Latar Belakang Asas Konsensualitas dan Keterbukaan Dalam Perjanjian Informed Consent Sebagai Bagian dari Pertanggung Jawaban Pelayanan Medis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk selalu berhubungan dengan sesamanya semenjak ia dilahirkan. Hubungan ini juga merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena itu dengan berhubungan dengan sesamanya maka ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Selain itu berhubungan dengan sesamanya, juga menunjukan bahwa selain itu manusia itu merupakan makhluk sosial di samping kedudukannya sebagai mahkluk individu. Segala keterbatasan, kekurangan serta kelemahan yang ada pada manusia juga menghendaki ia untuk selalu berhubungan dengan orang lain. Keadaan sakit merupakan contoh bahwa manusia penderita dalam keadaan lemah, kekurangan sehat sehingga pada saat itu ia membutuhkan seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang utama bagi orang itu adalah kebutuhan akan adanya orang lain yang dapat membantu menyembuhkan penyakitnya. Orang yang dimaksud itu ialah sang pengobat dokter. Berdasarkan hak dari setiap orang untuk mendapatkan hak diobati penyakitnya, maka timbullah kewajiban bagi mereka yang berprofesi sebagai dokter untuk melayani pasiennya dengan sebaik-baiknya. 4 4 Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktek Dokter , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Secara sosiologis, suatu hubungan antara manusia yang sempurna itu selalu ditandai dengan adanya suatu kegiatan yang saling mengisi, saling tergantung secara fungsional antara pihak yang saling berhubungan. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter kepada pasien akan menimbulkan suatu hubungan antara dokter dan pasien. Dimana para pasien yang merasa membutuhkan jasa pelayanan kesehatan dari seorang dokter, akan mendatangi dokter tersebut dengan memiliki kepercayaan bahwa dokter adalah seorang professional medis yang telah terikat sumpah untuk melakukan tugas- tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam bidang kesehatan sesuai dengan standart profesi dokter. Pasien pada umumnya melakukan konsultasi terlebih dahulu mengenai keadaan kesehatannya dan selanjutnya dokter akan melakukan diagnosa dan langkah-langkah untuk menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hal ini dapat terjadi bila para pihak itu mempunyai kedudukan yang relatif sama atau sederajat. Sedangkan bila kita lihat hubungan antara dokter dengan pasiennya maka ketentuan saling mengisi, saling tergantung tidaklah terpenuhi. Hal ini karena kedudukan dokter dengan pasiennya tidaklah sama, terlebih lagi bila hubungan dokter-pasien dilihat dari pola paternalistik. Pada pola paternalistik maka hubungan dokter dengan pasien bersifat Vertikal, dimana dokter berada diatas sementara pasien berada dibawah. 5 Mengingat perbedaan posisi, kedudukan serta peranan antara dokter dan pasien, maka umumnya hanya akan terlihat adanya “superioritas” dokter terhadap pasien. Kegiatan hanya ada pada pihak dokter, sedangkan pasien pada umunya 5 Husein Kerbala, Segi-Segi Etis dan Yurisdis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 18. Universitas Sumatera Utara hanya pasif atau tidak menjalankan suatu fungsi. Hubungan yang tidak seimbang ini dengan sendirinya menempatkan posisi pasien dibawah dokter sebagai pengobatnya. Selain itu dokter juga dianggap lebih mengetahui tentang segala sesuatu yang menyangkut diri pasiennya daripada pasien itu sendiri. Partisipasi dari pasien pun yang diperbolehkan hanyalah patuh secara mutlak pada dokter, tanpa mengetahui apa obatnya dan bagaimana pengobatan yang sedang diusahakan dokter, tanpa mengetahui apa obatnya dan bagaimana pengobatan yang sedang diusahakan oleh dokter. Bahkan cidera maupun kematian sekalipun yang terjadi pada pasien setelah usaha dan pertolongan yang dilakukan oleh dokter, akan diterima dengan kepasrahan dan selalu dianggap sebagai keadaan yang merupakan kelanjutan dari penyakitnya. Hubungan dokter dengan pasiennya yang demikian benar-benar bersifat Paternalistik. Pola paternalistik ini untuk masa sekarang yang kesadaran hukum pasien akan hak-haknya semakin meningkat, serta tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin tinggi sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sekarang, karena pola ini menempatkan pasien sebagai obyek dari pekerjaan dokter. Namun demikian pola paternalistik itu masih banyak dianut oleh sebagian dokter. Sebagai perkembangan terhadap pola hubungan dokter dan pasien maka pola paternalistik yang dirasa sudah tidak lagi sesuai, kini mulai digeser kedudukannya oleh pandangan atau pola yang konsumerisme. Berlawanan dengan pola paternalistik maka pada pola konsumerisme ini menempatkan posisi pasien pada “the patient knows best” yaitu pasien lebih Universitas Sumatera Utara mengetahui apa yang terbaik buat dirinya dari pada orang lain termasuk dokter, seharusnya pasien dipandang sebagai subyek yang memiliki ”pengaruh besar” atas hasil akhir layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kebutuhan pasien menjadi salah satu barometer mutu pelayanan, sebaliknya ketidakpuasan pasien akan melahirkan suatu tuntutan hukum. Sebagai konsumen dari jasa yang diberikan oleh seseorang, pasien tentunya memiliki harapan-harapan terhadap pemberi pelayanan kesehatan tersebut, yang terdiri dari reliability kehandalan, responsiveness daya tanggap, assurance jaminan, dan emphaty empati. 6 Sehingga menurut pola ini pasien berhak mengetahui segala macam tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya dan untuk apa tindakan itu dilakukan. Pasien juga berhak untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter setelah pasien itu memperoleh informasi yang cukup mengenai penyakitnya. Informasi dari dokter dalam hukum kedokteran merupakan hak pasien serta kewajiban dokter, baik diminta atau tidak diminta oleh pasien maka dokter wajib menyampaikan informasi tersebut kepada pasien. Hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tersebut oleh pasien maupun keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis apa yang akan dilakukan terhadap pasien dikenal dengan hak pasien atas informed consent. 6 Ibid, hal. 19. Universitas Sumatera Utara Informed consent ini sangat erat kaitannya dengan tindakan medis yang artinya adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Sehingga hubungan antara informed consent dan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter dapat dikatakan bahwa informed consent merupakan komponen utama yang mendukung adanya tindakan medis tersebut. Karena persetujuan yang diberikan secara sukarela yang diberikan oleh pasien dengan menandatangani informed consent adalah merupakan salah satu syarat subjektif untuk terjadinya sahnya suatu perjanjian yaitu “sepakat untuk mengikatkan diri”. Dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian untuk melakukan tindakan medis antara dokter dengan pasien. Informed consent yang diterjemahkan dengan Persetujuan Tindakan Medik diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989. Bersama dengan standar profesi medis SPM, persetujuan tindakan medis PTM merupakan unsur pokok dari tanggung jawab professional kedokteran. Informed consent merupakan salah satu bagian penting dalam suatu kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, maka masalah informed consent mempunyai banyak korelasihubungan dengan masalah-masalah malpraktek medis medical malpractice baik dari segi hukum dan etika. 7 Tujuan dari informed consent ini sendiri adalah : 1. Bagi pasien adalah untuk menentukan sikap atas tindakan medis yang mengandung resiko atau akibat yang bakal tidak menyenangkan pasien. 7 J. Guwandi, Persetujuan Tindakan Medik Informed Consent , Jakarta, 1995, hal. 2. Universitas Sumatera Utara 2. Bagi dokter adalah sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi pengesahan atas tindakan medis yang akan dilakukan. Yang berakibat terciptanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis pasien kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis dokter untuk melakukan tindakan medis dapat menjadi tiga bentuk, yaitu : 8 1. Persetujuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585Men.KesPerIX1989 pasal 3 ayat 1 dan SK PB-IDI No. 319PBA.488 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya telah terjadi informed consent. 2. Persetujuan lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien. 3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. 8 “Mengenal Informed Consent”, http: irwandykapalawi.wordpress.com 20071101mengen al-informed-consent. 3 Maret 201119:40 . Universitas Sumatera Utara Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan PerMenKes no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut pasal 1 ayat a. Adapun yang menjadi dasar hukum terjadinya informed consent yaitu : 9 • Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 4 ayat 1, informasi diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta. • Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 2 ayat 2, semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. • Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 13, apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin prakteknya. Pada masa sekarang, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Mereka sering kali secara kritis bertanya tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya. Tidak jarang mereka mencari second opinion pendapat kedua. Hal tersebut merupakan hak yang layak harus dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan. Memang harus diakui bahwa hak-hak dari pasien sebagai konsumen dari jasa pelayanan kesehatan masih sering kali dikalahkan oleh kekuasaan 9 “Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai Imunisasi”, http:groups.yahoo.comgroupBayi- Kitamessage17256 3 Maret 201119:30 . Universitas Sumatera Utara pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri, dan pengetahuan pasien mengenai kesehatan tersebut sangat terbatas. Dampak dari hal tersebut sangatlah dirasakan oleh pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan, dan tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pasien baik kerugian moral ataupun material. Sebagai akibat dari interaksi antara pasien sebagai konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan, akan timbul suatu hubungan hukum antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan, yang akan melahirkan suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu, seringkali muncul suatu sengketa yang disebabkan salah satu pihak merasa dirugikan, dalam prakteknya seringkali pasien yang merasa dirugikan. Sekalipun didalam hubungan antara dokter dan pasien tujuan utamanya adalah kepentingan pasien yang berupa pengobatan penyakit dan perawatan kesehatan, namun karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka hukum melindungi baik kepentingan dokter maupun kepentingan pasien. Dalam rangka menghindarkan timbulnya hal-hal yang dapat merugikan pasien dalam pelayanan kesehatan seperti diatas, maka timbul tuntutan terhadap ketentuan-ketentuan hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingan pasien. Dalam hal ini perlu diintegrasikan elemen-elemen hukum yang memberi arah untuk tindakan profesi atau praktek kedokteran dari dokter kepada pasien. Universitas Sumatera Utara Kebutuhan akan hukum untuk mengatur hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan mulai terbukti dengan munculnya beberapa permasalahan hukum dalam hubungan antara dokter dan pasien, yaitu dengan adanya kasus-kasus dalam profesi atau praktek kedokteran. Di pihak lain, hukum yang berlaku sekarang dalam kerangka hubungan antara dokter dan pasien masih tersebar dalam rangka beberapa peraturan perundang-undangan dan masih terlalu umum serta belum dapat menjangkau secara menyeluruh masalah-masalah dalam hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya merupakan hubungan kontrak. Bila ditinjau dari ketentuan hukum perdata maka terdapat persamaan dengan perjanjian, dimana hubungan antara dokter dan pasien akan menghasilkan suatu perjanjian yang disebut sebagai “kontrak terapeutik atau transaksi terapeutik”. Di dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu : 10 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Transaksi Terapeutik merupakan perjanjian Kontrak sebagaimana dimaksudkan dalam pasal diatas. Sedangkan informed consent merupakan kesepakatan yang menjadi syarat terjadinya suatu transaksi terapeutik. Sebab 10 Pasal 1320 KUH Perdata. Universitas Sumatera Utara sahnya suatu kontrak diperlukan adanya ketiga syarat lainnya yang tercantum di dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut. 11 Jika ditinjau dari segi hukum medik hubungan antara dokter dan pasien yang dimasukkan dalam suatu kontrak dimana pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan sedangkan yang kedua menerima pemberian pelayanan. Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai dua unsur : 1. Adanya suatu persetujuan consensual, agreement, atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan. 2. Adanya suatu kepercayaan fiduciary relationship, karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain. Dalam ilmu hukum, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi persyaratan, maka dikatakan bahwa perjanjian itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum, artinya tidak ada ikatan hukum apapun bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Secara ringkas dapat dikatakan kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum apabila yang diperjanjikan adalah hal yang melanggar hukum. Sebagai konsekuensi dari perjanjian tadi, timbullah kewajiban pada masing-masing pihak dengan satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi sedangkan pihak lain memenuhi kewajiban kontraprestasi. Dalam konteks ini, dokter wajib memberikan prestasi, sedangkan pasien wajib memenuhi kontraprestasi tadi. Prestasi yang dimaksud dapat berupa penyerahan sesuatu, 11 Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 87. Universitas Sumatera Utara melakukan sesuatu perbuatan atau pun tidak melakukan suatu perbuatan dan dalam kontrak terapeutik prestasi tersebut adalah upaya penyembuhan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dan pada bagian sebelumnya, penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji dan memahami yang berkenaan dengan asas-asas dan aspek hukum dalam pelaksanaan informed consent untuk dijadikan suatu skripsi dengan judul : “Asas Konsensualitas dan Keterbukaan Dalam Perjanjian Informed Consent Sebagai Bagian dari Pertanggung Jawaban Pelayanan Medis

B. Perumusan Masalah