Kondisi Kultivasi Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp israelensis dan Kondisinya

pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis Vandekar Dulmage, 1982. Kebutuhan mineral untuk Bacillus thuringiensis subsp israelensis seperti Fe, Mn, dan Cu diperlukan untuk produksi toksin, sedangkan Mo diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Kemudian dibandingkan dengan CaCl 2 , pemberian CaCO3 dalam medium lebih menguntungkan karena selain sebagai sumber kalsium juga berfungsi sebagai bahan penetral medium

2. Kondisi Kultivasi

Pada umumnya dikenal dua tipe fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida B.t yaitu fermentasi semi padat semi solid fermentation dan fermentasi terendam submerged fermentation. Pada umumya fermentasi terendam lebih disukai karena dapat menjaga kesterilan kultur dan proses pemanenan serta pengaturan parameter selama proses produksi lebih sederhana. Pada fermentasi terendam, biakan muni B.t ditumbuhkan dalam medium cair dengan dispersi yang merata Dulmage dan Rhodes, 1971. Fermentasi secara sederhana berarti pemberian makan mikroba dengan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat atau poduk akhir yang berharga dari metabolismenya Vandekar dan Dulmage, 1982. Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi tertutup batch process, fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan subtrat pada selang waktu tertentu fed batch process Crueger Crueger, 1984. Produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup, karena hasil akhir yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi Benhard Utz, 1993. Kualitas dan kuantitas -endotoksin yang dihasilkan selama proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh metode produksinya. Dengan metode produksi yang baik akan menghasilkan kualitas dan kuantitas -endotoksin sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah -endotoksin yang dihasilkan setiap sel yang sedang bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam kultur fermentasi tersebut Bernhard Utz, 1993. Konsentrasi yang ditetapkan untuk produksi skala besar antara 5 x 10 9 sampai 1 x 10 10 spora per ml Luthy, et al., 1982. Dulmage dan Rhodes 1971 menambahkan bahwa beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t antara lain adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur. Fermentasi skala kecil dalam labu kocok dilakukan dengan menggunakan labu ukuran 300 ml yang diisi 50-100 ml. Sementara itu, Vandekar dan Dulmage 1982 dan Mummigatti dan Raghunathan 1990 melakukan fermentasi dalam labu erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100- 125 ml medium. Keterbatasan aerasi dalam labu kocok membatasi pemilihan medium yang dapat digunakan dalam fermentasi. Fermentasi terhadap Bacillus thuringiensis dapat dilakukan di dalam labu kocok pada suhu 28-30 o C, dengan pH awal medium berkisar antara 6,8- 7,2. Sedangkan agitasi yang digunakan berkisar antara 142-340 rpm. Labu yang digunakan berukuran 300 ml yang disi 50-100 ml medium atau dengan menggunakan labu elenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml medium Vandekar dan Dulmage, 1982; Mummigatti dan Raghunathan, 1990. Sedangkan fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28-32 o C, pH awal medium 6,8-7,2, volume medium sekitar setengah sampai dua pertiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0,5-1,5 vvm dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam Vandekar Dulmage, 1982. pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk Ketaren, 1990. Besarnya pH untuk kecepatan pertumbuhan maksimum seringkali berkisar antara satu sampai satu setengah unit. Karena pH sangant penting maka dalam fermentasi parameter ini secara terus menerus dikontrol oleh suatu cairan penyangga buffer atau suatu sistem kontrol pH tertentu Gumbira Said, 1987. Pertumbuhan optimum sebagian besar bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal medium fermentasi seringkali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan menambahkan alkali atau asam steril. Nilai pH awal medium untuk fermentasi Bacillus ditentukan pH 6,8-7,2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat yang dapat menurunkan pH dan protein yang dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen Quinlan dan Lisansky,1985. Sedangkan menurut Benhard dan Utz 1993, Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5,5 – 8,5 dan tumbuh optimum pada pH 6,5 – 7,5. Pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk merupakan suatu hasil dari urutan reaksi-reaksi kimiawi. Menurut Gumbira Said 1987, terdapat tiga jenis kurva pertumbuhan mikoorganisme, yaitu psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme yang kecepatan pertumbuhannya dibawah 20 o C disebut psikrofilik, yang diantara 30-35 o C disebut mesofilik dan diatas 50 o C disebut termofilik.pola pertumbuhan ketiga kurva tersebut hampir sama, jika suhu dinaikkan kearah suhu pertumbuhan optimal maka kecepatan tumbuh rata-rata akan meningkat dua kalinya pada kisaran suhu 10 o C. Diatas suhu pertumbuhan optimum maka kecepatan tumbuh akan menurun secara cepat berlawanan dengan naiknya suhu Ketaren, 1990. Mikroorganisme mempunyai kisaran suhu tertentu untuk perkembangbiakannya. Temperatur optimal untuk produksi sel dapat ditentukan secara empiris. Temperatur optimal biasanya terjadi dibawah temperatur maksimal untuk pertumbuhannya, namun temperatur yang paling baik sering tidak sama untuk pertumbuhan maksimalnya Dulmage dan Rhodes, 1971. Fermentasi B.t secara normal dilakukan pada temperatur 27-33 °C dengan temperatur optimal pada 30 °C Quinlan dan Lisansky, 1985. Menurut Heimpel 1967 dan Deacon 1983, Bacillus thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 15-40 o C. Biasanya mikroorganisme membutuhkan oksigen yang berbeda-beda. Dalam fermentasi aerob penting untuk memperoleh campuran yang sesuai untuk mikroba, nutrien dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus menerus pada cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tangki atau labu Vandekar Dulmage, 1982. Menurut Fardiaz 1989, pada respirasi aerobik, oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen dan reaksi oksigen dengan hidrogen akan membentuk air. Dengan kata lain, respirasi aerobik merupakan reaksi oksidasi substrat menjadi karbondioksida dan air. Pada proses ini juga dihasilkan energi dalam bentuk ATP yang digunakan dalam proses metabolisme sel.

3. Pemanenan recovery