B. BIOINSEKTISIDA
Bioinsektisida insektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa
penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan sebagai racun biologis yang dihasilkan
oleh mikroorganisme
yang dapat
membunuh serangga
entomopatogen. Sebagai
entomopatogen ,
insektisida mikrobial
dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi atau protozoa Ignoffo dan Anderson,
1979. Adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk -endotoksin yang
bersifat toksin terhadap larva serangga Bravo, 1997. Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia
yang banyak digunakan selama ini. Adapun keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup
aman karena tidak meninggalkan residu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang, tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan
merupakan serangga target Mc Laughlin, 1995. Menurut Becker dan Margalit 1993, penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi
menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. Bahkan,
Marron dan Macintosh 1993 menyatakan bahwa lebih dari 500 spesies serangga telah menjadi resisten terhadap semua jenis insektisida kimia, sedangkan
penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai insektisida mikrobial hanya sedikit yang menimbulkan kekebalan serangga.
C. BACILLUS THURINGIENSIS
Bacillus thuringiensis adalah jenis spesies bakteri yang dapat membunuh
serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bacillus thuringiensis yang disebut serotype atau varietas dari Bacillus thuringiensis dan lebih dari 800
keturunan atau benih Bacillus thuringiensis telah diisolasi Swadener, 1994. Beberapa subspesies dari bakteri Bacillus thuringiensis yaitu kurstaki, aizawai,
sotto entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis.
Dalam satu subspesies Bacillus thuringiensis dijumpai beberapa jenis strain, seperti HD-1, HD-5 dan sebagainya Bahagiawati, 2002.
Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari penyakit pada ulat sutera Swadener, 1994. Ishiwata adalah orang yang
pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati Dulmage et al., 1990. Namun pada saat itu, belum dikenal sebagai Bacillus
thuringiensis . Baru pada tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang
sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian Mediterranean flour moth, Anagasta kuehniella yang mati Dulmage et al., 1990
dan Swadener, 1994. Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis
. Bacillus thuringiensis
merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga Hickle dan Fitch, 1990. Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang berbentuk
batang dengan ukuran 3-5 µm dan lebar 1,0-1,2 µm ketika tumbuh pada media.
Bakteri ini bersifat gram positif, aerob tapi umumnya anaerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik, dan selama masa
sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama -endotoksin Shieh, 1994. Menurut Gill et al. 1992 spora
yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat,
koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar
yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bacillus thuringiensis http:www.textbookofbacteriology.net
Ciri khas Bacillus thuringiensis Bt adalah kemampuannya membentuk kristal protein yang mengandung toksin dan disebut
δ-endotoksin bersamaan dengan pembentukan spora Deacon, 1993. Dulmage 1981 menyatakan bahwa
selain menghasilkan δ-endotoksin, bakteri ini juga mampu menghasilkan -
eksotoksin, β-eksotoksin dan faktor kutu. -eksotoksin memiliki sifat yang tidak
tahan terhadap panas dan larut di dalam air. Sebaliknya β-eksotoksin tahan
terhadap panas, larut di dalam air dan sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat.
β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat.
Faktor kutu bersifat larut di dalam air, tahan terhadap panas dan sangat beracun
terhadap kutu mamalia Bivicola sp.. Toksin ini diproduksi oleh sub spesies Bacillus thuringiensis
yang tidak memproduksi β-eksotoksin. Spora dan kristal Bt
terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis http:www.textbookofbacteriology.net
Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang banyak digunakan untuk
memproduksi bioinsektisida. Secara komersial, bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis telah digunakan secara luas untuk mengendalikan
larva serangga yang berperan sebagai hama Feitelson et al., 1992. Penggunaan Bacillus thuringiensis
sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bacillus thuringiensis yang
mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas. Produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis berkembang dengan pesat
dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1980 menjadi 107 juta dolar
kristal protein
spora
Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11 per tahun, dimana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika
Serikat. Bacillus thuringiensis yang dikomersialkan berbentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang
dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 gram per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi
toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid Feitelson et al., 1992.
Pemakaian bioinsektisida Bacillus thuringiensis ini memberikan beberapa keuntungan di antaranya ialah tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi organisme bukan sasaran Aronson et al., 1986. Akan tetapi, sebagaimana ditinjau oleh Luthy et al. 1982, penggunaannya selain
menguntungkan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu spektrum sasaran yang sempit, tingkat persistensinya yang terbatas di lingkungan, kerentanan
δ- endotoksinnya terhadap sinar matahari dan biaya produksinya yang relatif tinggi
dibandingkan dengan insektisida kimia. Tabel 2. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis
Produk Formula
Perusahaan
Teknar TC Powder
Novartis sold by triology
Teknar HP-D Fluid
“ Teknar G
Granules “
VectoBac TP Powder
AbbottLaboratories VectoBac 12 AS
Fluid “
VectoBac G Granules
“ VectoBac CG
“ Bactimos WP
Powder “
Bactimos G Granules
“ Bactimos
Briquettespellets “
Bactimos PP “
Cybate Australian Label Fluid
Cyanamid Skeetal FC
Fluid EntotecNovo
purchased by abbott?
BMC WP Powder
Reuter Duplex
Methoprene + Bti Zoecon - PPM
Sumber: Becker and Margalit 1993
Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Bti pertama kali diisolasi dari
genangan air di daerah israel. Aktivitas insektisida dari bakteri ini pertama kali di uji pada tahun 1976, dan dari pengujian ini diketahui bahwa bakteri ini efektif
untuk membasmi lima spesies nyamuk yaitu Culex pipiens, Cx. unnivatus, Aedes aegypti, Uranotaenia unguiculata
dan Anopheles sergentii Margalit, 1990. Contoh produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis
Bti yang digunakan untuk membasmi nyamuk tersaji pada Tabel 2 diatas.
D. KRISTAL PROTEIN -endotoksin Bacillus thuringiensis