Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen dari Onggok dan Urea pada Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

(1)

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

Dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1983 Di Pekan Kamis

Tanggal Kelululusan : Mei 2006 Disetujui,

Bogor, Mei 2006

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(4)

ZULFA HENDRA. F34101064. Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis. subsp.

israelensis. Di Bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Khaswar Syamsu. 2006.

RINGKASAN

Negara-negara yang secara geografis terletak diwilayah tropis selalu dihadapkan dengan masalah wabah penyakit yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk, diantaranya adalah malaria, kaki gajah (filariasis), dan demam berdarah. Di Indonesia demam berdarah rutin terjadi setiap tahun, biasanya pada musim hujan. Selama ini penanganannya dengan cara 3 M dan penyemprotan dengan bahan kimiawi. Tetapi, hal ini menimbulkan masalah yaitu resistennya serangga target dan mencemari lingkungan sekitar baik manusia, tanaman maupun hewan lain. Timbulnya masalah ini memaksa konsumen menggunakan alternatif insektisida lain seperti insektisida mikrobial yang tidak resisten terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi bahan aktif bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp israelensis

berbahan baku produk samping yang murah sebagai bahan baku utama. Salah satu produk samping sebagai bahan baku alternatif adalah onggok tapioka. Onggok tapioka ini selain sebagai sumber karbon juga merupakan produk yang juga mengandung protein, vitamin dan mineral. Komposisi ini dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi onggok tapioka sebagai sumber kabon dan urea sebagai sumber nitrogen dalam media kultivasi terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp israelensis, menentukan parameter kinetika fermentasi produksi bioinsektisida, mendapatkan nilai toksisitas dari produk yang dihasilkan terhadap larva nyamuk Aedes aegypti,

serta mendapatkan formulasi media terbaik yang menghasilkan bioinsektisida oleh

Bacillus thuringiensis subsp israelensis dengan toksisitas tertinggi.

Penelitian ini dimulai dengan analisa bahan baku untuk mengetahui kadar karbon dan nitrogen yang dikandung dalam onggok dan urea untuk menentukan formulasi media berdasarkan perbandingan kandungan karbon (C) dan nitrogen (N). Tahap selanjutnya adalah persiapan inokulum pada media agar miring dan

Nutrient Broth, persiapan media kultivasi onggok dan urea, inkubasi pada rotary shaking incubator serta pengambilan contoh pada jam ke 0,6,12,18,24,36,48,60, dan 72 untuk menganalisa pH, bobot kering biomassa, jumlah spora hidup (VSC), dan penggunaan substrat untuk menentukan kinetika fermentasi, serta pengujian

bioassay terhadap larva nyamuk Aedes aegypti pada jam ke 24, 48, dan 72 untuk menentukan LC50 dengan program Probit Quant.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa onggok tapioka cocok digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan sel Bti. Nilai pH yang terjadi selama kultivasi menunujukkan keadaan yang normal untuk pertumbuhan sel Bti yaitu berkisar 5,94 – 7,24. Nilai Bobot kering biomassa tertinggi dicapai pada formulasi media A5B (C:N=11:1) yaitu sebesar 12,70 g/L. Jumlah spora hidup berkisar antara 6 x 107 sampai 2,57 x 109 VSC/ml. Analisis sidik ragam menunujukkan bahwa


(5)

kombinasi antara onggok dan urea memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering biomassa dan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah spora hidup.

Uji kadar substrat sisa metode fenol yang digunakan untuk menghitung efisiensi penggunaan substrat ([So-St]/So) menunjukkan bahwa formulasi media A1B (C:N=3:1), menunjukkan nilai efisiensi yang paling besar yaitu sebesar 93,46% dan yang terendah terdapat pada formulasi media A4B (C:N=9:1) yaitu sebesar 75,76%.

Berdasarkan hasil perhitungan kinetika fermentasi, dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan spesifik berdasarkan bobot kering biomassa (µx) yang tertinggi diperoleh pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 0,116 jam-1. nilai konversi subtrat menjadi biomassa (Yx/s) tertinggi pada formulasi media A2B (C:N=5:1) yaitu sebesar 0,194 g sel/g substrat. Adapun nilai konversi subtrat menjadi produk (Yp/s) tertinggi juga pada formulasi media A2B (C:N=5:1) yaitu sebesar 0,256 log vsc/g substrat. Akan tetapi nilai konversi biomassa menjadi produk (Yp/x) tertinggi terdapat pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 1,630 log vsc/g sel.

Kultivasi menggunakan formula media A1B menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) yang mempunyai toksisitas tertinggi terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan dari uji bioassay tingkat toksisitas yang paling tinggi diperoleh pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 1,39 µg/ml, sedangkan yang terendah pada formulasi media A5B (C:N=11:1) yaitu sebesar 2,18 µg/ml.


(6)

ZULFA HENDRA. F 34101064. The Study of Ratio Carbon and Nitrogen From Casava Bagasse and Urea In Bioinsectiside Production By Bacillus thuringiensis.

subsp. israelensis. Supervised by : Mulyorini Rayahuningsih and Khaswar Syamsu. 2006.

SUMMARY

Countries that are geographically in tropical territory are always facing diseases problem, which are spreaded by mosquito for example malaria, filariasis, and dengue haemorrarghic fever. Routinily it happens in Indonesian every year, on rainy season. Nowadays, the prevention is done by 3M and chemical spray. Nevertheless, this method causes some problems, such as the resistancy of targeted insect and polution to environment as well as human, plant, and animals. These problems force consumers to use another insecticide alternative, such as microbial insecticides. These microbial insecticides do not cause resistance of the target insect and safe. This research aims to produce active material bioinsecticides that is produced by Bacillus thuringiensis subsp israelensis using by product of casava, which is cheap material. One of by products as alternative material is casava bagasse. Casava bagasse can be used as carbon souces and it has protein, vitamin and mineral that are needed by microorganisms to grow.

The specific objectives of this research are to determine cassava bagasse concentration as carbon source and urea as nitrogen source in cultivation media that influence Bacillus thuringiensis. subsp. israelensis growth, to determine parameters of kinetic fermentation in bioinsecticide production, to determine toxicity of bioinsecticide to Aedes aegypti larva, and also to find the best formulation of media which produce bioinsectiside by Bacillus thuringiensis. subsp. israelensis with the highest toxicity.

The research was started with raw material analysis, then continued with developing inoculum in Nutrient Agar and Nutrient Broth, preparing fermentation medium cassava bagasse and urea, incubation in rotary shaking incubator and taking sample in 0, 6, 12, 18, 24, 36, 48, 60, and 72nd hours after incubation. The samples were used for analysis of pH, dry cell weight, Viable Spore Count (VSC), and substrates utilization to determine fermentation kinetics, and also bioassay to

Aedes aegypti larvae in 24, 48, 72th hours incubation to determine LC50 with Probit Quant program.

The research result showed that casava bagasse is suitable to be used as substrate for growing B.t.i cells. pH value showed during fermentation were in the normal range i.e 5,94 - 7,24. The highest dry cell weight was obtained at the medium formule of A5B (C: N=11:1), which was 12, 70 g/L. The viable spore count was obtained in the range of 6 x 107 - 2, 57 x 109 spora/ml. Statictical analysis showed that combination of casava bagasse and urea significantly affect the dry cell weight and not significantly affect viable spore count.

The sugar-content residue test with fenol method is used to measure substrates utilization efficiency ([So-St]/So). It showed that medium formulae of A1B (C: N = 3:1) has the highest efficiency, which was 93, 46%. The lowest efficiency occurred in media formulation of A4B (C: N=9:1), which was 75, 76%.


(7)

Evaluation of fermentation kinetics showed that the highest spesific growth rate based on dry cell weight (µx) was resulted by media formule of A1B (C: N=3:1), which was 0,116 hour-1. The highest conversion (conversion from substrate to biomass) value (Y x/s) was in A2B formulation (C: N=5:1), which was 0,194 g cell/g substrate. The highest conversion (conversion from substrate to product) value (Y p/s) was also in A2B formulation (C: N=5:1), which was 0,256 log vcs/g substrate. However, the highest conversion (conversion from biomass to product) value (Y p/x) was in A1B formulation (C: N=3:1), which was 1,630 log vsc/g cell.

Cultivation using media formulation of A1B produces crystal protein ( -endotoxin) in high toxicity to Aedes aegypti larva. This is indicated by the highest toxicity level from bioassay test which was shown by medim formulae of A1B (C: N=3:1), which was 1, 39 µg/ml, and the lowest toxicity level was shown by medim formulae of A5B (C: N=11:1), which was 2, 18 µg/ml.


(8)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensisadalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Maret 2006

ZULFA HENDRA F 34101064


(9)

BIODATA PENULIS

Zulfa Hendra dilahirkan di Pekan Kamis, Bukittinggi (Sumatra Barat) pada tanggal 10 Juli 1983 dari ayah Syainir dan ibu Husna. Putra ke enam dari delapan bersaudara ini meyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 38 V Surau Selatan tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTS swasta PTI Gobah tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Til-Kam tahun 1998-2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Pada bulan April 2006, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah meyelesaikan tugas akhirnya yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis”.

Selama kuliah, penulis tidak hanya mengikuti kegiatan akademik saja. Untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan kepemimpinannya, penulis mengikuti berbagai organisasi seperti HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri), Forum Komunikasi Agroindustri, dan Ikatan Alumni SMUN Til-Kam se-Jabodetabek. Sebagai bekal untuk terjun di dunia industri penulis diberikan kesempatan untuk melaksanakan magang di departemen IT

(Information Technology) PT. Indolakto Sukabumi, praktek lapang di Unit Produksi IV PT. Indofarma (Persero) Tbk. Bekasi, dan mendapatkan pelatihan dan training kewirausahaan yang diadakan oleh P2SDM IPB. Selain itu penulis juga pernah berwirausaha bersama teman-teman mahasiswa dibidang konveksi, dan distributor majalah.


(10)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaanirahiim. Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan dari bulan Februari 2005 sampai dengan bulan Desember 2005.

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Seluruh keluarga tercinta, terutama orang tua, kakak-kakak dan adik-adik yang selalu memberikan dukungan, doa, serta kasih sayang.

2. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, Msi dan Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc., selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan saran-saran baik selama penelitian maupun selama penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku dosen penguji atas saran dan masukannya. 4. Pak Taufik di Laboratorium Entomologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB

atas bantuannya telah memberikan telur nyamuk Aedes aegypti.

Saran, kritik, dan tanggapan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2006


(11)

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN RASIO KARBON DAN NITROGEN

DARI ONGGOK DAN UREA

PADA PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

OLEH Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

ZULFA HENDRA

F34101064

Dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1983 Di Pekan Kamis

Tanggal Kelululusan : Mei 2006 Disetujui,

Bogor, Mei 2006

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(14)

ZULFA HENDRA. F34101064. Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis. subsp.

israelensis. Di Bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Khaswar Syamsu. 2006.

RINGKASAN

Negara-negara yang secara geografis terletak diwilayah tropis selalu dihadapkan dengan masalah wabah penyakit yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk, diantaranya adalah malaria, kaki gajah (filariasis), dan demam berdarah. Di Indonesia demam berdarah rutin terjadi setiap tahun, biasanya pada musim hujan. Selama ini penanganannya dengan cara 3 M dan penyemprotan dengan bahan kimiawi. Tetapi, hal ini menimbulkan masalah yaitu resistennya serangga target dan mencemari lingkungan sekitar baik manusia, tanaman maupun hewan lain. Timbulnya masalah ini memaksa konsumen menggunakan alternatif insektisida lain seperti insektisida mikrobial yang tidak resisten terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi bahan aktif bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp israelensis

berbahan baku produk samping yang murah sebagai bahan baku utama. Salah satu produk samping sebagai bahan baku alternatif adalah onggok tapioka. Onggok tapioka ini selain sebagai sumber karbon juga merupakan produk yang juga mengandung protein, vitamin dan mineral. Komposisi ini dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi onggok tapioka sebagai sumber kabon dan urea sebagai sumber nitrogen dalam media kultivasi terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp israelensis, menentukan parameter kinetika fermentasi produksi bioinsektisida, mendapatkan nilai toksisitas dari produk yang dihasilkan terhadap larva nyamuk Aedes aegypti,

serta mendapatkan formulasi media terbaik yang menghasilkan bioinsektisida oleh

Bacillus thuringiensis subsp israelensis dengan toksisitas tertinggi.

Penelitian ini dimulai dengan analisa bahan baku untuk mengetahui kadar karbon dan nitrogen yang dikandung dalam onggok dan urea untuk menentukan formulasi media berdasarkan perbandingan kandungan karbon (C) dan nitrogen (N). Tahap selanjutnya adalah persiapan inokulum pada media agar miring dan

Nutrient Broth, persiapan media kultivasi onggok dan urea, inkubasi pada rotary shaking incubator serta pengambilan contoh pada jam ke 0,6,12,18,24,36,48,60, dan 72 untuk menganalisa pH, bobot kering biomassa, jumlah spora hidup (VSC), dan penggunaan substrat untuk menentukan kinetika fermentasi, serta pengujian

bioassay terhadap larva nyamuk Aedes aegypti pada jam ke 24, 48, dan 72 untuk menentukan LC50 dengan program Probit Quant.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa onggok tapioka cocok digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan sel Bti. Nilai pH yang terjadi selama kultivasi menunujukkan keadaan yang normal untuk pertumbuhan sel Bti yaitu berkisar 5,94 – 7,24. Nilai Bobot kering biomassa tertinggi dicapai pada formulasi media A5B (C:N=11:1) yaitu sebesar 12,70 g/L. Jumlah spora hidup berkisar antara 6 x 107 sampai 2,57 x 109 VSC/ml. Analisis sidik ragam menunujukkan bahwa


(15)

kombinasi antara onggok dan urea memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering biomassa dan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah spora hidup.

Uji kadar substrat sisa metode fenol yang digunakan untuk menghitung efisiensi penggunaan substrat ([So-St]/So) menunjukkan bahwa formulasi media A1B (C:N=3:1), menunjukkan nilai efisiensi yang paling besar yaitu sebesar 93,46% dan yang terendah terdapat pada formulasi media A4B (C:N=9:1) yaitu sebesar 75,76%.

Berdasarkan hasil perhitungan kinetika fermentasi, dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan spesifik berdasarkan bobot kering biomassa (µx) yang tertinggi diperoleh pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 0,116 jam-1. nilai konversi subtrat menjadi biomassa (Yx/s) tertinggi pada formulasi media A2B (C:N=5:1) yaitu sebesar 0,194 g sel/g substrat. Adapun nilai konversi subtrat menjadi produk (Yp/s) tertinggi juga pada formulasi media A2B (C:N=5:1) yaitu sebesar 0,256 log vsc/g substrat. Akan tetapi nilai konversi biomassa menjadi produk (Yp/x) tertinggi terdapat pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 1,630 log vsc/g sel.

Kultivasi menggunakan formula media A1B menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) yang mempunyai toksisitas tertinggi terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan dari uji bioassay tingkat toksisitas yang paling tinggi diperoleh pada formulasi media A1B (C:N=3:1) yaitu sebesar 1,39 µg/ml, sedangkan yang terendah pada formulasi media A5B (C:N=11:1) yaitu sebesar 2,18 µg/ml.


(16)

ZULFA HENDRA. F 34101064. The Study of Ratio Carbon and Nitrogen From Casava Bagasse and Urea In Bioinsectiside Production By Bacillus thuringiensis.

subsp. israelensis. Supervised by : Mulyorini Rayahuningsih and Khaswar Syamsu. 2006.

SUMMARY

Countries that are geographically in tropical territory are always facing diseases problem, which are spreaded by mosquito for example malaria, filariasis, and dengue haemorrarghic fever. Routinily it happens in Indonesian every year, on rainy season. Nowadays, the prevention is done by 3M and chemical spray. Nevertheless, this method causes some problems, such as the resistancy of targeted insect and polution to environment as well as human, plant, and animals. These problems force consumers to use another insecticide alternative, such as microbial insecticides. These microbial insecticides do not cause resistance of the target insect and safe. This research aims to produce active material bioinsecticides that is produced by Bacillus thuringiensis subsp israelensis using by product of casava, which is cheap material. One of by products as alternative material is casava bagasse. Casava bagasse can be used as carbon souces and it has protein, vitamin and mineral that are needed by microorganisms to grow.

The specific objectives of this research are to determine cassava bagasse concentration as carbon source and urea as nitrogen source in cultivation media that influence Bacillus thuringiensis. subsp. israelensis growth, to determine parameters of kinetic fermentation in bioinsecticide production, to determine toxicity of bioinsecticide to Aedes aegypti larva, and also to find the best formulation of media which produce bioinsectiside by Bacillus thuringiensis. subsp. israelensis with the highest toxicity.

The research was started with raw material analysis, then continued with developing inoculum in Nutrient Agar and Nutrient Broth, preparing fermentation medium cassava bagasse and urea, incubation in rotary shaking incubator and taking sample in 0, 6, 12, 18, 24, 36, 48, 60, and 72nd hours after incubation. The samples were used for analysis of pH, dry cell weight, Viable Spore Count (VSC), and substrates utilization to determine fermentation kinetics, and also bioassay to

Aedes aegypti larvae in 24, 48, 72th hours incubation to determine LC50 with Probit Quant program.

The research result showed that casava bagasse is suitable to be used as substrate for growing B.t.i cells. pH value showed during fermentation were in the normal range i.e 5,94 - 7,24. The highest dry cell weight was obtained at the medium formule of A5B (C: N=11:1), which was 12, 70 g/L. The viable spore count was obtained in the range of 6 x 107 - 2, 57 x 109 spora/ml. Statictical analysis showed that combination of casava bagasse and urea significantly affect the dry cell weight and not significantly affect viable spore count.

The sugar-content residue test with fenol method is used to measure substrates utilization efficiency ([So-St]/So). It showed that medium formulae of A1B (C: N = 3:1) has the highest efficiency, which was 93, 46%. The lowest efficiency occurred in media formulation of A4B (C: N=9:1), which was 75, 76%.


(17)

Evaluation of fermentation kinetics showed that the highest spesific growth rate based on dry cell weight (µx) was resulted by media formule of A1B (C: N=3:1), which was 0,116 hour-1. The highest conversion (conversion from substrate to biomass) value (Y x/s) was in A2B formulation (C: N=5:1), which was 0,194 g cell/g substrate. The highest conversion (conversion from substrate to product) value (Y p/s) was also in A2B formulation (C: N=5:1), which was 0,256 log vcs/g substrate. However, the highest conversion (conversion from biomass to product) value (Y p/x) was in A1B formulation (C: N=3:1), which was 1,630 log vsc/g cell.

Cultivation using media formulation of A1B produces crystal protein ( -endotoxin) in high toxicity to Aedes aegypti larva. This is indicated by the highest toxicity level from bioassay test which was shown by medim formulae of A1B (C: N=3:1), which was 1, 39 µg/ml, and the lowest toxicity level was shown by medim formulae of A5B (C: N=11:1), which was 2, 18 µg/ml.


(18)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensisadalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Maret 2006

ZULFA HENDRA F 34101064


(19)

BIODATA PENULIS

Zulfa Hendra dilahirkan di Pekan Kamis, Bukittinggi (Sumatra Barat) pada tanggal 10 Juli 1983 dari ayah Syainir dan ibu Husna. Putra ke enam dari delapan bersaudara ini meyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 38 V Surau Selatan tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTS swasta PTI Gobah tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Til-Kam tahun 1998-2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Pada bulan April 2006, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah meyelesaikan tugas akhirnya yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis”.

Selama kuliah, penulis tidak hanya mengikuti kegiatan akademik saja. Untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan kepemimpinannya, penulis mengikuti berbagai organisasi seperti HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri), Forum Komunikasi Agroindustri, dan Ikatan Alumni SMUN Til-Kam se-Jabodetabek. Sebagai bekal untuk terjun di dunia industri penulis diberikan kesempatan untuk melaksanakan magang di departemen IT

(Information Technology) PT. Indolakto Sukabumi, praktek lapang di Unit Produksi IV PT. Indofarma (Persero) Tbk. Bekasi, dan mendapatkan pelatihan dan training kewirausahaan yang diadakan oleh P2SDM IPB. Selain itu penulis juga pernah berwirausaha bersama teman-teman mahasiswa dibidang konveksi, dan distributor majalah.


(20)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaanirahiim. Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan dari bulan Februari 2005 sampai dengan bulan Desember 2005.

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Seluruh keluarga tercinta, terutama orang tua, kakak-kakak dan adik-adik yang selalu memberikan dukungan, doa, serta kasih sayang.

2. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, Msi dan Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc., selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan saran-saran baik selama penelitian maupun selama penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku dosen penguji atas saran dan masukannya. 4. Pak Taufik di Laboratorium Entomologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB

atas bantuannya telah memberikan telur nyamuk Aedes aegypti.

Saran, kritik, dan tanggapan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2006


(21)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Rasio Karbon dan Nitrogen Dari Onggok dan Urea Pada Produksi Bioinsektisida Oleh

Bacillus thuringiensis subsp. israelensistidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ni Rina, Revi, Yori, Ipit, Santi, Linda, Rahma, Indah, Adek, Andra serta kakak-kakak dan adik-adikku di PRIMASISTA Bogor yang tak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan motivasinya selama ini

2. Tim Bioinsektisida (Wira Swasti, Djauhar Faiz, Ardianto Mey Lesmana, dan Galih Firmana) atas bantuan dan kerja samanya dalam penelitian.. 3. Tim Surfaktan (Widodo Eko, Agung N, dkk); Tim Pati dan Gula (Wawan

Marwan, Frida, Agus N.I, dan Sri Windarwati); Tim Biji Jarak (Yeni S. dan Hevy S.); Tim Herbal Tea (Oryza, dkk); Tim Atsiri (Dicky Romadlon, dkk); Tim Panili (Dwi Lestari, dkk); Ratna Mahmudah serta seluruh teman-teman TIN 38 atas bantuan dan motivasinya selama kuliah dan penelitian..

4. Laboran di laboratorium TIN : Pak Edi Sumantri, Pak Sugiardi, Bu Rini Purnawati, Bu Egnawati Sari, Pak Gunawan, Bu Sri Mulyasih, dan Pak Yogi Suprayogi atas bantuan dan keramahan selama kuliah dan penelitian.

5. Seluruh staf perpustakaan TIN, Fateta, PAU, dan LSI atas bantuannya dalam mencari berbagai literatur.

6. Bapak Darwan dan seluruh satpam di Fakultas Teknologi Pertanian, atas keramahan dan jaminan keamanan terutama pada saat lembur.

7. Keluarga Ibu Enap serta teman-temanku di “Wow House” atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.


(22)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i UCAPAN TERIMA KASIH ... ii DAFTAR ISI ... iii DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN ... vii I. PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 2 C. RUANG LINGKUP PENELITIAN ... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A...ON

GGOK TAPIOKA ... 4 B...BIOI

NSEKTISIDA ... 5 C...Baci llus thuringiensis ... 5 D...KRI

STAL PROTEIN (δ-ENDOTOKSIN) Bacillus thuringiensis ... 9 E...PRO

SES TOKISISITAS DAN INFEKSI OLEH

Bacillus thuringiensis ... 11

F...PEN GARUH Bacillus thuringiensis TERHADAP

LINGKUNGAN ... 12 G...FER

MENTASI Bacillus thuringiensis subsp israelensis

DAN KONDISINYA ... 13 1. Media Pertumbuhan dan Fermentasi ... 13 2. Kondisi Kultivasi ... 17


(23)

3. Pemanenan (recovery) ... 20 4. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba ... 20 H...KIN ETIKA FEMENTASI ... 21 I...ASP EK BIOLOGI Aedes aegypti ... 23 III.BAHAN DAN ALAT ... 25 A. BAHAN DAN ALAT ... 25 B. METODOLOGI PENELITIAN ... 26 1. Persiapan Media Kultivasi ... 26 a. Analisa Bahan Baku ... 26 b. Persiapan Inokulum ... 26 c. Pembuatan Media Kultivasi ... 26 2. Kultivasi ... .... 27 3. Analisa Parameter ... .... 29 C. RANCANGAN PERCOBAAN ... 30 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. ANALISA BAHAN BAKU ... 32 B. pH CAIRAN KULTIVASI ... 34 C. PERTUMBUHAN Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

SELAMA KULTIVASI ... 36 D. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI ... 38 E. PEMBENTUKAN SPORA SELAMA KULTIVASI ... 41 F. KINETIKA FERMENTASI ... 43 G. PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA ... 45 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50 A. KESIMPULAN ... 50 B. SARAN ... 51 DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN ... 57


(24)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi Onggok... 4

Tabel 2. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis ... 8

Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis... 10

Tabel 4. Medium untuk Fermentasi B. thuringiensis... 15

Tabel 5. Susunan Medium Fermentasi ... 27

Tabel 6. Kadar karbon, kadar nitrogen, kadar abu dan kadar air dari onggok tapioka yang digunakan... 31

Tabel 7. Komposisi onggok tapioka ... 32

Tabel 8. Perbandingan harga bahan-bahan kimia dengan Onggok tapioka... 33

Tabel 9. Hasil Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi ... 44

Tabel 10. Perbandingan antara bobot kering biomassa, Log VSC, LC50 dan Potensi Produk Bioinsektisida untuk masing-masing Perlakuan serta Produk Komersial ... 46


(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bacillus thuringiensis (spora dan kristal protein)... 6

Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis di dalam sel

vegetatifnya... 7

Gambar 3. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis subsp. israelensis pada larva nyamuk... 11

Gambar 4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 24

Gambar 5. Larva nyamuk Aedes aegypti instar 3... 25

Gambar 6. Diagram Alir Proses Persiapan Medium Fermentasi ... 26

Gambar 7. Diagram Alir Persiapan Inokulum... 27

Gambar 8. Diagram Alir Proses Kultivasi ... 28

Gambar 9. Grafik perubahan pH cairan kultur selama fermentasi pada

berbagai formulasi... 35

Gambar 10. Grafik bobot kering biomassa produk B.t. subsp israelensis

pada berbagai konsentrasi ... 37

Gambar 11. Penggunaan substrat sumber karbon selama fermentasi pada berbagai formulasi ... 39

Gambar 12. Efisiensi penggunaan substrat sumber karbon selama

fermentasi pada berbagai formulasi... 40

Gambar 13. Pengaruh kombinasi media terhadap nilai Log VSC yang


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Penghitungan Susunan Medium Fermentasi... 57

Lampiran 2. Metode Analisa Pra Fermentasi ... 58

Lampiran 3. Metode Analisa Selama Fermentasi ... 59

Lampiran 4. Penentuan Aktivitas Bioinsektisida ... 62

Lampiran 5. Rekapitulasi Data pH Rata-Rata Selama Fermentasi (dua kali ulangan)... 63

Lampiran 6. Rekapitulasi Data Bobot Kering Biomassa (mg/ml) Rata-Rata Selama Fermentasi (dua kali ulangan)... 64

Lampiran 7. Rekapitulasi Data Substrat Sisa (mg/L) Selama Fermentasi

(dua kali ulangan) ... 65

Lampiran 8. Rekapitulasi Data Log Total Spora Hidup (VSC) Selama

Fermentasi (dua kali ulangan) ... 66

Lampiran 9. Rekapitulasi Data Uji Aktivitas Bioinsektisida (bioassay)

(Rata-rata dua kali ulangan) ... 67

Lampiran 10. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai pH ( =0.05)... 68

Lampiran 11. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bobot massa kering maksimum ( =0.05)... 73

Lampiran 12. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai Bobot massa kering ( =0.05) ... 74

Lampiran 13. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai total gula sisa ( =0.05) ... 79

Lampiran 14. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai jumlah spora hidup pada jam 72 ( =0.05) ... 84

Lampiran 15. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai LC50 pada jam ke- ( =0.05) ... 85


(27)

Lampiran 16. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai perhitungan kinetika fermentasi ... 88

Lampiran 17. Cara Penentuan Nilai Laju Pertumbuhan Maksimum (µmaks).... 91

Lampiran 18. Perhitungan LC50 dengan Program Probit Quant ... 92


(28)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara-negara yang secara geografis terletak di wilayah tropis selalu dihadapkan dengan masalah wabah penyakit yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk, diantaranya adalah malaria, kaki gajah (filariasis), demam berdarah. Di Indonesia wabah demam berdarah rutin terjadi setiap tahun, biasanya pada musim hujan. Wabah demam berdarah dengue telah banyak merenggut korban jiwa. Pada akhir November 2005 di Jakarta tercatat jumlah penderita demam berdarah mencapai 19.883 orang dengan jumlah korban meninggal telah mencapai 76 orang (www.promosikesehatan.com). Pada skala global, lebih kurang 1.5 milyar penduduk daerah tropik terutama di Asia, Pasifik Barat, Karibia, dan Amerika Latin hidup di bawah resiko terjangkit penyakit deman berdarah (Becker et al.

1993). Penyakit demam berdarah yang belum ditemukan obatnya ini disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.

Upaya pemberantasan nyamuk ini telah dilakukan dengan cara pengasapan. Namun upaya pengasapan saja tidak akan menyelesaikan masalah karena pengasapan hanya membunuh nyamuk dewasa, sehingga beberapa hari setelah pengasapan larva nyamuk kembali tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Selain itu pengasapan juga membutuhkan dana yang cukup besar karena harga perliter melathion yang digunakan mencapai Rp. 150.000,-. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan memberantas sarang nyamuk melalui program 3M (mengubur, menguras, dan menutup). Namun usaha ini juga tidak mudah karena nyamuk Aedes aegypti, tidak sebagai mana nyamuk malaria, hidup dalam air bersih seperti bak mandi, bak penampungan air minum, kolam-kolam dan sebagainya.

Penggunaan insektisida kimia jelas tidak menguntungkan, karena disamping harganya mahal, juga dapat membahayakan jiwa manusia dan binatang yang justru bermanfaat bagi manusia. Selain itu, penggunaan insektisida kimia yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi serangga vektor pembawa penyakit, dalam hal ini adalah nyamuk. Usaha yang dinilai paling tepat adalah


(29)

dengan memutus rantai kehidupan nyamuk dengan membunuh larva nyamuk menggunakan bioinsektisida.

Bioinsektisida yang dihasilkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

(Bti), di samping Abate, telah terbukti efektif untuk pemberantasan larva nyamuk, termasuk larva nyamuk Aedes aegypti. Aktivitas insektisidal dari produk Bti

diduga berkaitan erat dengan kandungan empat protoksin cry yang dikenal sebagai cry IVa, b, c, dan d. Protein tersebut sama seperti protein kristal pada galur Bacillus thuringiensis lainnya, tetapi daya toksisitasnya sangat spesifik untuk nyamuk dan lalat (Chilcott, et al., 1990). Di samping itu, Bti juga memproduksi suatu protein yang disebut cyt yang mempunyai modus kerja yang berbeda dengan protein lain dan secara umum bersifat sitolitik terhadap serangga.

Produk komersial Bti telah beredar dipasaran dengan merk dagang Vectobac, Bactimos, Teknar dan Skeetal. Namun semua produk ini masih diimpor dari luar negeri sehingga memerlukan devisa yang cukup besar untuk membelinya. Dalam keadaaan krisis moneter dan ekonomi, Indonesia justru dituntut mengurangi impor dan menggalakkan ekspor. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk memproduksi sendiri bioinsektisida tersebut secara efisien dan ekonomis sehingga dapat menghindari ketergantungan akan bahan-bahan impor.

Salah satu kunci keberhasilan memperdagangkan bioinsektisida B.t adalah pengembangan medium fermentasi. Banyak medium yang digunakan berasal dari bahan-bahan yang tersedia di alam yang mengandung karbon, nitrogen dan mineral seperti bahan yang mengandung karbohidrat misalnya jagung, pati, molases atau padi-padian sebagai sumber C dan bahan yang mengandung protein sepeti tepung biji kapas, corn steep liquor sebagai sumber N (Couch dan Ross, 1980).

Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi medium berpengaruh pada poduk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula medium menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi medium berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas dan potensi produk B.t.


(30)

Berdasarkan penelitian Rahayuningsih (2003), kombinasi faktor-faktor jenis dan konsentrasi sumber karbon, jenis dan konsentrasi sumber nitrogen, ratio C/N serta suplementasi mineral berpengaruh terhadap toksisitas dari kristal protein yang dihasilkan. Morris et al. (1996) melaporkan bahwa rasio C/N untuk media fermentasi B.t berkisar antara 0.3 sampai 0.5. Berdasarkan penelitian Wicaksono (2002), media yang menghasilkan toksisitas tertinggi terdapat pada formula onggok 20 % dan urea 15 %. Wahyudi (2002) melaporkan bahwa penelitian yang dilakukannya menggunakan sumber C dari molases sebesar 1.5 % dan sumber N yang berasal dari urea dengan konsentrasi sebesar 1 % merupakan konsentrasi sumber N yang optimal.

Dalam penelitian ini, onggok tapioka digunakan sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen. Alasan penggunaan onggok tapioka sebagai sumber karbon karena penelitian ini mencoba memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai pengganti sumber karbon dalam produksi bioinsektisida B.t

secara fementasi terendam. Onggok tapioka juga mudah didapatkan dengan harga yang relatif murah, sedangkan urea merupakan bahan kimia yang mudah didapatkan sebagai pupuk tanaman.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio C/N pada onggok tapioka sebagai sumber kabon dan urea sebagai sumber nitrogen dalam medium kultivasi terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp israelensis, menentukan parameter kinetika fermentasi produksi bioinsektisida, toksisitas produk yang dihasilkan terhadap larva nyamuk Aedes aegypti, serta mendapatkan formulasi media terbaik yang menghasilkan bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis subsp israelensis dengan toksisitas tertinggi.

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penelitian yang akan dilaksanakan meliputi :

1. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (B.t.i) pada berbagai formulasi untuk menetapkan formula media yang optimal.

2. Pemanenan spora kristal B.t.i.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. ONGGOK TAPIOKA

Onggok merupakan sumber karbon yang cukup baik digunakan sebagai medium fermentasi karena onggok masih mengandung pati sekitar 60-70% berat kering. Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada poses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka yang berupa limbah padat utama setelah pengepresan (Abbas et al., dalam Winarno, 1985). Sementara menurut Tjiptadi (1982) kandungan karbohidrat onggok mencapai 71,11% berat kering. Kandungan pati dalam onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka dan penanganan onggok. Hal ini menyebabkan beberapa hasil analisis proksimat menunjukkan hasil yang berbeda-beda (Anonim, 1984).

Onggok tahan relatif lama dalam keadaan kering. Dalam keadaan basah onggok mudah sekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan. Pemanfaatan onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan ternak (Damarjati, 1985). Onggok juga dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi selulase, amilase, amiloglukosidase dan angkak (Jenie dan Fachda, 1991). Komposisi kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Onggok

Komponen (%) Tjiptadi (1982) Anonim (1984) Air 16,86 13,39

Abu 8,50 4,90

Serat Kasar 8,14 11,02 Lemak 0,25 0,15 Protein 6,42 0,58 Pati 62,97 68,79 Karbohidarat 71,11 79,81

Berdasarkan fakta ini maka timbul gagasan untuk memanfaatkan onggok tapioka sebagai salah satu alternatif substrat untuk memproduksi bioinsektisida dengan teknologi sederhana namun memiliki toksisitas yang baik terhadap hama.


(32)

B. BIOINSEKTISIDA

Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga

(entomopatogen). Sebagai entomopatogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi atau protozoa (Ignoffo dan Anderson, 1979). Adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk -endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo, 1997).

Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Adapun keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup aman karena tidak meninggalkan residu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang, tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan merupakan serangga target (Mc Laughlin, 1995). Menurut Becker dan Margalit (1993), penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. Bahkan, Marron dan Macintosh (1993) menyatakan bahwa lebih dari 500 spesies serangga telah menjadi resisten terhadap semua jenis insektisida kimia, sedangkan penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai insektisida mikrobial hanya sedikit yang menimbulkan kekebalan serangga.

C. BACILLUS THURINGIENSIS

Bacillus thuringiensis adalah jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bacillus thuringiensis

yang disebut serotype atau varietas dari Bacillus thuringiensis dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bacillus thuringiensis telah diisolasi (Swadener, 1994). Beberapa subspesies dari bakteri Bacillus thuringiensis yaitu kurstaki, aizawai, sotto entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis.


(33)

Dalam satu subspesies Bacillus thuringiensis dijumpai beberapa jenis strain, seperti HD-1, HD-5 dan sebagainya (Bahagiawati, 2002).

Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari penyakit pada ulat sutera (Swadener, 1994). Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Namun pada saat itu, belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis. Baru pada tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian (Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati (Dulmage et al., 1990 dan Swadener, 1994). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga (Hickle dan Fitch, 1990). Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm dan lebar 1,0-1,2 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob tapi umumnya anaerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik, dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama -endotoksin (Shieh, 1994). Menurut Gill et al. (1992) spora yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat, koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar yang terdapat pada Gambar 1.


(34)

Ciri khas Bacillus thuringiensis (Bt) adalah kemampuannya membentuk kristal protein yang mengandung toksin dan disebut δ-endotoksin bersamaan dengan pembentukan spora (Deacon, 1993). Dulmage (1981) menyatakan bahwa selain menghasilkan δendotoksin, bakteri ini juga mampu menghasilkan -eksotoksin, β-eksotoksin dan faktor kutu. -eksotoksin memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. Sebaliknya β-eksotoksin tahan terhadap panas, larut di dalam air dan sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Faktor kutu bersifat larut di dalam air, tahan terhadap panas dan sangat beracun terhadap kutu mamalia (Bivicola sp.). Toksin ini diproduksi oleh sub spesies

Bacillus thuringiensis yang tidak memproduksi β-eksotoksin. Spora dan kristal Bt

terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis (http://www.textbookofbacteriology.net)

Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Secara komersial, bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis telah digunakan secara luas untuk mengendalikan larva serangga yang berperan sebagai hama (Feitelson et al., 1992). Penggunaan

Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bacillus thuringiensis yang mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas.

Produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis berkembang dengan pesat dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1980 menjadi 107 juta dolar

kristal protein


(35)

Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11% per tahun, dimana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat. Bacillus thuringiensis yang dikomersialkan berbentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 gram per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al., 1992).

Pemakaian bioinsektisida Bacillus thuringiensis ini memberikan beberapa keuntungan di antaranya ialah tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari lingkungan dan relatif aman bagi organisme bukan sasaran (Aronson et al., 1986). Akan tetapi, sebagaimana ditinjau oleh Luthy et al. (1982), penggunaannya selain menguntungkan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu spektrum sasaran yang sempit, tingkat persistensinya yang terbatas di lingkungan, kerentanan δ -endotoksinnya terhadap sinar matahari dan biaya produksinya yang relatif tinggi dibandingkan dengan insektisida kimia.

Tabel 2. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

Produk Formula Perusahaan

Teknar TC Powder Novartis (sold by triology)

Teknar HP-D Fluid “ Teknar G Granules “

VectoBac TP Powder AbbottLaboratories VectoBac 12 AS Fluid “

VectoBac G Granules “

VectoBac CG “

Bactimos WP Powder “ Bactimos G Granules “ Bactimos Briquettes/pellets “

Bactimos PP “

Cybate (Australian Label) Fluid Cyanamid Skeetal FC Fluid Entotec/Novo

(purchased by abbott?) BMC WP Powder Reuter Duplex Methoprene + Bti Zoecon - PPM


(36)

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) pertama kali diisolasi dari genangan air di daerah israel. Aktivitas insektisida dari bakteri ini pertama kali di uji pada tahun 1976, dan dari pengujian ini diketahui bahwa bakteri ini efektif untuk membasmi lima spesies nyamuk yaitu Culex pipiens, Cx. unnivatus, Aedes aegypti, Uranotaenia unguiculata dan Anopheles sergentii (Margalit, 1990). Contoh produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

(Bti) yang digunakan untuk membasmi nyamuk tersaji pada Tabel 2diatas.

D. KRISTAL PROTEIN ( -endotoksin) Bacillus thuringiensis

Menurut Aronson, et al., (1986) dan Gill et al., (1992), komponen utama penyusunan kristal protein pada sebagian besar Bacillus thuringiensis adalah polipeptida dengan berat molekul 130 sampai 140 kilodalton (kDa). Polipeptida tersebut merupakan protoksin yang dapat diubah menjadi toksin dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 sampai 80 kDa setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi pH alkalin dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan hilang jika berat molekulnya kurang dari 30 kDa.

Berdasarkan analisa kuantitatif yang dilakukan terhadap kristal protein tersebut, diperoleh data bahwa kristal Bacillus thuringiensis tersusun atas 95 persen protein sebagai komponen utama, 5 persen karbohidrat (Heimpel, 1967), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak (Fast, 1981). Protein yang menyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast, 1981).

Kristal protein Bacillus thuringiensis mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera,bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap

Lepidoptera (Shieh, 1994). Kristal protein ini dibentuk dalam tujuh tahap yang berlangsung selama 12 jam dari saat pertama sel vegetatif akan bersporulasi sampai spora dan kristal terbentuk sempurna. Kristal ini dibentuk di luar eksosporum selama masa sporulasi tahap III sampai IV (Fast, 1981).


(37)

Gen yang mengkode kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis telah diisolasi dan dikarakterisasi, dikenal dengan sebutan gen Cry

yang berasal dari kata Crystal (Bahagiawati, 2002). Terdiri dari 13 gen penyandi kristal protein yang dikenal dengan gen Cry (kristal protein) dan Cyt (sitolitik) (Hofte dan Whiteley, 1989). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bacillus thuringiensis yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran. Sedangkan Cyt adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari

Bacillus thuringiensis yang menghasilkan aktivitas hemolitik atau sitolitik

Tabel 3.Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis. Tipe patogenitas Contoh Jenis

Gen

Contoh Produk Spesifik untuk ordo

Lepidoptera Contoh: • Moth • Kupu-kupu Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki

Cry I • Dipel (Abbott)

• Bactospeine (Philip Duphar) • Thuricide,

Javelin (Sandoz) Spesifik untuk ordo

Diptera Contoh:

Two winged fliesMidges

Crane flies • Lalat rumah • Nyamuk

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

Cry III • Vectobac (Abbott)

• Bactimos

(Philip Duphar)

• Teknar

(Sandoz)

Spesifik untuk ordo Coleoptera

Contoh: • Bettles

Bacillus thuringiensis subsp. san diego

Cry IV • Trident (Sandoz)

• M-One

(Mycogen) Spesifik untuk ordo

Lepidoptera dan Diptera

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Cry II Certan (Sandoz)

Sumber: Ellar et al., 1986

Berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya, maka gen Cry dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu Cry I,

Cry II, Cry III dan Cry IV. Jenis gen penyandi kristal protein yang dimilki sangat menentukan sifat toksik yang dihasilkan. Pengetahuan tentang mekanisme daya kerja dari endotoksin ini penting untuk menentukan proses kunci (key process)


(38)

yang bertanggung jawab terhadap kespesifikan dari sebuah kristal protein. Faktor utama yang menentukan kisaran ruang (host range) dari kristal protein adalah perbedaan pada larva midgut yang mempengaruhi proses kelarutan

(solubilization) dan proses kristal dari tidak aktif menjadi aktif, dan keberadaan dari spesifik (binding-site) protoksin di dalam gut dari spesies-spesies serangga (Bahagiawati, 2002). Karena perbedaan dari gen penyandi kristal protein yang dimilki, maka berdasarkan tipe patogenitasnya Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3 diatas.

E. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI OLEH Bacillus thuringiensis

Aktivitas toksin dari kristal protein tergantung pada beberapa sifat intrinsik usus (intestinal), seperti pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon & Martouret, 1971). Selain itu, efektifitas toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja toksin yang dihasilkan oleh

Bacillus thuringiensis ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi mikroorganisme dan kerentanan serangga target (Milne et al.,1990). Umur larva serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas toksin yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis ini. Larva serangga yang lebih muda lebih rentan dibandingkan dengan larva yang lebih tua (Swadener, 1994).

Gambar 3. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis subsp. israelensis


(39)

Proses reaksi kimia kristal protein sebagai bahan aktif bioinsektisida dimulai dengan termakannya kristal protein oleh serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan protein yang toksik, yaitu -endotoksin. Toksin ini akan berinteraksi dengan reseptor-reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan menyebabkan terbentuknya pori-pori kecil berukuran 0,5 – 1,0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel didalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk kedalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley, 1989, Dai dan Gill, 1993).

Kristal protein (δ-endotoksin) yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kDa). Pada umumnya kristal protein di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga maka akan mengubah Bacillus thuringiensis-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksik. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di midgut serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002).

Jika ternyata serangga tersebut ternyata tidak rentan terhadap aksi -endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menjadi penyebab kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan mengakibatkan membran usus rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora di dalam tubuh serangga akan bertambah banyak dan mengakibatkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener, 1994).

F. PENGARUH Bacillus thuringiensis TERHADAP LINGKUNGAN

Dalam prakteknya penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida tidak menimbulkan efek racun yang akut terhadap manusia. Berdasarkan survei terhadap manusia yang secara tidak sengaja mengkonsumsi


(40)

Bacillus thuringiensis dengan dosis 1000 miligram per hari, diperoleh hasil bahwa tidak ada efek apapun yang ditimbulkan dari perilaku tersebut (U.S Environmental Protection Agency, 1986). Bacillus thuringiensis pada manusia dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Pada percobaan yang dilakukan pada mata kelinci menggunakan 100 gram formula produk Bacillus thuringiensis, diketahui bahwa perlakuan ini menyebabkan gangguan berkelanjutan pada iris mata yang diikuti dengan pembengkakan dan berwarna kemerahan (Spiegel dan Shadduck, 1990). Iritasi yang disebabkan oleh Bacillus thuringiensis subspesies

israelensis terhadap mata ditentukan oleh karakter fisik dari formula yang digunakan. Formula kering dan berbentuk bubuk dengan partikel yang lebih kecil akan menyebabkan efek iritasi mata yang lebih sedikit dan waktu yang diperlukan untuk membersihkannya dari mata lebih cepat dibandingkan dengan formula yang partikelnya lebih besar (Swadener, 1994).

Pada pengamatan mengenai pengaruh Bacillus thuringiensis subspesies

israelensis, terhadap mamalia memperlihatkan fakta bahwa dampak yang berbahaya hanya terjadi apabila Bacillus thuringiensis subspesies israelensis

disuntikan ke dalam perut dan kepala dari mamalia. Dalam suatu penelitian terhadap tikus diperoleh hasil bahwa 79 persen kematian hanya terjadi setelah dilakukan suntikan pertama Bacillus thuringiensis subspesies israelensis ke dalam kepala tikus tersebut. Penyuntikan Bacillus thuringiensis subspesies israelensis

hidup dan spora inaktif pada bagian bawah kulit akan menyebabkan timbulnya bisul pada tikus. Kematian terjadi ketika dilakukan penyuntikan Bacillus thuringiensis subspesies israelensis ke dalam pembuluh darah tikus (Swadener, 1994).

Bacillus thuringiensis cenderung berpotensial menyebabkan efek mutagenik pada tumbuhan sedangkan efek mutagenik pada mamalia belum terbukti. Namum secara umum penggunaan Bacillus thuringiensis subspesies

israelensis tidak menimbulkan dampak negatif yang cukup serius terhadap ekologi dan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.


(41)

G. Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp israelensis dan Kondisinya 1. Media Pertumbuhan dan Fermentasi

Faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis

adalah komponen medium dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen dan temperatur (Dulmage dan Rhodes, 1971). Dalam pertumbuhannya mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuhannya (Vandekar & Dulmage, 1982). Medium basal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis (Dulmage, et al., 1990).

Salah satu kunci keberhasilan memperdagangkan bioinsektisida B.t

adalah pengembangan medium fermentasi. Banyak medium yang digunakan berasal dari bahan-bahan yang tersedia di alam yang mengandung karbon, nitrogen dan mineral (Couch dan Ross, 1980). Dulmage dan Rhodes (1971) menggunakan tepung kedelai dan medium proflo sepeti yang tersaji dalam Tabel 4 sebagai medium fermentasi B.t. Pemilihan medium fermentasi ini mendukung pertumbuhan isolat B.t dan akan ekonomis untuk poduksi -endotoksin secara komersial. Sementara itu, Vandekar dan Dulamage (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik dalam labu kocok dapat terjadi dalam medium B-4C dan B-12 (Tabel 4).

Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi medium berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula medium menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi medium berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas dan potensi produk B.t.

Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensistesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis


(42)

laktosa, pati, minyak kedelai, dan molase dari bit dan tebu. Wahyudi (2002) menggunakan molase tebu sebagai media sumber karbon untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis. Selanjutnya (Wicaksono, 2002) menambahkan bahwa onggok dapat digunakan juga sebagai sumber karbon untuk memproduksi bioinsetisida Bacillus thuringiensis.

Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini disebabkan oleh karena semua galur Bt yang telah diteliti sejauh ini memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi yaitu 50 g/l, pH medium akan turun lebih rendah dari 5,6 – 5,8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan pertumbuhan Bt. Akan tetapi, jika konsentrasi gula yang terlalu rendah, menurut Vandekar dan Dulmage (1982) akan dapat menghentikan pertumbuhan Bt. dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses sporulasi sehingga proses fermentasi menjadi lebih lama. Nisbah karbon/nitrogen (C/N) optimum pertumbuhan Bt. adalah 2:1.

Tabel 4. Medium untuk Fermentasi B. thuringiensis

Jenis Medium dan Komposisi (g/l) Bahan-bahan Medium Tepung

Kedelaia Medium Proflo

a Medium B-12b Medium B-4Cb

Tepung biji kapas - 10.0 - 10.0

Tepung kedelai 15.0 - 20.0 -

Tepung jagung 5.0 - - -

Corn steep - - 20.0 -

Pepton - 2.0 - 2.0

Dekstrosa 5.0 15.0 30.0 15.0

Ekstrak khamir - 2.0 - 2.0

MgSO4.7H2O 3.0 3.0 3.0 3.0

FeSO4.7H2O 2.0 2.0 2.0 2.0

MnSO4.H2O - - 2.0 2.0

ZnSO4.7H2O 2.0 2.0 2.0 2.0

CaCO3 1.0 1.0 1.0 1.0


(43)

Nitrogen yang dibutuhkan mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung endosperma, dan kasein. Stanbury dan Whitaker (1984) menambahkan bahwa urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH. Namun urea ini mempunyai sifat tidak stabil selama proses sterilisasi, oleh karena itu penggunaannya dibatasi. Morris et al. (1996) menambahkan juga bahwa tepung biji kapas, defatted soy flour dan tepung gluten jagung merupakan sumber nitrogen yang efektif untuk produksi bioinsektisida Bt subsp. aizawai (HD 133) skala laboratorium dengan rasio C/N berkisar antara 0,3 sampai 0,5. Sumber nitrogen ini mampu menghasilkan campuran kristal-spora dalam jumlah yang besar dengan tingkat toksisitas yang tinggi terhadap serangga sasaran. Berdasarkan penelitian Wicaksono (2002), toksisitas tertinggi pada penelitian dengan substrat onggok dan urea, yaitu pada formula 20 g/L onggok dan 15 g/L urea.

Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage & Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S dan yang diperlukan dalam jumlah sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam medium fermentasi Bacillus thuringiensis ditambahkan 0,3 g/l MgSO4.7H2O, 0,02 g/l ZnSO4.7H2O, 0,02 g/l FeSO4.7H2O dan 1,0 g/l CaCO3 (Vandekar & Dulmage, 1982).

Menurut Dulmage & Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi -endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg2+ , Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke dalam medium perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam


(44)

pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis (Vandekar & Dulmage, 1982). Kebutuhan mineral untuk Bacillus thuringiensis subsp israelensis

seperti Fe, Mn, dan Cu diperlukan untuk produksi toksin, sedangkan Mo diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Kemudian dibandingkan dengan CaCl2, pemberian CaCO3 dalam medium lebih menguntungkan karena selain sebagai sumber kalsium juga berfungsi sebagai bahan penetral medium

2. Kondisi Kultivasi

Pada umumnya dikenal dua tipe fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida B.t yaitu fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Pada umumya fermentasi terendam lebih disukai karena dapat menjaga kesterilan kultur dan proses pemanenan serta pengaturan parameter selama proses produksi lebih sederhana. Pada fermentasi terendam, biakan muni B.t ditumbuhkan dalam medium cair dengan dispersi yang merata (Dulmage dan Rhodes, 1971). Fermentasi secara sederhana berarti pemberian makan mikroba dengan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat atau poduk akhir yang berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage, 1982).

Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan subtrat pada selang waktu tertentu (fed batch process) (Crueger & Crueger, 1984). Produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup, karena hasil akhir yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi (Benhard & Utz, 1993).

Kualitas dan kuantitas -endotoksin yang dihasilkan selama proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh metode produksinya. Dengan metode produksi yang baik akan menghasilkan kualitas dan kuantitas -endotoksin sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah -endotoksin yang dihasilkan setiap sel yang sedang bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam kultur fermentasi tersebut (Bernhard & Utz, 1993). Konsentrasi yang ditetapkan untuk produksi skala besar antara 5 x 109 sampai 1 x 1010 spora per


(45)

ml (Luthy, et al., 1982). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t antara lain adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.

Fermentasi skala kecil dalam labu kocok dilakukan dengan menggunakan labu ukuran 300 ml yang diisi 50-100 ml. Sementara itu, Vandekar dan Dulmage (1982) dan Mummigatti dan Raghunathan (1990) melakukan fermentasi dalam labu erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml medium. Keterbatasan aerasi dalam labu kocok membatasi pemilihan medium yang dapat digunakan dalam fermentasi.

Fermentasi terhadap Bacillus thuringiensis dapat dilakukan di dalam labu kocok pada suhu 28-30 oC, dengan pH awal medium berkisar antara 6,8-7,2. Sedangkan agitasi yang digunakan berkisar antara 142-340 rpm. Labu yang digunakan berukuran 300 ml yang disi 50-100 ml medium atau dengan menggunakan labu elenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml medium (Vandekar dan Dulmage, 1982; Mummigatti dan Raghunathan, 1990). Sedangkan fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28-32 oC, pH awal medium 6,8-7,2, volume medium sekitar setengah sampai dua pertiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0,5-1,5 vvm dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam (Vandekar & Dulmage, 1982).

pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk (Ketaren, 1990). Besarnya pH untuk kecepatan pertumbuhan maksimum seringkali berkisar antara satu sampai satu setengah unit. Karena pH sangant penting maka dalam fermentasi parameter ini secara terus menerus dikontrol oleh suatu cairan penyangga (buffer) atau suatu sistem kontrol pH tertentu (Gumbira Said, 1987).

Pertumbuhan optimum sebagian besar bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal medium fermentasi seringkali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan menambahkan alkali atau asam steril. Nilai pH awal medium untuk fermentasi Bacillus ditentukan pH 6,8-7,2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan


(46)

karbohidrat yang dapat menurunkan pH dan protein yang dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen ( Quinlan dan Lisansky,1985). Sedangkan menurut Benhard dan Utz (1993), Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5,5 – 8,5 dan tumbuh optimum pada pH 6,5 – 7,5.

Pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk merupakan suatu hasil dari urutan reaksi-reaksi kimiawi. Menurut Gumbira Said (1987), terdapat tiga jenis kurva pertumbuhan mikoorganisme, yaitu psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme yang kecepatan pertumbuhannya dibawah 20oC disebut psikrofilik, yang diantara 30-35 oC disebut mesofilik dan diatas 50 oC disebut termofilik.pola pertumbuhan ketiga kurva tersebut hampir sama, jika suhu dinaikkan kearah suhu pertumbuhan optimal maka kecepatan tumbuh rata-rata akan meningkat dua kalinya pada kisaran suhu 10 oC. Diatas suhu pertumbuhan optimum maka kecepatan tumbuh akan menurun secara cepat berlawanan dengan naiknya suhu (Ketaren, 1990).

Mikroorganisme mempunyai kisaran suhu tertentu untuk perkembangbiakannya. Temperatur optimal untuk produksi sel dapat ditentukan secara empiris. Temperatur optimal biasanya terjadi dibawah temperatur maksimal untuk pertumbuhannya, namun temperatur yang paling baik sering tidak sama untuk pertumbuhan maksimalnya (Dulmage dan Rhodes, 1971). Fermentasi B.t secara normal dilakukan pada temperatur 27-33 °C dengan temperatur optimal pada 30 °C (Quinlan dan Lisansky, 1985). Menurut Heimpel (1967) dan Deacon (1983), Bacillus thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 15-40 oC.

Biasanya mikroorganisme membutuhkan oksigen yang berbeda-beda. Dalam fermentasi aerob penting untuk memperoleh campuran yang sesuai untuk mikroba, nutrien dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus menerus pada cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tangki atau labu (Vandekar & Dulmage, 1982). Menurut Fardiaz (1989), pada respirasi


(47)

aerobik, oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen dan reaksi oksigen dengan hidrogen akan membentuk air. Dengan kata lain, respirasi aerobik merupakan reaksi oksidasi substrat menjadi karbondioksida dan air. Pada proses ini juga dihasilkan energi dalam bentuk ATP yang digunakan dalam proses metabolisme sel.

3. Pemanenan (recovery)

Dulmage et.al (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk formulasi produk Bt, yaitu flowable suspension, wettable powder, dan cairan. Bentuk formulasi ini dipengaruhi oleh cara pemanenannya. Formulasi

flowable suspension adalah bentuk bioinsektisida yang dipanen dengan cara mencampur spora dan kristal dengan air atau minyak dan penstabil, sedangkan

wettable powder diperoleh dengan cara melakukan proses liofilisasi atau proses kering beku terhadap campuran spora kristal dengan laktosa sebagai

carrier.

Percobaan aplikasi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada luasan terbatas yang telah dilakukan oleh Silapantakul, et al (1983) dan Yap (1985) dalam Bhumiratana (1990) menunjukkan bahwa formulasi cairan mempunyai beberapa kelebihan. Beberapa kelebihan tersebut adalah mudah cara pemanenannya dan bersifat ekonomis. Selain itu, dalam bentuk cair, toksin akan mudah larut sehingga akan lebih cepat bereaksi pada saat diaplikasikan pada serangga sasaran. Formulasi tersebut diperoleh dengan cara mengkonsentrasikan kultur hasil kultivasi Bacillus thuringiensis dengan cara

sentrifugasi. Formulasi tersebut juga dianggap paling sesuai untuk pengontrolan nyamuk.

Agar proses fermentasi berjalan dengan lancar dan untuk memperkirakan waktu panen yang optimal, maka sejumlah parameter dimonitor untuk dilakukan pengukuran. Parameter-paremeter tersebut diantaranya, suhu, nilai pH dan jumlah oksigen. Sedangkan pengukuran berat kering (biomassa), konsentrasi glukosa dan nitrogen, jumlah spora, bentuk koloni dapat dilakukan pada setiap sampel (Quinlan dan Lisansky, 1985).


(1)

Lampiran 16. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai

perhitungan kinetika fermentasi

1.

Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai Yx/s

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: YIELD

1.054E-02a 4 2.634E-03 5.616 .043

.237 1 .237 504.907 .000

1.054E-02 4 2.634E-03 5.616 .043

2.346E-03 5 4.691E-04

.250 10

1.288E-02 9

Source

Corrected Model Intercept FORMULA Error Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .818 (Adjusted R Squared = .672) a.

YIELD

Duncana,b

2 .12000 2 .12850 2 .13450

2 .19250

2 .19400

.542 .947

FORMULA A1 A4 A3 A5 A2 Sig.

N 1 2

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.691E-04. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.

Alpha = .05. b.


(2)

Lanjutan lampiran 16. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan

terhadap nilai perhitungan kinetika fermentasi

2.

Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai Yp/s

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: YIELD

1.387E-02a 4 3.468E-03 8.003 .021

.351 1 .351 810.308 .000

1.387E-02 4 3.468E-03 8.003 .021

2.167E-03 5 4.334E-04

.367 10

1.604E-02 9

Source

Corrected Model Intercept FORMULA Error Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .865 (Adjusted R Squared = .757) a.

YIELD

Duncana,b

2 .15600 2 .15600 2 .17350 2 .19550

2 .25600

.127 1.000 FORMULA

A4B A5B A3B A1B A2B Sig.

N 1 2

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 4.334E-04. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.

Alpha = .05. b.


(3)

Lanjutan lampiran 16. Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan

terhadap nilai perhitungan kinetika fermentasi

3.

Hasil analisa ragam uji F dan uji lanjut Duncan terhadap nilai Yp/x

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: YIELD

.681a 4 .170 55.240 .000

15.748 1 15.748 5106.437 .000

.681 4 .170 55.240 .000

1.542E-02 5 3.084E-03

16.445 10

.697 9

Source

Corrected Model Intercept FORMULA Error Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .960) a.

YIELD

Duncana,b

2 .81600

2 1.21600

2 1.29450

2 1.31750

2 1.63050

1.000 .136 1.000

FORMULA A5B A4B A3B A2B A1B Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 3.084E-03. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.

Alpha = .05. b.


(4)

Lampiran 17. Cara Penentuan Nilai Laju Pertumbuhan Maksimum (

µ

µ

µ

µ

maks

)

Pada formulasi media A1B

Waktu Biomassa Ln Xt - Ln Xo (dx) µ = dx/dt

0 0,0000 - -

6 2,5000 - -

12 5,0000 0,693 0,116

18 6,1500 0,207 0,035

24 5,0500 -0,197 -0,033

36 4,7750 -0,056 -0,005

48 4,9000 0,026 0,002

60 5,1500 0,050 0,004

72 5,0000 -0,030 -0,002

Laju pertumbuhan maksimum (µ-maks),

xt = xo

e

µt

dimana, x

o

= konsentrasi biomassa awal (g/l)

xt = konsentrasi biomassa setelah waktu t (g/l)

t = waktu inkubasi (jam)

µ = laju pertumbuhan spesifik (jam

-1

)

Dalam logaritma, persamaan diatas menjadi :

ln xt = ln xo + µt


(5)

Lampiran 18. Perhitungan LC

50

dengan Program Probit Quant

Perhitungan LC

50

dianalisis dengan menggunakan program yang bernama

Probit Program Quant, Contoh perhitungan LC50 diambil dari perhitungan LC50

pada jam ke 72 masa fermentasi formulasi media A1B (C:N=3:1) sebagai berikut:

conc obs,corr, expected O-E cont,chi-sq

2,94 92,21 72,34 19,87 0,1973346

1,96 60,00 55,73 4,27 0,0073839

0,98 60,00 26,66 6,66 0,0226553

0,49 10,00 8,22 1,78 0,0042234

tot, chi-sq = 2,3160

chi-sq @ 95% = 5,9915

chi-sq @ 99% = 9,2103

$ The fitted line is log conc,= a + b(probit) where :

a = 4,51 b = 3,39

$ The correlation coefficient of the initial line is ,9710

LC50 fLC50 +95% CL -95% CL

1,39 1,41 1,96 ,99

S fS +95% CL -95% CL

1,97 ,68 1,34 2,88


(6)

Lampiran 19. Cara Penentuan Nilai Yield (Yx/s, Yp/s dan Yp/x)

A2B (C:N=5:1)

P X S

Waktu

(jam) (Log spora) (g/L) (g/L) Ln X X-Xo P-Po So-S

0 0,0000 0,0000 50,1999 0,0000 0,0000

6 4,2250 46,1820 1,4410 4,2250 4,0179

12 8,1250 44,6195 2,0949 8,1250 5,5804

18 6,8000 43,7266 1,9169 6,8000 6,4732

24 8,2585 6,2500 20,6195 1,8326 6,2500 8,2585 29,5804

36 6,4500 18,2780 1,8641 6,4500 31,9219

48 8,0804 6,1500 15,4878 1,8165 6,1500 8,0804 34,7121

60 5,7000 5,6887 1,7405 5,7000 44,5112

72 7,8282 5,5000 4,3271 1,7047 5,5000 7,8282 45,8728

Yx/s jam 24 = X-Xo

So-S

= 6,25/29,58

= 0,211

Yx/s A2B = 0,194 ± 0,024

Yx/s jam 48 = X-Xo

So-S

= 6,15/34,71

= 0,117

Yp/s jam 24 = P-Po

So-S

= 8,2585/29,5804

= 0,279

Yp/s A2B = 0,256 ± 0,033

Yp/s jam 48 = P-Po

So-S

= 8,0804/34,7121

= 0,233

Yp/x

= Yp/s

Yx/s

= 0,256/0,194

= 1,630