BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda
lainnya.Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak. Dilihat
dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa yang akan datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi baru, dimana anak menjadi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang diharapkan mampu memikul beban
tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan Negara.Oleh karena itu, generasi muda perlu dibina agar dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar
sehingga pada gilirannya, mampu meneruskan pembangunan bangsa dan dapat hidup mandiri dan terampil di masa depannya. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik
pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan rusak pula kehidupan bangsa yang akan datang.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai
perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan
pada pertimbangan bahwa perlindungan anak pada aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara.Orangtua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.Demikian
juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan
dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan
bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak.
Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Kenyataan yang menyedihkan, bahwa masih sangat banyak anak di Indonesia harus
menjalani kehidupan mereka dengan kondisi yang tidak layak dan menyedihkan.Situasi sekarang
yang lebih dikenal dengan sebutan “krismon” semakin membuat jumlah anak yang harus hidup dengan kondisi tersebut bertambah dan memperburuk situasi dan kondisi kehidupan mereka.
Lebih dari 4 juta anak usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah atau harus putus sekolah karena meteka tidak memiliki rumah untuk tinggal. Anak-anak di jalanan ini harus
menjalani kehidupan yang keras dan mereka harus berjuang untuk tetap dapat bertahan hidup.Namun masih banyak masyarakat yang menganggap remeh dan memandang rendah
mereka.Banyak anak harus terpaksa terjun dan bekerja sebagai buruh anak untuk membantu menambah pendapatan keluarga. Mereka sering harus bekerja dengan jam kerja yang sangat
panjang dan menjalankan pekerjaan yang berbahaya serta memerlukan ketahanan fisik yang kuat. Juga banyak anak-anak yang mengalami penganiayaan seksual maupun fisik dari orang
dewasa.Sejumlah anak bahkan dipaksa bekerja ke dunia pelacuran dan eksploitasi sex oleh orang dewasa.
Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang ikut mensyahkan Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, namun hak anak yang paling dasarpun masih tidak dapat dinikmati oleh
banyak anak di Indonesia.Hak anak untuk mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal yang layak dan aman, bahkan hak untuk mendapatkan makanan yang layak masih
merupakan mimpi yang teramat jauh untuk diraih bagi ratusan ribu anak.Manik, 1999:2. Selain itu, sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan dalam menangani masalah
anak yang berkembang saat ini yaitu telah ditunjukkan dalam Konvensi ILO 138 tentang usia minimum anak yang bekerja pada bulan Mei 1999 dan kemudian dituang dalam UU Nomor 20
Tahun 2000, intinya UU ini menegaskan tanpa kecuali di wilayah hukum Indonesia, bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan buruk dan
berbahaya seperti perbudakan, kerja paksa, perdagangan anak, kerja paksa, anak yang
dilacurkan, pornografi, produksi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta pekerjaan eksploitatif lainnya tanpa terkecuali.
Secara riil, situasi anak anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya
untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus selalu mendapat perlindungan yang baik dikarenakan anak-anak pada masa sekarang
mudah sekali tergoda dengan bujuk rayu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab Huraera, 2006 dalam www.pikiran-rakyat.com.
Secara khusus, sering dijumpai anak-anak, baik laki-laki atau perempuan, anak masih balita ataupun sudah bekerja untuk membantu orangtua atau untuk menghidupi diri sendiri.
Anak-anak itu ada yang bekerja pada sektor formal sebagai buruh pabrik dan sektor informal sebagai pedagang asongan atau pedagang kaki lima, kuli panggul, pengamen, penyemir sepatu,
pemulung, pembantu, calo kendaraan umum, tukang parkir, pekerja prostitusi dan peminta- minta. Terlihat memang kemiskinan ekonomi menyebabkan mereka harus mencari uang dan
merelakan diri untuk kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain, bukan bekerja membanting tulang. Juga pengalaman mendapat perlakuan kasar dan
kejam yang mereka alami di lapangan ketika bekerja nanti akan menunjukkan bahwa mereka mengalami juga dimensi kemiskinan yang lain.
Banyak dari anak-anak tersebut bekerja memang karena diminta atau dipaksa oleh orangtua mereka sendiri untuk menambah penghasilan keluarga.Seringkali bukan kasih sayang
atau penghargaan yang diterima anak-anak sepulang bekerja, melainkan pukulan dan tinju dari pihak orangtua apabila pulang ke rumah tanpa penghasilan.Mereka sebelumnya memang tidak
perlu bekerja tetapi sering menjadi sasaran kekerasan dari orang dewasa.Kehidupan di keluarga demikian mendorong anak-anak untuk memutuskan hubungan dengan keluarga dan memilih
hidup di jalanan.Tjandraningsih, 1996:79-80. Kondisi anak Indonesia sekarang ini sebagaimana telah diteliti dari berbagai daerah,
masih banyak yang butuh perhatian yang sangat diharapkan seperti proses pendidikan yang tidak dapat dijangkau dikarenakan alasan masalah ekonomi juga dimana akibatnya jumlah anak putus
sekolah dalam beberapa tahun terakhir meningkat. Hal ini dapat dikatakan mengingat jika melihat bagaimana kondisi anak-anak yang sangat menyedihkan saat ini, yang membuat kita
menjadi ragu apakah nantinya anak-anak bangsa ini mampu untuk mengemban tugas sebagai penerus bangsa.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahkan pernah membuat perkiraan lebih tinggi lagi, sekitar 9 juta siswa.Jumlah pekerja anak di Indonesia kini diperkirakan sudah
mencapai 10 juta, bahkan mungkin lebih besar lagi. Selain itu, masalah yang dihadapi anak saat ini yaitu merebaknya korban eksploitasi seksual dimana terdapat 40.000-70.000 anak yang
mengalaminya, begitu juga derita anak Indonesia yang ada di kamp-kamp pengungsian di daerah konflik atau di daerah bekas bencana dimana lebih dari 2000 anak yang tidak mempunyai
orangtua dan akibat dari itu orang-orang yang melihat hal tersebut berpura-pura menjadi orang baik namun dari kebaikannya malah melecehkan mereka terutama anak dan wanita, cerita
menjijikkan tentang anak perempuan yang diperjualbelikan dan dipaksa jadi pelacur, nasib sekitar 10,6 juta anak penyandang cacat, sekitar 4000 kasus anak yang diadili di pengadilan
karena punya konflik dengan hukum dan sebagainya Milah, 2004 dalam Kompas 24 Juli 2008.
Masalah-masalah lain yang dialami mereka yaitu anak yang bekerja dalam sektor terburuk lebih dari 3 juta anak, anak-anak yang diperdagangkan sekitar 100.000 setiap tahunnya
dimana kebanyakan untuk tujuan pekerja seks komersial PSK serta 5000 anak ditahan atau dipenjara dimana 84 ditempatkan di penjara dewasa dan juga anak yang butuh perlindungan
khusus sebanyak 6.686.936 anak Unicef Perlindungan Anak, 2004. Berdasarkan hasil Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum dalam Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa hampir 70 anak mengalami kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dan rumah dan mayoritas pelaku pelecehan seksual
merupakan orang yang dikenal korbannya. Sekitar 30 adalah keluarga si anak, khususnya saudara laki-laki.Sedangkan, 60 merupakan kenakalan seperti teman dari keluarga.sisanya, 10
persen pelakunya orang tak dikenal. Nur Agustina, tim Profesi Lembaga Perlindungan Anak mengatakan data ini cukup menjadi keprihatinan bersama. Maka, diperlukan perhatian dan
peduli kepada anak.Beri pengertian melalui bahasa anak tentang pentingnya komunikasi dengan orangtua, jika mendapatkan perlakuan tidak wajar dari orang yang tidak dikenal maupun orang di
sekitarnya. Dijelaskan, berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, sejak Januari-April 2014 terdapat 175 kasus kekerasan seksual menimpa anak-anak. Dari total 175 kasus, sekitar 40
dengan tersangka di lingkungan sekolah, 30 dari keluarga sendiri, serta 30 sisanya campuran.Hal itu salah satunya dipicu pelakunya pernah menyaksikan adegan porno dalam
video, internet maupun bacaan yang berbau pornografi http:www.kemenppa.go.idjdih?page=beritaid=138, diakses pada tanggal 9 Februari 2015
pukul 09.03 WIB. Paradoks hak anak melanda anak-anak yang pada tatanan praktis terlibat sebagai pekerja
anak child labor, seperti kasus pekerja anak jermal di Sumatera Utara, atau kasus anak
pembantu rumah tangga. Anak-anak jalanan street children yang merupakan produk dinamika perkotaan marak di kota-kota besar Indonesia yang ironisnya tanpa perlindungan hukum, rawan
dengan kekerasan, asumsi kriminal crime image dan destruktif bagi kemajuan kota. Sementara itu, eksploitasi seks sex exploitation dan pelacuran anak child prostitution yang rentan dalam
industri pariwisata dan bisnis hiburan mulai menjalari anak-anak Indonesia mulai menggenjala.Demikian juga praktek jual beli, penculikan dan penyelundupan anak sale,
trafficking, and abdurating.Kasus-kasus lain yang muncul lebih dahulu seperti kekerasan terhadap anak, penyiksaan dan perampasan hak turtore and depri vation of liberation baik
secara nyata atau secara tersembunyi, di dalam keluarga atau di luar rumah. Praktek perlakuan salah terhadap anak child abuse yang wujud dalam kasus perkosaan anak, kekerasan terhadap
anak, eksploitasi dan penekanan anak dalam media iklan, siaran televisi, dalam rumah tangga, bahkan perlakuan aparatus penegak hukum: hakim, jaksa, polisi yang dalam praktek penegakan
cenderung memidana anak http:seputarpengertian.blogspot.com201411pengertian-hak-asasi-
anak-tujuan-dan-prinsip.html?m=1 , diakses pada tanggal 6 Februari 2015 pukul 18.41 WIB.
Menghadapi permasalahan anak yang sedemikian rupa, implementasi hak-hak anak harus dilakukan dengan transformasi hak anak secara struktural.Hak-hak Anak harus diaktualisasikan
dalam kebijakan politik tertinggi Negara. Tatkala isu anak tidak diposisikan sebagai isu politik Negara atau isu Hak Asasi Manusia, maka masalah anak dianggap sebagai suatu soal yang
terlepas begitu saja dalam derap pembangunan. Oleh karena itu, konkretisasi hak anak sebagai totalitas dari Hak Asasi Manusia diartikan formalisasi politik Negara yang diupayakan untuk
melegalisir tatanan, sistem dan konstruksi struktural yang pro anakhak anak.Upaya ini sekaligus sejalan dengan upaya dekonstruksi konsep, kebijakan, regulasi dan bangunan struktural yang
eksploitatif-destruktif terhadap anak dan hak anak.
Berbagai pihak berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin pemenuhan hak-hak anak tersebut, mulai dari institusi terkecil yaitu keluarga, masyarakat, pemerintah
desakelurahan, pemerintah kabupatenkota, pemerintah provinsi dan pemerintah. Untuk mempercepat pemenuhan hak-hak anak telah disusun kebijakan KabupatenKota Layak Anak,
dan telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan KabupatenKota Layak Anak KLA. Sebagai langkah awal
pengembangan KLA, Kementrian Pemberdayaan Perempuan telah melakukan ujicoba pengembangan KLA di 5 KabupatenKota pada tahun 2006 dan 10 KabupatenKota pada tahun
2007. Landasan pengembangan KabupatenKota Layak Anak makin diperkuat dengan ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksaan Prioritas
Pembangunan Nasional 2010.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, menjelaskan bahwa program Kota Layak Anak sebenarnya sudah digagas sejak tiga tahun lalu.
Program ini bertujuan untuk menyediakan kota yang aman dan nyaman bagi anak-anak sesuai dengan 31 butir yang terangkum dalam Konvensi Hak-hak Anak PBB, misalnya dengan
pembangunan taman bermain dan sekolah ramah anak. Meski program ini merupakan program kerja peninggalan menteri pemberdayaan sebelumnya, Meutia Hatta, dengan perubahan nama
Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, maka Gumelar akan lebih memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan-
kebijakan terkait hak-hak anak. Berbagai persoalan memang dihadapi oleh anak-anak 0-18 tahun di Indonesia, antara lain mengenai gizi buruk. Gumelar mengatakan, gizi buruk
mengakibatkan angka kematian bayi cukup tinggi.Belum lagi persoalan tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan anak jalanan. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut merupakan
target Millenium Development Goals 2015, untuk itu kami perlu mengkomunikasikannya melalui organisasi masyarakat dan pemerintah-pemerintah daerah setempat, ungkap Gumelar.
http:nasional.news.viva.co.idnewsread107497indonesia_segera_wujudkan_kota_layak_anak
diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 12.26 WIB.
Perlindungan anak merupakan isu pembangunan lintas program, sehingga perlu adanya kebijakan yang mengintegrasikan berbagai program pembangunan yang berhubungan dengan
anak di KabupatenKota. Kebijakan Kota Layak Anak KLA merupakan suatu kebijakan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya pembangunan dan pengintegrasian berbagai kebijakan
perlindungan anak yang sudah ada di KabupatenKota secara terencana dan menyeluruh untuk memenuhi hak anak.KLA merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan KLA.Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah KLA menjadi Kabupaten atau Kota
Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA.Komitmen ini diperkuat lagi dengan lahirnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009
tentang Kebijakan KabupatenKota Layak Anak. Puncaknya adalah pada Kabinet Indonesia bersatu jilid kedua, Presiden memberikan perhatian secara khusus pada masalah anak dengan
merubah nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA
merupakan upaya pemerintahan Kabupaten atau Kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak KHA dari kerangka hukum kedalam definisi, strategi, dan intervensi
pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.Dalam upaya terwujudnya Kota atau Kabupaten Layak Anak telah dilakukan langkah-langkah, diantaranya:
menuju Kota Layak Anak, Pemenuhan Hak Anak dan Prestasi-Prestasi
http:rianapapda .blogspot.com201402layak-anak.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2015
pukul 12.21 WIB. Pemko Medan melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
BPPKB Kota Medan ingin seluruh kecamatan dan kelurahan yang ada di ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki Forum Anak.Pembentukan forum ini dinilai sangat penting dalam
rangka percepatan terwujudnya KLA.Selain itu melalui Forum Anak diharapkan para anak dapat diajak berpartisipasi dalam pembangunan.Keinginan dibentuknya Forum anak diseluruh
kecamatan dan kelurahan ini disampaikan Pelaksana Tugas Wali Kota Medan diwakili Kepala BPPKB Kota Medan, Pulungan Harahap, SH, M.Si.Pulungan menjelaskan, anak-anak di
Indonesia mempunyai 31 hak yang tidak hanya harus dipenuhi oleh pemerintah saja tetapi juga masyarakat luas lainnya. Dari 31 hak anak tersebut, terdapat 4 hak anak yang menjadi prioritas
utama dalam pemenuhannya yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan bekembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpatisipasi dalam pembangunan. Perlu
ditanamkan sejak dini dalam keluarga bahwa anak-anak juga memiliki hak untuk berpartisipasi.Di Indonesia melibatkan anak berpartisipasi dalam pembangunan sangat minim
dan bisa dikatakan hal yang mustahil walaupun kenyataannya di Kota Medan anak sudah beberapa kali dilibatkan dalam kegiatan, khususnya Musrembang musyawarah rencana
pembangunan.
Menurut Pulungan, sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak, pemerintah terus mendorong program KLA mengingat pentingnya anak sebagai generasi bangsa yang harus
disiapkan dari sekarang. Guna merealisasikan Medan sebagai KLA, kini terus diperluas kawasan infra struktur kota yang mempertimbangkan ruang bagi anak, terutama dalam penguatan
kelembagaan forum anak baik ditingkat kecamatan maupun kelurahan http:ppkb.pemkomedan
.
go.idberita-143-kecamatan-dan-kelurahan-harus-bentuk-forum-anak.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 12.46 WIB.
KLA adalah sistem pembangunan kabupatenkota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Pentingnya mewujudkan KLA ialah jumlah anak sekitar sepertiga dari jumlah penduduk, anak
adalah modal investasi dan sumber daya manusia di masa yang akan datang, sekaligus sebagai generasi penerus bangsa, anak harus berkualitas agar tidak menjadi beban pembangunan,
koordinasi dan kemitraan antara pemangku kepentingan terkait, pemenuhan hak-hak anak harus diperkuat agar terintegrasi, holistik akan berkelanjutan. Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana BPPKB Kota Medan ialah instansi pemerintahan yang menyelenggarakan sendiri program KLA. Faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan KLA
adalah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam sebuah proses pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan pelaksanaan program KLA dalam meningkatkan
kesejahteraan anak serta melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program tersebut. Untuk itu, peneliti mengangkat permasalahan yang dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul: “Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota
Medan”.
1.2 Rumusan Masalah