Sistematika Penafsiran SEKILAS TENTANG H. ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH HAMKA

BAB III LANDASAN TEORITIS TENTANG MAKAR

A. Pengertian Makar

Secara bahasa etimologis kata makar berasal dari bahasa Arab yang dalam fiil madhinya makara yang berarti: menipu, memperdaya, tipu daya dan tipu muslihat dalam melakukan segala penipuan. Hal ini, dikarenakan arti makar dipakai oleh orang-orang yang berbuat makar. Dan jika dipakai buat Allah atau dihubungkan kepada-Nya, maka kata makar itu dimaksudkan untuk menimpakan suatu balasan Allah terhadap orang-orang yang berbuat makar . 35 Begitu juga dalam kamus Mahmud Yunus kata Makar berasal dari kata Makara, yamkuru Makran yang artinya menipu. Sedang menurut istilah terminologis, pengertian makar seperti diungkapkan oleh Muh. Husain Haikal dalam tulisannya: Merencanakan kejahatan kepada orang lain secara rahasia, agar dapat menimpakan kesulitankepayahan kepadanya. Pengertian disini, didasarkan kepada Al-Quran surat Al-Anfal ayat 30:                    Dan ingatlah tatkala telah mengatur tipu daya orang-orang kafir terhadap engkau, buat menawan engkau atau membunuh engkau, atau mengeluarkan engkau. Dan mengatur tipu daya, sedang Allah mengatur tipu daya, dan Allah itu adalah sepandai-pandai mengatur tipu daya. 36 35 Luis MaLuf, Al-Manjid Fi Al-Lughah Wa Al-Ala, Daar Al-Masyriq Beirut, Libanon 1983.hal:770. 36 Hamka, Tafsir Al –Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982.hal:296. Kemudian makna makar Menurut Ensiklopedia Hukum Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve, kata makar berasal dari bahasa Arab al-makr sama artinya dengan tipu dayatipu muslihat atau rencana jahat. Secara semantik makar mengandung arti: akal busuk, perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah. 37 Selanjutnya, kata makara adalah pasangan kata khaadaa, yaitu menipu atau memperdaya, juga berbeda halnya kata makar yang dipakai untuk Allah SWT, terhadap hamba-Nya fulan, maka maksud makar atau berupa balasan terhadap orang yang berbuat makar atau berupa pertolongan terhadap para kekasih-Nya. 38 Menurut Hamka, mengungkapkan bahwa: istilah makar sudah dipakai dalam bahasan hukum Indonesia, dan dijadikan sebagai bahasa Indonesia yaitu segala tindak pidana untuk maksud yang jahat disebut makar. 39 Kemudian, bahwa makar Allah adalah menimpakan bala kepada musuh-musuh-Nya dan bukan kepada kekasih-Nya. Hal ini merupakan istidraj Allah terhadap hamba-hamba- Nya yang taat, dan mereka menyangka bahwa perbuatannya itulah yang diterima, padahal ditolak. Karena setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan yang mereka lakukan. Allah SWT berfirman: yang artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa QS. Asy-Syuara[42] : 40. Ini berarti perbuatan mereka sia-sia, karena tujuan mereka bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena dorongan hawa nafsunya sendiri. B. Kriteria Makar 37 www.Tempoonline.com 38 Fuad Afram, Munjid Al-Thulab. Daar al-Mashriq. Beirut, Libanon 1947, hal:741. 39 Hamka, Tafsir Al-Azhar Pustaka Punjimas Jakarta: 1984 hal: 36. 1. Kriteria makar yang pertama adalah melakukan tipu daya setiap yang dihalalkan, yaitu dalam hal perang untuk berjaga-jaga dalam menghadapi serangan musuh-musuh Islam. Sehingga ini dihukumi tipu daya dan siasat ini halal dan boleh dilakukannya. Sedangkan tipu daya dalam setiap yang halal adalah haram, maksudnya adalah tipu daya sebagai siasat dalam menghaelah-haelah setiap perkataan dan perbuatan yang sudah tentu kehalalannya, lalu dirubah supaya menjadi haram. Seperti halnya perbuatan setan yang memperdayakan umat Islam agar ia terkecoh dan tertipu oleh pikiran-pikiran yang sesat, sehingga dapat menghalalkan setiap apa yang telah diharamkan Allah SWT., dan mengharamkan setiap apa yang telah dihalalkan-Nya, serta untuk menjauhi apa yang telah diperintahkan-Nya. Sejalan dengan hadits Nabi SAW., tentang bolehnya melakukan tipu daya atau siasat dalam perang. Dan telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin Sahm, telah memberitakan kepada kami Abdullah bin Mubarak, kemudian memberitakan lagi kepada kami Mamar dari Hamam bin Munabbih dari Abi Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda: perang itu adalah tipu daya tipu muslihat. 40 Hadist tersebut di atas menjelaskan tentang perang sebagai tipu daya, maksudnya adalah bahwa perang itu tidak lepas dengan tipu muslihat dengan tujuan agar memperoleh kemenangan dan kemuliaan. Sementara Islam tidak menghendaki peperangan, melainkan menghendaki ketenteraman dan ketertiban hidup. Akan tetapi, perang itu dibolehkan atau diizinkan bagi orang yang diperangi dan dianiaya. Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 39:            40 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta :Pustaka As- Sunnah,2008.hal:777. Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. 41 Setiap umat Islam berkewajiban memelihara, menjaga dan membela agamanya, apabila akan dirusak oleh orang lain. Demikian juga jika Islam diperanginya, maka pemeluknya pun berhak menahan serangan itu atau memerangi musuh-musuh yang lebih dahulu melancarkan serangannya. Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 16:                       Dan barangsiapa yang memalingkan punggung dari antara mereka di hari itu, kecuali karena hendak mengatur siasat perang, atau karena hendak menggabungkan diri dengan suatu rombongan, maka sesungguhnya dia telah kembali dengan kemurkaan dari Allah, dan tempat mereka adalah dalam neraka jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. 42 Bahwa yang lari meninggalkan barisan yang turut dalam peperangan itu, misalnya pura-pura lari, sehingga musuh terkecoh, lalu musuh itu menyerbu pada suatu tempat yang sampai di sana mereka bisa dikepung. Dalam hal yang seperti ini tidaklah terlarang. Tetapi barangsiapa yang lari saja karena pengecut atau melepaskan diri dari komando. Dia kembali pulang dari medan perang dengan kehinaan sebagai seorang pengecut yang dimurkai Allah dan dalam ayat inipun diberi penjelasan bahwa lari dalam siasat, atau lari pura-pura hingga musuh terjebak, bukanlah lari, tetapi termasuk dalam rangkaian peperangan juga atau lari kepada induk pasukan karena sudah sangat terdesak, yang kalau diteruskan juga berarti hancur, tidak pula terlarang. 43 Demikian pula bila peperangan itu benar-benar terjadi, pasukan Islam dilarang melarikan diri dari pertempuran, terkecuali dengan alasan yang dibenarkan, oleh agama. Yakni untuk mengatur taktik peperangan bergabung dengan pasukan lain. Jika salah seorang pasukan Islam melarikan diri dari peperangan tanpa diizinkan oleh agama, berarti ia telah melakukan dosa besar dan akan mendapat ancaman siksa Allah yang pedih di akhirat nanti. 41 Hamka, Tafsir Al –Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta 1984.hal:171. 42 Hamka, Tafsir Al-Azhar , Pustaka Panjimas, Jakarta 1985.hal:267. 43 Hamka, Tafsir Al-Azhar , Pustaka Panjimas, Jakarta 1985.hal: 268.