Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

46 Datuk pimpinankepala kaum atau suku di Nagari Ampang Kuranji terdapat 8 delapan suku, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.5. Nama suku dan kepala kaum di Nagari Ampang Kuranji No Nama Suku Gelar Penghulu Nama Penghulu Domisili Alamat 1 Caniago Dt. Rajo Lelo Dalpewan Koto Baru 2 Caniago Dt. Rajo Penghulu Andalul Koto Diateh 3 Petapang Dt. Mangku Rajo Andisa Putra Pasa Banda 4 Piliang Dt. Bandaro Arsiten Pasa Banda 5 Piliang Dt. Marajo Fahri Pasa Banda 6 Piliang Dt. Mangkudum Erman Pasa Banda 7 Melayu Dt. Penghulu Sati Amiluf Koto Gadang 8 Melayu Dt. Tumenggung Andasriyanto Lubuak Agam Sumber: Data Profil Nagari Ampang Kuranji Tahun 2010

H. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

Ambil anak, anak kukut, anak angkat adalah sebuah perbuatan hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan keturunan. Apabila seseorang anak telah dikukut, dipupon, diangkat sebagai anak angkat, maka dia akan didudukkan dan diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik biologis maupun sosial yang sebelumnya tidak melekat pada anak tersebut. Ter Haar sebagaimana dikutip Muderis menyatakan: 68 “Bahwa dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang mempengaruhi pergaulan-pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu dalam kedudukan sosialnya; sebagai contoh dapat disebutkan: kawin ambil anak, atau “inlijfhuwelijk”. Kedudukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan, yaitu: a. sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkan 68 Ter Haar dalam Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, hlm. 29. Universitas Sumatera Utara 47 keturunan, sebagai ahli waris yuridis; b. sebagai anggota masyarakat sosial dan menurut tata cara adat, perbuatan pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai”. Menurut A.Z. Abidin Farid, sebagai hasil riset beliau terhadap anak angkat di Tanah Toraja memberi definisi mengenai anak angkat sebagai berikut: Anak angkat ialah anak yang akibat suatu perbuatan dari seseorang mengambilmenjadikan anak orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik ia masih kanak-kanak belum dewasa maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama dengan anak kandung dengan melalui upacara adat. 69 Pengangkatan anak pada umumnya terdapat hampir di seluruh nusantara yang pelaksanaannya berbeda di daerah yang satu dengan lainnya sesuai dengan corak adat istiadatnya masing-masing, walaupun ketentuan untuk itu sudah ada. Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan di dalam hukum adat sedangkan di dalam hukum Barat disebut Adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie Belanda atau adoption Inggris. Menurut kamus Inggris – Indonesia, Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child. 70 Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak karena pengangkatan anak akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Pendapat Ter Haar tersebut secara jelas menyatakan bahwa seorang anak yang telah diangkat sebagai 69 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 46. 70 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Op.Cit, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara 48 anak angkat, melahirkan hak-hak yuridis dan sosial baik dalam aspek hukum kewarisan, kewajiban nafkah, perlindungan, perkawinan, dan sosial kemasyarakatan. Dalam hukum waris adat, anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil maupun immateril. Benda-benda materiil misalnya: rumah, sawah, kebun, sapi atau ternak lainnya, dan benda-benda lain; sedangkan yang termasuk immateriil, misalnya: gelar adat, kedudukan adat, dan martabat keturunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, anak angkat adat mempunyai hak-hak sosial seperti menghadiri upacara adat, cara berpakaian tertentu pada upacara-upacara tertentu, menempati tempat-tempat adat tertentu seperti di kursi paling depan, dan lain-lain. Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat termasuk pengangkatan anak adalah terang dan tunai. 71 Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat pengangkatan itu. 72 Ter Haar menyatakan: “Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari luar lingkungan ke dalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk ke dalam lingkungan kerabat yang mengambilnya sebagai anak; inilah mengambil anak sebagai suatu perbuatan tunai ”. 73 71 Bushar Muhammad, Op.Cit, hlm. 29. 72 Ibid. 73 Ibid. Universitas Sumatera Utara 49 Surojo Wignjodipuro, 74 menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak kandung daripada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimatan. Pengangkatan anak juga telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah tabanni yang berarti “mengambil anak angkat”. 75 Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya ada 2 dua pengertian pengangkatan anak, yaitu: 76 74 Muderis Zaini, Op.Cit, hlm. 46. 75 Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir, Al-Mujam Al-Wasith, Cetakan II, Jilid I, Mesir: Majma al-Lughah al-Arabiyah, 1392 H1972 M, hlm. 72. Secara etimologi kata tabanni berarti “ittakhoza ibnan”, yaitu “mengambil anak”, lihat Kamus Munjid, Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1988, hlm. 50. Istilah “Tabanni” yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat, lihat Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Jilid IV, Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1372 H1953 M, hlm. 7. Pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan istilah “Adopsi”. Secara terminologi tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak tabanni “Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di-nasab- kan kepada dirinya”, lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu, Juz. 9, Cetakan IV, Beirut: Dar al-Fikr al- Maashir, 1997, hlm. 271. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syahshiyyah ala al- Madzahib al-Khamsah, Beirut: Dar al-Ilmili al-Malayain, 1964, hlm. 86. Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya, lihat Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid, al-Ahwal al-Syahshiyyah fi al- Syari‟ah al- Islamiyah, Mesir: Maktabah Muhammad Ali Shobih, 1966, hlm. 386. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam, maka unsur me-nasab-kan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan. 76 A. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 29-30. Universitas Sumatera Utara 50 1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diber ikan status “anak kandung” kepadanya; cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. 2. Mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung” sehingga ia berhak memakai nama keturunan nasab orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu. Anak angkat dalam pengertian pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan datang, dan lebih dari itu terbersit di hati orang tua angkat bahwa anak angkatnya kelak kiranya dapat menjadi anak saleh yang mau merawat orang tua angkatnya di saat sakit, dan mendoakan di saat orang tua angkat telah meninggal dunia. Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan Islam, maka bentuk pengangkatan anak yang pertama sebagaimana yang didefinisikan oleh Mahmud Syaltut tersebut jelas tidak bertentangan dengan asas Hukum Islam, bahkan ditegaskan dalam QS Al-Maidah, ayat 2, dan ayat 32, QS AI-Insan, ayat 8, perbuatan demikian sangat dianjurkan dalam Islam. Terhadap bentuk pengertian anak angkat yang pertama sebagaimana diutarakan oleh Mahmud Syaltut tersebut, Fathurrahman memberikan komentar: 77 77 Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Maarif, 1984, hlm. 22. Universitas Sumatera Utara 51 “Pengangkatan anak dalam pengertian taawun, dengan menanggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan kesehatan, demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan suatu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka mematrikan perbuatan pengangkatan anak sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan mendidik, memelihara anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam”. Bentuk pengangkatan anak yang kedua, Mahmud Syaltut memberikan gambaran sebagai berikut: 78 “At-Tabanni adalah seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah”. Definisi kedua tersebut menggambarkan pengangkatan anak sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah, danatau pengangkatan anak yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, serta masuk klan suku keluarga orang tua angkat dengan memakai nama orang tua angkatnya. Oleh karena itu, anak angkat berhak menjadi ahli waris dan memperoleh warisan sebagaimana hak warisan yang diperoleh anak kandung, sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan, yang telah digariskan secara qathi bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian darah, keturunan, 78 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Dar al-Syuruq, 1991, hlm. 322. Universitas Sumatera Utara 52 dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok ahli waris. 79 Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan anak yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah pengangkatan anak yang dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung, diberikan hak waris sama dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkat menjadi orang tua kandung anak yang diangkatnya. Tetapi pengangkatan anak dalam pengertian terbatas dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah termasuk dalam ajaran taawun yang oleh Islam justru sangat dianjurkan. 80 Allah SWT berfirman “Bertolong-tolonganlah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan bertolong- tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan”. 81 Pengangkatan urang bainduak pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji, mempunyai pengertian yang sama dengan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Z. Abidin Farid di Tanah Toraja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Aan Putra dan H. Jonson Putra. Menurut Aan Putra: 82 79 QS Al-Nisa 4 ayat 11, 12 dan 13. 80 Muderis Zaini, Op.Cit, hlm. 53. 81 QS Al-Maidah 5 ayat 2. 82 Hasil wawancara dengan Aan Putra dari Suku Caniago Rajo Penghulu, Sekretaris Kerapatan Adat Nagari, pada hari Rabu, 5 Juni 2013, pukul 14.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 53 “Anak angkat di Nagari Ampang Kuranji dikenal dengan istilah urang bainduak. Anak angkat apabila diterjemahkan ke bahasa Minangkabau berarti anak angkek tetapi kata tersebut dianggap kurang baik digunakan. Urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji biasanya orang sudah dewasa usia 21 sampai dengan 50 tahun. Pengangkatan urang bainduak dapat dilakukan melalui prosesi adat maupun tidak. Akan tetapi yang diakui oleh nagari adalah pengangkatan urang bainduak secara adat. Orang yang telah diangkat sebagai urang bainduak, melahirkan hak-hak dan kewajiban secara yuridis dan sosial baik dalam aspek hukum kewajiban nafkah, perlindungan, perkawinan, dan sosial kemasyarakatan kecuali dalam hal warisan. Dalam hukum waris adat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji, urang bainduak tidak menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris layaknya anak kandung meskipun telah dianggap sebagai anak kandung, berupa materiil sedangkan immateriil memperolehnya kecuali tidak boleh menjadi datuak. Urang bainduak baru menerima hibah dari induknya orang tua angkatnya apabila induknya memberikannya ”. Menurut H. Jonson Putra dari Suku Petapang Datuk Mangkurajo, seorang tokoh masyarakat: 83 “Pengangkatan urang bainduak pada masyarakat Nagari Ampang Kuranji juga harus terang dan tunai, maksudnya terang adalah urang bainduak ketika akan diangkat harus diumumkan atau disampaikan terlebih dahulu kepada seluruh ninik mamak tanganai pada suku yang akan mengangkatnya dan Wali Nagari, apabila induak yang mengangkat, tanganai, wali nagari telah setuju, maka urang bainduak boleh diterima. Sedangkan tunai maksudnya adalah urang bainduak dan induaknya harus mempersiapkan syarat-syarat untuk proses pengangkatan anak, seperti sejumlah uang, kain kafan 2 helai, seekor kambing bagi orang mudikorang luar ataupun yang berasal dari nagari tetangga dengan suku yang berbeda dengan suku calon induak sedangkan yang berasal dari nagari tetangga dengan suku yang sama disebut dengan istilah managak tanggo cukup dengan seekor ayam. Hubungan kekeluargaan dengan orang tua kandung urang bainduak tidaklah terputus”. Sehingga dapat didefinisikan anak angkat sudah dewasa urang bainduak adalah pengangkatan seseorang akibat suatu perbuatan dari seseorang yang mengambilmenjadikan anak orang lain sebagai anaknya melalui proses adat tanpa 83 Hasil wawancara dengan H. Jonson Putra dari suku Petapang Mangkurajo, tokoh masyarakat Nagari Ampang Kuranji, pada hari Senin, 3 Juni 2013, pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 54 melepaskan ikatan hubungan sanad kekeluargaan anak itu dari orang tua atau keluarga kandungnya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung kecuali mengenai pembagian harta warisan. Jumlah urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji, yang tercatat pada Buku Hasil Kesimpulan Rapat Kerapatan Adat Nagari KAN tahun 2013, hanya dari tahun 2005 sd 2008, data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.6. Nama-nama urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji dari tahun 2005 sd 2008 No Tahun Nama Urang Bainduak Nama Amak Nama Apak DatukMamak 1. 2005 Lis Rahmi H. A. Khoir Dt. Rajo Penghulu 2. Sidik Nur Dalet Dt. Bandaro 3. Doni Mondonal Yasri Zamlit Dt. Mangkudum 4. Johan 25 Hj. Semsi H. Zein Dt. Bandaro 5. Iyen In Sudarson Dt. Bagindo Malin 6. Adnan May Senggih Dt. Penghulu Mudo 7. Aris Sera Mujak Dt. Rajo Lelo 8. Dodi Putra Sera Mujak Dt. Rajo Lelo 9. Rendra Dasima Man Dt. Mangkudum 10. Samsul Nonan Nedi Dt. Rajo Penghulu 11. Rika Nonan Nedi Dt. Rajo Penghulu 12. Mencak Nit Mael Dt. Penghulu Mudo 13. Noprizal Netti Agut Dt. Penghulu Mudo 14. Sabina Hj. Ya H. Pikal Dt. Mangkudum 15. Iskandar Masri Burhan Dt. Rajo Penghulu 16. 3132006 Yanti Jawa Netti Agut Dt. Penghulu Mudo 17. 4102006 Ondot Jawa Yusri Dt. Bagindo Malin 18. 28112006 Dar Indah - Dt. Mangkudum 19. 28112006 - - Razali Dt. Mangkudum 20. 1022007 - - Bakri Dt. Bandaro 21. 1822007 - Der Rozi Dt. Bandaro 22. 1832007 Daniar Jarina Komar Dt. Penghulu Mudo 23. 842007 UN Pikya Pikal Dt. Mangkudum 24. 842007 Emy Isteri Mael Pikya Pikal Dt. Mangkudum 25. Orang Jawa Pikya Pikal Dt. Mangkudum 26. Orang Jawa Pikya Pikal Dt. Mangkudum 27. Orang Jawa Pikya Pikal Dt. Mangkudum 28. Orang Jawa Pikya Pikal Dt. Mangkudum 29. 2552007 Aan Jawa Alfi Sanip Dt. Tumenggung 30. 2552007 Sepni bidan Alfi Sanip Dt. Tumenggung 31. 2362007 Ibuh SMP Roza Hj. Pidna H. Tanten Dt. Rajo Lelo Universitas Sumatera Utara 55 Sumber: Buku Hasil Kesimpulan Rapat Kerapatan Adat Nagari KAN, 2013 Berdasarkan informasi dari Wali Nagari Ampang Kuranji, Amiluf Dt. Penghulu Sati, bahwa batas usia pengangkatan urang bainduak dengan induaknya tidak menjadi persyaratan, akan tetapi pada umumnya induak lebih tua dari urang bainduak. Menurut Amiluf Dt. Penghulu Sati, Wali Nagari Ampang Kuranji: 84 “Bahwa urang bainduak yang banyak terdapat di Nagari Ampang Kuranji adalah orang yang sudah dewasa. Batas usia antara urang bainduak dengan induaknya tidak ada batasannya. Pada umumnya yang terjadi, induaknya lebih tua daripada urang bainduak, akan tetapi terdapat juga urang bainduak lebih tua dari induaknya ”. 84 Hasil wawancara dengan Amiluf Dt. Penghulu Sati, Wali Nagari Ampang Kuranji, pada hari Senin, 20 Mei 2013, pukul 10.00 WIB. No Tahun Nama Urang Bainduak Nama Amak Nama Apak DatukMamak 32. 2362007 Endang Isteri Barisal Hj. Rasmawi H. Dahari Dt. Rajo Lelo 33. 2272007 Syaprizal Hj. Nit H. Agus Dt. Bagindo Malin 34. 2872007 Tompik Pulau Baher Kadir Dt. Bagindo Malin 35. 2972007 Kokol Emboy Andi Dt. Tumenggung 36. 3072007 Kutar Palwi Kudum Yen Dt. Mangkudum 37. 382007 Ilyas Jawa Elly Sil Dt. Tumenggung 38. 2008 - Silat - Dt. Penghulu Mudo 39. - Nungcit Ajis Dt. Rajo Penghulu 40. - Darna EP Dt. Rajo Lelo 41. 2222008 Pikar Yayut Ens Dt. Mangkudum 42. 2322008 Apit Lisna Usman Dt. Marajo 43. 632008 - Jum Irwan Dt. Rajo Penghulu 44. 1332008 Supriadi Roharni Jala Dt. Rajo Lelo 45. 1332008 Faisal Rus Yanto Dt. Rajo Lelo 46. Mei 2008 Asril Nuraini Zul Dt. Rajo Penghulu 47. Epi Hj. Cit H. Utal Dt. Bagindo Malin 48. MelatiBahak Hj. Cit H. Utal Dt. Bagindo Malin 49. 2462008 Herman - Sunabat Dt. Penghulu Mudo 50. Yarni Hed - Usman Dt. Bandaro 51. 682008 Asropi Jawa Tel Dt. T Dt. Bagindo Malin 52. 27102008 Endah - Jetriadi Dt. Mangkudum Lanjutan Tabel 2.6 Universitas Sumatera Utara 56 Pengangkatan terhadap urang bainduak pada tahun 2009 sd 2013 tidak ada atau tidak tercatat dalam buku Hasil Rapat Kenagarian KAN Ampang Kuranji. Berdasarkan informasi yang diterima dari Aan Putra selaku Sekretaris KAN 2013, hal ini disebabkan hasil putusan dalam rapat KAN yang menaikkan biaya pengangkatan urang bainduak menjadi Rp. 4.000.000 empat juta rupiah, di mana sebelumnya Rp. 2.000.000 dua juta rupiah. Hal tersebut dirasakan sangat memberatkan bagi calon urang bainduak. Maksud dari penerapan biaya pengangkatan urang bainduak minimal Rp. 4.000.000 empat juta rupiah adalah pertama, agar selektif dalam mengangkat urang bainduak dan kedua, untuk tidak memberatkan biaya kepada orang tua angkat, di mana dahulu hanya sebesar Rp. 2.000.000 dua juta rupiah dan orang tua angkat yang menambah kekurangannya, dan sebagai penyesuaian harga-harga yang berlaku di pasaran saat ini. Menurut Aan Putra: 85 “Tidak adanya urang bainduak sejak 2009 sd 2013 yang tercatat dalam buku Hasil Rapat Kenagarian KAN Ampang Kuranji, hal ini disebabkan karena hasil kesimpulan rapat adat nagari, yang menetapkan ketentuan baru yang lebih ketat dan selektif dalam menerima urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji salah satunya adalah dengan menaikkan jumlah biaya pengangkatan anak sebesar Rp. 4.000.000 empat juta rupiah per orang”. 85 Hasil wawancara dengan Aan Putra, Sekretaris Kerapatan Adat Nagari KAN Ampang Kuranji, pada hari Kamis, 6 Juni 2013, pukul 17.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 57

I. Motivasi Pengangkatan Urang Bainduak di Nagari Ampang Kuranji

Motivasi pengangkatan urang bainduak 86 di Nagari Ampang Kuranji, bukan didasarkan karena kekhawatiran dari orang tua angkat akan kepunahan keturunan atau tidak mempunyai anak perempuan atau laki-laki sebagaimana yang telah dipaparkan pada BAB I di atas, akan tetapi didasarkan kepada pemberian perlindungan kepada urang bainduak terhadap segala hal yang baik maupun buruk yang dialami oleh urang bainduak di Kabupaten Dharmasraya dan untuk menambah sanak saudara, karena pada umumnya urang bainduak merupakan orang perantauan 87 yang berasal dari luar Kabupaten Dharmasraya. Keluarga urang bainduak akan menjadi saudara bagi seluruh keluarga induaknya, demikian sebaliknya. Inisiatif pengangkatan urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji pada umumnya berasal dari urang bainduak, sehingga dapat dikatakan motivasi terjadi pengangkatan anak berasal dari urang bainduak. Beradanya urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji dilator belakangi oleh tradisi merantau masyarakat Minangkabau yang telah mendarah daging. 86 Pengangkatan urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal sensitif yang juga harus diperhatikan oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji mayoritas beragama Islam, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat itu. Lihat Fauzan, “Pengangkatan Anak bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolute Peradilan Agama”, Majalah Mimbar Hukum, Edisi Desember 1999, No. X, hlm. 56. 87 Orang perantauan di Nagari Ampang Kuranji disebut dengan istilah urang mudiak atau anak dagang. Hasil wawancara dengan dengan H. Jonson Putra suku Patapang Datuk Mangkurajo, Tokoh Masyarakat Nagari Ampang Kuranji, pada hari Senin, 5 Agustus 2013, pukul 17.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 58 Pepatah Minangkabau mengatakan: 88 “Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, Marantau bujang dahulu, di rumah paguno alun ” Lebih baik merantau bujang anak muda dulu, Karena di kampung belum berguna. Makna pepatah di atas, memacu sebagian masyarakat Minangkabau untuk pergi merantau sedari muda, pergi ke negeri lain untuk mencari pekerjaan, ilmu dan pengalaman. Ia ingin mendapatkan kehidupan layak di negeri orang, tanpa mempedulikan kehidupan yang akan dialami di perantauan. Apakah senang, bahagia, atau malah sengsara. Ia berkeyakinan, perubahan pasti terjadi bila meninggalkan kampung halamannya. Dengan tekad bulat, banyak orang dari berbagai suku atau etnis pergi merantau, seperti halnya dengan etnis Bugis, Banjar, Batak, dan sebagian orang Pantai Utara Jawa, Madura dan lainnya. Sedangkan orang Minangkabau sejak lama memiliki tradisi merantau, terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. 89 Suatu hal yang menarik, dengan kemampuannya berkomunikasi sebagai salah satu ciri khas perantau Minangkabau, membuatnya mudah beradaptasi dan berinteraksi dengan suku bangsa mana saja. Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, antara lain terlihat hampir tidak pernah terjadi konflik dengan masyarakat 88 Amir Sjarifoedin Tj.A, Op.Cit, hlm. 509. 89 Ibid. Universitas Sumatera Utara 59 yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini, disebabkan oleh ajaran adat Minangkabau yang berbunyi: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minangkabau, terutama kaum prianya saat menginjak usia dewasa, tradisi merantau hampir merupakan suatu kewajiban. Pasalnya, selain dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi, merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual serta batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan keras, dengan jauh dari sanak saudara, hingga menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan keuletannya dalam meningkatkan derajat kehidupannya. Bila menurutnya, mereka telah dikategorikan sukses dalam jangka waktu tertentu, maka barulah ia berani pulang ke kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula, para perantau ini lalu berkeluarga, dan akhirnya menetap di daerah lain, dengan fenomena Marantau Cina. Sebagai perantau, orang Minangkabau berada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia dan dunia. “Minang perantauan” merupakan istilah untuk orang Minangkabau yang hidup di luar Provinsi Sumatera Barat. 90 Tradisi merantau orang Minangkabau sudah muncul dan berkembang sejak berabad-abad silam. Hal ini mudah dipahami, karena dalam budaya alam Minangkabau dikenal wilayah inti darek atau darat dan rantau daerah luar. Dulu daerah rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan dari kerajaan Pagaruyung. Namun perkembangan belakangan, daerah 90 Ibid, hlm. 510. Sedangkan untuk orang Minangkabau yang merantau masih di dalam Provinsi Sumatera Barat, di Nagari Ampang Kuranji disebut dengan istilah urang mudiak. Universitas Sumatera Utara 60 rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan, dan untuk kehidupan yang lebih baik, dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi, pendidikan dan karier. Sejak dulu, merantau bagi orang Minangkabau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta berdagangmenjadi saudagar, mencari ilmu belajar, atau mencari pangkat pekerjaanjabatan. 91 Merantau juga merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini, menjadikan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Berbeda dengan proses transmigrasi yang diprogramkan serta dibiayai pemerintah. Orang Minangkabau merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik. 92 Dalam alam pikiran orang Minangkabau analog dengan dunia agraris, kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas, agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. 91 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1984, hlm. 53. 92 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979, hlm. 22. Universitas Sumatera Utara 61 Proses seperti inilah, yang dialami, dan kemudian terlihat pada tokoh-tokoh asal Minangkabau yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir; Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan - lahir; tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”, sekaligus berguna bagi bangsa, negara dan agama. Masyarakat Minangkabau yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang, pengrajin dan penuntut ilmu agama. Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau, tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat. Dari hasil pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menebus sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau, juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti masjid, jalan, ataupun pematang sawah. Universitas Sumatera Utara 62 Pepatah “Jauah mancari suku, dakek mancari induak”, sesungguhnya sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, juga telah menjadi adat. Dan adat serupa ini, sudah menjadi tuntunan untuk pergi merantau jauh. “Mamak ditinggakan, mamak ditapati”. Mamak yang di rantau adalah orang yang sesuku dengan pendatang baru itu. Mamak yang ditepati inilah kemudian yang menyelenggarakan atau mencarikan pekerjaan yang patut, sesuai dengan kepandaian atau keterampilan serta kemauan “kemenakan” yang baru datang itu, sampai ia mampu tegak sendiri. Mamak yang ditepati di rantau, adalah sebagai pengganti mamak di kampung bagi kemenakan yang datang. Baik hendak beristri, sakit ataupun kematian, mamak itu jadi “pai tampek batanyo, pulang tampek babarito”. Sebaliknya “kemenakan” itu harus pula bisa “bacapek kaki baringan tangan” menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan “mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua belah pihak, “jauh cinto mancinto, dakek jalang manjalang ”. “Tagak basuku mamaga suku” adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa semalu, serasa, senasib, sepenanggungan. Bahkan, menjadi adat pusaka bagi seluruh masyarakat Minangkabau, sehingga adat bersuku itu berkembang menjadi: “Tagak basuku mamaga suku tagak banagari mamaga nagari, tagak baluhak mamaga luhak ” dan lain-lainnya. Artinya, orang Minangkabau di mana saja tinggal akan selalu bertolong-tolongan, ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat menasehatkan, dan ajar mengajarkan. Dalam hal ini, mereka tidak Universitas Sumatera Utara 63 memandang tinggi rendahnya martabat, “barubah basapo batuka baangsak”. Karena adat itulah orang Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa. “Kalau pandai bakain panjang, Labiah dari kain saruang. Kalau pandai bainduak samang, Labiah dari mande kanduang ”. Lebih-lebih kalau datang dengan yang didatangi sama-sama pandai: “Padilah nan samo disiukkan sakik nan samo diarangkan, Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang ”. Kemudian perantau itu berhasil: “ameh lah bapuro, kabau lah bakandang”. 93 Urang bainduak telah dianggap sebagai anak kandung bagi induaknya, oleh karena itu ia menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya kecuali dalam hal harta warisan materiil dan menjadi penghulu sukunya immateriil dan hubungannya tidak terputus dengan orang tua dan keluarga asalnya kandung. Hal di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nuryasmi. Menurut Nuryasmi dari suku Piliang Datuk Bandaro: 94 “Motivasi urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji berasal dari urang bainduak, sebagai upaya untuk melindungi dirinya dari segala permasalahan yang terjadi di daerah ini dan untuk menambah keluarga. Seluruh keluarga induak akan menjadi keluarga urang bainduak sehingga orang lain tidak akan berani mengganggu urang bainduak karena ia mempunyai keluarga besar di daerah ini”. “Urang bainduak tidak mendapatkan warisan dari induaknya walaupun telah dianggap sebagai anak kandung, demikian sebaliknya. Akan tetapi urang bainduak akan mendapatkan hibah dari induaknya baik berupa kebun, sawah, ladang, tanah dan lain-lain apabila induaknya memandang perlu untuk memberikannya kepada urang bainduak apabila urang bainduak hidupnya 93 Amir Sjarifoedin Tj.A, Op.Cit, hlm. 512-513. 94 Hasil wawancara dengan Nuryasmi salah seorang responden dari suku Piliang Datuk Bandaro yang mempunyai 2 dua urang bainduak yang bernama Rajuddin Abbas dan Yunus, pada hari Selasa, 21 Mei 2013, pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 64 susah dan induaknya orang kaya, demikian sebaliknya. Pemberian hibah berupa tanah atau kebun yang berasal dari harto pusako harus dilakukan dengan bermusyawarah rapat terlebih dahulu dengan seluruh keluarga anak dan tanganai induak, dan hanya menjadi hak pakai saja bagi urang bainduak, sedangkan pemberian hibah berupa tanah atau kebun yang berasal dari pencaharian induaknya dapat dilakukan tanpa bermusyawarah rapat terlebih dahulu, dan dapat menjadi hak milik urang bainduak. Tabel 2.7. Motivasi pengangkatan urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji No. Motivasi Pengangkatan Urang Bainduak Jumlah 1. Untuk mendapatkan perlindungan dan menambah sanak saudara 20 2. Sebagai penerus keturunan dan ahli waris - 3. Untuk mendapatkan anak perempuan atau laki-laki - 4. Menjalin hubungan silaturahmi dengan keluarga urang bainduak 4 5. Untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif unsur politis - Total 24 Sumber: Data primer 24 responden yang diolah, tahun 2013. Berdasarkan tabel di atas menjelaskan bahwa motivasi pengangkatan anak antara lain: 1. Untuk mendapatkan perlindungan dan menambah sanak saudara; 2. Sebagai penerus keturunan dan ahli waris; 3. Untuk mendapatkan anak perempuan atau laki-laki; 4. Menjalin hubungan silaturahmi dengan keluarga urang bainduak; dan 5. Untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif unsur politis. Makna unsur politis di sini adalah untuk menambah keluarga dari suku induaknya dalam rangka mendukung urang bainduak tersebut agar terpilih sebagai pimpinan daerah atau anggota legislatif di Kabupaten Dharmasraya. Motivasi yang terbesar pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji dalam pengangkatan anak adalah untuk menambah keluarga dan melindungi urang bainduak dari gangguan orang lain di daerah ini 20 orang responden. Universitas Sumatera Utara 65

J. Dasar Hukum Pengangkatan Urang Bainduak pada Masyarakat