christening, memberikan nama naming, mengangkat appointing, mengucilkan excommunicating, dan menghukum senting Leech, 1993:135.
2.2.3 Situasi Tutur
Situasi yang melahirkan sebuah tuturan adalah situasi tutur. Maksud sebuah tuturan yang sebenarnya dapat teridentifikasi melalui situasi tutur, yaitu
penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang melakukan aktivitas tutur maksudnya, yaitu orang yang sedang melakukan fungsi pragmatis tertentu di
dalam komunikasi baik komunikasi personal maupun komunikasi interpersonal. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi objek pelaku sekaligus
lawan tutur didalam peristiwa komunikasi. Berkenaan dengan situasi tutur dalam berkomunikasi Sperber dan
Wilson dalam Rustono, 1999:34 berpendapat bahwa sebuah tindak tutur hendaknya mempertimbangkan lima aspek situasi tutur, yaitu 1 penutur dan
mitra tutur, 2 konteks tuturan, 3 tujuan tuturan, 4 tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan 5 tuturan sebagai tindak verbal.
Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa aspek situasi tutur mempunyai manfaat untuk memudahkan penutur dan mitra tutur secara jelas
dalam menentukan hal-hal yang merupakan bidang kajian pragmatik. Dengan demikian situasi tutur dapat menciptakan atau menghasilkan tindak tutur sebagai
wujud verbal seseorang disaat mempengaruhi orang lain dalam situasi yang tidak terbatas melalui tuturan lisan maupun tuturan tertulis atau lebih dikenal dengan
ragam bahasa media massa.
2.2.4 Kesantunan Berbahasa
Sudah lazim apabila memperlakukan kesantunan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan, tingkah laku sosial yang sopan, atau etiket, terdapat
dalam budaya, prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus, sebagian dari prinsip-prinsip umum ini
termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain Yule, 2006:104.
Dicetuskannya konsep kesantunan karena di dalam tuturan penutur tidak hanya mematuhi prinsip kerjasama, tetapi kesantunan diperlukan hanya
untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerjasama Gunarwan, 1995:6 menegaskan bahwa pelanggaran
prinsip kerjasama adalah bukti bahwa didalam berkomunikasi penutur dan mitra tutur tidak hanya sekedar penyampai informasi saja tetapi juga menyampaikan
amanat. Sehingga kebutuhan penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur dan mitra tutur walaupun dalam situasi tertentu tidak menuntut
pemeliharaan hubungan itu. Leech 1983 menulis buku dengan judul Principle of fragmatik.
Dalam mengembangkan ilmu pragmatiknya Leech dan pakar-pakar yang mendahuluinya seperti Austin, Searle, dan Grice. Menurut Leech, Austin dan
Searle, merupakan perumus kajian makna dari kajian daya ilokusi, sedangkan Grice merupakan perumus makna implikatur percakapan. Gagasan Leech yang
sangat penting di dalam buku karyanya, tersebut adalah tentang prinsip
kesantunan pliteness principle. Prinsip kesantunan yang dicetuskan oleh Leech itu berkenaan dengan kaidah kesantunan yang dirumuskan kedalam maxsim
enam bidal yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, kerendahhatian, kesetujuan, kesimpatian dan keantipatian. Bidal ketimbangrasaan didalam prinsip
kesantunan memberikan petunjuk bahwa pihak lain didalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Bidal ketimbangrasaan ini lazimnya diungkapkan dengan tuturan impositif dan tuturan komisif Leech, 1983:132.
Rustono 1999:71 juga mengemukakan teori kesantunan yang lebih mendasarkan pada prinsip kesantunan politeness principle, yaitu yang mencakup
sejumlah bidal atau pepatah yang berisi nasehat yang harus dipatuhi agar tuturan menjadi lebih santun yaitu, 1 biaya cost dan keuntungan benefit, 2 celaan
atau penjelekan dispraise dan pujian praise, 3 kesetujuan agreement serta 4 kesimpatian dan keantipatian simpathyantipathy.
Sementara itu, Fraser 1978 juga membahasa topik lain pragmatik yaitu kesantunan berbahasa. Dia mengemukakan perbedaan antara kesantunan dan
penghormatan. Kesantunan tuturan dimaksudkan peserta tuturan tidak melampaui hak-haknya dan tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya, sedangkan
penghormatan berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan suatu perhargaan. Kesantunan berbahasa yang dikemukakannya lebih mengacu kepada
atas dasar strategi-strategi, yaitu strategi-strategi apakah yang dapat diterapkan penutur agar tuturannya lebih santun. Namun, Fraser tidak merinci bentuk dan
strategi kesantunannya.
Kajian kesantunan berbahasa juga telah dibahas oleh Brown dan Levinson 1978. Mereka mengemukakan kesantunan berbahasa itu tidak
berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut lima strategi, kelima strategi tersebut yaitu, 1 melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi,
dengan mematuhi prinsip-prinsip kerjasama Grice; 2 melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif;3 melakukan tindak tutur dengan
menggunakan kesantunan negatif; 4 melakukan tindak tutur secara off record; dan 5 tidak melakukan tindak tutur atau diam saja Rustono, 1999:69-70.
Peristiwa komunikasi dengan kondisi para penutur tidak selalu menaati prinsip kerjasama telah mendorong para ahli berfikir dan mencetuskan teori
kesantunan, antara lain Lakof 1972 mencetuskan teori kesantunan yang harus dipatuhi dengan tiga kaidah, yaitu formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau
kesekawanan. Kaidah formalitas memiliki maksud tidak memaksa atau tidak angkuh. Sementara kaidah ketidaktegasan memberikan saran bahwa penutur
lazimnya bertutur sedemikian rupa agar mitra tutur dapat menentukan pilihan. Selanjutnya kaidah persamaan atau kesekawanan. Kaidah ini lebih mengacu agar
penutur dapat membuat mitra tuturnya senang Rustono, 1999:67. Sementara itu, menurut Gunarwan 1992:19 sebuah tindak tutur dapat
mengancam muka mitra tuturnya. Untuk mengurangi kerasnya ancaman terhadap muka mitra tuturnya dalam berkomunikasi hendaklah penutur tidak selalu
mematuhi prinsip kerjasama tetapi lebih menekankan pada nilai kesantunan.
2.2.5 Praanggapan, Implikatur, dan Perikutan