Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan. 3. Barang-barang tersebut sudah ada atau akan ada dikemudian hari. Mengenai obyek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya suatu perikatan, yaitu : 22 a. Obyeknya harus tertentu. Syarat ini hanya diperlukan bagi perikatan yang timbul dari perjanjian. b. Obyeknya harus diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Hal ini dikarenakan suatu hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya perikatan berada dalam lapangan hukum harta kekayaan. d. Obyeknya harus mungkin. Orang tidak dapat mengikatkan diri kalau obyek tidak mungkin diberikan.

D. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian akan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 22 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 4. Universitas Sumatera Utara 3. Suatu pokok persoalan tertentu 4. Suatu sebab yang halal tidak terlarang Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya. Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua Universitas Sumatera Utara belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya. Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan : 1. Orang yang belum dewasa 2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang 4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Namun dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan dalam Pasal 1330 ayat 3 KUH Perdata menjadi Universitas Sumatera Utara tidak berarti lagi. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 31 angka 2 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa masingmasing pihak suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian wanita yang bersuami dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak perlu lagi memerlukan bantuan atau izin dari suami. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ditentukan bahwa ketentuan Pasal 1330 angka 3 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami sudah tidak berlaku lagi. Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah: a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya. b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut. c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka. d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka. Universitas Sumatera Utara e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang- undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah- olah perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar. Ad. 3. Suatu Pokok Persoalan tertentu Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian, yaitu bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yang merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yaitu objek perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”, sehingga dalam suatu objek perjanjian itu harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan jenisnya dengan jelas. Maksudnya adalah apabila perjanjian itu objeknya mengenai suatu barang, maka minimal harus disebutkan nama barang tersebut atau jenis barang tersebut. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dapat dijadikan pokok perjanjian hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan, dan barang- barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat dijadikan pokok perjanjian. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan ini berguna untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, terutama jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila suatu perjanjian tidak Universitas Sumatera Utara dapat dilaksanakan karena prestasinya tidak jelas, maka dianggap tidak ada objek perjanjiannya. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini adalah perjanjian itu dapat batal demi hukum. Ad. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat 1 yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1337 KUH Perdata apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum. 23 Keempat syarat tersebut dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : 23 J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal. 306. Universitas Sumatera Utara 1. Syarat subjektif yang meliputi syarat pertama dan kedua, artinya syarat yang harus dipenuhi oleh subjek atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. 2. Syarat objektif yang meliputi syarat ketiga dan keempat, yaitu syarat yang harus terpenuhi oleh objek perjanjian. Pembedaan keempat syarat tersebut menjadi syarat subjektif dan objektif sangat penting artinya untuk melihat akibat yang timbul bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan vernietigbaar. Jadi perjanjian yang diadakan tetap berlaku, selama belum diadakan pembatalan. Permintaan pembatalan perjanjian dapat dilakukan oleh pihak yang tidak cakap menurut hukum baik oleh orang tua maupun walinya ataupun orang itu sendiri apabila ia telah menjadi cakap dan oleh pihak yang memberi izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum van rechtswege nietig. Hal ini berarti sejak semula secara yuridis, perjanjian itu tidak pernah ada dan tidak pernah ada perikatan antara para pihak dalam perjanjian itu.

E. Jenis-Jenis Perjanjian