Sistematika Penulisan Sekilas Tentang Al Washliyah

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapat gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini ke dalam 4 empat bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam BAB I ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN Dalam BAB II ini mendeskripsikan profil Al Washliyah Sumatera Utara BAB III PERAN AL WASHLIYAH DALAM PENDIDIKAN POLITIK DI SUMATERA UTARA Bab ini membahas secara garis besar hasil dari penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. BAB IV PENUTUP Pada BAB IV ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya. BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

A. Sekilas Tentang Al Washliyah

Setiap umat manusia mempunyai tujuan pokok dalam kehidupannya, tujuan pokok tersebut merupakan pusat pemikirannya dan sasaran segenap aktivitas serta tumpuan segala cita-citanya yang timbul dari dalam dirinya. “nilai- nilai mulia” Bila tujuan itu mulia, maka akan terpancar dari padanya aktivitas yang indah dan terepuji. Sedang pribadinya akan memantulkan gambaran keindahan jiwa pemiliknya dan selalu menuju kepada kesempurnaan, sehingga ia berhak mengecap kebahagiaan yang ditentukan untuknya. Agama Islam datang untuk memperbaiki, membersihkan dan mengangkut jiwa manusia semaksimal mungkin ketempat yang paling mulia. Islam menjelaskan kepada umat manusia akan tujuan akhir yang harus dicapainya, menuntun mereka ketujuan yang paling tinggi yaitu keridhaan Allah SWT. Sumatera Utara sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia terbagi kepada dua bagian yakni Sumatera Timur dan Tapanuli. Sumatera Timur merupakan wilayah kesultanan dan sering dengan dibukakannya perkebunan besar. Daerah Sumatera Timur terdiri dari daerah Langkat, Deli Serdang, Asahan, Labuhan Batu, Karo, Simalungun, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Medan, Binjai, sisanya adalah Tapanuli. Bila dianalisis berdasarkan kedudukan penguasaan yang terdapat di wilayah Sumatera Timur, maka pembagian wilayah ini memiliki makna dualisme, contohnya dari segi peta, pengertian Sumatera Timur mencakup wilayah Karo dan wilayah Simalungun. Sedangkan dari fakta wilayah ternyata daerah Karo dan Simalungun dimasukkan dalam wilayah Tapanuli. Sebagaiman tertulis dalam buku Sumatera Utara Dalam Lintas Sejarah, Residen Tapanuli, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Dairi dan Nias berada dalam satu risiden. Sumatera Timur terdiri dari beberapa kesultanan seperti Deli Serdang, Langkat dan Asahan, yang sampai awal abad ke-19 berada di bawah kekuasaan Kesultanan Siak. Tetapi setelah penjajahan Belanda menguasai Indonesia, semua kesultanan ini melepaskan diri dari Siak, dan akhirnya Siak sendiri pun harus tundukpada kekuasaan Belanda. Seluruh kesultanan tersebut di atas masuk residensi Sumatera Timur, kemudian sekitar tahun 1941, menjelang Perang Dunia II, Siak masuk residensi Riau. 49 49 Sinar Luckman, T. 1971. Seri Sejarah Serdang Jilid I. Medan : Pustaka Melayu. Hal 69 Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, tahun 1945-1947 Sumatera Utara berada dalam satu provinsi, dalam perkembangan selanjutnya, bagian dari provinsi semakin kuat menginginkan pembentukan daerah otonomi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Pada tanggal 15 April 1948 ditetapkanlah Provinsi Sumatera Utara yang meliputi wilayah di dua keresidenan sebelumnya. Sejak perkebunan karet dan teh dibuka di Sumatera Timur pada abad ke- 19, daerah ini menjadi daerah migrasi. Para migran ini dapat dibagi atas 2 kelompok, yakni bangsa asing dan pribumi. Migran asing 12,2, sedangkan migran pribumi terdiri dari suku jawa 52,3; mereka ini sebagai pekerja kuli di perkebunan, suku batak toba 4,4, Mandailing 3,5, Minangkabau 3,0, suku lainnya 1,0 - 2,0 dan prnduduk asli 34. 50 Pada tahun 1918 di Medan berdiri sebuah MaktabMadrasah yang diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli MIT. Sekalipun jumlah migran dari Mandailing dan Minangkabau tidak begitu besar bila dibandingkan dengan migrant suku Jawa, tetapi ternyata mereka ini lebih terampil dan mempunyai bekal pengetahuan sekurang-kurangnya untuk hidup mereka sendiri, sehingga pengaruh mereka lebih menonjol daripada penduduk asli. Adapun motivasi migran ini semuanya untuk mencari nafkah di tempat baru, karena daerah Sumatera Timur merupakan daerah yang lebih membuka kemungkinan bagi mereka dalam mencari nafkah hidup. Para migran tersebut di atas ada yang berperan sebagai ulama. Pada mulanya mereka ini mengajar terbatas pada kalangan sendiri, kemudian meluas pada penduduk setempat. 51 50 Chalijah Hasanuddin. 1998. Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatera Timur, Bandung: Pustaka. Hal 1-2 51 Abu bakar Ya’cub. 1975. Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan. Hal 7 Maktab ini didirikan atas inisiatif masyarakat Mandailing Tapanuli Selatan yang bertempat tinggal di Medan. Maktab ini merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifar formal, yang pertama di Medan. Sebelum ini lembaga pendidikan hanya bersifat non- formal. 52 Sistem belajar di MIT hampir sama dengan sistem belajar di pesantren yakni lebih mengutamakan perkembangan daya ingatan karena setiap pelajaran harus dihafal. 53 Setelah MIT berjalan 10 tahun yaitu pada tahun 1928 murid- murid MIT dari kelas tertinggi membentuk sebuah perhimpunan pelajar yang disebut “Debating Club” dipimpin oleh Abdurrahman Syihab. 54 Tujuan perhimpunan pelajar ini mula-mula mengadakan diskusi mengenai pelajaran- pelajaran saja. Kemudian juga membicarakan masalah sosial bahkan mengenai masalah adanya paham baru yang muncul di kalangan masyarakat, yaitu paham Muhammadiyah yang berdiri di Medan pada tahun 1928. Pada umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermazhab Syafi’i, tetapi muncul golongan masyarakat yang tidak terikat pada salah satu mazhab, yang dikenal dengan Kaum Muda. Golongan ini hanya memakai sumber hukum dari Alquran dan Hadis. Mereka menolak taqlid mengikuti pendapat dari ulama fiqih. 55 “Debating Club” ingin berperan serta untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan mencoba menjadi penengah. Oleh karena itu mereka memperluas bentuk perhimpunannya, dengan melebur dirinya menjadi sebuah organisasi yang 52 Chalijah Hasanuddin. Opcit. Hal 2 53 Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. 1956. Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad, Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. Hal 35 54 Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. Ibid. Hal 36 55 Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP2ES. Hal 21 disebut Al-Jam’iyatul Washliyah. Organisasi ini bermazhab Syafi’i, 56 berdiri tahun 1930. Sekalipun Al-Jam’iyatul Washliyah berpegang pada mazhab syafi’i, namun bermazhab bukan penghambat untuk maju. Hal ini tercermin dari aktivitas organisasi yang mengutamakan pendidikan, baik formal yang membuka madrasah dan sekolah, maupun non-formal melalui tabligh. Organisasi ini aktif terutama di Sumatera Utara dalam memasukkan orang-orang Batak menjadi Islam dan dipandang sebagai organisasi yang mampu bersaing dengan kalangan missionaries Kristen di daerah tersebut. 57 Setiap warga Washliyah adalah bagian dari pelaku dan pelanjut sejarah Islam di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Oleh karena itu setiap warga Washliyah berkewajiban meneruskan perjuangan untuk mempertahankan, Jika melihat aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah seperti diuraikan di atas, walaupun ia berpegang teguh dan mengikuti salah satu mazhab syafi’i, namun juga mau menerima model pendidikan Barat agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Provinsi Sumatera Utara, ditempatkan pusat berdirinya Al Jam’iyatul Washliyah. Berdirinya Al Washliyah tidak terlepas dari inspirasi Al Qur’an surat As-Shaaf ayat 10-11. Dua ayat inilah yang senantiasa mendasari perjuangan serta motivasi setiap warga Al Washliyah untuk terus mengembangkan misinya di bidang dakwah, pendidikan dan amal sosial. 56 Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. Logcit. Hal 37 dan 342 57 Deliar Noer. Opcit. Hal 266 melanjutkan, memperluas, mempertinggi dan membuat Islam kembali membangun peradaban di pentas era globalisasi. Al Washliyah pada awal berdirinya di Kota Medan pada tanggal 30 November 1930 tampil sebagai “khairoh ummah”. Hal ini dapat dilihat pada prestasinya di mana pelajar-pelajar Washliyah mendirikan suatu perkumpulan pelajar dengan nama Debating Club, yang tujuannya mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama Islam dan masyarakat. A. Rahman Syihab, Kular, Ismail Banda, Adnan Nur, Sulaeman dan kawan-kawan sekurang- kurangnya sekali dalam seminggu, tiap malam Jumat mengadakan pertemuan- pertemuan. 58 58 Pengurus Besar Al Jamiyatul Washliyah. Opcit. Hal 36 Sekelompok pelajar-pelajar tersebut menggeliat dan menggelora di usia duapuluhan melakukan pengamatan scanning bangsa dan masyarakat yang di jajah dan didera dalam wadah Debating Club yang dua tahun kemudian menjelma menjadi organisasi Al Washliyah dengan ketua umum pertamanya Ismail Banda. Al Washliyah yang lahir dan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat yang multi etnik dengan konfigurasi sosial politik yang beragam. Eksistensi politiknya ditinjau dari aspek historis mengalami konjugtur, akibatnya dinamisasi format politik yang diperaninya adakala eksistensinya diperhitungkan, desegani lawan dan kawan tetapi pada dekade tertentu terasa ada marginalisasi peranannya secara signifikan. Sejarah berdirinya suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dari gagasan dan pikiran pendirinya. Sebab orang-orang yang masuk belakangan kedalam organisasi tersebut, kemudian bergabung menjadi anggota maka secara sadar berarti ia telah menyepakati dasar dan tujuan organisasi tersebut yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari gagasan para pendirinya. Al Washliyah tidak mungkin dipisahkan dengan para pengurus dan anggota perkumpulan Debating Club yang memiliki ide dan gagasan, serta mempelopori berdirinya organisasi Al Washliyah. Dengan demikian gagasan dan pikiran yang muncul kemudian tidak mungkin dipisahkan dari pikiran dan gagasan awal para pendirinya. Al-Jam’iyatul Washliyah adalah sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Organisasi ini sangat aktif menyiarkan agama Islam melalui pendidikan, termasuk madrasah dan sekolah, untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. Organisasi ini lahir pada tanggal 30 November 1930, sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya organisasi ini kurang berkembang, namun setelah Indonesia merdeka perkembangannya sangat pesat hampir menjangkau seluruh pelosok kepulauan di Indonesia. Semua keberhasilan organisasi ini merupakan hasil aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah yang digerakkan dengan penuh semangat dan keuletan oleh pelajar- pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli, suatu pendidikan agama di Medan. Kemajuan Al-Jam’iyatul Washliyah pada masa selanjutnya adalah hasil jerih payah dan perjuangan pada masa lalu.

B. Visi dan Misi Al Washliyah