pada saat fase eksponensial akan berakhir, yaitu saat dimulainya fase stasioner. Dari hasil penelitian Goldberg et al 1980, dengan meningkatkan jumlah MgSO
4
dari 1 gL menjadi 2 gL dengan skala laboratorium di dalam media kultivasi dengan jumlah 5 gL glukosa akan meningkatkan jumlah spora dari 1 x 10
8
menjadi 1,2 x 10
9
sporaml. Lampiran 8 memperlihatkan bahwa jumlah spora hidup yang terdapat
dalam formulasi media kultivasi dari setiap mililiter cairan berkisar antara 6 x 10
7
sampai 2,57 x 10
9
sporaml. Jumlah spora hidup yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan nilai yang kurang baik mengingat menurut Luthy el al., 1982,
untuk produk skala besar kisaran nilai jumlah spora antara 5 x 10
9
sampai 1 x 10
10
sporaml cairan kultur. Tetapi, Dubois 1968 dalam Goldberg et al 1980, menyatakan bahwa pelaksanaan fermentasi sistem batch dengan skala
laboratorium dalam memproduksi Bacillus thuringiensis akan menghasilkan spora sebesar 2 x 10
8
sporaml Dari hasil pengujian analisa sidik ragam F yang dilakukan menunjukkan
bahwa jumlah spora hidup yang dihasilkan tidak berpengaruh nyata dengan adanya peningkatan konsentrasi onggok, untuk selang kepercayaan 0,05. Hasil
analisa sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 14.
F. KINETIKA FERMENTASI
Kinetika fermentasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk Judoamidjojo,
el al . 1992. Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh
kemampuan sel Gumbira – Sa’id. 1987. Menurut Mangunwidjaja dan Suryani 1994, hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung
pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan B.t.i dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa
sel dan konversi substrat menjadi biomassa. Pada Tabel 10 dapat dilihat parameter kinetika fermentasi.
Dari hasil yang diperlihatkan pada Tabel 10, maka didapat nilai µ
x-maks
dimiliki oleh formula media A1B C:N = 3:1, yaitu sebesar 0,116 jam
-1
.
Tingginya laju pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh substrat yang terdapat di dalam media dan lamanya mikroorganisme menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Selain substrat, laju pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh temperatur, pH, aerasi, dan agitasi. Nilai µ
x-maks
digunakan untuk menghitung waktu yang dibutuhkan sel untuk memperbanyak diri dua kali jumlah atau massa
sel semula. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa waktu ganda sel tercepat yang dicapai oleh formula media A1B C:N = 3:1, yaitu 5.999 jam. Hal ini sesuai
dengan apa yang dinyatakan Gumbira-Said 1987 bahwa massa sel dapat meningkat tanpa peningkatan jumlah sel.
Tabel 9. Hasil Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi Formula Media
Parameter A1B
A2B A3B
A4B A5B
X maks. gL 6,150
7,625 9,300
11,200 12,700
Log VSC maks. 8,291
8,258 8,016
8,033 8.271
Y xs g selg substrat 0,120
0,194 0,135
0,129 0,193
Y ps g sporag substrat 0,196
0,256 0,173
0,156 0,156
Y px g sporag sel 1,630
1,318 1,295
1,216 0,816
µ
x-maks
jam
-1
0,116 0,098
0,024 0,023
0,055 td
x
jam 5,999
7,043 28,883
29,800 12,582
So S
So −
0.9346 0,9138
0,9040 0,7576
0,7952 Toksisitas jam 72
µgml 1,390
1,270 2,000
2,130 2,180
Penentuan jumlah nutrien yang diberikan ke medium kultivasi sangat mempengaruhi pertumbuhan sel yang terdapat di dalam medium. Selain jumlah
nutrien yang diberikan, kemudahan sel dalam mengkonsumsi nutrien sangat mempengaruhi laju pertumbuhan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat bahwa dengan
peningkatan jumlah nutrien tidak menjamin laju pertumbuhan sel berkembang dengan baik seperti pada Tabel 10. Hal ini dikarenakan juga bahwa sel akan
mengkonsumsi nutrien dalam bentuk senyawa yang paling mudah untuk dikonsumsinya, setelah itu sel mulai mengkonsumsi senyawa dalam bentuk yang
lebih makro daripada senyawa yang dikonsumsi pertama kali sehingga diperlukan
keadaan yang optimum dari medium kultivasi agar laju pertumbuhan sel tersebut berkembang dengan baik.
Sel Bti dapat mengkonversi dengan baik medium dari onggok pada formula A2B C:N=5:1 dan A5B C:N=11:1 menjadi biomassa. Hal ini dapat
dilihat pad Tabel 10 yang menunjukkan bahwa nilai konversi substrat menjadi biomassa Yxs tertinggi masing-masing 0,194 g selg substrat dan 0,193 g selg
substrat dan nilai ini berbeda dengan formula lainnya secara signifikan berdasarkan uji ragam F
α 0.05. Sedangkan nilai konversi substrat menjadi produk Yps tertinggi terdapat pada formula A2B C:N=5:1 yaitu sebesar 0,256
g sporag substrat yang juga berbeda secara signifikan berdasarkan uji ragam F α
0.05 dengan formula lainnya. Perbedaan nilai Yxs dan Yps ini menunjukkan bahwa produk spora yang dihasilkan yang berlangsung pada akhir fase
eksponensial tidak berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Peningkatan jumlah produk dapat diupayakan dengan membuat kondisi ekstrim pada proses kultivasi
sehingga fase stasioner sebagai waktu pembentukan produk dapat lebih cepat tercapai
G. PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA