Metode Penulisan Pengertian Perjanjian

positip yaitu yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Undang- Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Permenkes nomor 585MenkesPerIX1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419MenkesPerX2005, serta Kode Etik Rumah Sakit Indonesia KODERSI.

F. Metode Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini ada dua cara atau metode pengumpulan data yang berkaitan dengan materi pokok skripsi ini, metode pengumpulan data yang dimaksud adalah : 1. Penelitian Kepustakaan Library Research Yaitu penelitian dengan pengumpulan data metode yuridis normatif guna menelaah bahan-bahan literatur ataupun tulisan ilmiah, Undang-Undang yang berkaitan dengan judul skripsi ini, baik yang diperoleh dengan perkuliahan maupun diluar perkuliahan. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi : a. Bahan hukum primer, dapat berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Kesehatan. Universitas Sumatera Utara b. Bahan hukum sekunder, dapat berupa karya-karya ilmiah berupa pendapat para ahli, baik dalam bentuk buku, makalah, artikel, karya-karya ilmiah lain atau tulisan dalam internet. c. Bahan hukum tertier, terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus bahasa maupun kamus hukum. 2. Penelitian Lapangan Field Research Yaitu penelitian secara langsung ke lapangan untuk mendapatkan data primer dan dengan teknik mewawancarai pihak-pihak yang dianggap diperlukan untuk diwawancarai pada Rumah Sakit Dr. Pringadi Medan.

G. Sistematika Penulisan

Seluruh uraian yang ada dalam penyusunan skripsi ini, dikemukakan secara sistematis yang terdiri atas beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub dengan tujuan untuk memudahkan pembaca memahami isi skripsi ini.

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II. TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

Dalam bab ini diuraikan tentang, pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, subjek dan objek perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian, jenis-jenis Universitas Sumatera Utara perjanjian, wanprestasi dan akibat-akibatnya, pembelaan terhadap debitur yang dituduh lalai, berakhirnya perjanjian.

BAB III. TINJAUAN UMUM TERHADAP KONTRAK TERAPEUTIK

Dalam bab ini diuraikan tentang, pengertian transaksi terapeutik, dasar hukum transaksi terapeutik, tujuan transaksi terapeutik, hubungan hukum antara dokter dan pasien, hak dan kewajiban antara dokter dan pasien, asas hukum dalam pelayanan medis, akibat hukum para pihak dalam kontrak terapeutik.

BAB IV. BENTUK DAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT DALAM TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM

Dr. PRINGADI Dalam bab ini diuraikan tentang, latar belakang dan pengertian informed consent, teori-teori dan bentuk informed consent, unsur-unsur yang mendasari hak atas informasi, bentuk dan pelaksanaanya di Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi, peranan asas konsensualitas dan keterbukaan dalam perjanjian informed consent berkaitan dengan tindakan medis, aspek hukum perdata dan tanggung jawab pelaksanaan informed consent.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai bab penutup yang merupakan rangkaian inti dari seluruh isi bab- bab yang ada ditambah dengan beberapa kesimpulan dan saran dari penulis. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Hukum Perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa belanda, yaitu istilah Verbintenis dan Overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam pasal 1313 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam menerjemahkan istilah Verbintenis dan Overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga menimbulkan perbedaan dan beragam pendapat dari para sarjana hukum. 12 Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah: a. R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 13 12 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal. 3. 13 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 1. Universitas Sumatera Utara b. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. 14 c. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 15 Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut “debitur” atau si berutang. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa : 14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6. 15 RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 97. Universitas Sumatera Utara 1. Menyerahkan suatu barang, 2. Melakukan suatu perbuatan, 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. Pengertian perjanjian terdapat batasannya diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan- kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci : 16 1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas Nampak adanya konsensus kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan. 16 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78. Universitas Sumatera Utara Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan : 1. melaksanakan tugas tanpa kuasa. 2. perbuatan melawan hukum. Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedang yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal. 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka Universitas Sumatera Utara didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela zaakwaarneming dan perbuatan melawan hukum onrechtmatigedaad. Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi : 17 1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. 2. Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah “Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu : 18 1. Essentialia. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah merupakan syarat sahnya perjanjian. 2. Naturalia. 17 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, 1999, hal. 49. 18 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 98. Universitas Sumatera Utara Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. 3. Accidentalia. Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.

B. Asas-Asas Perjanjian Asas-asas hukum bukanlah suatu peraturan yang konkret, melainkan