diberlakukan hukum yang sekarang
berlaku yaitu hukum adat, hal ini dinyatakan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling
163
Henry Lee A Weng, Peraturan Peradilan Di Daerah-Daerah Luar Jawa Dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hal. ii.
164
Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 28- 29.
Pasal 6,
165
yang berarti harus ada pembentukan undang-undang baru bagi bangsa Indonesia, termasuk dalam hukum perdata.
Berkaitan dengan hukum kewarisan, di Indonesia dipergunakan 3 macam peraturan, yaitu hukum adat, hukum agama Islam, dan hukum Burgerlijk Wetboek.
Hukum adat berlaku untuk orang Indonesia asli mengikuti aturan masyarakat adat yang bersifat patrinial, matrinial, dan parental, hukum agama berlaku bagi keluarga
Indonesia yang mematuhi ajaran agamanya, sedangkan KUHPerdata BW bagi golongan orang Eropa dan mereka yang disamakan dengan golongan orang-orang
tersebut, kemudian golongan orang Timur Asing Cina serta golongan orang-ornag Timur Asing lainnya serta orang pribumi yang menundukkan diri. Aturan kewarisan
dalam KUHPerdata terdapat dalam Buku II Bab XII sampai dengan Bab XVIII pasal- pasal 830 sampai dengan 1130 KUHPerdata.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim.
166
M. Idris Ramulio menjelaskan beberapa asas hukum kewarisan dalam KUHPerdata, antara lain:
165
Subekti, Op Cit, hal. 12.
166
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 5.
1. Hanya hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan yang dapat dinilai dengan uang. 2.
Apabila seseorang meninggal dunia maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
3. Pewarisan hanya karena kematian Pasal 830 KUHPerdata.
4. Asas individual; yang menjadi ahli waris adalah perorangan secara pribadi,
bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku atau keluarga Pasal 823 sampai dengan 852 KUHPerdata yang menentukan bahwa yang berhak
menerima warisan adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak serta keturunannya.
167
5. Asas bilateral; bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tapi juga
dari ibu demikian juga saudara laki-laki terhadap saudara laki-lakinya maupun saudara perempuannya Pasal 850, 853, dan 856 KUHPerdata.
6. Asas penderajatan; artinya ahli waris yang dekat derajatnya dengan pewaris
menutup waris yang lebih jauh derajatnya, dan untuk memudahkan perhitungan dilakukan melalui penggolongan ahli waris.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik
laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan
hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan
167
Subekti menjelaskan bahwa pada asanya tiap orang meskipun seorang bayi baru lahir adalah cakap untuk mewarisi, Op Cit, hal. 97.
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw dan ijma’ para ulama sangat
sedikit.
168
Allah SWT melalui surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176 menegaskan dan merinci nashib bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat
tersebut juga menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu
juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara ”tertentu”, dan kapan pula ia menerimanya secara ’ashabah.
Ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap.
169
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat nasab yaitu an-Nisa’:7, al-Anfal:75, dan al-Ahzab:6.
170
Hukum kewarisan Islam secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci sebagaimana pula yang telah disepakati keberadaannya. Ia manifes dari
rangkaian teks dokumen suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya sebagai fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam.
171
Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan Faraidl. Faraidl adalah jama’ dari Faridlah yang berarti: suatu bagian tertentu, jadi Faraidl berarti beberapa bagian
168
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 32.
169
Ibid, hal. 15.
170
Ibid, hal. 17.
171
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 1.
tertentu. Dengan demikian Faraidl dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Istilah hukum kewarisan Islam dipergunakan dalam tulisan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI.
172
Berdasarkan KHI Pasal 171 huruf a menyatakan: “ Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan pewaris
menurut Pasal 171 huruf b, adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. “
173
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dari si mayat ahli waris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: 1.
Kekerabatan Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh an- Nisaa’ [4]: 11, 12, dan 76. Mereka adalah ushul ‘leluhur’ si mayit, furu’
‘keturunan’ mayit, dan hawasyi si mayit ‘keluarga mayit dari jalur horizontal’.
2. Karena hubungan perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan menjadi ahli waris disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau istri dari si mayat.
3. Karena adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan menjadi ahli waris disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darahkekeluargaan dengan si mayat, yang
termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain-lain.
4. Karena memerdekakan si mayat
172
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal. 2.
173
Ibid, hal. 4.
Seseorang dapat memperoleh harta warisan menjadi ahli waris dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini
dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.
5. Karena sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali punah, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul
Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
174
Ada 3 tiga syarat untuk menjadi ahli waris yang ditentukan di dalam Pasal 171c KHI, yaitu:
1. Orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris Ketentuan mengenai hal ini dirumuskan dalam Pasal 174 ayat 2 KHI yang
menyatakan bahwa apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
2. Beragama Islam
Jadi apabila ada ahli waris yang berpindah agama, maka ia akan kehilangan haknya sebagai ahli waris. Hal ini dapat menimbulkan kesan ketidakadilan di
dalam hukum waris Islam. Dalam rangka menerapkan hukum waris Islam yang berkeadilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Yurisprudensi No.
51.KAG1969 tanggal 29 September 1999, yang pada prinsipnya memutuskan bahwa anak kandung yang telah pindah agama mendapat wasiat wajibah. Putusan
ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, karena anak tersebut tidak ditetapkan sebagai ahli waris. Sebagai seorang yang dekat dengan pewaris adalah adil
apabila dia mendapat bagian dari harta peninggalan orang tuanya melalui wasiat wajibah.
Apabila ada ahli waris yang telah pindah agama kemudian demi mendapatkan status sebagai ahli waris yang sah ia menyatakan masuk Islam lagi, maka perlu
diteliti kebenaran pernyataanya tersebut. Dalam hal ini Pasal 172 KHI, memberi pedoman bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu
identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
3. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris
Selain karena pindah agama, menurut Pasal 173 KHI seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:
174
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 52-53.
a Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris. b
Dipersalahkan telah memfitnah dengan cara mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
175
B. Pembayaran Dan Yang Berhak Menerima Uang Pertanggungan