Cross Correlation Function CCF Proses White Noise Deret Geometri Tak Berhingga

� 22 = 1 � 1 � 1 � 2 1 � 1 � 1 1 � 33 = 1 � 1 � 1 � 1 1 � 2 � 2 � 1 � 3 1 � 1 � 2 � 1 1 � 1 � 2 � 1 1 � = 1 � 1 � 1 1 � 2 … � 1 … � −2 � 1 � −3 � 2 � −1 � −2 ⋱ � −3 � 1 � 1 � 1 � 1 1 � 2 … � 1 … � −2 � −1 � −3 � −2 � −1 � −2 ⋱ � −3 … � 1 1 � inilah yang disebut sebagai fungsi otokorelasi parsial.

E. Cross Correlation Function CCF

Fungsi korelasi silang adalah ukuran kekuatan hubungan antara dua variabel. Korelasi silang dan menentukan tingkat hubungan antara nilai pada waktu � dengan nilai pada waktu � + Makridakis, dkk, 1999: 456. Definisi 2.4 Kovarian Silang Diberikan dua variabel � dan � , fungsi kovarian silang antara � dan � dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: = � − �+ − 2-9 Persamaan 2-9 fungsi kovarian silang didefinisikan sebagai nilai harapan. Dalam praktek, taksiran kovarian silang dihitung dengan rumus sebagai berikut: = 1 � − �+ − − �=1 2-10 Definisi 2.5 Korelasi Silang Rumus penduga korelasi silang dari � dan � dapat diperoleh de- ngan membagi fungsi kovarian silang pada persamaan 2-10 dengan standar deviasi dari � dan � . = 2-11 dengan : fungsi korelasi silang sampel dari � dan � : fungsi kovarian silang sampel dari � dan � : standar deviasi sampel dari � : standar deviasi sampel dari � : beda waktu pada setiap pasangan data time lag

F. Proses White Noise

Suatu data runtun waktu dikatakan mengalami proses white noise jika otokorelasi antara deret � dan �− untuk semua lag mendekati nol, atau nilai antar lag pada deret tersebut tidak berkorelasi satu dengan yang lain. Menurut Wei 1990: 16 suatu proses � disebut suatu proses white noise jika � merupakan barisan variabel acak yang tidak berkorelasi dari suatu distribusi dengan rata-rata konstan � = yang biasa diasumsikan nol, variansi konstan Var � = � 2 dan = Cov � , �+ = 0 untuk semua ≠ 0. Definisi 2.6 Proses White Noise Suatu proses white noise � adalah stasioner bila memenuhi fungsi otokovarian: = � 2 , = 0 0 , ≠ 0 2-12 fungsi otokorelasi: � = 1 , = 0 0 , ≠ 0 2-13 dan fungsi otokorelasi parsial: � = 1 , = 0 0 , ≠ 0 2-14

G. Hubungan ACF, PACF, dan CCF dengan White Noise

Suatu runtun waktu dikatakan white noise apabila tidak ada korelasi antar lag pada deret tersebut. Definisi ini secara matematis dituliskan pada persamaan 2-12, 2-13, dan 2-14. Apabila fungsi otokorelasi didefinisikan seperti pada persamaan 2-13, maka persamaan itu menyebabkan semua koefisien otokorelasi harus mendekati nol, yang artinya grafik ACF harus white noise. 33 30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A u to c o rr e la ti o n ACF of Residuals for Xt with 5 significance limits for the autocorrelations Gambar 2.1 Grafik ACF yang White Noise Gambar di atas atas adalah contoh grafik ACF yang white noise. Apabila dilihat dari grafiknya, suatu runtun waktu dikatakan white noise jika semua otokorelasi pada tiap lagnya tidak ada yang melewati selang kepercayaan atau dengan kata lain tidak ada yang signifikan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa grafik ACF di atas bersifat white noise. 33 30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag P a rt ia l A u to c o rr e la ti o n PACF of Residuals for Xt with 5 significance limits for the partial autocorrelations Gambar 2.2 Grafik PACF yang White Noise Persamaan 2-14 berakibat bahwa untuk semua koefisien otokorelasi parsial juga harus mendekati nol. Artinya, grafik PACF juga harus bersifat white noise. Gambar 2 di atas adalah contoh grafik PACF yang bersifat white noise. Hal ini terlihat dari tidak adanya otokorelasi parsial yang melewati selang kepercayaan untuk setiap lag. Persamaan korelasi silang didapatkan dari rumus fungsi kovarian. Proses white noise juga memuat bahwa fungsi otokovarian harus mendekati nol. Ini artinya, koefisien korelasi silang juga diharapkan mendekati nol. Dengan kata lain grafik CCF juga harus bersifat white noise. Berikut adalah contoh gambar grafik CCF yang bersifat white noise. Gambar 2.3 Grafik CCF yang White Noise Secara grafik, dapat dilihat langsung apabila tidak ada lag dengan CCF yang signifikan atau melewati selang kepercayaan, itu berarti runtun waktu bersifat white noise. Grafik-grafik tersebut merupakan cara untuk menguji signifikasi dari koefisien-koefisien otokorelasi, otokorelasi parsial, dan korelasi silang. Prosedur pengujian hipotesis yang menghasilkan grafik-grafik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Otokorelasi

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: � : � = 0 koefisien otokorelasi tidak signifikan � 1 : � ≠ 0 koefisien otokorelasi signifikan Statistik uji yang digunakan adalah: � = = 1 + 2 2 −1 =1 dengan : kesalahan standar untuk otokorelasi pada lag ke : koefisien otokorelasi pada lag ke : selisih waktu : banyaknya observasi dalam runtun waktu Kriteria keputusannya adalah � ditolak jika � −� 2 , −1 atau � � 2 , −1 atau secara grafik apabila koefisien otokorelasi melewati batas-batas selang kepercayaan.

2. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Otokorelasi Parsial

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: � : � = 0 koefisien otokorelasi parsial tidak signifikan � 1 : � ≠ 0 koefisien otokorelasi parsial signifikan Statistik uji yang digunakan adalah: � = � � � = 1 dengan � : kesalahan standar untuk otokorelasi parsial pada lag ke � : koefisien otokorelasi parsial pada lag ke : selisih waktu : banyaknya observasi dalam runtun waktu Kriteria keputusannya adalah � ditolak jika � −� 2 , −1 atau � � 2 , −1 atau secara grafik apabila koefisien otokorelasi parsial melewati batas-batas selang kepercayaan.

3. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Korelasi Silang

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: � : � = 0 koefisien korelasi silang tidak signifikan � 1 : � ≠ 0 koefisien korelasi silang signifikan Statistik uji yang digunakan adalah: � = = 1 − dengan : kesalahan standar untuk korelasi silang : koefisien korelasi silang sampel : selisih waktu : banyaknya observasi dalam runtun waktu Kriteria keputusannya adalah � ditolak jika � −� 2 , −1 atau � � 2 , −1 . Asas suatu runtun waktu bersifat white noise maka hasil pengujian hipotesis yang diharapkan adalah � diterima. Artinya, baik koefisien otokorelasi, otokorelasi parsial, maupun korelasi silang harus mendekati nol. Dengan kata lain, seluruh koefisien otokorelasi, otokorelasi parsial, dan korelasi silang harus tidak signifikan.

H. Cara Mendeteksi dan Mengatasi Masalah Stasioneritas

Dalam analisis runtun waktu, asumsi yang harus dipenuhi adalah stasioneritas data baik dalam rata-rata maupun varians. Data dikatakan stasioner jika rata-rata dan variansnya konstan. Menurut Makridakis, dkk 1999: 351 stasioneritas mempunyai makna bahwa tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dari fluktuasi tersebut. Kebanyakan data dalam analisis runtun waktu tidak stasioner, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian mengenai stasioneritas data. Pengujian ini dapat dilakukan dengan mengamati plot data runtun waktu dan plot otokorelasi. Jika plot data runtun waktu cenderung konstan, tidak terdapat trend naik atau turun maka dapat disimpulkan data sudah stasioner. Nilai-nilai otokorelasi dari data stasioner akan turun sampai nol sesudah time lag kedua atau ketiga, sedangkan untuk data yang tidak stasioner, nilai-nilai tersebut berbeda signifikan dari nol untuk beberapa periode waktu. Data runtun waktu dikatakan stasioner dalam rata-rata jika rata- ratanya tidak berubah dari waktu ke waktu atau bersifat stabil. Untuk melihat kestasioneran dalam rata-rata dapat digunakan alat bantu plot data runtun waktu dan plot otokorelasi ACF. Gambar 2.4 berikut menunjukkan contoh data runtun waktu yang stasioner dalam rata-rata dan gambar 2.5 menunjukkan contoh data runtun waktu yang tidak stasioner dalam rata-rata. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 400 300 200 100 -100 -200 -300 Index d if f Time Series Plot of diff 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A u to c o rr e la ti o n grafik ACF Gambar 2.4 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Stasioner dalam Rata-rata Plot data runtun waktu pada gambar di atas memperlihatkan tidak adanya perubahan dalam rata-rata. Walaupun ada beberapa nilai yang menyimpang jauh akan tetapi bila ditarik garis tengahnya, rata-rata nilainya berada di sekitar garis tersebut. Selain itu plot ACF juga memperkuat adanya kestasioneran data dalam rata-rata. Hal itu dapat dilihat untuk semua lag nilai otokorelasi turun mendekati nol. Oleh karena itu, dapat dikatakan data telah stasioner dalam rata-rata. Gambar 2.5 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Tidak Stasioner dalam Rata-rata Pada gambar di atas plot data runtun waktu memperlihatkan adanya perubahan nilai tengah. Data mengalami kenaikan dan penurunan yang menandakan data tidak stasioner dalam rata-rata. Plot ACF terlihat adanya pola gelombang sinus yang menandakan data tidak stasioner. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa data tidak stasioner dalam rata-rata. Apabila suatu data runtun waktu tidak stasioner berdasarkan rata-rata maka dapat diatasi dengan melakukan differencing. Differencing merupakan pengurangan data tertentu dengan data sebelumnya. Jika differencing orde satu masih belum menghasilkan data yang stasioner, maka dapat dilakukan differencing orde ke dua. Diharapkan proses differencing maksimal yang dapat dilakukan adalah dua kali, karena jika lebih dari itu maka hasil peramalan menjadi kurang akurat karena menggunakan data yang sudah terlalu lama. Notasi yang sangat bermanfaat dalam differencing adalah operator backshift backward shift yang disimbolkan dengan yang artinya adalah sebagai berikut: � = �−1 2-15 Notasi yang dipasangkan pada � mempunyai pengaruh menggeser data satu periode ke belakang, dua penerapan untuk � mempunyai pengaruh menggeser data tersebut dua periode ke belakang, yaitu: � = 2 � = �−2 2-16 Apabila suatu runtun waktu tidak stasioner, maka data tersebut dapat dibuat lebih mendekati stasioner dengan melakukan differencing pertama dari deret data dan persamaannya adalah sebagai berikut: � ′ = � − �−1 2-17 Menggunakan operator backshift persamaan di atas dapat ditulis kembali menjadi: � ′ = � − � = 1 − � 2-18 Differencing pertama dinyatakan dengan 1 − . Sama halnya apabila differencing orde kedua, yaitu differencing pertama dari differencing pertama sebelumnya, dan cara penghitungannya adalah sebagai berikut: � ′′ = � ′ − �−1 ′ = � − �−1 − �−1 − �−2 = � − 2 �−1 + �−2 = 1 − 2 + 2 � = 1 − 2 � Differencing orde kedua diberi notasi 1 − 2 . Tujuan dilakukannya differencing adalah untuk mencapai stasioneritas. Definisi 2.7 Differencing Differencing orde ke- pada � adalah: � = 1 − � 2-19 Suatu data runtun waktu dikatakan stasioner dalam varians, jika plot data runtun waktu tidak memperlihatkan adanya perubahan varians yang signifikan dari waktu ke waktu Makridakis, 1999:333. Sebaliknya jika grafik data runtun waktu menunjukkan variasi yang fluktuatif maka data tersebut tidak stasioner dalam varians. Untuk menguji kestasioneran data dalam varians dapat menggunakan plot data runtun waktu dan plot otokorelasi ACF. Gambar 2.6 menunjukkan contoh data runtun waktu yang stasioner dalam varians dan gambar 2.7 menunjukkan contoh data runtun waktu yang tidak stasioner dalam varians. Gambar 2.6 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Stasioner dalam Varians Pada gambar 2.6 plot data runtun waktu memperlihatkan bahwa data stasioner dalam varians. Hal itu dikarenakan tidak terlihat adanya perubahan varians yang signifikan. Pernyataan ini diperkuat juga dengan plot ACF di mana grafik ACF mengalami penurunan cepat setelah lag ketiga dan semakin mendekati nol. Oleh sebab itu, dapat dikatakan data stasioner dalam varians. Gambar 2.7 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Tidak Stasioner dalm Varians Plot data runtun waktu dan ACF pada gambar 2.7 memperlihatkan bahwa data tidak stasioner dalam varians. Data berfluktuasi tajam lalu didukung dengan plot ACF yang memperlihatkan adanya pola gelombang sinus yang menandakan adanya perubahan varians. Jadi dapat disimpulkan bahwa data tidak stasioner dalam varians. Untuk menstasionerkan data yang belum stasioner dalam varians dapat dilakukan dengan proses transformasi. Secara umum, untuk mencapai stasioneritas dalam varians dapat dilakukan dengan power transformation , yaitu Wei, 1990: 85: � = � − 1 , ≠ 0 ln � , = 0 2-20 dengan adalah parameter transformasi. Secara umum, berikut adalah nilai dari beserta pendekatan transformasi yang digunakan Wei, 1990: 84. Tabel 2.1 Transformasi Box-Cox Nilai � Transformasi -1 1 � -0,5 1 � ln � 0,5 � 1 � stasioner

I. Autoregressive Integrated Moving Average ARIMA

ARIMA Autoregressive Integrated Moving Average sering disebut juga metode runtun waktu Box-Jenkins. ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan. Model Box-Jenkins ARIMA dibagi dalam tiga macam yaitu model autoregressive AR, model moving average MA, dan model campuran ARMA yang mempunyai karakteristik dari dua model pertama. Secara umum model ARIMA disimbolkan dengan ARIMA , , , di mana , , dan berturut-turut adalah: AR : = orde dari proses autoregresif I : = orde dari proses differencing MA: = orde dari proses moving average

1. Model Autoregressive AR

Autoregressive adalah suatu bentuk persamaan regresi tetapi bukan yang menghubungkan variabel dependen dengan variabel independen, melainkan menghubungkan nilai-nilai sebelumnya dengan diri sendiri variabel yang bersangkutan pada time lag selang waktu yang bermacam-macam. Secara grafik, suatu model AR dikatakan mengikuti proses AR jika lag-lag pada grafik ACF menurun secara eksponensial dan banyaknya lag yang signifikan berbeda dengan nol pada grafik PACF digunakan sebagai indikasi besarnya parameter . Definisi 2.8 Model Autoregressive AR Bentuk umum model autoregressive berorde , disimbolkan AR atau ARIMA , 0,0 dinyatakan sebagai berikut Makridakis, 1999: 385: � = ′ + � 1 �−1 + � 2 �−2 + + � �− + � 2-21 dengan ′ : nilai konstan � : parameter autoregresif ke- � : galat pada saat � Dua kasus yang paling sering muncul adalah untuk = 1 dan = 2, yaitu berturut-turut model AR1 dan AR2. Dua kasus tersebut dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:

a. AR

atau ARIMA , , � = ′ + � 1 �−1 + � 2-22 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-22 dapat ditulis kembali menjadi: � − � 1 �−1 = ′ + � 2-23 atau 1 − � 1 � = ′ + � 2-24 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model AR 1 Wei, 1990: 34 Gambar 2.8 Grafik ACF dan PACF Model AR1 Gambar 2.8 menunjukkan pola ACF dan PACF model AR 1. Terlihat pada gambar bahwa ACF turun perlahan mendekati nol dan PACF signifikan pada lag pertama.

b. AR atau ARIMA , ,

� = ′ + � 1 �−1 + � 2 �−2 + � 2-25 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-25 dapat ditulis kembali menjadi: � − � 1 �−1 − � 2 �−2 = ′ + � 2-26 atau 1 − � 1 − � 2 2 � = ′ + � 2-27 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model AR 2 Wei, 1990: 43 Gambar 2.9 Grafik ACF dan PACF Model AR2 Gambar 2.9 menunjukkan pola ACF dan PACF model AR 2. Terlihat pada gambar bahwa ACF turun perlahan mendekati nol dan PACF signifikan pada lag pertama dan kedua.

2. Model Moving Average MA

Moving average atau rata-rata bergerak berarti bahwa nilai runtun waktu pada waktu � dipengaruhi oleh unsur galat pada saat ini dan mungkin unsur galat pada masa lalu. Suatu runtun waktu dikatakan mengikuti proses MA, jika lag-lag pada grafik PACF menurun secara eksponensial dan banyaknya lag yang signifikan berbeda dengan nol pada grafik ACF digunakan sebagai indikasi besarnya parameter . Definisi 2.9 Model Moving Average MA Bentuk umum model moving average orde , disimbolkan dengan MA atau ARIMA 0,0, dapat ditulis sebagai berikut Makridakis, 1990: 388: � = + � − � 1 �−1 − � 2 �−2 − − � �− 2-28 dengan : nilai konstan � : parameter moving average ke- �− : galat pada saat � − Dua kasus yang paling sering muncul adalah untuk = 1 dan = 2, yaitu berturut-turut model MA1 dan MA2. Dua kasus tersebut dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:

a. MA atau ARIMA , ,

� = + � − � 1 �−1 2-29 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-29 dapat ditulis kembali menjadi: � = + 1 − � 1 � 2-30 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model MA 1 Wei, 1990: 48 Gambar 2.10 Grafik ACF dan PACF Model MA1 Gambar 2.10 menunjukkan pola ACF dan PACF model MA 1. Terlihat pada gambar bahwa ACF signifikan pada lag pertama dan PACF perlahan mendekati nol.

b. MA atau ARIMA , ,

� = + � − � 1 �−1 − � 2 �−2 2-31 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-31 dapat ditulis kembali menjadi: � = + 1 − � 1 − � 2 2 � 2-32 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model MA 2 Wei, 1990: 52 Gambar 2.11 Grafik ACF dan PACF Model MA2 Gambar 2.11 menunjukkan pola ACF dan PACF model MA 2. Terlihat pada gambar bahwa ACF signifikan pada lag pertama dan kedua, sedangkan PACF perlahan mendekati nol.

3. Model Campuran Autoregressive Moving Average ARMA

Suatu perluasan yang diperoleh dari model AR dan MA adalah model campuran ARMA. Bentuk umum untuk model campuran ARMA , dapat ditulis sebagai berikut: � = ′ + � 1 �−1 + + � �− + � − � 1 �−1 − − � �− � − � 1 �−1 − − � �− = ′ + � − � 1 �−1 − − � �− 1 − � 1 − − � � = ′ + 1 − � 1 − − � � Definisi 2.10 Model Autoregressive Moving Average ARMA Model ARMA dapat ditulis sebagai berikut: � � = ′ + � � 2-33 dengan � = 1 − � 1 − − � � = 1 − � 1 − − � Persamaan untuk kasus yang paling sederhana proses AR 1 dan proses MA 1 adalah sebagai berikut: ARMA , atau ARIMA , , � = ′ + � 1 �−1 + � − � 1 �−1 2-34 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-34 dapat ditulis kembali menjadi: � − � 1 �−1 = ′ + � − � 1 �−1 2-35 atau 1 − � 1 � = ′ + 1 − � 1 � 2-36 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model ARMA 1, 1 Wei, 1990: 60-61 Gambar 2.12 Grafik ACF dan PACF Model ARMA1,1 Gambar 2.12 lanjutan Apabila data tidak stasioner maka perlu dilakukan proses differencing. Oleh sebab itu proses ARMA akan berubah menjadi model umum ARIMA , , . Jika dilakukan proses differencing dengan orde ke- seperti pada persamaan 2-19, sehingga 1 , 2 , … menjadi data runtun waktu yang stasioner, maka model ARMA , pada � dinamakan model ARIMA , , . Definisi 2.11 Model ARIMA , �, Bentuk umum model ARIMA , , adalah sebagai berikut: � 1 − � = ′ + � � 2-37 dengan operator AR dinyatakan dalam bentuk polinomial sebagai berikut: � = 1 − � 1 − � 2 2 − − � 2-38 dan operator MA adalah sebagai berikut: � = 1 − � 1 − � 2 2 − − � 2-39 Parameter menunjukkan bahwa proses tidak stasioner. Jadi apabila parameter = 0 maka proses telah stasioner. Namun dalam prakteknya jarang diperlukan pemakaian nilai , , yang lebih dari 2. Persamaan untuk kasus yang paling sederhana ARIMA 1, 1, 1 adalah sebagai berikut: 1 − � 1 1 − � = ′ + 1 − � 1 � 2-40

J. Langkah-langkah Pemodelan ARIMA

Langkah-langkah membangun suatu model ARIMA dengan metode Box-Jenkins adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Model

Identifikasi model berkaitan dengan penentuan orde pada ARIMA. Oleh karena itu, identifikasi model dilakukan setelah melakukan analisis runtun waktu untuk mengetahui adanya otokorelasi dan kestasioneran data sehingga dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan transformasi dan differencing. Jika data tidak stasioner dalam rata-rata maka dilakukan differencing dan jika data tidak stasioner dalam varians maka dapat dilakukan suatu transformasi pada data. Langkah pertama untuk menganalisis data runtun waktu adalah dengan membuat plot data time series terlebih dahulu. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui adanya trend dan pengaruh musiman pada data tersebut. Langkah berikutnya adalah menganalisis koefisien otokorelasi dan otokorelasi parsial dengan tujuan untuk mengetahui kestasioneran data. Grafik ACF dan PACF tersebut juga digunakan untuk mengidentifikasi orde model ARIMA.

2. Pendugaan Parameter Model

Menurut Makridakis 1999: 407 terdapat dua cara yang mendasar untuk melakukan pendugaan parameter, yaitu: a. Dengan cara mencoba-coba, yaitu menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih satu nilai tersebut atau sekumpulan nilai, apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan diduga yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa sum of squared residuals. b. Perbaikan secara iteratif, yaitu memilih penduga awal dan kemudian membiarkan program komputer memperhalus pendugaan tersebut secara iteratif. Setelah dilakukan pendugaan parameter maka parameter tersebut perlu diuji signifikasinya. Langkah-langkah dalam pengujian signifikansi adalah sebagi berikut: a. AR Autoregressive � : � = 0, di mana = 1, 2, … , AR tidak signifikan dalam model � 1 : � ≠ 0 AR signifikan dalam model Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: � hitung = � SE � dengan � adalah estimator dari � , sedangkan SE� adalah standar eror yang diduga dari � . Kriteria keputusan untuk menolak � adalah jika � � 2 , , = − , dengan adalah banyaknya pengamatan dan adalah banyaknya parameter. Hasil keputusan yang diharapkan adalah � ditolak, atau AR signifikan dalam model. b. MA Moving Average � : � = 0, di mana = 1, 2, … , MA tidak signifikan dalam model � 1 : � ≠ 0 MA signifikan dalam model Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: � hitung = � SE � dengan � adalah estimator dari � , sedangkan SE� adalah standar eror yang diduga dari � . Kriteria keputusan untuk menolak � adalah jika � � 2 , , = − , dengan adalah banyaknya pengamatan dan adalah banyaknya parameter. Hasil keputusan yang diharapkan adalah � ditolak, atau MA signifikan dalam model.

3. Pemeriksaan Diagnostik pada Model

Tahap pemeriksaan diagnostik bertujuan untuk memeriksa apakah model penduga sudah sesuai, yaitu model sudah memenuhi syarat white noise untuk galat residual. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan analisis galat untuk otokorelasi. Pengujian auokorelasi untuk galat menggunakan hipotesis sebagai berikut: � : otokorelasi pada deret galat tidak signifikan � 1 : otokorelasi pada deret galat tidak signifikan dengan statistik uji sebagai berikut: � = 2 =1 dengan : � − � : jumlah pengamatan : derajat pada transformasi differencing : lag maksimum : nilai otokorelasi deret galat pada lag Hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi � 2 dengan derajat bebas − − . dan merupakan derajat untuk proses autoregressive dan moving average pada model ARIMA. Kriteria pengambilan keputusannya adalah � ditolak jika � � 2 . Hasil yang diharapkan adalah � diterima, artinya otokorelasi pada deret galat tidak signifikan. Secara grafik, lag-lag otokorelasi dari galat tidak signifikan atau mendekati nol. Dengan kata lain otokorelasi dari galat memenuhi proses white noise. Biasanya dalam pemodelan ARIMA dibentuk lebih dari satu model, kemudian dilakukan perbandingan untuk mengetahui model mana yang lebih baik.

4. Kriteria Pemilihan Model

Tahap selanjutnya adalah penentuan kriteria pemilihan model apabila terdapat dua atau lebih model penduga. Tujuannya adalah untuk memilih model terbaik yang layak digunakan dalam peramalan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pemilihan model yaitu pendekatan AIC Akaike’s Information Criterion. Nilai AIC semakin kecil maka model yang didapatkan semakin baik. Definisi 2.12 Akaike’s Information Criterion AIC Berikut adalah persamaan AIC Wei, 1990: 153: AIC M = ln � 2 + 2M 2-48 dengan : banyaknya pengamatan � 2 : penduga dari � 2 M : banyaknya parameter pada model Selain memperhatikan nilai AIC, dalam pemilihan model yang terbaik juga perlu dipertimbangkan besarnya rata-rata kuadrat galat dan kesederhanaan model. Model akan semakin baik apabila rata-rata kuadrat galatnya semakin kecil dan model semakin sederhana.

K. Deret Geometri Tak Berhingga

Deret geometri tak berhingga digunakan dalam pembahasan bentuk model fungsi transfer pada Bab III. Deret geometri tak berhingga adalah penjumlahan dari 1 + 2 + 3 + , dengan = −1 , ≠ 0 = = + + 2 + ∞ =1 2-49 di mana → ∞ dan −1 1 sehingga → 0. Rumus jumlah deret geometri adalah sebagai berikut: = 1 − 1 − 2-50 Dengan menggunakan rumus jumlah deret geometri didapatkan rumus jumlah deret geometri tak berhingga sebagai berikut: = 1 − 2-51 Deret geometri tak berhingga ini akan konvergen untuk −1 1. Rumus deret geometri tak berhingga di atas dapat digunakan untuk menunjukkan apabila terdapat fungsi transfer yang dinyatakan dalam bentuk polinomial berderajat tak hingga banyak, dapat diubah menjadi perbandingan dari dan 1 − . Tentu saja bentuk perbandingan ini lebih sederhana dibandingkan dengan bentuk polinomial berderajat tak hingga.

L. Distribusi Chi Kuadrat