berasal dari suku Batak, dimana subjek yang pesimis ada 13 orang 65, sedangkan subjek yang optimis hanya 6 orang 30.
B. PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari setiap dimensinya, terlihat bahwa sebanyak 48.39 subjek penelitian termasuk dalam
kategori stabil dan sebanyak 50 subjek termasuk dalam kategori tidak stabil untuk dimensi permanence. Stabilitas dari faktor penyebab kejadian buruk yang
dialami berkaitan dengan durasi keberlangsungan simtom helplessness yang dirasakan Gillham Seligman, 2001. Hal ini mengindikasikan bahwa
kebanyakan subjek merasakan simtom-simtom helplessness yang tidak akan berlangsung lama. Mereka percaya bahwa segala kesulitan yang mereka alami
akibat penyakit kanker akan berakhir dan tidak bersifat stabil. Hasil penelitian mengenai explanatory style yang ditinjau dari dimensi
pervasiveness menunjukkan bahwa sebanyak 56.45 subjek penelitian termasuk dalam kategori global sedangkan sebanyak 43.55 subjek termasuk dalam
kategori spesifik. Pervasiveness dalam explanatory style dihubungkan dengan generalisasi helplessness terhadap berbagai situasi Gillham Seligman, 2001.
Hal ini memperlihatkan bahwa penderita kanker dalam penelitian ini cenderung menggeneralisasikan perasaan helpless mereka dalam segala aspek kehidupan
mereka, seperti dalam hal pernikahan, pekerjaan, dan lain-lain. Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari dimensi
personalization menunjukkan bahwa sebanyak 48.39 subjek penelitian termasuk
Universitas Sumatera Utara
dalam kategori internal dan sebanyak 46.77 subjek termasuk dalam kategori eksternal. Personalization pada explanatory style berkaitan dengan terjadinya
defisit atau penurunan harga diri Gillham Seligman, 2001. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penderita kanker dalam penelitian ini
cenderung mengalami penurunan harga diri. Mereka cenderung menyimpulkan bahwa penyebab utama dari penyakit yang mereka derita adalah berasal dari diri
sendiri. Hasil utama penelitian explanatory style pada penderita kanker ini
menunjukkan bahwa sebanyak 54.84 subjek penelitian memiliki explanatory style yang pesimis dalam menghadapi penyakit kanker. Kebanyakan orang
percaya bahwa penyakit kanker merupakan jenis penyakit yang hopeless. Hal ini membuat orang cenderung membuat overestimasi terhadap kematian dalam waktu
dekat, serta membuat underestimasi terhadap kemampuan dokter untuk menyembuhkan penyakit mereka Peters-Golden, dalam Taylor, 2000.
Kepercayaan seperti ini masih diyakini oleh kebanyakan reponden penelitian, sehingga membuat mereka menjadi cenderung lebih pesimis ketika harus
menghadapi penyakit kanker. Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari jenis penyakit
kanker yang diderita menunjukkan bahwa tingkat perasaan pesimis tertinggi dialami oleh penderita kanker pada sistem reproduksi. Untuk jenis kanker pada
sistem reproduksi, sebanyak 62.5 subjek merasa pesimis, sedangkan hanya 37.5 subjek merasa optimis menghadapi penyakit mereka. Hal ini sejalan
dengan pernyataan bahwa prevalensi depresi yang lebih tinggi akan dirasakan
Universitas Sumatera Utara
oleh pasien yang menderita kanker pankreas, oropharyngeal, payudara, dan paru- paru Holland Evcimen, 2009. Untuk jenis penyakit kanker yang menyerang
sistem reproduksi akan memberikan kekhawatiran tersendiri bagi penderitanya. Hal ini disebabkan karena segala kesulitan yang dirasakan akibat penyakit itu
sendiri maupun proses treatment-nya akan mengubah figur tubuh mereka serta mengganggu kemampuan fisik mereka untuk berfungsi secara seksual Moyer,
dalam Sarafino, 2006. Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari stadium kanker
menunjukkan bahwa persentase terbesar subjek yang pesimis terlihat pada subjek yang menderita kanker pada stadium dua. Ada sebanyak 60.87 subjek merasa
pesimis sedangkan hanya 39.13 subjek yang tetap optimis dalam menghadapi penyakit mereka. Sebaliknya, pada subjek yang menderita kanker pada stadium
empat, persentase terbesar adalah ditunjukkan oleh subjek yang optimis. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Delahanty dan Baum bahwa penyakit kanker
pada tahap perkembangan yang semakin parah akan memberikan pengaruh lebih besar daripada penyakit kanker tahap awal dalam Sarafino, 2006. Meskipun
harus menghadapi penyakit kanker pada stadium empat, hal itu malah membuat subjek penelitian ini menjadi semakin optimis. Hal ini mungkin berkaitan dengan
proses penyesuaian diri yang lebih baik dari pihak pasien maupun keluarga pasien. Asumsi ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Sarafino
2006, yang mengemukakan bahwa masalah kesehatan yang kronis biasanya akan memaksa pasien dan keluarga pasien untuk membuat penyesuaian dalam hal
Universitas Sumatera Utara
perilaku, sosial, dan emosional. Mempelajari suatu penyakit kronis serius akan mengubah cara mereka memandang diri dan kehidupan mereka.
Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari jangka waktu penerimaan diagnosa kanker memperlihatkan bahwa subjek yang memiliki usia
diagnosa kanker antara 0 bulan sampai dengan 12 bulan kebanyakan merasa pesimis. Sebanyak 60.87 subjek penelitian merasa pesimis dengan penyakitnya
sedangkan hanya sebanyak 34.78 subjek merasa optimis. Selain itu, dapat dilihat bahwa pada usia diagnosa kanker di atas 24 bulan, jumlah subjek yang
pesimis semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kubles-Ross dalam Papalia, Olds, Feldman, 2007, ketika seseorang
dihadapkan pada kondisi yang membawanya merasa dekat dengan kematian, maka reaksi pertama yang ditunjukkan adalah denial, dimana individu
menyangkal kondisi yang dialaminya tersebut. Setelah denial, akan muncul anger dimana individu marah atas kondisinya. Selanjutnya bargaining, dimana terlihat
adanya proses tawar-menawar berkaitan dengan kondisi yang dialaminya. Dan yang terakhir adalah acceptance, dimana individu kemudian bisa menerimanya.
Hasil penelitian mengenai explanatory style ditinjau dari jenis kelamin subjek menunjukkan bahwa kebanyakan laki-laki memiliki explanatory style yang
pesimis dalam menghadapi penyakit kanker. Ada sebanyak 58.82 subjek berjenis kelamin laki-laki merasa pesimis dengan penyakitnya, sedangkan hanya
41.18 dari subjek berjenis kelamin perempuan yang merasa pesimis menghadapi penyakit kanker. Orang yang optimis akan cenderung menggunakan problem-
focus coping saat menghadapi situasi yang stressful Carver Scheier, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Dari studi yang dilakukan dikemukakan bahwa laki-laki lebih cenderung menggunakan problem focus strategies dan wanita cenderung menggunakan
emotion focused strategies dalam menghadapi stress Sarafino, 2006. Pada penderita kanker dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa ternyata optimisme
lebih ditunjukkan oleh wanita dibandingkan pria. Hal ini disebabkan kualitas dukungan sosial yang diperoleh wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria.
Meskipun pria cenderung memiliki jaringan sosial yang luas, namun wanita terlihat mampu memanfaatkan dukungan sosial yang dimiliki dengan lebih efektif
Sarafino, 2006. Dilihat berdasarkan usia subjek penelitian, subjek yang termasuk dalam
kategori usia dewasa madya lebih pesimis dalam menghadapi penyakit kanker. Pada kebanyakan orang, usia dewasa madya memiliki beban tanggung jawab yang
berat dan berlipat ganda dengan tuntutan berbagai peran, seperti mengurus rumah tangga dan perusahaan, membesarkan anak, dan bahkan merawat orang tua atau
memulai karir baru Papalia, Olds, Feldman, 2007. Peran yang menuntut tanggung jawab besar tersebut membuat orang-orang yang termasuk dalam
kategori usia dewasa madya lebih pesimis ketika harus menerima diagnosa penyakit kanker. Hal ini dikarenakan penyakit kanker yang diderita dirasakan
seperti beban yang menghambat segala aktivitas dalam keseharian mereka. Melihat pada tingkat pendidikan dan jumlah penghasilan subjek dapat
disimpulkan bahwa subjek pada setiap tingkat pendidikan dan penghasilan terlihat lebih pesimis dalam menghadapi penyakit kanker. Billings dan Moos
mengemukakan bahwa orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan
Universitas Sumatera Utara
yang lebih tinggi cenderung menggunakan problem focused coping dalam menghadapi stres. Pengalaman sosial pada orang yang yang berpendidikan dan
berpenghasilan rendah mengarahkan mereka untuk percaya bahwa mereka memiliki kontrol yang sedikit terhadap semua kejadian yang mereka alami
Sarafino, 2006. Melihat pada data yang diperoleh dari penelitian ini ditemukan bahwa tidak hanya subjek yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah yang
akan menghadapi penyakit kanker secara pesimis, melainkan hal serupa juga ditemukan pada subjek yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hal ini
mungkin berkaitan dengan dukungan sosial yang merupakan suatu proses dinamis, dimana apakah seorang individu akan menerima atau memberikan
dukungan sosial tidak lain akan dipengaruhi oleh faktor di dalam dirinya, seperti temperamen dan ketertarikan individu untuk berafiliasi Wortman Dunkel-
Schetter, dalam Sarafino, 2006. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wortman Dunkel-Schetter ditemukan bahwa ketika seseorang mengalami stress tingkat
tinggi, seperti ketika kesehatannya menurun, maka sumber-sumber dukungan sosial yang dimiliki juga akan menurun pada waktu itu juga dalam Sarafino,
2006. Hasil penelitian mengenai explanatory style yang ditinjau dari jenis
pekerjaan menunjukkan bahwa subjek yang berprofesi sebagai guru terlihat lebih optimis dalam menghadapi penyakit kanker. Dari total 5 orang subjek yang
berprofesi sebagai guru, 4 diantaranya menunjukkan explanatory style yang optimis. Hal ini berkaitan erat dengan peran guru dalam masyarakat, khususnya di
bidang pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
Universitas Sumatera Utara
dan Dosen, dijelaskan bahwa guru didefinisikan sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Selain itu, dalam Basic Principles of Student Teaching, Adams Decey mengemukakan bahwa guru adalah sebagai
pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator, dan konselor Kurniawan, 2011.
Hasil penelitian mengenai explanatory style yang ditinjau dari status pernikahan menunjukkan bahwa subjek yang menikah terlihat lebih pesimis dalam
menghadapi penyakit kanker. Suatu proses pernikahan akan menyebabkan perubahan besar dalam hal fungsi seksual, pola kehidupan, hak dan tanggung
jawab, kedekatan dengan orang lain, serta kesetiaan. Di samping tugas-tugas tersebut, seseorang yang telah menikah harus mendefinisi ulang hubungannya
dengan keluarga, menyeimbangkan antara intimacy dengan autonomy, serta membangun suatu hubungan seksual yang utuh Papalia, Olds, Feldman, 2007.
Tingginya sikap pesimis yang dirasakan oleh subjek yang menikah mungkin disebabkan adanya peran baru yang menuntut tanggung jawab yang lebih besar.
Peran tersebut dapat menimbulkan kecemasan tersendiri ketika subjek harus menghadapi penyakit kanker yang dapat mengganggu kehidupannya.
Hasil penelitian mengenai explanatory style yang ditinjau dari keyakinan agama yang dianut menunjukkan bahwa subjek penelitian yang menganut agama
Islam atau Kristen Katolik terlihat lebih optimis dalam menghadapi penyakit kanker. Hal ini sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai utama yang ditekankan
pada masing-masing agama. Sebagai contoh, salah satu nilai-nilai yang diajarkan
Universitas Sumatera Utara
dalam agama Islam, antara lain dalam ayat QS.31, Luqman: 34 dan QS.17, Isra’: 85. Ayat ini bermakna bahwa manusia tidak tahu dengan pasti apa yang akan
terjadi, dan apa yang akan dialami besok, atau apa yang akan diperolehnya sebentar lagi. Ketidaktahuan manusia ini menjadikan manusia aktif dan selalu
berupaya untuk melindungi diri, sebagai satu kewajiban hakiki, yakni berusaha dan berharap. Selain itu, ada pula nilai-nilai penting yang ditulis dalam ayat QS.3,
Ali Imran: 185. Ayat ini bermakna tidaklah seorang manusia mengetahui kapan kematiannya datang menjelang. Konsekuensi dari ketidaktahuan ini, manusia
diperintah untuk bersiap diri setiap waktu. Kehidupan dunia seakan sebuah pentas permainan, jika sudah selesai, panggungnya akan bubar dan ditinggalkan dalam
Abidin, 2009. Nilai-nilai yang ditekankan dalam agama Islam tersebut membuat subjek yang beragama Islam dapat lebih optimis ketika harus menghadapi
penyakit kanker. Hasil penelitian mengenai explanatory style yang ditinjau dari perbedaan
suku bangsa menunjukkan bahwa subjek suku Jawa terlihat lebih optimis dalam menghadapi penyakit kanker. Hal ini dapat dilihat dari persentase subjek optimis
yang lebih besar dari subjek pesimis. Sebaliknya, subjek suku Batak terlihat lebih pesimis dalam menghadapi penyakit kanker. Keoptimisan yang ditunjukkan oleh
subjek suku Jawa berkaitan dengan sikap penghayatan relijius orang Jawa yang pasrah kepada Tuhan, tetapi istilah pasrah bukan berarti sikap nrimo yang negatif.
Orang Jawa berkeyakinan bahwa kesejahteraan yang sejati dapat dicapai dalam kehidupan yang abadi sesudah kematian Tempo, 1982. Keyakinan seperti itu
Universitas Sumatera Utara
membuat subjek suku Jawa tidak takut menghadapi kematian sehingga mereka terlihat lebih optimis bahkan saat harus menghadapi penyakit kanker.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian. Adapun saran-saran
yang dikembangkan dalam bab ini berupa saran praktis dan saran metodologis yang mungkin berguna untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang serupa.
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada penderita kanker, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Ditinjau dari dimensi permanence, penderita kanker dalam penelitian ini lebih
banyak berada pada kategori tidak stabil. Kebanyakan dari mereka merasakan simtom-simtom helplessness yang tidak berlangsung lama. Mereka percaya
bahwa segala kesulitan akibat penyakit kanker bersifat tidak stabil dan akan berakhir.
2. Ditinjau dari dimensi pervasiveness, penderita kanker dalam penelitian ini
lebih banyak berada pada kategori global. Kebanyakan dari mereka akan menggeneralisasikan perasaan helpless akibat penyakit kanker pada segala
aspek kehidupan, seperti pernikahan, pekerjaan, dan sebagainya. 3.
Ditinjau dari dimensi personalization, penderita kanker dalam penelitian ini lebih banyak berada pada kategori internal. Kebanyakan dari mereka
mengalami penurunan harga diri dan cenderung percaya bahwa kelalaian dan
Universitas Sumatera Utara