Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol / Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil

(1)

PENGARUH PEMBERIAN INHALASI

KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT

DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP

PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

TESIS

Oleh

REFI SULISTIASARI

   

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PENGARUH PEMBERIAN INHALASI

KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT

DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP

PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Paru Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU

Oleh

REFI SULISTIASARI

 

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi

Salmeterol / Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil

Nama : Refi Sulistiasari

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Menyetujui Pembimbing

Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P NIP. 19691107.199903.2.002

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi & Ilmu Kedokteran Respirasi & Ilmu Kedokteran Respirasi

Prof. Dr. Tamsil S,SpP(K) Dr.H.Hilaluddin S,SpP(K),DTM&H Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,SpP(K) NIP.19521101.198003.1.005 NIP.19451007.197302.1.002 NIP. 19440715.197402.1.001


(4)

TESIS

PPDS PULMONOLOGI dan ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Judul Tesis : Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol /

Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil 2. Nama Peneliti : Refi Sulistiasari

3. Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

4. Jurusan : Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

5. Jangka waktu : 3 (tiga) bulan

6. Lokasi Penelitian : RS. PTPN.II. Tembakau Deli Medan dan RS. PTPN.II. Bangkatan Binjai

7. Biaya : Rp. 16.200.000,-


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PEMBERIAN INHALASI

KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT

DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 10 Oktober 2010


(6)

PENGARUH PEMBERIAN INHALASI

KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT

DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

Refi Sulistiasari, Amira Permatasari Tarigan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang Penelitian : Saat ini inflamasi diketahui sebagai dasar terjadinya PPOK yang memberi pengaruh terhadap kualitas hidup, faal paru dan kapasitas fungsional. Pemberian inhalasi kombinasi LABA dan kortikosteroid adalah salah satu terapi dalam farmakologi pasien PPOK stabil.

Tujuan penelitian : Mengetahui manfaat pemberian inhalasi salmeterol / flutikason propionat pada PPOK stabil derajat sedang sampai berat.

Desain Penelitian : Uji Klinis acak terkontrol, tersamar ganda

Metode Penelitian : Didapatkan 26 penderita PPOK stabil derajat sedang dan berat yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 13 orang kelompok perlakuan yang mendapatkan inhalasi kombinasi salmeterol 50µg/flutikason propionat 500µg dan 13 orang kelompok kontrol yang mendapatkan inhalasi plasebo.

Hasil Penelitian : Setelah 1 bulan pemberian inhalasi inhalasi kombinasi salmeterol

50µg/flutikason propionat 500µg didapatkan perbedaan bermakna pada kualitas hidup yang diukur

dengan SGRQ (p=0,001) dan CAT (p=0,001), faal paru yang diukur dengan VEP1 (0,001) dan

kapasitas fungsional yang diukur dengan uji jalan 6 menit (0,001) antara hari 1 dengan hari ke-30 penelitian.

Kata Kunci : PPOK stabil, salmetrol 50µg / flutikason propionat 500µg, kualitas hidup, SGRQ, CAT, uji jalan 6 menit.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirramanirrahiim

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayat-Nya penulis dapat menyelasaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil” yang merupakan salah satu syarat akhir pendidikan keahlian di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik Medan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan nonmedis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,Sp.P(K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa


(8)

menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berfikir dan bertindak ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa yang akan datang.

Dr.Pandiaman Pandia,Sp.P(K) sebagai Sekretaris Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi penulis saran dan nasehat yang bermanfaat dalam penyelesaian pendidikan penulis.

Dr.Hilaluddin Sembiring, DTM&H,Sp.P(K) sebagai Ketua Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan yang tiada jemunya berupaya menanamkan disiplin, ketelitian, berfikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Dr.Pantas Hasibuan,Sp.P(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan motivasi, saran dan nasehat yang bermanfaat bagi penyelesaian penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Prof.Dr.Tamsil Syafiuddin,Sp.P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP.H.Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan


(9)

tulisan ini.

Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P sebagai pembimbing penulis dalam penelitian ini yang telah banyak memberi bimbingan, bantuan teknis, masukan dan dorongan moril serta penyempurnaan penelitian bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Dr.H.Zainuddin Amir, Sp.P(K), sebagai TK-PPDS FK-USU yang telah banyak memberikan dorongan dan nasihat yang sangat berguna dalam menjalani masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Drs.Abdul Djalil Amri Arma,M.Kes sebagai pembimbing statistik penulis yang telah banyak memberikan bantuan, masukan serta membuka wawasan penulis dalam bidang statistik.

Penghargaan dan rasa terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada Dr.Fajrinur Syarani,Sp.P(K), Dr.Widi Rahardjo,Sp.P(K), Dr.Parluhutan Siagian,Sp.P, Dr.Bintang Sinaga,Sp.P, Dr.Noni Novisari Soeroso,Sp.P dan Dr.Setia Putra Tarigan,Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama penulis menjalani pendidikan ini.

Rasa terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada pihak PT. GlaxoSmithKline yang telah memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian ini hingga akhirnya selesai.


(10)

Izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP. H.Adam Malik Medan, Direktur RS.PTPN II.Tembakau Deli Medan, Direktur RS.PTPN II Bangkatan Binjai yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran respirasi, perawat/petugas RSUP. H.Adam Malik Medan, perawat RS.PTPN II Tembakau Deli Medan dan RS.PTPN II Bangkatan Binjai yang bekerjasama dan membantu penulis dalam menjalani pendidikan dan penelitian ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan rasa terima kasih atas pertemanan selama ini kepada Dr.Irma Tabrani,Sp.P, Dr. Titiek Gustina Simanjuntak,Sp.P, dan Dr.Sugiono.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada Ayahanda Dr.H.M.Rasyid Ngah,Sp.P dan Ibunda Hj.Umi Retno tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang, dukungan serta doa kepada penulis hingga saat ini. Tak lupa kepada Ayahanda dan Ibunda Mertua Zulkifli Hutasuhut dan Syariati Siregar penulis ucapkan terima kasih atas dukungan, nasihat serta doa yang tiada terbalas. Kepada suami tercinta Dr.Zulkarnain Hutasuhut dan anak-anakku tersayang Sabita Marva Illona Hutasuhut, Rania Shofi Anindya Hutasuhut dan Affan Atthallah Hutasuhut yang selalu setia dalam


(11)

suka duka, memberi dorongan, cinta kasih serta banyak pengorbanan selama ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan atas semuanya.

Akhirnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala segala kekhilafan, kesalahan maupun kekurangan yang telah penulis perbuat selama ini. Semoga segala ilmu, keterampilan dan pembinaan yang penulis dapatkan selama ini bermanfaat bagi semuanya dan tetap dalam Ridho Allah SWT.

Medan, September 2010

Penulis

Refi Sulistiasari


(12)

DAFTAR ISI

Abstrak i

Daftar Riwayat Hidup ii

Kata Penghantar iv

Daftar Isi ix

Daftar Singkatan xii

Daftar Tabel xiv

Daftar Gambar xv

Daftar Lampiran xvi

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5.1.Tujuan umum 3

1.5.2.Tujuan khusus 4

1.5.3. Manfaat Penelitian 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 5

2.1.1.Epidemiologi 5

2.1.2.Patogenesis, Patologi, dan Patofisiologi 6

2.2. Inflamasi Pada PPOK 8

2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK 10

2.4. Penatalaksanaan PPOK 14

2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil 16


(13)

2.4.2.Peranan Salmeterol/flutikason Propionat dalam penatalaksanaan

PPOK 18

2.5. Kerangka Konsep 29

BAB III. METODE PENELITIAN 30

3.1. Desain Penelitian 30

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 30

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 30

3.4. Perkiraan Besar Sampel 31

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 32

3.5.1. Kriteria inklusi 32

3.5.2. Kriteria eksklusi 32

3.6. Cara Kerja Penelitian 33

3.6.1. Kerangka operasional 35

3.7. Identifikasi Variabel 36

3.8. Definisi Operasional 36

3.9. Bahan dan Alat 41

3.10. Manajemen dan analisis data 41

3.11. Jadwal pelaksanaan penelitian 42

3.12. Perkiraan biaya penelitian 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 44

4.1. Hasil Penelitian 44

4.1.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan demografi 44

4.1.2. Nilai dasar kualitas hidup, faal paru, derajat sesak, dan

uji jalan 6 menit 47

4.1.3. Eksaserbasi, efek samping dan terapi B2 agonist kerja cepat IDT

sampai hari ke-15 49

4.1.4. Perubahan nilai kualitas hidup, faal paru, derajat sesak dan

uji jalan 6 menit setelah hari ke-30 51


(14)

4.2. Pembahasan 61

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN 72

5.1. Kesimpulan 72

5.2. Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN


(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH = ADrenocorticotropic Hormone

AGDA = Analisa Gas Darah Arteri

APE = Arus Puncak Ekspirasi

ATS = American Thoracic Society

CAT = COPD Assessment Test

COPD = Chronic Obstructive Pulmonary Diseases

CRDQ = Chronic Respiratory Diseases Questionnaire

CD6 = Cluster of Differentiation-6

CD8 = Cluster of Differentiation-8

ERS = European Respiratory Society

EGFR = Epidermal Growth Factor Receptor

GR = Glukocorticoid Reseptor

GOLD = Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

KVP = Kapasitas Vital Paru

LABA = Long Acting β2-Agonist

NF = Nuclear Factor

MDI = Metered Dose Inhaled

MMPs = Matrix Metalloprotease Enzymes

PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik

ROS = Reactive Oxygen Species

SABA = Short Acting β2-Agonist

SGRQ = St George Respiratory Questionnaire

SP-D = Surfactant type D


(16)

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga

TRISTAN = Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β 2-ADrenoceptor Agonists

VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK 12

Tabel 4.1. Sebaran umur, lama merokok, jumlah rokok, lama menderita PPOK

dan derajat PPOK subyek penelitian 45

Tabel 4.2. Sebaran pendidikan, suku, dan riwayat merokok subyek penelitian 47 Tabel 4.3. Nilai dasar VEP1, SGRQ, CAT, skala sesak MRC & uji jalan 6 menit

pada subyek penelitian 49

Tabel 4.4. Kejadian eksaserbasi sampai hari ke-15 pada subyek penelitian 50 Tabel 4.5. Kejadian efek samping sampai hari ke-15 pada subyek penelitian 51 Tabel 4.6. Penggunaan B2 agonist IDT sebagai pelega sampai hari ke-15 pada

subyek penelitian 51

Tabel 4.7. Nilai VEP1, SGRQ, CAT, derajat sesak MRC dan uji jalan 6 menit

hari ke-30 pada subyek penelitian 53

Tabel 4.8. Perubahan nilai awal (hari ke-1) dan akhir (hari ke-30) dari VEP1, SGRQ, CAT, derajat sesak MRC dan uji jalan 6 menit pada subyek

penelitian 55

Tabel 4.9. Kejadian eksaserbasi sampai hari ke-30 pada subyek penelitian 59 Tabel 4.10. Kejadian efek samping sampai hari ke-30 pada subyek penelitian 60 Tabel 4.11. Penggunaan B2 agonist IDT sebaga pelega sampai hari ke-30

pada subyek penelitian 61


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Patogenesis PPOK 7

Gambar 2.2. Terapi pada setiap stadium PPOK 15

Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil 16

Gambar 2.4. Struktur kimia salmeterol 22

Gambar 2.5 Struktur kimia flutikason propionat 23

Gambar 2.6. Kombinasi LABA dan Inhalasi kortikosteroid yang memutus

siklus berat pada PPOK 26

Gambar 4.1. Rerata perubahan VEP1 awal(hari ke-1) dan VEP1 akhir(hari ke-30) 56

Gambar 4.2. Rerata perubahan kualitas hidup SGRQ awal dan SGRQ akhir 56

Gambar 4.3. Rerata perubahan kualitas hidup CAT awal dan CAT akhir 57

Gambar 4.4. Rerata perubahan derajat sesak MRC awal dan MRC akhir 57

Gambar 4.5. Rerata perubahan uji jalan 6 menit (6MWT)awal dan akhir 58


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Status Pemeriksaan

Lampiran 2. St George Respiratory Questionnair (SGRQ) Lampiran 3. COPD Assessment Test (CAT)

Lampiran 4. Skala Sesak Napas MRC

Lampiran 5. Lembaran penjelasan calon subyek penelitian Lampiran 6. Lembaran persetujuan calon subyek penelitian Lampiran 7. Persetujuan Komite Medik

Lampiran 8. Data-data subyek penelitian


(20)

PENGARUH PEMBERIAN INHALASI

KOMBINASI SALMETEROL / FLUTIKASON PROPIONAT

DALAM BENTUK DISKUS INHALER TERHADAP KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

Refi Sulistiasari, Amira Permatasari Tarigan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang Penelitian : Saat ini inflamasi diketahui sebagai dasar terjadinya PPOK yang memberi pengaruh terhadap kualitas hidup, faal paru dan kapasitas fungsional. Pemberian inhalasi kombinasi LABA dan kortikosteroid adalah salah satu terapi dalam farmakologi pasien PPOK stabil.

Tujuan penelitian : Mengetahui manfaat pemberian inhalasi salmeterol / flutikason propionat pada PPOK stabil derajat sedang sampai berat.

Desain Penelitian : Uji Klinis acak terkontrol, tersamar ganda

Metode Penelitian : Didapatkan 26 penderita PPOK stabil derajat sedang dan berat yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 13 orang kelompok perlakuan yang mendapatkan inhalasi kombinasi salmeterol 50µg/flutikason propionat 500µg dan 13 orang kelompok kontrol yang mendapatkan inhalasi plasebo.

Hasil Penelitian : Setelah 1 bulan pemberian inhalasi inhalasi kombinasi salmeterol

50µg/flutikason propionat 500µg didapatkan perbedaan bermakna pada kualitas hidup yang diukur

dengan SGRQ (p=0,001) dan CAT (p=0,001), faal paru yang diukur dengan VEP1 (0,001) dan

kapasitas fungsional yang diukur dengan uji jalan 6 menit (0,001) antara hari 1 dengan hari ke-30 penelitian.

Kata Kunci : PPOK stabil, salmetrol 50µg / flutikason propionat 500µg, kualitas hidup, SGRQ, CAT, uji jalan 6 menit.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1. Epidemiologi

Kebanyakan informasi tentang PPOK mengenai prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berasal dari negara berkembang. Data prevalensi dan morbiditas biasanya diperkirakan lebih rendah dari data yang sebenarnya karena penyakit ini biasanya tidak terdiagnosis sampai adanya gejala klinis dan perburukan. Penelitian yang dilakukan dari tahun 1990 hingga 2004 pada 28 negara mendapatkan prevalensi PPOK lebih tinggi pada pasien perokok dibandingkan bukan perokok. Diperkirakan prevalensi pasien PPOK derajat sedang hingga berat sekitar 6,3%. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta pasien PPOK yang dirawat jalan, 1,5 juta yang dirawat di departemen emergensi, dan 673.000 yang dirawat inap.11,12,13,14 Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT tahun 1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian tersering di Indonesia.15 Sementara SKRT Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1995 menunjukkan PPOK diperingkat ke-5 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Data di RS. Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional menunjukkan PPOK menduduki peringkat ke-4 dari jumlah pasien yang dirawat.5

2.1.2. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi

Perubahan patologi yang khas pada penderita PPOK di saluran napas besar berupa infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel yang menyebabkan hipersekresi mukus, di saluran napas


(22)

kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru terjadi terjadi empisema, serta di pembuluh darah pulmonal berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding pembuluh darah pulmonal.16 Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang menjadi dasar seseorang menderita PPOK. Respon inflamasi ini merangsang kerusakan jaringan parenkim sehingga terjadi empisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menyebabkan fibrosis di saluran napas kecil). Perubahan patologi ini akan menyebabkan air trapping dan hambatan aliran udara yang progresif. Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut sesuai dengan derajat penyakit dan bertahan meskipun telah berhenti merokok.11

Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pada pasien PPOK merupakan respon

inflamasi saluran pernapasan terhadap iritan kronik seperti asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya. Inflamasi paru akan dijelaskan lebih lanjut oleh stres oksidatif dan meningkatkan jumlah proteinase paru. Mekanisme ini secara bersamaan menimbulkan karakteristik perubahan patologi pada PPOK, seperti yang terlihat pada gambar 2.1.


(23)

Gambar 2.1. Patogenesis PPOK11

Biomarker dari stres oksidatif (seperti hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada

pasien PPOK. Oksidan terbentuk oleh asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya, dan dilepaskan

dari sel inflamasi yang teraktivasi seperti makropag dan netrofil. Dan terdapat penurunan

antioksidan endogenus pada pasien PPOK. Stres oksidatif mengaktivasi gen inflamasi, inaktifnya

antiprotease, merangsang pembentukan mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi

mukus disebabkan juga oleh metaplasia dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran

kelenjar submukosa terhadap iritasi kronik oleh asap rokok dan zat terinhalasi lainnya. Beberapa

mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus. Sejumlah protease berasal dari sel

inflamasi dan sel epitel meningkat jumlahnya pada pasien PPOK. Protease memerantai kerusakan

dari elastin, komponen jaringan konektif utama, yang merupakan bagian penting dalam terjadinya


(24)

2.2. Inflamasi Pada PPOK

PPOK memiliki karakteristik berupa pola inflamasi lokal dan sistemik dimana sel inflamasi yang berperan di dalamnya terdiri dari netrofil, makropag, dan sel limposit T CD8. Sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berikatan dengan struktur sel pada saluran napas serta parenkim paru.11,16 Netrofil merangsang hipersekresi mukus. Netrofil berperan sebagai sel kunci dalam terjadinya empisema dan hal ini diketahui sejak defisiensi α1-antitripsin memiliki hubungan

dengan penyakit ini. Analisa terhadap otot polos saluran napas memperlihatkan hubungan antara infiltrasi netrofil dengan air trapping dan beratnya obstruksi saluran napas. Para peneliti memperkirakan bahwa mediator inflamasi akan berakibat terhadap perubahan struktur dan kontraktilitas otot saluran napas, dan menyebabkan obstruksi saluran napas perifer.17 Makropag sebagai sel inflamasi utama akan melepaskan reactive oxygen species (ROS), faktor kemotaktik, sitokin inflamasi, aktivasi kelenjar mukus, dan protein matriks ekstraseluler. Juga termasuk

kumpulan dari matrix metalloprotease enzymes (MMPs). Pada PPOK fungsi limfosit T CD8

adalah merangsang apoptosis sel. Penelitian lainnya mendapatkan aktivitas dari limfosit T CD8 dalam terbentuknya empisema.17 Sejumlah besar mediator inflamasi seperti leukotrien B4, IL-8, IL-6, TNF-α akan meningkat pada pasien PPOK. Penarikan sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), akan menyebabkan kerusakan pada struktur paru atau bertahannya inflamasi netrofilik.11,16,18 Inflamasi PPOK ditandai dengan meningkatnya jumlah netrofil dan sel limfosit T CD8, sedangkan pada asma terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan sel limfosit T CD4. Mediator

inflamasi dan sel inflamasi yang aktif termasuk Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan

Interleukin-6 (IL-6) akan dilepaskan ke sirkulasi sistemik pasien PPOK. Beberapa penelitian memperlihatkan penurunan fungsi paru berhubungan dengan meningkatnya faktor inflamasi sistemik yang naik saat terjadi eksaserbasi, dan faktor ini memberikan kontribusi terhadap


(25)

morbiditas pasien PPOK. Kontribusi kronik, dan low-grade inflammation akan menyebabkan resiko penyakit sistemik lainnya, sebagai contoh meningkatnya resiko arterosklerosis, gagal jantung kronik, obesitas maupun diabetes. Meningkatnya inflamasi sistemik akan merangsang peningkatan mediator seperti C-reactive protein (CRP) yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya disfungsi otot skeletal, berat badan menurun, depresi, osteoporosis dan berkurangnya status kesehatan. Meningkatnya TNF-α dan IL-6 berhubungan dengan arterosklerosis. Dan yang terbaru didapatkan bahwa meningkatnya IL-6 berhubungan dengan meningkatnya prevalensi resistensi insulin pada pasien PPOK.19,20 Intensitas inflamasi sistemik akan meningkat saat PPOK eksaserbasi. Asal inflamasi sistemik pada pasien PPOK yaitu dari asap rokok, hiperinflasi paru, hipoksia jaringan, disfungsi otot, dan bone marrow.20 Penurunan VEP1 berasal dari inflamasi dan

penyempitan saluran napas perifer, sementara penurunan pertukaran gas yang berasal dari

kerusakan parenkim dari empisema. Pada inflamasi yang berlanjut, fibrosis dan eksudasi pada

saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan perbandingan VEP1/KVP. Obstruksi

saluran napas perifer yang progresif akan memerangkap udara selama ekspirasi menghasilkan

hiperinflasi yang akan mengurangi kapasitas inspirasi dan akan menyebabkan sesak napas dan

keterbatasan kepasitas latihan. Abnormalnya pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan

hiperkapnia pada pasien PPOK yang beratnya sejalan dengan perjalanan penyakit.11

2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK

Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan dijumpai tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis berupa sesak napas, batuk kronik atau produksi sputum. Pada pasien PPOK derajat ringan sering dijumpai batuk berdahak pada pagi hari sementara pada pasien PPOK derajat sedang gejala klinis jelas terlihat, dan pada pasien PPOK derajat berat sesak napas terjadi bahkan pada aktivitas yang ringan.


(26)

Dijumpainya riwayat pajanan seperti riwayat merokok, terpajan zat iritan inhalasi yang bermakna di tempat kerja. Dari pemeriksaan fisis pada PPOK dini tidak dijumpai kelainan, sedang pada PPOK yang lanjut dari inspeksi dapat dijumpai pursed-lip breathing, barrel chest, penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga. Dari pemeriksaan fremitus melemah, pada perkusi dijumpai hipersonor, sedangkan dari auskultasi dijumpai suara napas melemah, ekspirasi memanjang, terdapat ronki kering atau mengi, bunyi jantung terdengar jauh. Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diapragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, bulla, jantung pendulum.1,15 Diagnosis harus dikonfirmasi lagi dengan spirometri. Pada PPOK derajat ringan terkadang spirometri didapat normal. Hasil spirometri berupa VEP1/KVP < 70% dan VEP1 < 80% prediksi dianggap sebagai adanya hambatan

aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.10 Apabila fasilitas spirometri tidak tersedia,

peakflow meter dapat digunakan untuk mengukur Arus Puncak Ekspirasi (APE) walau kurang tepat tetapi dapat dipakai sebagai alternatif untuk memantau variabiliti harian pagi dan sore dengan nilai yang didapat tidak lebih dari 20% prediksi.15 Pemeriksaan khusus yang tidak rutin dilakukan antara lain : uji bronkodilator yang dilakukan sekali saja pada saat penegakkan diagnosis, dapat menyingkirkan diagnosis asma. Setelah pemberian inhalasi bronkodilator sebanyak 8 hisapan, sekitar 15 sampai 20 menit kemudian diukur perubahan nilai VEP1 atau APE, akan dijumpai

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal. Uji kortikosteroid dilakukan dengan menilai

perbaikan faal paru setelah pemberian oral kortikosteroid (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 sampai 50 mg per harinya selama 2 minggu atau dengan inhalasi steroid selama 6 minggu hingga 3 bulan,dan dijumpai peningkatan VEP1 sebanyak 200 ml atau 15% dari nilai awal.

Adanya respon terhadap kortikosteroid akan menjadikannya salah satu terapi regular bersama dengan bronkodilator pada pasien PPOK stabil.15,21,22


(27)

ATS dan ERS beserta GOLD membuat suatu sistem penderajatan untuk PPOK berdasarkan nilai VEP1 prediksi. Ada 5 derajat untuk klasifikasi PPOK dari ringan (derajat I) hingga berat (derajat

IV) seperti yang terlihat pada tabel 2.1.12

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK11 Gold 2009

Derajat Karakteristik

Derajat I : PPOK Ringan

VEP1/KVP < 70% VEP1≥ 80% prediksi Derajat II :

PPOK Sedang

VEP1/KVP < 70%

50%≤ VEP1< 80% prediksi Derajat III :

PPOK Berat

VEP1/KVP < 70%

30%≤ VEP1< 50% prediksi Derajat IV :

PPOK Sangat Berat

VEP1/KVP < 70%

VEP1 < 30% prediksi atau

VEP1 <50 dengan gagal napas kronis

Alat ukur kualitas hidup umumnya meliputi spektrum fungsi yang luas berhubungan dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipakai sebagai alat ukur berbagai macam penyakit.

Beberapa contoh kuesioner yang dapat dipakai adalah Chronic Respiratory Diseases

Questionnaire (CRDQ) dari Guyat dkk dan St. George’s’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) dari Jones dkk. SGQR merupakan kuesioner spesifik untuk mengukur kualitas hidup penderita saluran napas kronik. Terdiri dari 76 butir yang dibagi dalam 3 komponen yaitu :

- Gejala penyakit yang berhubungan dengan gejala saluran napas, frekwensi dan beratnya gejala tersebut.

- Aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan yang menyebabkan sesak napas atau

terhambat karena sesak.

- Dampak yang meliputi rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan


(28)

Setiap jawaban kuesioner mempunyai bobot yang diambil secara empiris. Bobot paling kecil = 0, bobot paling besar = 100. Setiap komponen bobot untuk jawaban positip dijumlahkan. Nilai dihitung dengan membagi jumlah bobot dengan nilai maksimum untuk komponen tersebut dan hasil dinyatakan dalam persen. Nilai yang lebih rendah menggambarkan keadaan kesehatan yang lebih baik.5

Saat ini telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana, dapat dipercaya yaitu COPD assessment test (CAT)/ Uji penilaian PPOK yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor antara 0 sampai 40. Hal ini memudahkan pasien untuk mengisinya. Pertanyaan ini diambil dari derajat penyakit, dengan kesimpulan berupa ringan hingga berat. Skor yang tinggi menunjukkan status kesehatan yang buruk. Pertanyaan meliputi tentang batuk, dahak, dada tertekan, sesak napas, kemampuan menaiki tangga, keterbatasan aktivitas di rumah, kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah, tidur dan energi. Pertanyaan lebih ditekankan pada sesak saat menaiki tangga pada pasien dengan keadaan ringan, pertanyaan untuk pasien dengan keadaan berat lebih ditekankan pada kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah. Skor diatas 30 menunjukkan keadaan yang sangat berat, skor diatas 20 menunjukkan keadaan yang berat, skor antara 10 sampai 20 menunjukkan keadaan yang sedang dan skor dibawah 10 menunjukkan keadaan yang ringan.23

2.4. Penatalaksanaan PPOK

Secara umum tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru


(29)

Hal ini dapat dicapai melalui penatalaksaan PPOK yang secara umum meliputi :

Edukasi; Obat-obatan berupa bronkodilator yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi; Terapi oksigen; Ventilasi mekanik; Nutrisi; Rehabilitasi dengan latihan fisis, latihan pernapasan dan Fisioterapi dada.15 Terapi pada setiap derajat PPOK tertera pada gambar 2.2 di bawah ini.


(30)

2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil

Algoritme PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

Berhenti merokok Pengetahuan dasar PPOK Obat-obatan Pencegahan perburukan penyakit Menghindari pencetus Penyesuaian aktivitas REGULER bronkodilator • Antikolinergik

• Β2 agonist

• Xantin • Kombinasi SABA+ antikolinergik • Kombinasi LABA+ kortikosteroid • Antioksidan Dipertimbangkan : mukolitik • Rehabilitasi

• Terapi oksigen

• Vaksinasi

• Nutrisi

• Ventilasi non mekanik

• Intervensi bedah

Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil1

Strategi pentalaksanaan berdasarkan penilaian derajat penyakit dan respon terhadap terapi, hal ini tertera pada gambar 3 di atas. Derajat penyakit ditentukan oleh gejala dan hambatan aliran napas serta frekwensi eksaserbasi, komplikasi, gagal napas, penyakit komorbid serta status kesehatan pasien.21 Semua golongan bronkodilator akan meningkatkan kapasitas latihan pada pasien PPOK tanpa adanya perubahan VEP1 yang bermakna (evidence A), pengobatan regular


(31)

dengan menggunakan bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibandingkan pengobatan dengan bronkodilator kerja singkat (evidence A).11 Banyak penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil terapi kombinasi inhalasi β2 agonist kerja panjang dan kortikosteroid lebih memberikan efek yang

menguntungkan terhadap fungsi paru, penurunan gejala harian, penurunan frekuensi eksaserbasi dan perbaikan status kesehatan pasien PPOK dibandingkan inhalasi obat tunggal. Pedoman GOLD (2008) merekomendasikan penanganan PPOK dengan pendekatan yang bertahap dimana inhalasi bronkodilator diperkenalkan sejak awal pada pasien PPOK, dan inhalasi kortikosteroid ditambahkan hanya pada keadaan yang berat (VEP1 <50% prediksi), eksaserbasi yang berulang,

dan adanya respon uji faal paru terhadap inhalasi kortikosteroid. Pedoman penatalaksanaan PPOK yang direkomendasikan oleh ATS maupun ERS tahun 2004 juga menyatakan adanya efek yang menguntungkan dari penambahan terapi kombinasi terhadap fungsi paru, berkurangnya gejala, frewensi eksaserbasi serta kualitas hidup pada pasien dengan pemeriksaan VEP1 <50%.24

Sementara bronkodilator kerja singkat direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan. Bronkodilator yang tersedia untuk dipergunakan terdiri dari 3 kelompok: antikolinergik, agonist simpatomimetik, dan metylxantin. Ketiganya memiliki kemampuan dalam meningkatkan fungsi paru pada pasien PPOK. Antikolinergik (khususnya tiotropium) akan menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas melalui antagonis dari asetilkolin reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran napas,

sementara β2-agonist akan menyebabkan bronkodilasi melalui perangsangan reseptor β2,

meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (juga terjadi inhibitor phospodiesterase, seperti metylxantin oral). β2-agonist kerja singkat seperti albeterol onsetnya lebih cepat tetapi durasinya

lebih singkat dibandingkan antikolinergik, sehingga merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi bronkospasme akut. Inhalasi antikolinergik seperti ipratropium, memiliki onset yang lambat dan kerja yang lebih panjang.25


(32)

2.4.2. Peranan Salmeterol/Flutikason propionat dalam Penatalaksanaan PPOK

LABA merupakan bronkodilator lini satu dalam penatalaksanaan PPOK stabil. Efikasi dan keamanan dalam mengatasi obstruksi saluran napas sejalan dengan menurunnya frekwensi eksaserbasi dan beratnya simptom dengan meningkatnya kualitas hidup. Yang menarik, beberapa penelitian mendokumentasikan bahwa inhalasi LABA yaitu salmeterol dan formoterol lebih efektif sebagai pengobatan regular untuk jangka panjang dibandingkan dengan antikolinergik pada pasien PPOK stabil. Hal ini sangat penting karena selama ini antikolinergik lebih dipilih sebagai terapi lini satu jangka panjang pada pasien PPOK stabil. LABA yang diberikan sebagai terapi kombinasi dengan antikolinergik lebih efektif dibandingkan dengan menambahkan SABA pada terapi pasien PPOK stabil.26

Sedikitnya telah dilakukan 2 penelitian yang mengindikasikan bahwa pada pasien PPOK berat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi akan mengurangi derajat eksaserbasi seperti sesak napas, batuk berdahak dan mengi. Eksaserbasi akan memberikan pengaruh negatip terhadap kualitas hidup serta biaya perawatan kesehatan. Saat ini, terdapat pilihan penggunaan inhalasi kortikosteroid dosis tinggi antara lain 500µg flutikason propionat, 800µg budesonid atau 1000µg beklometason dipropionat per hari.6

Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa inhalasi kortikosteroid tidak mempengaruhi sel dan mediator inflamasi pada sputum pasien PPOK stabil, tetapi penelitian lain melaporkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid merangsang respon biologis yang berhubungan dengan perubahan akhir hasil klinis. In vitro kortikosteroid mengurangi penarikan dan aktivasi kemotaksis netrofil. In vivo, kortikosteroid meningkatkan kapasitas inhibisi elastase netrofil dan meningkatkan penurunan netrofil dalam mukus. Lebih lanjut kortikosteroid akan mengurangi mengurangi rasio sel limfosit T CD8/CD4 walaupun tidak


(33)

memberikan efek pada sebagian besar sel inflamasi PPOK. Inhalasi kortikosteroid juga merangsang penurunan jumlah IL8 dan myeloperoxidase pada cairan BAL, sama seperti terjadinya penurunan jumlah sel dan proporsi netrofil sputum. Penemuan ini menyokong penggunaan inhalasi kortikosteroid dalam penatalaksanaan PPOK stabil.26 Salpeter dkk (2008) melakukan evaluasi terhadap 22 penelitian dengan waktu minimum 3 bulan terhadap efikasi dan keamanan dari β2

-agonist (SABA dan LABA) dibandingkan dengan plasebo dan antikolinergik pada PPOK stabil. Hasilnya, hanya 12 penelitian yang membandingkan LABA dengan plasebo atau antikolinergik (7,449 pasien). Mereka mendapatkan bahwa β2-agonist mengurangi resiko eksaserbasi PPOK yang

berat. Kemudian dilakukan evaluasi penelitian dengan waktu minimum 1 bulan dan didapatkan 17 penelitian dengan jumlah pasien 13,845 orang. Hasilnya LABA mengurangi eksaserbasi PPOK yang berat dan memberikan efek yang menguntungkan berdasarkan pemeriksaan terhadap uji faal paru, meningkatnya kualitas hidup dan berkurangnya penggunaan obat-obatan untuk mengatasi serangan dibandingkan dengan plasebo.10 Pada Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β 2-Adrenoceptor Agonists (TRISTAN) memperlihatkan onset perbaikan yang cepat pada pengobatan dengan kombinasi salmeterol dan flutikason propionat.27 Pada pengamatan in vitro menggunakan fibroblast primer paru manusia dan sel otot polos pembuluh darah, LABA merangsang translokasi reseptor glukokortikoid (GR) dari sitosol sel sampai ke inti sel dan merubah respon GR. LABA memiliki kerja yang serupa dengan kortikosteroid dalam menekan inflamasi termasuk kerjanya pada histon asetilasi dan deasetilasi atau melalui efek aktivasi faktor transkripsi nuclear factor

(NF). Yang terbaru diketahui bahwa kombinasi glukokortikoid dan LABA sejalan dengan aktivasi GR meningkatkan ikatan protein yang termasuk kedalam kelompok faktor transkripsi yang merupakan proses differensiasi dari sejumlah jaringan. Lebih lanjut, pemberian secara bersamaan menyebabkan konsentrasi obat lebih efektif dibandingkan jika obat ini diberikan secara terpisah.


(34)

Data ini akan memberi sokongan terhadap pemikiran bahwa kombinasi dua obat memiliki keuntungan jika diberikan secara bersamaan.26

Salmeterol memiliki efek penghambatan mediator inflamasi, sel mast (seperti histamine, leukotrien, dan prostaglandin D2), mengurangi edema saluran napas dengan mengurangi bocornya

plasma, dan mengurangi hiper responsif bronkus. Selain itu, stimulus reseptor epitel β2

-adrenoreseptor meningkatkan pergerakkan silia sehingga terjadi peningkatan daya pembersihan mukosiliari.9 Salmeterol yang nama kimianya adalah 2 - (hydroxymethyl) - 4 - [1 - hydroxyl – 2 - [6-(4-phenylbutoxy) hexylamino] ethyl] -phenol dan formulasi kimianya C25H37NO4 adalah LABA pertama yang diperkenalkan di Amerika Serikat. Molekul dasarnya adalah mirip albuterol dengan rantai etilamin menyambung hingga rantai atom karbon-10 yang berakhir sebagai lingkaran benzyl seperti yang terlihat pada gambar 2.4 di bawah ini. Rantai panjang ini menyebabkan lingkaran terminal yang inaktif berkhir pada reseptor β2, dan menyebabkan juga

bagian aktif dari molekul β2 berulangkali lepas dan menempel kembali pada reseptor. Hal inilah

yang menyebabkan kerja salmeterol bertahan hingga 12 jam dengan range 8 sampai 20 jam.

Salmeterol merupakan molekul lipofilik yang bereaksi dengan lemak dan memiliki molekul mass sekitar 415,57g/mol. Salmeterol merupakan obat yang selektif, bersifat memanjang ke samping melalui membran sel hingga target β2-adrenoreseptor yang merupakan reseptor utama

pada otot polos bronkus. Salmeterol dapat berikatan berulangkali pada reseptor β2 tempat

ikatannya, dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dry powder yang penetrasi ke mukosa

tenggorokan. Di tenggorokan salmeterol diserap, didistribusikan, dimetabolis dan diekskresikan. Salmeterol dapat diberikan secara regular sebanyak 1 sampai 2 semprot setiap 12 jam. Meskipun salmeterol memiliki efek antiinflamasi, sebaiknya tetap diberikan kortikosteroid secara bersamaan. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan takikardia maupun aritmia yang berkepanjangan.28,29,30


(35)

Gambar 2.4. Struktur kimia salmeterol30

Salmeterol menghalangi netrofil melekat pada epitel sel bronkus, selain itu juga mengurangi jumlah netrofil yang melekat pada endotelial pembuluh darah dan mengurangi bocornya plasma. Selain itu juga meningkatkan penumpukan kortikosteroid perifer, dan mengubah aktivitas antiinflamasinya.26

Flutikason propionat (C25H31F3O5S) adalah sintetik glukokortikoid sintetik generasi kedua dalam

bentuk propionat ester. Flutikason propionat digunakan sebagai antiinflamasi dan antipruritik. Nama kimianya adalah S-fluoromethyl-6alpha,9alpha-difluoro-11beta-hydroxy-16alpha-methyl-3-oxo-17alpha-propionyloxyandrosta-1,4-diene-17beta-carbothioate, seperti yang terlihat pada gambar 2.5 di bawah ini. Flutikason propionat merupakan serbuk putih, yang tidak larut dalam air, larut dalam dimethyl sulfoxide dan dimethylformomide, sangat tidak larut dalam alkohol.31


(36)

Gambar 2.5. Struktur kimia flutikason propionat 31

Glukokortikoid berfungsi untuk regulasi karbohidrat dan lemak, metabolisme protein dan menghalangi pelepasan ACTH (adrenocorticotropic hormone). Glukokortikoid juga memiliki pengaruh terhadap otot dan mikrosirkulasi, berperan serta dalam menjaga tekanan darah arteri, meningkatkan sekresi gaster, merubah respon connective tissue terhadap cedera, menghalangi produksi kartilago, menghambat inflamasi, alergi dan respon imunologi, mengurangi jumlah limposit sirkulasi, dan berpengaruh terhadap fungsi sistem saraf pusat.31

Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi standar pada pasien PPOK masih diperdebatkan. Namun pada pasien dengan adanya eksaserbasi yang ditandai dengan memburuknya hambatan aliran udara dengan gejala yang mirip dengan asma maka terapi yang sama dengan terapi asma maka akan mengurangi hambatan aliran udara, edema bronkus, produksi mukus, bronkospasme, dan inflamasi. Penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK stabil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan akan memberikan keuntungan berupa melambatnya penurunan fungsi paru dan


(37)

simpatomimetik dengan meningkatkan daya respon reseptor β2 dan meningkatkan konsentrasi

intraseluler cAMP.26 Inhalasi kortikosteroid biasanya diberikan dengan dosis yang tinggi pada pasien PPOK. GOLD (2008) merekomendasikan penggunaan terapi secara regular dengan inhalasi kortikosteroid baik tunggal maupun dengan kombinasi LABA, diberikan pada pasien PPOK berat (VEP1 < 50% prediksi, dan seringnya eksaserbasi yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan atau tanpa kortikosteroid). Respon terhadap kortikosteroid tergantung pada derajat PPOK. Pemberian inhalasi kortikosteroid pada pasien PPOK derajat 3 meningkatkan kualitas hidup dan berkurangnya eksaserbasi. Kortikosteroid bekerja dengan berikatan pada reseptor glukokortikoid (GR) yang lokalisasinya di sitoplasma sel. GR akan dijumpai pada hampir seluruh jenis sel dan densitasnya bervariasi dari 200 sampai 30.000 per sel, dengan afinitas terhadap kortisol sekitar 30 nM, yang akan turun dalam kadar normal untuk konsentrasi plasma dari hormon yang bebas.33 Inhalasi flutikason propionat pada pasien PPOK stabil secara signifikan juga akan mengurangi jumlah SP-D dan IL-6 dan meningkatkan kualitas hidup serta fungsi paru dalam waktu 4 minggu. Data ini mendukung terapi yang mengandung flutikason propionat akan mengurangi biomarker inflamasi sistemik spesifik. Yang menarik, dengan berkurangnya jumlah SP-D berhubungan dengan meningkatnya kualitas hidup (terutama keluhan sesak napas) dan fungsi paru, mendukung dugaan bahwa inflamasi paru memegang peranan penting dalam kesehatan pasien PPOK. Inhalasi flutikason propionat dengan atau tanpa salmeterol yang secara signifikan mengurangi kadar SP-D mungkin hanya dicapai pada PPOK yang stabil. SP-D adalah glikoprotein kolagen yang besar, multisentrik, dengan berat sekitar 43 kD yang memegang peranan penting dalam imunitas awal dan pertahanan melawan inhalasi mikroorganisme dan partikel. SP-D juga merupakan fungsi utama dalam regulasi hemostatik surfaktan di dalam paru dengan mengatur ultrastruktur surfaktan dan meningkatkan reuptake surfaktan oleh pneumosit tipe II. SP-D


(38)

diproduksi terutama oleh pneumosit tipe II di dalam paru. Asap rokok dapat meningkatkan kadar SP-D di dalam serum. Di paru SP-D berguna untuk pertahanan paru dari oksidan bebas, inflamasi dan stres infeksi. Walaupun demikian, ekspresi sistemik SP-D dapat berbahaya. Peningkatan SP-D berhubungan dengan semakin beratnya penyakit dan berkurangnya status kesehatan. Dari percobaan klinis multisenter yang terbaru didapatkan data yang signifikan dimana inhalasi flutikason propionat atau kombinasinya akan menyebabkan penurunan SP-D dan menigkatnya kualitas kesehatan serta fungsi paru pada pasien PPOK sedang hingga berat.34

Gambar 2.6. Kombinasi LABA dan inhalasi kortikosteroid memutus siklus berat pada PPOK26

Efek salmeterol pada fungsi paru pasien PPOK biasanya terlihat dalam 2 jam setelah inhalasi dosis pertama, dan onset bronkodilator ini tidak berbeda dengan yang dijumpai pada pasien asma. Perubahan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dilaporkan terjadi pada 24 jam setelah inhalasi. Sementara efek flutikason propionat baru terlihat pada 1 sampai 2 hari pengobatan. Vetsbo dkk (2005) mendapatkan efek salmeterol/flutikason pada keluhan sesak napas terlihat dalam 2 hari


(39)

terapi dan respon maksimum terhadap VEP1 serta APE dalam 2 minggu terapi.27 Sementara Pinto-Plana dkk (2006) memperlihatkan hubungan yang signifikan antara penggunaan jangka panjang inhalasi flutikason propionat dengan atau tanpa salmeterol dengan menurunkan level C-reactive protein (CRP) pada pasien PPOK yang mendapatkan terapi kombinasi.34 Penelitian yang dilakukan oleh Jing-pin dkk (2007) dengan memberikan kombinasi salmeterol(50µg)/flutikason propionat (500µg) pada pasien PPOK di Cina mendapatkan hasil peningkatan fungsi paru dan berkurangnya gejala klinis pada kelompok yang diberi perlakuan dibandingkan kelompok plasebo.35 Make dkk (2005) yang melakukan penelitian selama 8 minggu pada pasien 361 pasien PPOK derajat sedang hingga berat dengan menggunakan kombinasi salmeterol flutikason propionat sebanyak 2 inhalasi perhari, mendapatkan hasil perbaikan VEP1 dan APE pagi, berkurangnya gejala yang timbul pada malam hari, terbangun malam hari akibat gejala respirasi, dan penggunaan harian salbutamol sebagai penolong saat eksaserbasi. Dal Negro dkk (2003) yang melakukan penelitian pada 18 pasien PPOK yang diobservasi selama 52 minggu, mendapatkan penurunan eksaserbasi selain peningkatan VEP1 pada kelompok yang diberikan salmeterol/flutikason propionat.

Peninjauan sistemik terhadap penelitian kombinasi salmeterol/flutikason propionat yang dilaporkan oleh Sin dkk (2003) dan Nannini dkk (2004) menyimpulkan terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan plasebo, secara klinis terjadi peningkatan fungsi paru, berkurangnya frekuensi eksaserbasi dan skor kualitas hidup. Barnes dkk (2006) yang melakukan biopsi bronkus untuk mengukur inflamasi saluran napas, mendapatkan kelompok yang diterapi dengan salmeterol/flutikason propionat jumlah sel T CD8 dan CD4 akan berkurang. Tetapi rasio CD8/CD4 tidak berubah. Dan terdapat sedikit penurunan jumlah netrofil pada kelompok ini. Dan yang terakhir yang dilakukan oleh Sin dkk (2006) yang meneliti berkurangnya inflamasi sistemik pada


(40)

pasien serta meningkatnya kualitas hidup pada pasien PPOK, menegaskan efek salmeterol/flutikason propionat pada inflamasi sistemik adalah merupakan efek sekunder terhadap inflamasi sistemik tersebut. Dan kontrol terhadap inflamasi sistemik merupakan hasil kontrol terhadap inflamasi lokal di paru.36


(41)

2.5. Kerangka Konsep

PPOK

Inflamasi Paru

pe↗ sel inflamasi : netrofil, makropag limposit T CD8

pe↗ mediator inflamasi: TNFα, CRP, IL-6, IL-8

Perubahan Anatomi Paru

Inhalasi salmeterol/flutikason propionat 50/500µg Perubahan Fungsi Paru

Peningkatan Kualitas Hidup

Gangguan Sistemik

Penurunan Kualitas Hidup

me↘ edema saluran napas me↘ hiperresponsif paru me↘ mediator / sel inflamasi

me↗fungsi paru me↘gejala klinis


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1. Epidemiologi

Kebanyakan informasi tentang PPOK mengenai prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berasal dari negara berkembang. Data prevalensi dan morbiditas biasanya diperkirakan lebih rendah dari data yang sebenarnya karena penyakit ini biasanya tidak terdiagnosis sampai adanya gejala klinis dan perburukan. Penelitian yang dilakukan dari tahun 1990 hingga 2004 pada 28 negara mendapatkan prevalensi PPOK lebih tinggi pada pasien perokok dibandingkan bukan perokok. Diperkirakan prevalensi pasien PPOK derajat sedang hingga berat sekitar 6,3%. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta pasien PPOK yang dirawat jalan, 1,5 juta yang dirawat di departemen emergensi, dan 673.000 yang dirawat inap.11,12,13,14 Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT tahun 1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkitis kronik, dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian tersering di Indonesia.15 Sementara SKRT Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1995 menunjukkan PPOK diperingkat ke-5 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Data di RS. Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional menunjukkan PPOK menduduki peringkat ke-4 dari jumlah pasien yang dirawat.5

2.1.2. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi

Perubahan patologi yang khas pada penderita PPOK di saluran napas besar berupa infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel yang menyebabkan hipersekresi mukus, di saluran napas


(43)

kecil terjadi fibrosis, di parenkim paru terjadi terjadi empisema, serta di pembuluh darah pulmonal berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding pembuluh darah pulmonal.16 Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada paru yang menjadi dasar seseorang menderita PPOK. Respon inflamasi ini merangsang kerusakan jaringan parenkim sehingga terjadi empisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menyebabkan fibrosis di saluran napas kecil). Perubahan patologi ini akan menyebabkan air trapping dan hambatan aliran udara yang progresif. Inflamasi dan perubahan struktur pada saluran napas ini akan berlanjut sesuai dengan derajat penyakit dan bertahan meskipun telah berhenti merokok.11

Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pada pasien PPOK merupakan respon

inflamasi saluran pernapasan terhadap iritan kronik seperti asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya. Inflamasi paru akan dijelaskan lebih lanjut oleh stres oksidatif dan meningkatkan jumlah proteinase paru. Mekanisme ini secara bersamaan menimbulkan karakteristik perubahan patologi pada PPOK, seperti yang terlihat pada gambar 2.1.


(44)

Gambar 2.1. Patogenesis PPOK11

Biomarker dari stres oksidatif (seperti hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada

pasien PPOK. Oksidan terbentuk oleh asap rokok dan partikel terinhalasi lainnya, dan dilepaskan

dari sel inflamasi yang teraktivasi seperti makropag dan netrofil. Dan terdapat penurunan

antioksidan endogenus pada pasien PPOK. Stres oksidatif mengaktivasi gen inflamasi, inaktifnya

antiprotease, merangsang pembentukan mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi

mukus disebabkan juga oleh metaplasia dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran

kelenjar submukosa terhadap iritasi kronik oleh asap rokok dan zat terinhalasi lainnya. Beberapa

mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus. Sejumlah protease berasal dari sel

inflamasi dan sel epitel meningkat jumlahnya pada pasien PPOK. Protease memerantai kerusakan

dari elastin, komponen jaringan konektif utama, yang merupakan bagian penting dalam terjadinya


(45)

2.2. Inflamasi Pada PPOK

PPOK memiliki karakteristik berupa pola inflamasi lokal dan sistemik dimana sel inflamasi yang berperan di dalamnya terdiri dari netrofil, makropag, dan sel limposit T CD8. Sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berikatan dengan struktur sel pada saluran napas serta parenkim paru.11,16 Netrofil merangsang hipersekresi mukus. Netrofil berperan sebagai sel kunci dalam terjadinya empisema dan hal ini diketahui sejak defisiensi α1-antitripsin memiliki hubungan

dengan penyakit ini. Analisa terhadap otot polos saluran napas memperlihatkan hubungan antara infiltrasi netrofil dengan air trapping dan beratnya obstruksi saluran napas. Para peneliti memperkirakan bahwa mediator inflamasi akan berakibat terhadap perubahan struktur dan kontraktilitas otot saluran napas, dan menyebabkan obstruksi saluran napas perifer.17 Makropag sebagai sel inflamasi utama akan melepaskan reactive oxygen species (ROS), faktor kemotaktik, sitokin inflamasi, aktivasi kelenjar mukus, dan protein matriks ekstraseluler. Juga termasuk

kumpulan dari matrix metalloprotease enzymes (MMPs). Pada PPOK fungsi limfosit T CD8

adalah merangsang apoptosis sel. Penelitian lainnya mendapatkan aktivitas dari limfosit T CD8 dalam terbentuknya empisema.17 Sejumlah besar mediator inflamasi seperti leukotrien B4, IL-8, IL-6, TNF-α akan meningkat pada pasien PPOK. Penarikan sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), akan menyebabkan kerusakan pada struktur paru atau bertahannya inflamasi netrofilik.11,16,18 Inflamasi PPOK ditandai dengan meningkatnya jumlah netrofil dan sel limfosit T CD8, sedangkan pada asma terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan sel limfosit T CD4. Mediator

inflamasi dan sel inflamasi yang aktif termasuk Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan

Interleukin-6 (IL-6) akan dilepaskan ke sirkulasi sistemik pasien PPOK. Beberapa penelitian memperlihatkan penurunan fungsi paru berhubungan dengan meningkatnya faktor inflamasi sistemik yang naik saat terjadi eksaserbasi, dan faktor ini memberikan kontribusi terhadap


(46)

morbiditas pasien PPOK. Kontribusi kronik, dan low-grade inflammation akan menyebabkan resiko penyakit sistemik lainnya, sebagai contoh meningkatnya resiko arterosklerosis, gagal jantung kronik, obesitas maupun diabetes. Meningkatnya inflamasi sistemik akan merangsang peningkatan mediator seperti C-reactive protein (CRP) yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya disfungsi otot skeletal, berat badan menurun, depresi, osteoporosis dan berkurangnya status kesehatan. Meningkatnya TNF-α dan IL-6 berhubungan dengan arterosklerosis. Dan yang terbaru didapatkan bahwa meningkatnya IL-6 berhubungan dengan meningkatnya prevalensi resistensi insulin pada pasien PPOK.19,20 Intensitas inflamasi sistemik akan meningkat saat PPOK eksaserbasi. Asal inflamasi sistemik pada pasien PPOK yaitu dari asap rokok, hiperinflasi paru, hipoksia jaringan, disfungsi otot, dan bone marrow.20 Penurunan VEP1 berasal dari inflamasi dan

penyempitan saluran napas perifer, sementara penurunan pertukaran gas yang berasal dari

kerusakan parenkim dari empisema. Pada inflamasi yang berlanjut, fibrosis dan eksudasi pada

saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan perbandingan VEP1/KVP. Obstruksi

saluran napas perifer yang progresif akan memerangkap udara selama ekspirasi menghasilkan

hiperinflasi yang akan mengurangi kapasitas inspirasi dan akan menyebabkan sesak napas dan

keterbatasan kepasitas latihan. Abnormalnya pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan

hiperkapnia pada pasien PPOK yang beratnya sejalan dengan perjalanan penyakit.11

2.3. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK

Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan dijumpai tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis berupa sesak napas, batuk kronik atau produksi sputum. Pada pasien PPOK derajat ringan sering dijumpai batuk berdahak pada pagi hari sementara pada pasien PPOK derajat sedang gejala klinis jelas terlihat, dan pada pasien PPOK derajat berat sesak napas terjadi bahkan pada aktivitas yang ringan.


(47)

Dijumpainya riwayat pajanan seperti riwayat merokok, terpajan zat iritan inhalasi yang bermakna di tempat kerja. Dari pemeriksaan fisis pada PPOK dini tidak dijumpai kelainan, sedang pada PPOK yang lanjut dari inspeksi dapat dijumpai pursed-lip breathing, barrel chest, penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga. Dari pemeriksaan fremitus melemah, pada perkusi dijumpai hipersonor, sedangkan dari auskultasi dijumpai suara napas melemah, ekspirasi memanjang, terdapat ronki kering atau mengi, bunyi jantung terdengar jauh. Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diapragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, bulla, jantung pendulum.1,15 Diagnosis harus dikonfirmasi lagi dengan spirometri. Pada PPOK derajat ringan terkadang spirometri didapat normal. Hasil spirometri berupa VEP1/KVP < 70% dan VEP1 < 80% prediksi dianggap sebagai adanya hambatan

aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.10 Apabila fasilitas spirometri tidak tersedia,

peakflow meter dapat digunakan untuk mengukur Arus Puncak Ekspirasi (APE) walau kurang tepat tetapi dapat dipakai sebagai alternatif untuk memantau variabiliti harian pagi dan sore dengan nilai yang didapat tidak lebih dari 20% prediksi.15 Pemeriksaan khusus yang tidak rutin dilakukan antara lain : uji bronkodilator yang dilakukan sekali saja pada saat penegakkan diagnosis, dapat menyingkirkan diagnosis asma. Setelah pemberian inhalasi bronkodilator sebanyak 8 hisapan, sekitar 15 sampai 20 menit kemudian diukur perubahan nilai VEP1 atau APE, akan dijumpai

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal. Uji kortikosteroid dilakukan dengan menilai

perbaikan faal paru setelah pemberian oral kortikosteroid (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 sampai 50 mg per harinya selama 2 minggu atau dengan inhalasi steroid selama 6 minggu hingga 3 bulan,dan dijumpai peningkatan VEP1 sebanyak 200 ml atau 15% dari nilai awal.

Adanya respon terhadap kortikosteroid akan menjadikannya salah satu terapi regular bersama dengan bronkodilator pada pasien PPOK stabil.15,21,22


(48)

ATS dan ERS beserta GOLD membuat suatu sistem penderajatan untuk PPOK berdasarkan nilai VEP1 prediksi. Ada 5 derajat untuk klasifikasi PPOK dari ringan (derajat I) hingga berat (derajat

IV) seperti yang terlihat pada tabel 2.1.12

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK11 Gold 2009

Derajat Karakteristik

Derajat I : PPOK Ringan

VEP1/KVP < 70% VEP1≥ 80% prediksi Derajat II :

PPOK Sedang

VEP1/KVP < 70%

50%≤ VEP1< 80% prediksi Derajat III :

PPOK Berat

VEP1/KVP < 70%

30%≤ VEP1< 50% prediksi Derajat IV :

PPOK Sangat Berat

VEP1/KVP < 70%

VEP1 < 30% prediksi atau

VEP1 <50 dengan gagal napas kronis

Alat ukur kualitas hidup umumnya meliputi spektrum fungsi yang luas berhubungan dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipakai sebagai alat ukur berbagai macam penyakit.

Beberapa contoh kuesioner yang dapat dipakai adalah Chronic Respiratory Diseases

Questionnaire (CRDQ) dari Guyat dkk dan St. George’s’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) dari Jones dkk. SGQR merupakan kuesioner spesifik untuk mengukur kualitas hidup penderita saluran napas kronik. Terdiri dari 76 butir yang dibagi dalam 3 komponen yaitu :

- Gejala penyakit yang berhubungan dengan gejala saluran napas, frekwensi dan beratnya gejala tersebut.

- Aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan yang menyebabkan sesak napas atau

terhambat karena sesak.

- Dampak yang meliputi rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan


(49)

Setiap jawaban kuesioner mempunyai bobot yang diambil secara empiris. Bobot paling kecil = 0, bobot paling besar = 100. Setiap komponen bobot untuk jawaban positip dijumlahkan. Nilai dihitung dengan membagi jumlah bobot dengan nilai maksimum untuk komponen tersebut dan hasil dinyatakan dalam persen. Nilai yang lebih rendah menggambarkan keadaan kesehatan yang lebih baik.5

Saat ini telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana, dapat dipercaya yaitu COPD assessment test (CAT)/ Uji penilaian PPOK yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor antara 0 sampai 40. Hal ini memudahkan pasien untuk mengisinya. Pertanyaan ini diambil dari derajat penyakit, dengan kesimpulan berupa ringan hingga berat. Skor yang tinggi menunjukkan status kesehatan yang buruk. Pertanyaan meliputi tentang batuk, dahak, dada tertekan, sesak napas, kemampuan menaiki tangga, keterbatasan aktivitas di rumah, kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah, tidur dan energi. Pertanyaan lebih ditekankan pada sesak saat menaiki tangga pada pasien dengan keadaan ringan, pertanyaan untuk pasien dengan keadaan berat lebih ditekankan pada kepercayaan diri untuk meninggalkan rumah. Skor diatas 30 menunjukkan keadaan yang sangat berat, skor diatas 20 menunjukkan keadaan yang berat, skor antara 10 sampai 20 menunjukkan keadaan yang sedang dan skor dibawah 10 menunjukkan keadaan yang ringan.23

2.4. Penatalaksanaan PPOK

Secara umum tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru


(50)

Hal ini dapat dicapai melalui penatalaksaan PPOK yang secara umum meliputi :

Edukasi; Obat-obatan berupa bronkodilator yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi; Terapi oksigen; Ventilasi mekanik; Nutrisi; Rehabilitasi dengan latihan fisis, latihan pernapasan dan Fisioterapi dada.15 Terapi pada setiap derajat PPOK tertera pada gambar 2.2 di bawah ini.


(51)

2.4.1. Penatalaksanaan PPOK stabil

Algoritme PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

Berhenti merokok Pengetahuan dasar PPOK Obat-obatan Pencegahan perburukan penyakit Menghindari pencetus Penyesuaian aktivitas REGULER bronkodilator • Antikolinergik

• Β2 agonist

• Xantin • Kombinasi SABA+ antikolinergik • Kombinasi LABA+ kortikosteroid • Antioksidan Dipertimbangkan : mukolitik • Rehabilitasi

• Terapi oksigen

• Vaksinasi

• Nutrisi

• Ventilasi non mekanik

• Intervensi bedah

Gambar 2.3. Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil1

Strategi pentalaksanaan berdasarkan penilaian derajat penyakit dan respon terhadap terapi, hal ini tertera pada gambar 3 di atas. Derajat penyakit ditentukan oleh gejala dan hambatan aliran napas serta frekwensi eksaserbasi, komplikasi, gagal napas, penyakit komorbid serta status kesehatan pasien.21 Semua golongan bronkodilator akan meningkatkan kapasitas latihan pada pasien PPOK tanpa adanya perubahan VEP1 yang bermakna (evidence A), pengobatan regular


(52)

dengan menggunakan bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibandingkan pengobatan dengan bronkodilator kerja singkat (evidence A).11 Banyak penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil terapi kombinasi inhalasi β2 agonist kerja panjang dan kortikosteroid lebih memberikan efek yang

menguntungkan terhadap fungsi paru, penurunan gejala harian, penurunan frekuensi eksaserbasi dan perbaikan status kesehatan pasien PPOK dibandingkan inhalasi obat tunggal. Pedoman GOLD (2008) merekomendasikan penanganan PPOK dengan pendekatan yang bertahap dimana inhalasi bronkodilator diperkenalkan sejak awal pada pasien PPOK, dan inhalasi kortikosteroid ditambahkan hanya pada keadaan yang berat (VEP1 <50% prediksi), eksaserbasi yang berulang,

dan adanya respon uji faal paru terhadap inhalasi kortikosteroid. Pedoman penatalaksanaan PPOK yang direkomendasikan oleh ATS maupun ERS tahun 2004 juga menyatakan adanya efek yang menguntungkan dari penambahan terapi kombinasi terhadap fungsi paru, berkurangnya gejala, frewensi eksaserbasi serta kualitas hidup pada pasien dengan pemeriksaan VEP1 <50%.24

Sementara bronkodilator kerja singkat direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan. Bronkodilator yang tersedia untuk dipergunakan terdiri dari 3 kelompok: antikolinergik, agonist simpatomimetik, dan metylxantin. Ketiganya memiliki kemampuan dalam meningkatkan fungsi paru pada pasien PPOK. Antikolinergik (khususnya tiotropium) akan menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas melalui antagonis dari asetilkolin reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran napas,

sementara β2-agonist akan menyebabkan bronkodilasi melalui perangsangan reseptor β2,

meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (juga terjadi inhibitor phospodiesterase, seperti metylxantin oral). β2-agonist kerja singkat seperti albeterol onsetnya lebih cepat tetapi durasinya

lebih singkat dibandingkan antikolinergik, sehingga merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi bronkospasme akut. Inhalasi antikolinergik seperti ipratropium, memiliki onset yang lambat dan kerja yang lebih panjang.25


(53)

2.4.2. Peranan Salmeterol/Flutikason propionat dalam Penatalaksanaan PPOK

LABA merupakan bronkodilator lini satu dalam penatalaksanaan PPOK stabil. Efikasi dan keamanan dalam mengatasi obstruksi saluran napas sejalan dengan menurunnya frekwensi eksaserbasi dan beratnya simptom dengan meningkatnya kualitas hidup. Yang menarik, beberapa penelitian mendokumentasikan bahwa inhalasi LABA yaitu salmeterol dan formoterol lebih efektif sebagai pengobatan regular untuk jangka panjang dibandingkan dengan antikolinergik pada pasien PPOK stabil. Hal ini sangat penting karena selama ini antikolinergik lebih dipilih sebagai terapi lini satu jangka panjang pada pasien PPOK stabil. LABA yang diberikan sebagai terapi kombinasi dengan antikolinergik lebih efektif dibandingkan dengan menambahkan SABA pada terapi pasien PPOK stabil.26

Sedikitnya telah dilakukan 2 penelitian yang mengindikasikan bahwa pada pasien PPOK berat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi akan mengurangi derajat eksaserbasi seperti sesak napas, batuk berdahak dan mengi. Eksaserbasi akan memberikan pengaruh negatip terhadap kualitas hidup serta biaya perawatan kesehatan. Saat ini, terdapat pilihan penggunaan inhalasi kortikosteroid dosis tinggi antara lain 500µg flutikason propionat, 800µg budesonid atau 1000µg beklometason dipropionat per hari.6

Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa inhalasi kortikosteroid tidak mempengaruhi sel dan mediator inflamasi pada sputum pasien PPOK stabil, tetapi penelitian lain melaporkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid merangsang respon biologis yang berhubungan dengan perubahan akhir hasil klinis. In vitro kortikosteroid mengurangi penarikan dan aktivasi kemotaksis netrofil. In vivo, kortikosteroid meningkatkan kapasitas inhibisi elastase netrofil dan meningkatkan penurunan netrofil dalam mukus. Lebih lanjut kortikosteroid akan mengurangi mengurangi rasio sel limfosit T CD8/CD4 walaupun tidak


(54)

memberikan efek pada sebagian besar sel inflamasi PPOK. Inhalasi kortikosteroid juga merangsang penurunan jumlah IL8 dan myeloperoxidase pada cairan BAL, sama seperti terjadinya penurunan jumlah sel dan proporsi netrofil sputum. Penemuan ini menyokong penggunaan inhalasi kortikosteroid dalam penatalaksanaan PPOK stabil.26 Salpeter dkk (2008) melakukan evaluasi terhadap 22 penelitian dengan waktu minimum 3 bulan terhadap efikasi dan keamanan dari β2

-agonist (SABA dan LABA) dibandingkan dengan plasebo dan antikolinergik pada PPOK stabil. Hasilnya, hanya 12 penelitian yang membandingkan LABA dengan plasebo atau antikolinergik (7,449 pasien). Mereka mendapatkan bahwa β2-agonist mengurangi resiko eksaserbasi PPOK yang

berat. Kemudian dilakukan evaluasi penelitian dengan waktu minimum 1 bulan dan didapatkan 17 penelitian dengan jumlah pasien 13,845 orang. Hasilnya LABA mengurangi eksaserbasi PPOK yang berat dan memberikan efek yang menguntungkan berdasarkan pemeriksaan terhadap uji faal paru, meningkatnya kualitas hidup dan berkurangnya penggunaan obat-obatan untuk mengatasi serangan dibandingkan dengan plasebo.10 Pada Trial of Inhaled Steroids And Long-Acting β 2-Adrenoceptor Agonists (TRISTAN) memperlihatkan onset perbaikan yang cepat pada pengobatan dengan kombinasi salmeterol dan flutikason propionat.27 Pada pengamatan in vitro menggunakan fibroblast primer paru manusia dan sel otot polos pembuluh darah, LABA merangsang translokasi reseptor glukokortikoid (GR) dari sitosol sel sampai ke inti sel dan merubah respon GR. LABA memiliki kerja yang serupa dengan kortikosteroid dalam menekan inflamasi termasuk kerjanya pada histon asetilasi dan deasetilasi atau melalui efek aktivasi faktor transkripsi nuclear factor

(NF). Yang terbaru diketahui bahwa kombinasi glukokortikoid dan LABA sejalan dengan aktivasi GR meningkatkan ikatan protein yang termasuk kedalam kelompok faktor transkripsi yang merupakan proses differensiasi dari sejumlah jaringan. Lebih lanjut, pemberian secara bersamaan menyebabkan konsentrasi obat lebih efektif dibandingkan jika obat ini diberikan secara terpisah.


(55)

Data ini akan memberi sokongan terhadap pemikiran bahwa kombinasi dua obat memiliki keuntungan jika diberikan secara bersamaan.26

Salmeterol memiliki efek penghambatan mediator inflamasi, sel mast (seperti histamine, leukotrien, dan prostaglandin D2), mengurangi edema saluran napas dengan mengurangi bocornya

plasma, dan mengurangi hiper responsif bronkus. Selain itu, stimulus reseptor epitel β2

-adrenoreseptor meningkatkan pergerakkan silia sehingga terjadi peningkatan daya pembersihan mukosiliari.9 Salmeterol yang nama kimianya adalah 2 - (hydroxymethyl) - 4 - [1 - hydroxyl – 2 - [6-(4-phenylbutoxy) hexylamino] ethyl] -phenol dan formulasi kimianya C25H37NO4 adalah LABA pertama yang diperkenalkan di Amerika Serikat. Molekul dasarnya adalah mirip albuterol dengan rantai etilamin menyambung hingga rantai atom karbon-10 yang berakhir sebagai lingkaran benzyl seperti yang terlihat pada gambar 2.4 di bawah ini. Rantai panjang ini menyebabkan lingkaran terminal yang inaktif berkhir pada reseptor β2, dan menyebabkan juga

bagian aktif dari molekul β2 berulangkali lepas dan menempel kembali pada reseptor. Hal inilah

yang menyebabkan kerja salmeterol bertahan hingga 12 jam dengan range 8 sampai 20 jam.

Salmeterol merupakan molekul lipofilik yang bereaksi dengan lemak dan memiliki molekul mass sekitar 415,57g/mol. Salmeterol merupakan obat yang selektif, bersifat memanjang ke samping melalui membran sel hingga target β2-adrenoreseptor yang merupakan reseptor utama

pada otot polos bronkus. Salmeterol dapat berikatan berulangkali pada reseptor β2 tempat

ikatannya, dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dry powder yang penetrasi ke mukosa

tenggorokan. Di tenggorokan salmeterol diserap, didistribusikan, dimetabolis dan diekskresikan. Salmeterol dapat diberikan secara regular sebanyak 1 sampai 2 semprot setiap 12 jam. Meskipun salmeterol memiliki efek antiinflamasi, sebaiknya tetap diberikan kortikosteroid secara bersamaan. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan takikardia maupun aritmia yang berkepanjangan.28,29,30


(56)

Gambar 2.4. Struktur kimia salmeterol30

Salmeterol menghalangi netrofil melekat pada epitel sel bronkus, selain itu juga mengurangi jumlah netrofil yang melekat pada endotelial pembuluh darah dan mengurangi bocornya plasma. Selain itu juga meningkatkan penumpukan kortikosteroid perifer, dan mengubah aktivitas antiinflamasinya.26

Flutikason propionat (C25H31F3O5S) adalah sintetik glukokortikoid sintetik generasi kedua dalam

bentuk propionat ester. Flutikason propionat digunakan sebagai antiinflamasi dan antipruritik. Nama kimianya adalah S-fluoromethyl-6alpha,9alpha-difluoro-11beta-hydroxy-16alpha-methyl-3-oxo-17alpha-propionyloxyandrosta-1,4-diene-17beta-carbothioate, seperti yang terlihat pada gambar 2.5 di bawah ini. Flutikason propionat merupakan serbuk putih, yang tidak larut dalam air, larut dalam dimethyl sulfoxide dan dimethylformomide, sangat tidak larut dalam alkohol.31


(57)

Gambar 2.5. Struktur kimia flutikason propionat 31

Glukokortikoid berfungsi untuk regulasi karbohidrat dan lemak, metabolisme protein dan menghalangi pelepasan ACTH (adrenocorticotropic hormone). Glukokortikoid juga memiliki pengaruh terhadap otot dan mikrosirkulasi, berperan serta dalam menjaga tekanan darah arteri, meningkatkan sekresi gaster, merubah respon connective tissue terhadap cedera, menghalangi produksi kartilago, menghambat inflamasi, alergi dan respon imunologi, mengurangi jumlah limposit sirkulasi, dan berpengaruh terhadap fungsi sistem saraf pusat.31

Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi standar pada pasien PPOK masih diperdebatkan. Namun pada pasien dengan adanya eksaserbasi yang ditandai dengan memburuknya hambatan aliran udara dengan gejala yang mirip dengan asma maka terapi yang sama dengan terapi asma maka akan mengurangi hambatan aliran udara, edema bronkus, produksi mukus, bronkospasme, dan inflamasi. Penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK stabil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan akan memberikan keuntungan berupa melambatnya penurunan fungsi paru dan


(58)

simpatomimetik dengan meningkatkan daya respon reseptor β2 dan meningkatkan konsentrasi

intraseluler cAMP.26 Inhalasi kortikosteroid biasanya diberikan dengan dosis yang tinggi pada pasien PPOK. GOLD (2008) merekomendasikan penggunaan terapi secara regular dengan inhalasi kortikosteroid baik tunggal maupun dengan kombinasi LABA, diberikan pada pasien PPOK berat (VEP1 < 50% prediksi, dan seringnya eksaserbasi yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan atau tanpa kortikosteroid). Respon terhadap kortikosteroid tergantung pada derajat PPOK. Pemberian inhalasi kortikosteroid pada pasien PPOK derajat 3 meningkatkan kualitas hidup dan berkurangnya eksaserbasi. Kortikosteroid bekerja dengan berikatan pada reseptor glukokortikoid (GR) yang lokalisasinya di sitoplasma sel. GR akan dijumpai pada hampir seluruh jenis sel dan densitasnya bervariasi dari 200 sampai 30.000 per sel, dengan afinitas terhadap kortisol sekitar 30 nM, yang akan turun dalam kadar normal untuk konsentrasi plasma dari hormon yang bebas.33 Inhalasi flutikason propionat pada pasien PPOK stabil secara signifikan juga akan mengurangi jumlah SP-D dan IL-6 dan meningkatkan kualitas hidup serta fungsi paru dalam waktu 4 minggu. Data ini mendukung terapi yang mengandung flutikason propionat akan mengurangi biomarker inflamasi sistemik spesifik. Yang menarik, dengan berkurangnya jumlah SP-D berhubungan dengan meningkatnya kualitas hidup (terutama keluhan sesak napas) dan fungsi paru, mendukung dugaan bahwa inflamasi paru memegang peranan penting dalam kesehatan pasien PPOK. Inhalasi flutikason propionat dengan atau tanpa salmeterol yang secara signifikan mengurangi kadar SP-D mungkin hanya dicapai pada PPOK yang stabil. SP-D adalah glikoprotein kolagen yang besar, multisentrik, dengan berat sekitar 43 kD yang memegang peranan penting dalam imunitas awal dan pertahanan melawan inhalasi mikroorganisme dan partikel. SP-D juga merupakan fungsi utama dalam regulasi hemostatik surfaktan di dalam paru dengan mengatur ultrastruktur surfaktan dan meningkatkan reuptake surfaktan oleh pneumosit tipe II. SP-D


(59)

diproduksi terutama oleh pneumosit tipe II di dalam paru. Asap rokok dapat meningkatkan kadar SP-D di dalam serum. Di paru SP-D berguna untuk pertahanan paru dari oksidan bebas, inflamasi dan stres infeksi. Walaupun demikian, ekspresi sistemik SP-D dapat berbahaya. Peningkatan SP-D berhubungan dengan semakin beratnya penyakit dan berkurangnya status kesehatan. Dari percobaan klinis multisenter yang terbaru didapatkan data yang signifikan dimana inhalasi flutikason propionat atau kombinasinya akan menyebabkan penurunan SP-D dan menigkatnya kualitas kesehatan serta fungsi paru pada pasien PPOK sedang hingga berat.34

Gambar 2.6. Kombinasi LABA dan inhalasi kortikosteroid memutus siklus berat pada PPOK26

Efek salmeterol pada fungsi paru pasien PPOK biasanya terlihat dalam 2 jam setelah inhalasi dosis pertama, dan onset bronkodilator ini tidak berbeda dengan yang dijumpai pada pasien asma. Perubahan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dilaporkan terjadi pada 24 jam setelah inhalasi. Sementara efek flutikason propionat baru terlihat pada 1 sampai 2 hari pengobatan. Vetsbo dkk (2005) mendapatkan efek salmeterol/flutikason pada keluhan sesak napas terlihat dalam 2 hari


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Telah dilakukan penelitian terhadap pasien PPOK stabil derajat sedang sampai sangat berat dengan memberikan inhalasi kombinasi salmeterol/flutikason propionat 50/500 µg melalui diskus selama 30 hari, dan didapatkan hasil :

1. Terjadi peningkatan kualitas hidup pada penderita PPOK stabil derajat sedang sampai sangat berat yang diukur dengan St. George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan COPD Assessment Test (CAT) dibandingkan dengan pemberian plasebo. Penurunan nilai persentase SGRQ dan CAT pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok plasebo berbeda bermakna secara statistik (p=0,001).

2. Terjadi peningkatan nilai faal paru VEP1 (ml) pada kelompok perlakuan yang bermakna secara statistik (p=0,001).

3. Terjadi penurunan derajat sesak pada pasien kelompok perlakuan dengan menggunakan alat ukur skala sesak Medical Research Council (MRC) dan didapatkan penurunan derajat sesak yang bermakna secara statistik (p=0,001).

4. Terjadi peningkatan kemampuan aktivitas pada kelompok perlakuan yang diukur dengan menggunakan Uji Jalan 6 Menit/ 6 Minute Walking Test (6MWT) pada pasien PPOK stabil meningkatkan jarak tempuh (meter) yang bermakna secara statistik (p=0,001).

5. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik kejadian eksaserbasi pada pasien kelompok perlakuan dibandingkan kelompok plasebo hingga hari ke-30 (p=0,157).


(2)

6. Mulut kering merupakan efek samping yang dirasakan pasien kelompok perlakuan hingga hari ke-30 dan dibandingkan kelompok plasebo tidak berbeda bermakna secara statistik (p=0,469).

7. Penggunaan β2 agonist kerja singkat Inhalasi Dosis Terukur (IDT) pada kelompok perlakuan sebagai pelega berkurang selama 30 hari dibandingkan kelompok plasebo dan bermakna secara statistik (p=0,025).

5.2. Saran

1. Kualitas hidup dan uji jalan 6 menit pada pasien PPOK sebaiknya rutin diukur terutama setelah mendapatkan terapi tertentu sehingga dapat mengevaluasi kemajuan yang dicapai oleh pasien PPOK setelah mendapatkan terapi tersebut.

2. Inhalasi kombinasi β2 agonist kerja panjang dengan kortikosteroid merupakan salah satu terapi pada pasien PPOK terutama untuk derajat berat sampai sangat berat dalam kesehariannya dan pilihan inhalasi kombinasi β2 agonist kerja panjang dengan kortikosteroid sebaiknya yang terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK tersebut.

3. Penelitian ini dilakukan dengan waktu yang singkat (30 hari) sehingga untuk melihat pengaruh terapi inhalsi kombinasi β2 agonist kerja panjang dengan kortikosteroid terhadap pasien PPOK perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jangka waktu yang lebih panjang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2004

2. D’Urzo AD, De Salvo MC, Ramierez-Rivera A, Almeida J, Sichletidis L, Rapatz G et al. in patients with COPD, treatment with a combination of Formoterol and Ipratropium is more effective than a combination of Salbutamol and ipratropium, a 3-week, Randomized, double-blind, within-patient, multicenter study. Chest 2001; 119:1347-1356

3. Devereux G. ABC of chronic obstructive pulmonary disease, definition, epidemiology, and risk factors. Available from www.BMJ.com. Accessed on March 2008

4. Pusdalin-IDI. FK UI tambah dua guru besar. Available from www.idionline.org/katagori/infoo_profesi/313. Accessed on April 2008

5. Partodimulyo AP, Mangunnegoro H, Yunus F, Hartono S. Penilaian kualiti hidup dengan menggunakan St George’s Respiratory Questionnaire (SGQR) pada penderita PPOK yang mendapatkan pengobatan agonis β2 dibandingkan dengan kombinasi agonis β2 + antikolinergik. J Respir Indo 2006; 26:11-18

6. Anthonisen N, Boule M. Pharmacologic management of stable COPD. In: Bourbeau J, Nault D, Borycki E, eds. Comprehensive management of COPD. London: BC Decker; 2002.65-78

7. Rabe KF, Timmer W, Sagkriotis A, Viel K. Comparison of a combination of tiotropium plus formoterol to sameterol plus fluticasone in moderate COPD. Chest 2008; 134:255-262 8. Groneberg F, Fischer A, Welte T. Fixed combination therapies in COPD-effect on quality

life. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2007; 2(4):551-557

9. Hanania NC, Darken P, Horstman D, Reisner C, Lee B, Davis S et al. The efficacy and safety of fluticasone propionat (250 mg)/salmeterol(50 mg) combined in the diskus inhaler for the treatment of COPD. Chest 2003; 124:834-843

10.Rodrigo GJ, Nannini LJ, Rodri’guez-Roisin R. Safety of long-acting β2-agonist in stable COPD. Chest 2008; 133:1079-1087

11.Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease; updated 2009

12. Montes de osca M. Chronic obstructive pulmonary disease: definition guidelines, and severity staging. Respir med. 2007 ; 3:7-11


(4)

13.Pauwels RA, Buits A, Calverley PMA, Jenkins JR, Hurds SS. Global strategy for diagnosis, management, and prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, NHLB/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), workshop summary. Am J Respir Crit Med 2001; 163:1256-1276

14.Borbeau J, Siok M, Nault D, Borycki E. Optimizing medical care delivery. In: Bourbeau, Nault, Borycki, eds. Comphrehensive management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ontario: BC Decker Inc; 2002.1-16

15.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2001

16.Maranatha D. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). In: Asalgaff H, Wibisono MJ, Winariani, eds. Buku ajar penyakit paru. Surabaya: Gramik FK Unair; 2004.29-41

17.Donnell RO, Breen D, Wilson S, Djukanovic R. Inflammatory cells in the airways in copd. Thorax 2006: 61;448-454

18.Petty TL. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Henley ME, Welsh CH, eds. Lange current diagnosis and treatment in pulmonary medicine. USA: McGraw-Hill companies; 2003.82-90

19.Kardos P, Keenan. Tackling COPD: a multicomponent disease driven by inflammation. MedGenMed 2006; 8(3):54

20.Agusti A. Systemic effects of chronic obstructive pulmonary disease, what we know and what we don’t know (but should). Proc Am Thorac Soc 2007; 4:522-525

21.Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease, NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) workshop summary (2001)

22.McIvor A, Lowry J, Borbeu J, Borycky E. Assessment of COPD. In: Bourbeau J, Nault D, Borycki E, eds. Comprehensive management of COPD. London: BC Decker; 2002.19-32 23.Jones PW, Harding G, Berry P, Wiklund, Chen WH, Leidy K. Development and first

validation of the copd assessment test. Eur Respir J 2009; 34:648-654

24.Terzano C, Petroianni A, Ricci A, Allegra A. Combination therapy in COPD: different response of COPD stages and predictivity of functional parameters. Eur rev medi pharmacol sci 2005; 9:209-215

25.Tashkin DP, Cooper CB. The role of long-acting bronchodilators in the management of stable COPD. Chest 2004; 125:249-259

26.Cazzola M, Dahl R. Inhaled combination therapy with long-acting β2-agonist and corticosteroids in stable COPD. Chest 2004; 126:220-237


(5)

27.Vestbo J, Pauwels R, Anderson JA, Jones P, Calverley P. Early onset of effect of salmeterol and fluticasone propionat in chronic obstructive pulmonary disease. Thorax 2005; 60:301-304

28.Ziment I. Drug used in respiratory care. In: Burton GG, Hodgkin JE, Ward JJ, eds. Respiratory care a guide to clinical practice. California: Lippincott; 2001(4).469-496 29.Medical look. Salmeterol review. Available from

http://www.medical-look.com/reviews/salmeterol.html. Accessed on April 2009

30.Lau R. Salmeterol : the optimization of an asthmatic drug. Available from http://cosmo.ucdavis.edu/archives/2008/cluster8/lau-ryan.pdf. Accesssed on July 2008

31.Pharmacy and Drugs. Fluticasone propionat. Available from http://chemicalland21.com/lifescience/phar/fluticasonepropionat.html. Accessed on October 2009

32.Sanders A. Corticosteroids in lung diseases. In: Lin AN, Paget SA, eds. Principles of corticosteroid therapy. London: Arnold; 2002.272-278

33.Adcock IM, Ito K. Glucocortikoid pathways in chronic obstructive pulmonary disease therapy. Proc Am Thorac Soc 2005; 2:313-319

34.Sin DD, Paul Man SF, Marciniuk DD, Ford G, FitzGerald M, Wong E et al. The effect of fluticasone with or without salmeterol on systemic biomarkers of inflammation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Am J Respir Crit Care Med 2008; 177:1207-1214

35.Zeng J, Yang L, Wu Y, Chen P, Wen Z, Huang W et al. The efficacy and safety of combination salmeterol(50µg)/fluticasone propionat(500µg) inhalation twicw daily via accuhaler in Chinese patients with COPD. Chest 2007; 132:1756-1763

36.Chung KF. Salmeterol/flutikason combination in the treatment of COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2006; 1(3):235–242

37. Dahlan MS. Konsistensi V menentukan jumlah sampel. In: Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Sagung Seto; 2008.61-76 38. Abidin A, Yunus F, Wiyono W, Ratnawati A. Manfaat rehabilitasi paru dalam

meningkatkan atau mempertahankan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik di RSUP Persahabatan. J Respir Indo 2009; 29:70-78

39. Soemarwoto R, Manuhutu E, Mangunnegoro H, Setiawati A, Yunus F, Yusuf Anwar. Pengaruh suplementasi Phyllanthus niruri L pada penderita PPOK eksaserbasi akut yang mendapat siprofloksasin. J Respir Indo 2006; 26:34-35


(6)

40. Soecher J, Dutton T, Bourbeu J. Program evaluation and outcome measurement. In: Bourbeu J, Nault D, Borycki E, eds. Comprehensive management of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. London: BC Decker Inc;2002.357-358

41. Caverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson C, Jenkins C, Jones PW et al. Salmeterol and flutikason propionat and survival in obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2007; 356:775-789


Dokumen yang terkait

Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Saturasi Oksigen Pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1 66 64

Pengaruh Rehabilitasi Paru Terhadap MVV dan VEP1 Terhadap Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

6 75 86

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 69 88

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

8 116 108

Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil Di RS Tembakau Deli Medan

1 48 88

Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil Dengan Disfungsi Ereksi

0 67 108

Pengaruh Pemberian Inhalasi Kombinasi Salmeterol / Flutikason Propionat Dalam Bentuk Diskus Inhaler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil

0 44 102

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 0 26

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) - Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

0 0 30