2.2.9.1 Wacana Erotisme
Erotis secara etimologis berasal dari kata Yunani kuno Eros, yaitu dewa cinta putra Aphrodite. Eros berarti juga perantara, dunia yang bersifat
inderawi dan dunia ide. Dalam perkembangannya, erotisme dalam arti sempit berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah untuk pengembangan
rangsangan-rangsangan yang menimbulkan sensualitas. Rokhman 2000:2 mengemukakan erotisme dalam arti yang lebih luas, berarti mencakup segala
bentuk tindakan, ucapan, pemikiran, gambar, pengungkapan perilaku simulatif dan sugestif antara pria wanita, terhadap diri sendiri auto erotik.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya erotisme berkait erat dengan penggambaran perilaku, keadaan suasana yang didasari libido yang dalam
perkembangan selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksualnafsu birahi yang bersifat naluri. Akan tetapi, sebelum diteruskan uraian tentang erotisme ini,
sebaiknya dilihat terlebih dahulu kaitan makna kata erotisme dengan pornografi yang juga didasari oleh hal-hal yang berikan dengan nafsu seksual. Untuk
memperoleh kejelasan tentang erotisme dan pornografi harus dirujuk pada dasarnya yaitu libido, nafsu birahi dan nafsu seksual. Sedangkan yang
membedakan keduanya adalah erotisme, libido merupakan dasar, dan dalam pornografi yang menonjol adalah penggambaran secara sengaja dan jelas
mengenai tingkah laku seksual dengan tujuan membangkitkan seksual Hayati, 2004:35.
Dworkin dalam Bungin, 2001:28-29 berpendapat bahwa erotisme merupakan porno kelas tinggi, diproduksi secara baik dan dirujuk untuk
dikonsumsi golongan atas. Erotisme adalah mengenai objek seks yang dialami sehat, menyenangkan, dan detail serta mendekati realitas, dan secara lembut dapat
membangkitkan fantasi birahi yang indah. Pornografi lebih dikaitkan dengan objek-objek seks yang menjijikkan, tidak sehat, dan merugikan martabat individu.
Sering dikatakan
orang bahwa antara erotisme dan pornografi terdapat
perbatasan yang samarbahkan wilayah maknanya sebagian bertumpang tindih. Masalah ini juga dihadapi dalam sebuah penelitian tentang pornografi dalam pers
Indonesia Rochim, 1977. Hal ini dapat terjadi karena dalam pornografi selalu ada erotisme, tetapi tidak semua erotisme itu pornografi. Oleh karena itu dalam
membicarakan erotisme dan pornografi terpaksa melihat sebagai suatu continuum yang bergeser dari satu ujung erotisme ke ujung yang lain pornografi.
Jelaslah erotisme lebih mengarah pada penggambaran perilaku,
keadaan atau suasana yang didasari oleh libido dalam arti keinginan seksual. Sedangkan makna pornografi lebih cenderung pada tindak seksual yang
ditonjolkan untuk membangkitkan nafsu birahi.
2.2.9.2 Sekilas Wacana Rubrik Konsultasi Seks dan Kejiwaan