90
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA YANG TERJADI PADA URANG BAINDUAK
DI NAGARI AMPANG KURANJI
A. Persengketaan yang Dialami oleh Urang Bainduak di Nagari Ampang Kuranji
1. Pengertian Sengketa
Sengketa atau konflik adalah dua kosa kata yang tidak sama, tetapi sulit untuk dibedakan sehingga di dalam penggunaannya, adakalanya dilakukan secara
bergantian. Studi kepustakaan menunjukkan bahwa di kalangan ahli sosial termasuk
sosiologi hukum pengkajian lebih berfokus pada istilah konflik conflict, sedangkan di kalangan ahli antropologi hukum terdapat kecenderungan untuk memfokuskan
pada istilah sengketa dispute.
122
Laura Nader dan Herry Todd membedakan kedua istilah tersebut melalui pandangannya mengenai proses bersengketa dispute process. Menurut Nader dan
Todd sebagaimana dikutib oleh T.O. Ihromi
123
ada 3 tiga fase atau tahap dalam proses bersengketa.
Pertama, tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang
122
Runtung Sitepu, “Keberhasilan dan Kegagalan Sengketa Alternatif Studi Mengenai
Masyarakat Karo di Kabanjahe dan Berastag i”, Disertasi, Medan: Program Pasca Sarjana USU,
2002, hlm. 74.
123
Ibid, hlm. 75-76.
90
Universitas Sumatera Utara
91
tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilannya itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja tergantung pada
persepsi dari pihak yang merasakan ketidakadilan tersebut. Dalam hal ini yang penting adalah pihak itu merasakan bahwa haknya dilanggar atau mereka
diperlakukan dengan salah. Situasi keluhan perasaan diperlakukan tidak adil ini mengandung suatu
potensi untuk meningkat menjadi konflik atau justru menghindar. Perasaan diperlakukan tidak adil dapat lebih memuncak disebabkan oleh suatu konfrontasi,
atau eskalasi justru terelakan secara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau pihak kedua tidak memberi reaksi terhadap tantangan yang diajukan.
Kedua, tahap konflik yang ditandai keadaan di mana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak
pelanggar haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu penyelesaian pendapat antara
mereka. Tahap ini mempunyai ciri yaitu dua pihak berhadapan. Selanjutnya tahap ketiga, yaitu sengketa dispute dapat terjadi karena konflik
mengalami eskalasi berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Satu sengketa hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan klaim semula
atau seseorang atas namanya telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari pendekatan dua pihak menjadi hal yang memasuki bidang publik. Ini dilakukan
secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
92
Ketiga tahap di atas tidak perlu terjadi secara berurutan. Bisa saja seorang yang merasa terhina atau dirugikan langsung mengajukan ke pengadilan tanpa
mengkomunikasikan kepada pihak yang dianggap merugikannya jadi tahap konflik tidak terjadi, atau tiba-tiba saja salah satu pihak mengundurkan diri proses eskalasi
atau tahap-tahap itu bisa saja berlangsung secara melompat-lompat. Menurut Bolton ada 10 sepuluh faktor yang dapat menjadi sumber terjadinya
sengketa, yaitu:
124
1. Menghambat tujuan pribadi,
2. Kehilangan status,
3. Kehilangan otonomi kekuasaan,
4. Kehilangan sumber-sumber,
5. Tidak mendapat bagian yang adil dari sumber-sumber langka,
6. Mengancam suatu nilai,
7. Mengancam sesuatu yang normal,
8. Kebutuhan yang berbeda dan berbenturan,
9. Kesalahpahaman, dan
10. Pembelaan harga diri.
A. Mukti Arto mengemukakan sumber sengketa akan mempengaruhi
karakteristik dari sengketa tersebut. Ia mengklasifikasikan karakteristik sengketa menjadi 3 tiga macam, yaitu:
125
1. Karakter formal, yakni sifat sengketa yang melekat pada hukum yang timbul
karena materi hukum itu sendiri. Misalnya kurang jelas. Mengandung berbagai penafsiran, terjadinya kerancuan atau terdapatnya berbagai sistem
hukum yang sama-sama berlaku dan sebagainya.
2. Karakter material kebendaan yakni sifat sengketa yang melekat pada wujud
dari barang sengketa itu sendiri, seperti ketidaksepahaman, berbenturan kepentingan, perebutan sumber-sumber, menghambat tujuan pribadi,
124
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan Kritik dan Solusi terhadap Praktek Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 39.
125
Ibid, hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
93
kehilangan status atau kedudukan, kehilangan otonomi dan kekuasaan, tidak mendapat bagian yang adil, dan sebagainya yang bersifat material.
3. Karakter emosional, yaitu sifat sengketa yang melekat pada emosi
manusianya, seperti karena perasaan-perasaan negatif antara pihak-pihak, kemarahan, kesalahpahaman salah mengerti serta perbedaan gaya hidup dan
sebagainya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan mekanisme penyelesaian
sengketa bersifat consensus dan cooperative seperti mediasi dan konsolidasi. Sebagaimana Leng menjelaskan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan
diarahkan untuk:
126
1. Mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Banyaknya kasus yang
diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan serta memakan waktu. Proses seperti ini memakan biaya yang
tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Untuk meningkatkan keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses
penyelesaian sengketa. 3.
Untuk memperlancar serta memperluas akses keadilan. 4.
Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh dan memuaskan semua pihak.
Goldberg menekankan bahwa ada 3 tiga faktor yang memungkinkan mediator dapat menyelesaikan sengketa dengan baik, yaitu:
127
1. Tersedianya sumber daya manusia yang terampil dan memiliki integritas
tinggi untuk menjalankan fungsi juru runding atau mediator yang netral, imparsial, jujur dan menjunjung tinggi profesionalisme kerja.
2. Terbentuknya pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan kelebihan
penyelesaian sengketa dengan menggunakan juru runding atau mediator. 3.
Terdapatnya konsistensi antara hukum adat dengan hukum formal dan menempatkan perundingan yang dibantu mediator sebagai alternatif
penyelesaian sengketa.
126
Jon Lizar, “Persengketaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Studi Kasus
Pemindahan Hak Atas Tanah dalam Pembangunan di Kanagarian Koto Tangah Kodya Padang ”,
Tesis, Padang: Program Pasca Sarjana UNAND, 1999, hlm. 96.
127
Ibid. hlm. 97
Universitas Sumatera Utara
94
2. Bentuk Sengketa