Biografi Intelektual HAMKA SEKILAS TENTANG H. ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH HAMKA

masa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah dan ceramah ilmiah. Tulisan - tulisan tersebut meliputi banyak bidang kajian, seperti : politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu- ilmu keislaman. Pada Tahun 1928, ia mengarang buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau yang berjudul Si Sabariyah.Tahun 1929, bukunya yang lain seperti , Agama dan Perempuan , Pembela Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam Kepentingan tabligh, Ayat- ayat Miraj. pada tahun 1938, ia kembali mengarang, Dibawah Lindungan Kabah. Tahun terbit buku, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch dan buku Di Dalam Lembah Kehidupan yang dikarangnya pada tahun 1940. Dari karya-karyanya, ada sebuah buku yang beliau karang khusus mengenang ayahnya dengan judul Ayahku. Selanjutnya pada tahun 1950, karya yang lain adalah Kenang- Kenangan Hidup dan Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad. 25 Semakin lama semakin jelas corak karangannya, beliau diakui oleh khalayaknya sebagai pujangga dan mufassir. Di samping kesibukannya, Hamka juga asyik mempelajari kesusastraan melayu. beliau juga bersungguh- sungguh dalam mempelajari kesusastraan arab. Pada tahun 1958, Hamka mulai melakukan penafsiran al-Quran. Dan karya utama beliau dalam bidang tafsir adalah Tafsir Al-Azhar. Penafsiran dari tafsir ini awalnya dilakukan lewat kuliah subuh setelah shalat subuh berjamaah di masjid Agung Kebayoran baru Jakarta.

B. Metode Tafsir

Merujuk pada pemetaan Islah Gusmian mengenai metode penafsiran. Maka terdapat paling tidak tiga metode yang dipakai para penafsir dalam menyajikan karya tafsirnya. Pertama, klasifikasi metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran, kedua, klasifikasi metode 25 Rusdi Hamka, Kenang -Kenagan 70 Tahun Buya Hamka, cet ke-2 Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1997h, 26. berdasarkan cara penyajian, dan ketiga, klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan kekhususan tema. Mengenai sumber tafsir terlebih dahulu harus didefinisikan kendati tidak terlalu definitive makna sumber tafsir itu. Sumber tafsir bisa dikatakan sebagaimana seorang penafsir mendapatkan ide atau gagasan yang dia tuangkan dalam tafsirnya. Sebagian ulama menyebutkan sumber tafsir itu adalah riwayat matsur dan pemikiran rayi, dan ulama lainnya menambahkan pengalaman spiritual atau yang dikenal dengan tafsir isyari. Dengan demikian paling tidak ada tiga sumber tafsir; matsur, rayi dan isyari. Dalam pemetaan al- Farmawi, ketiganya diletakkan berdampingan dengan kategori falsafi, fiqhi, ilmi, dan lain sebagainya dalam bingkai corak tafsir. Padahal antara corak dan sumber sangat jauh berbeda terutama dari segi ontologism. Hal inilah yang dikatakan Islah kalau al-Farmawi tidak memberikan batasan yang tegas antara wilayah metode dan pendekatan tafsir. 26 Berdasarkan pemikiran tersebut, kemudian melihat dari isi tafsir al-Azhar maka tafsir al-Azhar jelas menggabungkan antara riwayah dan dirayah. Dalam menafsirkan al-Quran Hamka pertama-tama mengutip beberapa pendapat para ulama mengenai maksud kata etimologis atau pendapat ulama mengenai permasalahan yang akan dibahas kemudian beliau menjelaskan pemikirannya berdasarkan pemikiran ulama tersebut. Akan tetapi tidak jarang ia mengutip sebuah pendapat yang ia sendiri tidak setuju dengannya, tujuannya sebagai alat pembanding. Seperti ketika menafsirkan sirat al-mustaqim dalam surat al- Fatihah: Hanya seorang ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh. Menurut beliau Shiratal Mustaqim ialah jalan pergi naik haji. Memang dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran, sehingga 26 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi Jakarta: Teraju, 2003, h. 115. mencapai Haji yang Mabrur, sudah sebagian daripada Shiratal Mustaqim juga. Apalagi bagi orang semacam Fudhail bin Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu naik haji itu menjadi Shiratul Mustaqim, terutama kalau dikerjakan karena riya, mempertontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh. 27 Dalam hal memilih referensi Hamka bersifat moderat, tidak fanatic terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip dari berbagai kitab bukan saja kitab tafsir melainkan kitab hadits dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya. Bukan saja dari segi pemikiran akan tetapi haluan serta coraknya. Pertama , Tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsir gurunya Syeikh Muhammad Abduh. Selain itu ada Tafsir al-Maraghi, Tafsir al- Qasimi, dan Tafsir Fi Zilal al-Quran karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsir ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab tafsir lainnya. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan surat al-Fatihah, ada tiga tafsir yang dikutipnya dalam tempat yang berbeda. Seperti Ibnu Katsir mengenai maksud tujuh yang diulang-ulang, Tafsir al-Kasysyaf karya Zamakhsyari mengenai nama-nama lain dari surat al-Fatihah, dan Tafsir al-Manar ketika ia menjelaskan perihal orang yang tersesat al-dallin dalam surat al-Fatihah. Hamka mengutip pendapat Muhammad Abduh yang membagi orang sesat atas empat tingkat:Pertama, yang tidak sampai kepadanya dawah atau ada sampai tetapi hanya didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntutan agama. Kedua, sampai kepada mereka dawah, atas jalan yang dapat membangun minat fikiran. Ketiga, dawah sampai kepada mereka dan mereka akui, akan tetapi mereka tidak mau menerimanya. 27 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, h. 80. Keempat , yang sesat dalam beramal, atau memutarbalikkan hukum dari maksudnya yang sebenarnya. 28 Kedua , klasifikasi metode berdasarkan cara penyajian. Memperhatikan hal ini maka sebenarnya metode penyajian tafsir itu hanya ada dua yaitu apakah si penafsir menafsirkan ayat secara panjang lebar tahlili atau dengan cara singkat atau global ijmali. Metode komparatif dan tematis dalam pemetaan al-Farmawi yang disejajarkan dengan metode tahlili dan ijmali sebenarnya kurang sesuai. Karena metode komparatif penjelasannya bisa mengambil bentuk ringkas ataupun analitis. Karenanya mestinya kedua metode terakhir tidak disejajarkan dengan metode komparatif maupun tematis. Berdasarkan pemetaan ini maka dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Azhar mengambil bentuk Tahlili. Bentuk penyajian rinci atau Tahlili menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam, dan komprehensif. Tema-tema kunci setiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbab an-nuzul dengan kerangka analisis yang beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis dan yang lain. 29 Ketiga, klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan kekhususan tema. Dilihat dari klasifikasi terakhir ini maka seluruh karya tafsir bisa dibagi kedalam dua bagian yaitu tafsir umum dan tafsir tematis. Tafsir umum ialah karya tafsir yang tidak mengambil satu tema sebagai acuan penafsiran, sebaliknya dalam tafsir tematis seorang penafsir berangkat dari sebuah tema untuk memulai penafsiran. Yang termasuk dalam kategori tafsir umum ialah tafsir komparatif atau tafsir yang menggunakan system penulisan runtut. Berdasarkan 28 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, h. 86-87 29 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, ; dari Hermeneutika hingga Ideologi Jakarta: Teraju, 2003 h. 152