�
22
= 1
�
1
�
1
�
2
1 �
1
�
1
1
�
33
= 1
�
1
�
1
�
1
1 �
2
�
2
�
1
�
3
1 �
1
�
2
�
1
1 �
1
�
2
�
1
1
� = 1
�
1
�
1
1 �
2
… �
1
… �
−2
�
1
�
−3
�
2
�
−1
�
−2
⋱ �
−3
�
1
� 1
�
1
�
1
1 �
2
… �
1
… �
−2
�
−1
�
−3
�
−2
�
−1
�
−2
⋱ �
−3
… �
1
1 � inilah yang disebut sebagai fungsi otokorelasi parsial.
E. Cross Correlation Function CCF
Fungsi korelasi silang adalah ukuran kekuatan hubungan antara dua variabel. Korelasi silang dan menentukan tingkat hubungan antara
nilai pada waktu � dengan nilai pada waktu � + Makridakis, dkk,
1999: 456.
Definisi 2.4 Kovarian Silang
Diberikan dua variabel
�
dan
�
, fungsi kovarian silang antara
�
dan
�
dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: =
�
−
�+
− 2-9
Persamaan 2-9 fungsi kovarian silang didefinisikan sebagai nilai harapan. Dalam praktek, taksiran kovarian silang dihitung dengan rumus
sebagai berikut: =
1 �
−
�+
−
− �=1
2-10
Definisi 2.5 Korelasi Silang
Rumus penduga korelasi silang dari
�
dan
�
dapat diperoleh de- ngan membagi fungsi kovarian silang pada persamaan 2-10 dengan
standar deviasi dari
�
dan
�
. =
2-11 dengan
: fungsi korelasi silang sampel dari
�
dan
�
: fungsi kovarian silang sampel dari
�
dan
�
: standar deviasi sampel dari
�
: standar deviasi sampel dari
�
: beda waktu pada setiap pasangan data time lag
F. Proses White Noise
Suatu data runtun waktu dikatakan mengalami proses white noise jika otokorelasi antara deret
�
dan
�−
untuk semua lag mendekati nol, atau nilai antar lag pada deret tersebut tidak berkorelasi satu dengan yang
lain. Menurut Wei 1990: 16 suatu proses
�
disebut suatu proses white noise jika
�
merupakan barisan variabel acak yang tidak berkorelasi
dari suatu distribusi dengan rata-rata konstan
�
= yang biasa
diasumsikan nol,
variansi konstan
Var
�
= �
2
dan = Cov
�
,
�+
= 0 untuk semua ≠ 0.
Definisi 2.6 Proses White Noise
Suatu proses white noise
�
adalah stasioner bila memenuhi fungsi otokovarian:
= �
2
, = 0
0 , ≠ 0
2-12 fungsi otokorelasi:
� = 1 ,
= 0 0 ,
≠ 0 2-13
dan fungsi otokorelasi parsial: � =
1 , = 0
0 , ≠ 0
2-14
G. Hubungan ACF, PACF, dan CCF dengan White Noise
Suatu runtun waktu dikatakan white noise apabila tidak ada korelasi antar lag pada deret tersebut. Definisi ini secara matematis dituliskan pada
persamaan 2-12, 2-13, dan 2-14. Apabila fungsi otokorelasi didefinisikan seperti pada persamaan 2-13, maka persamaan itu
menyebabkan semua koefisien otokorelasi harus mendekati nol, yang artinya grafik ACF harus white noise.
33 30
27 24
21 18
15 12
9 6
3 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
Lag A
u to
c o
rr e
la ti
o n
ACF of Residuals for Xt
with 5 significance limits for the autocorrelations
Gambar 2.1 Grafik ACF yang White Noise
Gambar di atas atas adalah contoh grafik ACF yang white noise. Apabila dilihat dari grafiknya, suatu runtun waktu dikatakan white noise
jika semua otokorelasi pada tiap lagnya tidak ada yang melewati selang kepercayaan atau dengan kata lain tidak ada yang signifikan. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa grafik ACF di atas bersifat white noise.
33 30
27 24
21 18
15 12
9 6
3 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
Lag P
a rt
ia l
A u
to c
o rr
e la
ti o
n
PACF of Residuals for Xt
with 5 significance limits for the partial autocorrelations
Gambar 2.2 Grafik PACF yang White Noise
Persamaan 2-14 berakibat bahwa untuk semua koefisien otokorelasi parsial juga harus mendekati nol. Artinya, grafik PACF juga
harus bersifat white noise. Gambar 2 di atas adalah contoh grafik PACF
yang bersifat white noise. Hal ini terlihat dari tidak adanya otokorelasi parsial yang melewati selang kepercayaan untuk setiap lag.
Persamaan korelasi silang didapatkan dari rumus fungsi kovarian. Proses white noise juga memuat bahwa fungsi otokovarian harus
mendekati nol. Ini artinya, koefisien korelasi silang juga diharapkan mendekati nol. Dengan kata lain grafik CCF juga harus bersifat white
noise. Berikut adalah contoh gambar grafik CCF yang bersifat white noise.
Gambar 2.3 Grafik CCF yang White Noise
Secara grafik, dapat dilihat langsung apabila tidak ada lag dengan CCF yang signifikan atau melewati selang kepercayaan, itu berarti runtun
waktu bersifat white noise. Grafik-grafik tersebut merupakan cara untuk menguji signifikasi dari koefisien-koefisien otokorelasi, otokorelasi
parsial, dan korelasi silang. Prosedur pengujian hipotesis yang menghasilkan grafik-grafik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Otokorelasi
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: �
: � = 0 koefisien otokorelasi tidak signifikan
�
1
: � ≠ 0 koefisien otokorelasi signifikan
Statistik uji yang digunakan adalah: � =
= 1 + 2
2 −1
=1
dengan : kesalahan standar untuk otokorelasi pada lag ke
: koefisien otokorelasi pada lag ke : selisih waktu
: banyaknya observasi dalam runtun waktu Kriteria keputusannya adalah
� ditolak jika
� −�
2
, −1
atau � �
2
, −1
atau secara grafik apabila koefisien otokorelasi melewati batas-batas selang kepercayaan.
2. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Otokorelasi Parsial
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: �
: � = 0 koefisien otokorelasi parsial tidak signifikan
�
1
: � ≠ 0 koefisien otokorelasi parsial signifikan
Statistik uji yang digunakan adalah: � =
� �
� = 1
dengan � : kesalahan standar untuk otokorelasi parsial pada lag ke
� : koefisien otokorelasi parsial pada lag ke : selisih waktu
: banyaknya observasi dalam runtun waktu Kriteria keputusannya adalah
� ditolak jika
� −�
2
, −1
atau � �
2
, −1
atau secara grafik apabila koefisien otokorelasi parsial melewati batas-batas selang kepercayaan.
3. Pengujian Hipotesis untuk Koefisien Korelasi Silang
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: �
: � = 0 koefisien korelasi silang tidak signifikan
�
1
: � ≠ 0 koefisien korelasi silang signifikan
Statistik uji yang digunakan adalah: � =
= 1
− dengan
: kesalahan standar untuk korelasi silang : koefisien korelasi silang sampel
: selisih waktu : banyaknya observasi dalam runtun waktu
Kriteria keputusannya adalah �
ditolak jika � −�
2
, −1
atau � �
2
, −1
. Asas suatu runtun waktu bersifat white noise maka hasil pengujian
hipotesis yang diharapkan adalah �
diterima. Artinya, baik koefisien otokorelasi, otokorelasi parsial, maupun korelasi silang harus mendekati
nol. Dengan kata lain, seluruh koefisien otokorelasi, otokorelasi parsial, dan korelasi silang harus tidak signifikan.
H. Cara Mendeteksi dan Mengatasi Masalah Stasioneritas
Dalam analisis runtun waktu, asumsi yang harus dipenuhi adalah stasioneritas data baik dalam rata-rata maupun varians. Data dikatakan
stasioner jika rata-rata dan variansnya konstan. Menurut Makridakis, dkk 1999: 351 stasioneritas mempunyai makna bahwa tidak terdapat
pertumbuhan atau penurunan pada data. Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada
waktu dan varians dari fluktuasi tersebut. Kebanyakan data dalam analisis runtun waktu tidak stasioner, oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian mengenai stasioneritas data. Pengujian ini dapat dilakukan dengan mengamati plot data runtun waktu
dan plot otokorelasi. Jika plot data runtun waktu cenderung konstan, tidak terdapat trend naik atau turun maka dapat disimpulkan data sudah
stasioner. Nilai-nilai otokorelasi dari data stasioner akan turun sampai nol sesudah time lag kedua atau ketiga, sedangkan untuk data yang tidak
stasioner, nilai-nilai tersebut berbeda signifikan dari nol untuk beberapa periode waktu.
Data runtun waktu dikatakan stasioner dalam rata-rata jika rata- ratanya tidak berubah dari waktu ke waktu atau bersifat stabil. Untuk
melihat kestasioneran dalam rata-rata dapat digunakan alat bantu plot data runtun waktu dan plot otokorelasi ACF. Gambar 2.4 berikut
menunjukkan contoh data runtun waktu yang stasioner dalam rata-rata dan gambar 2.5 menunjukkan contoh data runtun waktu yang tidak stasioner
dalam rata-rata.
100 90
80 70
60 50
40 30
20 10
1 400
300 200
100 -100
-200 -300
Index d
if f
Time Series Plot of diff
50 45
40 35
30 25
20 15
10 5
1 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
Lag A
u to
c o
rr e
la ti
o n
grafik ACF
Gambar 2.4 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Stasioner
dalam Rata-rata Plot data runtun waktu pada gambar di atas memperlihatkan tidak
adanya perubahan dalam rata-rata. Walaupun ada beberapa nilai yang menyimpang jauh akan tetapi bila ditarik garis tengahnya, rata-rata
nilainya berada di sekitar garis tersebut. Selain itu plot ACF juga memperkuat adanya kestasioneran data dalam rata-rata. Hal itu dapat
dilihat untuk semua lag nilai otokorelasi turun mendekati nol. Oleh karena itu, dapat dikatakan data telah stasioner dalam rata-rata.
Gambar 2.5 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Tidak
Stasioner dalam Rata-rata Pada gambar di atas plot data runtun waktu memperlihatkan adanya
perubahan nilai tengah. Data mengalami kenaikan dan penurunan yang menandakan data tidak stasioner dalam rata-rata. Plot ACF terlihat adanya
pola gelombang sinus yang menandakan data tidak stasioner. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa data tidak stasioner dalam rata-rata.
Apabila suatu data runtun waktu tidak stasioner berdasarkan rata-rata maka dapat diatasi dengan melakukan differencing. Differencing
merupakan pengurangan data tertentu dengan data sebelumnya. Jika differencing orde satu masih belum menghasilkan data yang stasioner,
maka dapat dilakukan differencing orde ke dua. Diharapkan proses differencing maksimal yang dapat dilakukan adalah dua kali, karena jika
lebih dari itu maka hasil peramalan menjadi kurang akurat karena menggunakan data yang sudah terlalu lama.
Notasi yang sangat bermanfaat dalam differencing adalah operator backshift backward shift yang disimbolkan dengan yang artinya adalah
sebagai berikut:
�
=
�−1
2-15
Notasi yang dipasangkan pada
�
mempunyai pengaruh menggeser data satu periode ke belakang, dua penerapan untuk
�
mempunyai pengaruh menggeser data tersebut dua periode ke belakang, yaitu:
�
=
2 �
=
�−2
2-16 Apabila suatu runtun waktu tidak stasioner, maka data tersebut dapat
dibuat lebih mendekati stasioner dengan melakukan differencing pertama dari deret data dan persamaannya adalah sebagai berikut:
� ′
=
�
−
�−1
2-17 Menggunakan operator backshift persamaan di atas dapat ditulis kembali
menjadi:
� ′
=
�
−
�
= 1 −
�
2-18 Differencing pertama dinyatakan dengan
1 − . Sama halnya apabila
differencing orde kedua, yaitu differencing pertama dari differencing pertama sebelumnya, dan cara penghitungannya adalah sebagai berikut:
� ′′
=
� ′
−
�−1 ′
=
�
−
�−1
−
�−1
−
�−2
=
�
− 2
�−1
+
�−2
= 1 − 2 +
2 �
= 1 −
2 �
Differencing orde kedua diberi notasi 1
−
2
. Tujuan dilakukannya differencing adalah untuk mencapai stasioneritas.
Definisi 2.7 Differencing
Differencing orde ke- pada
�
adalah:
�
= 1 −
�
2-19 Suatu data runtun waktu dikatakan stasioner dalam varians, jika plot
data runtun waktu tidak memperlihatkan adanya perubahan varians yang signifikan dari waktu ke waktu Makridakis, 1999:333. Sebaliknya jika
grafik data runtun waktu menunjukkan variasi yang fluktuatif maka data tersebut tidak stasioner dalam varians. Untuk menguji kestasioneran data
dalam varians dapat menggunakan plot data runtun waktu dan plot otokorelasi ACF. Gambar 2.6 menunjukkan contoh data runtun waktu
yang stasioner dalam varians dan gambar 2.7 menunjukkan contoh data runtun waktu yang tidak stasioner dalam varians.
Gambar 2.6 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Stasioner
dalam Varians Pada gambar 2.6 plot data runtun waktu memperlihatkan bahwa data
stasioner dalam varians. Hal itu dikarenakan tidak terlihat adanya perubahan varians yang signifikan. Pernyataan ini diperkuat juga dengan
plot ACF di mana grafik ACF mengalami penurunan cepat setelah lag
ketiga dan semakin mendekati nol. Oleh sebab itu, dapat dikatakan data stasioner dalam varians.
Gambar 2.7 Plot Data Runtun Waktu dan Grafik ACF yang Tidak
Stasioner dalm Varians Plot data runtun waktu dan ACF pada gambar 2.7 memperlihatkan
bahwa data tidak stasioner dalam varians. Data berfluktuasi tajam lalu didukung dengan plot ACF yang memperlihatkan adanya pola gelombang
sinus yang menandakan adanya perubahan varians. Jadi dapat disimpulkan bahwa data tidak stasioner dalam varians.
Untuk menstasionerkan data yang belum stasioner dalam varians dapat dilakukan dengan proses transformasi. Secara umum, untuk
mencapai stasioneritas dalam varians dapat dilakukan dengan power transformation , yaitu Wei, 1990: 85:
�
=
�
− 1 ,
≠ 0 ln
�
, = 0
2-20 dengan adalah parameter transformasi. Secara umum, berikut adalah
nilai dari beserta pendekatan transformasi yang digunakan Wei, 1990: 84.
Tabel 2.1 Transformasi Box-Cox
Nilai �
Transformasi
-1 1
�
-0,5 1
�
ln
�
0,5
�
1
�
stasioner
I. Autoregressive Integrated Moving Average ARIMA
ARIMA Autoregressive Integrated Moving Average sering disebut juga metode runtun waktu Box-Jenkins. ARIMA menggunakan nilai masa
lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan. Model Box-Jenkins ARIMA dibagi dalam tiga macam yaitu model
autoregressive AR, model moving average MA, dan model campuran ARMA yang mempunyai karakteristik dari dua model pertama.
Secara umum model ARIMA disimbolkan dengan ARIMA , , ,
di mana , , dan berturut-turut adalah:
AR : = orde dari proses autoregresif
I : = orde dari proses differencing
MA: = orde dari proses moving average
1. Model Autoregressive AR
Autoregressive adalah suatu bentuk persamaan regresi tetapi bukan yang menghubungkan variabel dependen dengan variabel
independen, melainkan menghubungkan nilai-nilai sebelumnya dengan diri sendiri variabel yang bersangkutan pada time lag selang waktu
yang bermacam-macam. Secara grafik, suatu model AR dikatakan mengikuti proses AR jika lag-lag pada grafik ACF menurun secara
eksponensial dan banyaknya lag yang signifikan berbeda dengan nol pada grafik PACF digunakan sebagai indikasi besarnya parameter .
Definisi 2.8 Model Autoregressive AR
Bentuk umum model autoregressive berorde , disimbolkan
AR atau ARIMA , 0,0 dinyatakan sebagai berikut Makridakis,
1999: 385:
�
=
′
+ �
1 �−1
+ �
2 �−2
+ +
�
�−
+
�
2-21 dengan
′
: nilai konstan � : parameter autoregresif ke-
�
: galat pada saat �
Dua kasus yang paling sering muncul adalah untuk = 1 dan
= 2, yaitu berturut-turut model AR1 dan AR2. Dua kasus tersebut dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:
a. AR
atau ARIMA , ,
�
=
′
+ �
1 �−1
+
�
2-22
Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-22 dapat ditulis kembali menjadi:
�
− �
1 �−1
=
′
+
�
2-23 atau
1 − �
1 �
=
′
+
�
2-24
Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model AR 1
Wei, 1990: 34
Gambar 2.8 Grafik ACF dan PACF Model AR1
Gambar 2.8 menunjukkan pola ACF dan PACF model AR 1.
Terlihat pada gambar bahwa ACF turun perlahan mendekati nol dan PACF signifikan pada lag pertama.
b. AR atau ARIMA , ,
�
=
′
+ �
1 �−1
+ �
2 �−2
+
�
2-25 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-25
dapat ditulis kembali menjadi:
�
− �
1 �−1
− �
2 �−2
=
′
+
�
2-26 atau
1 − �
1
− �
2 2
�
=
′
+
�
2-27 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model AR
2 Wei, 1990: 43
Gambar 2.9 Grafik ACF dan PACF Model AR2
Gambar 2.9 menunjukkan pola ACF dan PACF model AR 2.
Terlihat pada gambar bahwa ACF turun perlahan mendekati nol dan PACF signifikan pada lag pertama dan kedua.
2. Model Moving Average MA
Moving average atau rata-rata bergerak berarti bahwa nilai runtun waktu pada waktu
� dipengaruhi oleh unsur galat pada saat ini dan mungkin unsur galat pada masa lalu. Suatu runtun waktu
dikatakan mengikuti proses MA, jika lag-lag pada grafik PACF menurun secara eksponensial dan banyaknya lag yang signifikan
berbeda dengan nol pada grafik ACF digunakan sebagai indikasi besarnya parameter .
Definisi 2.9 Model Moving Average MA
Bentuk umum model moving average orde , disimbolkan
dengan MA atau ARIMA 0,0, dapat ditulis sebagai berikut
Makridakis, 1990: 388:
�
= +
�
− �
1 �−1
− �
2 �−2
− − �
�−
2-28 dengan
: nilai konstan � : parameter moving average ke-
�−
: galat pada saat � −
Dua kasus yang paling sering muncul adalah untuk = 1 dan
= 2, yaitu berturut-turut model MA1 dan MA2. Dua kasus tersebut dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:
a. MA atau ARIMA , ,
�
= +
�
− �
1 �−1
2-29 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-29
dapat ditulis kembali menjadi:
�
= + 1
− �
1 �
2-30 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model MA
1 Wei, 1990: 48
Gambar 2.10 Grafik ACF dan PACF Model MA1
Gambar 2.10 menunjukkan pola ACF dan PACF model MA 1.
Terlihat pada gambar bahwa ACF signifikan pada lag pertama dan PACF perlahan mendekati nol.
b. MA atau ARIMA , ,
�
= +
�
− �
1 �−1
− �
2 �−2
2-31 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-31
dapat ditulis kembali menjadi:
�
= + 1
− �
1
− �
2 2
�
2-32 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model MA
2 Wei, 1990: 52
Gambar 2.11 Grafik ACF dan PACF Model MA2
Gambar 2.11 menunjukkan pola ACF dan PACF model MA 2.
Terlihat pada gambar bahwa ACF signifikan pada lag pertama dan kedua, sedangkan PACF perlahan mendekati nol.
3. Model Campuran Autoregressive Moving Average ARMA
Suatu perluasan yang diperoleh dari model AR dan MA adalah model campuran ARMA. Bentuk umum untuk model campuran
ARMA , dapat ditulis sebagai berikut:
�
=
′
+ �
1 �−1
+ +
�
�−
+
�
− �
1 �−1
− − �
�− �
− �
1 �−1
− − �
�−
=
′
+
�
− �
1 �−1
− − �
�−
1 − �
1
− − �
�
=
′
+ 1 − �
1
− − �
�
Definisi 2.10 Model Autoregressive Moving Average ARMA
Model ARMA dapat ditulis sebagai berikut: �
�
=
′
+ �
�
2-33 dengan
� = 1 − �
1
− − � � = 1 − �
1
− − � Persamaan untuk kasus yang paling sederhana proses AR
1 dan proses MA
1 adalah sebagai berikut:
ARMA , atau ARIMA , ,
�
=
′
+ �
1 �−1
+
�
− �
1 �−1
2-34 Dengan menggunakan simbol operator backshift, persamaan 2-34
dapat ditulis kembali menjadi:
�
− �
1 �−1
=
′
+
�
− �
1 �−1
2-35 atau
1 − �
1 �
=
′
+ 1 − �
1 �
2-36 Berikut adalah bentuk grafik ACF dan PACF dari model ARMA
1, 1 Wei, 1990: 60-61
Gambar 2.12 Grafik ACF dan PACF Model ARMA1,1
Gambar 2.12 lanjutan
Apabila data tidak stasioner maka perlu dilakukan proses differencing. Oleh sebab itu proses ARMA akan berubah menjadi model
umum ARIMA , , . Jika dilakukan proses differencing dengan orde
ke- seperti pada persamaan 2-19, sehingga
1
,
2
, … menjadi data
runtun waktu yang stasioner, maka model ARMA , pada
�
dinamakan model ARIMA , , .
Definisi 2.11 Model ARIMA
, �,
Bentuk umum model ARIMA , , adalah sebagai berikut:
� 1 −
�
=
′
+ �
�
2-37 dengan operator AR
dinyatakan dalam bentuk polinomial sebagai berikut:
� = 1 − �
1
− �
2 2
− − � 2-38
dan operator MA adalah sebagai berikut:
� = 1 − �
1
− �
2 2
− − � 2-39
Parameter menunjukkan bahwa proses tidak stasioner. Jadi apabila parameter
= 0 maka proses telah stasioner. Namun dalam prakteknya jarang diperlukan pemakaian nilai
, , yang lebih dari 2. Persamaan untuk kasus yang paling sederhana ARIMA
1, 1, 1 adalah sebagai berikut:
1 − �
1
1 −
�
=
′
+ 1 − �
1 �
2-40
J. Langkah-langkah Pemodelan ARIMA
Langkah-langkah membangun suatu model ARIMA dengan metode Box-Jenkins adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Model
Identifikasi model berkaitan dengan penentuan orde pada ARIMA. Oleh karena itu, identifikasi model dilakukan setelah melakukan
analisis runtun waktu untuk mengetahui adanya otokorelasi dan kestasioneran data sehingga dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan
transformasi dan differencing. Jika data tidak stasioner dalam rata-rata maka dilakukan differencing dan jika data tidak stasioner dalam
varians maka dapat dilakukan suatu transformasi pada data. Langkah pertama untuk menganalisis data runtun waktu adalah dengan
membuat plot data time series terlebih dahulu. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui adanya trend dan pengaruh musiman pada data
tersebut. Langkah
berikutnya adalah
menganalisis koefisien
otokorelasi dan otokorelasi parsial dengan tujuan untuk mengetahui kestasioneran data. Grafik ACF dan PACF tersebut juga digunakan
untuk mengidentifikasi orde model ARIMA.
2. Pendugaan Parameter Model
Menurut Makridakis 1999: 407 terdapat dua cara yang mendasar untuk melakukan pendugaan parameter, yaitu:
a. Dengan cara mencoba-coba, yaitu menguji beberapa nilai yang
berbeda dan memilih satu nilai tersebut atau sekumpulan nilai, apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan diduga yang
meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa sum of squared residuals.
b. Perbaikan secara iteratif, yaitu memilih penduga awal dan
kemudian membiarkan
program komputer
memperhalus pendugaan tersebut secara iteratif.
Setelah dilakukan pendugaan parameter maka parameter tersebut perlu diuji signifikasinya. Langkah-langkah dalam pengujian signifikansi
adalah sebagi berikut: a.
AR Autoregressive �
: � = 0, di mana = 1, 2, … , AR tidak signifikan dalam
model �
1
: � ≠ 0 AR signifikan dalam model
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: �
hitung
= �
SE �
dengan � adalah estimator dari � , sedangkan SE� adalah
standar eror yang diduga dari � .
Kriteria keputusan untuk menolak �
adalah jika � �
2
,
, =
− , dengan adalah banyaknya pengamatan dan
adalah banyaknya parameter. Hasil keputusan yang diharapkan adalah
� ditolak, atau AR signifikan dalam model.
b. MA Moving Average
� :
� = 0, di mana = 1, 2, … , MA tidak signifikan dalam model
�
1
: � ≠ 0 MA signifikan dalam model
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
�
hitung
= �
SE �
dengan � adalah estimator dari � , sedangkan SE� adalah
standar eror yang diduga dari � .
Kriteria keputusan untuk menolak �
adalah jika � �
2
,
, =
− , dengan adalah banyaknya pengamatan dan
adalah banyaknya parameter. Hasil keputusan yang diharapkan adalah
� ditolak, atau MA signifikan dalam model.
3. Pemeriksaan Diagnostik pada Model
Tahap pemeriksaan diagnostik bertujuan untuk memeriksa apakah model penduga sudah sesuai, yaitu model sudah memenuhi syarat
white noise untuk galat residual. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan analisis galat untuk otokorelasi. Pengujian auokorelasi
untuk galat menggunakan hipotesis sebagai berikut: �
: otokorelasi pada deret galat tidak signifikan �
1
: otokorelasi pada deret galat tidak signifikan dengan statistik uji sebagai berikut:
� =
2 =1
dengan :
� − � : jumlah pengamatan
: derajat pada transformasi differencing : lag maksimum
: nilai otokorelasi deret galat pada lag Hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi
�
2
dengan derajat bebas − − . dan merupakan derajat untuk proses autoregressive
dan moving average pada model ARIMA. Kriteria pengambilan keputusannya adalah
� ditolak jika
� �
2
. Hasil yang diharapkan adalah
� diterima, artinya otokorelasi pada deret galat tidak
signifikan. Secara grafik, lag-lag otokorelasi dari galat tidak signifikan atau mendekati nol. Dengan kata lain otokorelasi dari galat memenuhi
proses white noise. Biasanya dalam pemodelan ARIMA dibentuk lebih dari satu model, kemudian dilakukan perbandingan untuk mengetahui
model mana yang lebih baik.
4. Kriteria Pemilihan Model
Tahap selanjutnya adalah penentuan kriteria pemilihan model apabila terdapat dua atau lebih model penduga. Tujuannya adalah untuk
memilih model terbaik yang layak digunakan dalam peramalan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pemilihan model yaitu
pendekatan AIC Akaike’s Information Criterion. Nilai AIC semakin
kecil maka model yang didapatkan semakin baik.
Definisi 2.12 Akaike’s Information Criterion AIC
Berikut adalah persamaan AIC Wei, 1990: 153:
AIC M = ln �
2
+ 2M 2-48
dengan : banyaknya pengamatan
�
2
: penduga dari �
2
M : banyaknya parameter pada model Selain memperhatikan nilai AIC, dalam pemilihan model yang terbaik
juga perlu dipertimbangkan besarnya rata-rata kuadrat galat dan kesederhanaan model. Model akan semakin baik apabila rata-rata
kuadrat galatnya semakin kecil dan model semakin sederhana.
K. Deret Geometri Tak Berhingga
Deret geometri tak berhingga digunakan dalam pembahasan bentuk model fungsi transfer pada Bab III. Deret geometri tak berhingga adalah
penjumlahan dari
1
+
2
+
3
+ , dengan
=
−1
, ≠ 0
= =
+ +
2
+
∞ =1
2-49 di mana
→ ∞ dan −1 1 sehingga → 0. Rumus jumlah deret geometri adalah sebagai berikut:
= 1
− 1
− 2-50
Dengan menggunakan rumus jumlah deret geometri didapatkan rumus jumlah deret geometri tak berhingga sebagai berikut:
= 1
− 2-51
Deret geometri tak berhingga ini akan konvergen untuk −1 1.
Rumus deret geometri tak berhingga di atas dapat digunakan untuk menunjukkan apabila terdapat fungsi transfer yang dinyatakan dalam
bentuk polinomial berderajat tak hingga banyak, dapat diubah menjadi perbandingan dari dan
1 − . Tentu saja bentuk perbandingan ini lebih
sederhana dibandingkan dengan bentuk polinomial berderajat tak hingga.
L. Distribusi Chi Kuadrat