Manfaat pendidikan politik Kesulitan dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendidikan Politik

d. Manfaat pendidikan politik

Menurut Ramdlon Naning, Pendidikan politik mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Dapat memperluas pemahaman, penghayatan, dan wawasan terhadap masalah-masalah atau isu-isu yang bersifat politis. 2. Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peranan aktif dan partisipasinya terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan. 21 Menurut Idrus Affandi dan Leni Anggraeni, manfaat memahami pendidikan politik yaitu bisa dilihat mulai dari berubahnya pola pemikiran dari masyarakat, dimana ketika masyarakat tidak mengetahui pengetahuan banyak berkenaan dengan pendidikan politik, partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya pun relatif rendah. Akan tetapi ketika pengetahuan akan pemahaman pendidikan politik sudah banyak, otomatis berdampak terhadap partisipasi masyarakat untuk menggunakan haknya. 22

e. Kesulitan dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendidikan Politik

Tema sentral dalam pendidikan politik itu ialah situasi-situasi kongkrit yang menyebalkan secara sosial, untuk dianalisa secara kritisdan dengan cara-cara sah serta demokratis ditanggulangi bersama-sama dengan pemerintah. Dengan begitu berlangsung demokratisasi di segala bidang kehidupan, khususnya untuk 21 Budiyanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA kelas X. Jakarta:Erlangga. Hal 185 22 Affandi, Idrus dan Anggraeni, Leni. Logcit, Hal 40 menantang anakronisme feodal dalam kepemimpinan politik, mengarah ke proses demokratisasi yang lebih maju. Oleh sebab itu tujuan, materi dan metode pendidikan politik itu harus sejajar dengan pembaharuan terhadap struktur- struktur politik dan struktur kemasyarakatan. Tegasnya, pendidikan politik itu tidak hanya diarahkan pada perubahan-perubahan sikap-sikap politik individu saja, akan tetapi juga diarahkan pada pembaharuan bentuk-bentuk struktur politik dan lembaga kemasyarakatan. Maka menjadi sangat jelas, bahwa pendidikan politik itu bukan gerakan eliter atau aristokratis dengan ideologi yang melayang-layang tinggi, juga bukan merupakan aktivitas yang sia-sia seperti “si pungguk yang ingin menggayut bintang dengan galah bambu”, juga bukan berupa alat yang tidak efisien yang membuat sejumlah pemberontak mengalami frustasi lebih parah lagi, akan tetapi merupakan bimbingan edukatif yang terarah, bertujuan sistematis. Ditujukan pada pencapaian hari esok yang lebih baik. Melawan ketidakadilan, pemerintah teknokratis otoriter, tiranik atau despotik. Selanjutnya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dan sebagai asas bagi tata tertib kenegaraan itu dipakai di Indonesia untuk memberikan jaminan kepada setiap individu mencapai kebebasan mengembangkan kehidupannya sendiri secara bertanggung jawab. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan individu lewat hukum-hukum formal saja, akan tetapi juga menjamin dapat dilaksanakannya dimensi-dimensi sosial dan publiknya secara bertanggung jawab dan etis, menuju proses demokratisasi yang lebih maju dari masyarakatnya. Pendidikan politik dengan tugas pokok membangun kekuatan-kekuatan kontra untuk memberantas macam-macam distorsi pemutar-balikan, pengubahan bentuk ke arah yang salah, pemuntiran dan situasi-situasi yang tidak melegakan hati penuh disharmoni, pertentangan dan persaingan. Dengan begitu pendidikan politik itu diarahkan pada humanisasi masyarakat Indonesia, agar lebih melegakan untuk dihuni oleh rakyat, dan tidak boleh indoktrinatif sifatnya. Semua upaya untuk memelekkan secara politik penduduk Indonesia itu tidak luput dari kesulitan dan hambatan, antara lain berupa : 1. Amat sulit menyadarkan rakyat akan kondisi diri sendiri yang diliputi banyak kesengsaraan dan kemiskinan, sebagai akibat terlalu lamanya hidup dalam iklim penindasan, penghisapan dan penjajahan, sehingga mereka menjadi “terbiasa” hidup dalam keserba kekurangan dan ketertinggalan. Sulit mendorong mereka ke arah konsientisasi-diri mengungkapkan segala problema yang tengah dialami. 2. Apatisme politik dan sinisme politik yang cenderung menjadi sikap putus asa itu mengakibatkan rakyat sulit mempercayai usaha-usaha edukatif dan gerakan-gerakan politik –yang dianggap palsu dan menina-bobokan rakyat belaka– , sulit pula untuk mengajak mereka untuk berfikir lain dengan nalar jernih. Bahkan banyak di antara massa rakyat yang takut pada kemerdekaan dirinya. 3. Dengan latar pendidikan yang rendah atau kurang, rakyat kebanyakan sulit memahami kompleksitas situasi sosial dan politik di sekitar dirinya. 4. Para penguasa yang otoriter cenderung tidak menghendaki adanya pendidikan politik, karena status mereka berkepentingan sekali dengan status quo dan pelestarian rezimnya. Partisipasi aktif dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan oleh rakyat itu tidak di kehendaki, sebab mengurangi kebebasan dan kekuasaan organ-organ ketatanegaraan. 23

2. Partisipasi Politik