Orhan 2007 keberadaan senyawa fenol dan asam askorbat pada buah murbei bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan buah ini. Total fenol, total
flavonoid dan total asam askorbat buah murbei berturut-turut adalah 181 mg100 gram, 29 mg100 gram dan 100-300 mg100 gram buah kering.
Selama ini buah murbei belum banyak dimanfaatkan di Indonesia kecuali hanya pada tataran konsumsi langsung dan itu pun tidak dikonsumsi setiap hari.
Jika mengacu pada berbagai macam khasiat buah murbei maka buah ini sebenarnya layak untuk dikembangkan sebagai bahan baku pangan fungsional, obat herbal
ataupun pengembangan lainnya. Tetapi sebelum dikembangkan tentu harus diketahui apakah ada efek negatif dari konsumsi buah murbei apalagi jika konsumsi
tersebut dilakukan setiap hari. Salah satu uji yang dapat dilakukan untuk melihat apakah ada efek negatif konsumsi buah murbei adalah melalui uji toksikologi baik
secara akut dosis tunggal maupun sub kronis dosis berulang dalam jangka waktu tertentu. Toksik atau tidaknya buah murbei ini dapat diamati dari beberapa
parameter seperti pengamatan fisik, berubahan tingkah laku tikus percobaan, ada tidaknya kematian tikus akibat permberian ekstrak air buah murbei; komposisi
serum; dan ada tidaknya gejala kerusakan hati serta ginjal.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari tosisitas akut dan sub kronis ekstrak air buah murbei Morus alba L.
Tujuan khusus 1.
Mengetahui toksisitas akut ekstrak air buah murbei dosis 5 gkg bb terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku tikus Sprague Dawley.
2. Mengetahui toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1
gkg bb terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku, profil serum dan tingkat kerusakan hati serta ginjal tikus Sprague Dawley.
1.3. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ekstrak air buah murbei tidak toksik terhadap tikus Sprague Dawley pada dosis 5 gkg bb dengan metode akut, dan dosis
0,1 dan 1 gkg dengan metode sub kronis.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan suatu informasi ilmiah tentang konsumsi ekstrak air buah murbei terhadap toksisitas akut dan sub kronis pada tikus
Sprague Dawley. Selain itu juga dapat diketahui data tentang pengaruh konsumsi tersebut terhadap profil biokimia serum tikus dan juga profil histologi hati dan
ginjal tikus percobaan. Semua data tersebut bisa menjadi rujukan keamanan konsumsi buah murbei.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Murbei
Morus alba L. 2.1.1. Botani
Murbei Morus alba L. termasuk dalam famili moraceae yang berasal dari Cina. Tanaman murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas
permukaan laut dpl dan memerlukan cukup sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-daerah yang cukup basa seperti di lereng
gunung, tetapi pada tanah yang berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Murbei dikenal dengan nama berbeda-beda, seperti: besaran
Indonesia, murbai, besaran Jawa, kerta, kitau Sumatra, Sang ye China, may mon, dau tam Vietnam, morus leaf, morus bark, morus fruit, murbei fruit
Dalimartha 2000 Pohon murbei dapat tumbuh hingga 9 meter, percabangannya banyak,
cabang muda, berambut halus, daun tunggal, letak berselang dan bertangkai dengan panjang 1-4 cm. Helai daun berbentuk bulat telur sampai berbentuk jantung, ujung
runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, agak menonjol, permukaan atas dan bawah kasar, panjang 2,0-2,5 cm serta berwarna hijau. Bunga
majemuk berbentuk tandan, keluar dari ketiak daun, mahkota berbentuk tajuk dan berwarna putih. Dalam satu pohon terdapat bunga jantan, bunga betina dan bunga
sempurna yang terpisah, selain itu tanaman murbei dapat berbunga sepanjang tahun Dalimartha 2000.
Buah murbei banyak berupa buah buni, berair dan rasanya enak. Buah muda berwarna hijau setelah masak menjadi hitam Gambar 1. Buahnya kecil dan saling
berlekatan bergerombol, Bijinya kecil dengan ukuran 1-1,2 mm dan berwarna hitam.
Gambar 1. Buah Murbei www.ayesha.com
2.1.2. Komponen kimiawi
Komponen terbesar buah murbei adalah air 71,5 , lalu total padatan terlarut 20,4 , kadar keasaman kurang lebih 0,25 , pH sekitar 5,6, asam askorbat
sebesar 22,4 mg100 gram dan lemak total sebesar 1,10 . Komposisi asam lemak yang terdapat dalam buah ini adalah asam linoleat 54,2 dari lemak total 1,1
asam palmitat 19,8 dari lemak total 1,1 dan asam oleat 8,41 dari lemak total 1,1 Ercisli dan Orhan 2007 Tabel 1. Komposisi mineral yang ada pada
buah murbei utamanya adalah kalium sebesar 1141 mg100 gram buah, lalu fosfor 235 mg100 gram buah, kalsium 139 mg100 gram Ercisli dan Orhan 2007 Tabel
1. Tabel 1. Karakteristik kimiawi dan komposisi mineral buah murbei Ercisli dan
Orhan 2007 Karakteristik kimiawi
Jumlah Jenis mineral
Konsentrasi mg100 gr Berat sampel buah g
3,49 Fosfor 235
Total berat kering 29,5
Kalium 1141 Kadar air
71,5 Kalsium 139
pH 5,6
Magnesium 109 Total asam
0,25 Natrium 60
Total padatan terlarut 20,4
Besi 4,3 Total lemak
1,1 Tembaga 0,4
Asam lemak Mangan 4,0
C14:0 0,98
Seng 3,1 C 16:0
22,42 cis-C16:1
0,67 C18:0
4,27 cis-C18:1
10,49 cis-C18:2
57,26 cis-C18:3
cis-C19:1 0,062
cis-C18:1 C 22:0
0,26 Selain itu buah ini juga mengandung 181 mg total alkaloid 100 gram
sampel buah dan 29 mg total flavonoid 100 gram sampel buah. Jenis alkaloidnya adalah 1-deoksinojirimisin DNJ, N-metil-1-deoksinojirimisin, fagomin FAG,
kalistegin B
2
, 4-O-D-galaktopiranosil-kalistegin B
2
, 1,4-dideoksi-1,4-imino-
D-arabinitol D-ABA, 1,4-dideoksi-1,4-imino- 2-O-D-glukopiranosil -D-arabinitol, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3,6 ekso-
trihidroksinortropan, 2,3,4-trihidroksinortropan, 3,6 ekso-dihidroksinortropan, 3,6-dihidroksinortropan, 2-O-D-galaktopiranosil-1-deoksinojirimisin dan
6-O-D-glukopiranosil-1-deoksinojirimisin Kusano et al. 2002. Sedangkan jenis flavonoidnya adalah sianidin 3-O-6-O-x-rhamno
piranosil- -D-glukopiranosida, sianidin 3-O-6-O-x-rhamnopiranosil - -D-galakto piranosida, sianidin 3-O- -D-glukopiranosida, sianidin 3-O- -D-galakopiranosida
dan sianidin 7-O- -D-glukopiranosida Du et al. 2008. Sianidin 3 rutinosida, sianidin-3-monoglukosida dan isoquecertin Chen et al. 2006.
2.1.3. Fitofarmaka
Murbei merupakan salah satu tanaman yang dikenal memiliki khasiat dibidang medis baik dari buah, daun dan kulit akar. Buah murbei dalam pengobatan
tradisional China digunakan untuk menurunkan tekanan darah Bae dan Suh 2006. Selain itu ekstrak air buah murbei memiliki aktivitas antioksidan yang bekerja
dengan cara menangkap elektron radikal pada superoksida O
2
.
dan hidroksi radikal OH
.
. Ekstrak etanol buah murbei sejumlah 255 mg memiliki kemampuan untuk menghambat oksidasi asam linoleat sebesar 52,7–73,3 dan dapat
menangkap 60 dari DPPH Bae dan Suh 2006. Menurut Chen et al. 2006 senyawa bioaktif yang bertanggungjawab
terhadap aktivitas antioksidan buah murbei utamanya adalah sianidin 3-rutinosida, sianidin-3-monoglukosida, isoquesertin dan vitamin C. Sianidin 3-rutinosida dan
sianidin-3-monoglukosida termasuk ke dalam kelompok sianidin yang digolongkan dalam kelompok pewarna alami antosianin, aktivitas antioksidan kelompok ini
diduga berasal dari aglikonnya Bae dan Suh 2006. Sedangkan isoquecertin dimasukkan ke dalam kelompok quecertin, menurut Chopra et al. 2000 quecertin
merupakan salah satu jenis flavonoid penting yang dapat mencegah teroksidasinya LDL dalam darah.
Senyawa bioaktif sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida dari buah murbei selain berperan dalam aktivitas antioksidan, juga memiliki aktivitas
antikanker dengan cara menghambat migrasi dan invasi metastasis sel karsinoma
kanker paru-paru manusia pada kultur sel Chen et al. 2006. Buah murbei juga memiliki senyawa bioaktif sianidin 3-O- -D-Glukopiranosida Butt et al. 2008,
menurut Kang et al. 2006 senyawa tersebut dapat mengurangi kerusakan sel neuronal dan juga dapat melawan iskhemia serebral. Ekstrak buah morus alba juga
dilaporkan memiliki aktivitas antimutagenik terhadap genotoksikan seperti sinar X, N-metilnitrosourea, siplofosfamida dan NaF, ekstrak tersebut dapat menurunkan
frekuensi kromosom yang menyimpang Alekperov 2002. Chen et al. 2005 melaporkan bahwa 0,5 atau 1 ekstrak air dari buah
murbei yang ditambahkan dalam pakan kelinci dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol dan LDL kelinci tersebut dan juga dapat mengurangi terjadinya
ateroskleriosis dalam aorta sebesar 42-63. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ekstrak air buah murbei tidak hanya berperan dalam mencegah oksidasi
LDL tapi juga memiliki akivitas antihiperlipidemia. Selain itu menurut Syafutri 2008 ekstrak air buah murberi dapat meningkatkan konsentrasi HDL darah.
Ekstrak buah murbei juga mempengaruhi aktivitas sistim imun, menurut Lin dan Tan 2007 murbei memiliki aktivitas sebagai imunomudolator dan
aktivitas tersebut utamanya dipengaruhi oleh tingginya kadar polifenol yang mencapai 1515,9 mg100 gram bahan segar. Selain itu 10
μgml ekstrak buah ini diketahui dapat meningkatkan interleukin 2 yang menstimulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel T, sedangkan 500 μgml ekstrak buah murbei dapat meningkatkan
sekresi interferon sampai 106,6 pgml, interleukin-4 2,6 pgml dan interleukin-5 24,4 pgml Lin dan Tan 2008. Jus buah murbei juga dapat berperan sebagai
antiinflamasi dengan cara menghambat efek profilatik pada inflamasi yang diinduksi lipopolisakarida pada peritoneal makrofag melalui meningkatkan sekresi
sitokin antiinflamasi atau menurunkan sitokin yang dapat meningkatkan terjadinya inflamasi Lin dan Tan 2007.
Ekstrak air dari buah ini juga diketahui dapat menurunkan kandungan etanol darah setelah pemberian etanol secara oral. Efek tersebut diduga terjadi
karena ekstrak ini menghambat penurunan enzim alkohol dehidrogenase enzim ini bekerja bolak-balik yaitu mengubah etanol menjadi asetaldehida dan juga
sebaliknya dan mensuplai koenzim nikotinamida adenin dinukleotida koenzim untuk enzim dalam katabolisme etanol sehingga dengan keberadaan enzim
tersebut dan juga koenzimnya maka katabolisme etanol menjadi lebih cepat. Efek tersebut berkaitan dengan kandungan polifenol yang ada pada buah murbei.
Di dalam pemanfaatannya sebagai obat, buah murbei sering diolah dahulu menjadi jus. Selain itu di negara China buah murbei dikonsumsi dalam bentuk
segar dan diolah menjadi liquor sejenis minuman buah. Di Eropa buah murbei ini juga telah diolah menjadi minuman fermentasi wine yang banyak dikonsumsi
oleh kaum wanita Eropa. Selain buahnya, daun dan kulit akar murbei juga memiliki manfaat medis,
daun murbei diketahui efektif untuk menurunkan gula darah hipoglikemik, menurunkan tekanan darah hipotensif dan diuretik Kim et al. 2006. Menurut
Sohn et al. 2004 senyawa aktif kuwanon C, mulberrofuran G dan albanol B pada daun murbei memiliki aktivitas antibakteri dengan konsentrasi minimal yang dapat
menghambat MIC antara 5 sampai 30 µgml. Komponen quecertin 3 6-malonil glikosida yang ada pada daun murbei menyebabkan daun ini juga memiliki
aktivitas antioksidan. Ekstrak metanol kulit akar murbei dapat menurunkan kandungan gula darah
hal ini berkaitan dengan keberadaan senyawa bioaktif moran A Butt et al. 2008, sedangkan senyawa bioaktif leachinone G dan mulberroside C yang diisolasi dari
kulit akar murbei memiliki aktivitas antiviral terhadap virus herpes simplek tipe 1 HSV-1 Du et al. 2003, selain itu menurut Moon et al. 1983 ekstrak komponen
polisakarida dari kulit akar murbei dapat melawan aktivitas sarcoma 108 mencit.
2.2. Toksisitas
Toksisitas didefinisikan sebagai efek bahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat senyawabahan terhadap organisme yang terpapar zatsenyawabahan tersebut.
Efek bahaya tersebut dapat terkena pada keseluruhan organisme tersebut misalnya kematian atau pada bagian kecil dari organisme tersebut misalnya organ dan sel
seperti hati, ginjal dan lain-lain. Menurut Hodgson dan Levi 2000 untuk menilai efek bahaya suatu zatsenyawabahan maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah
dosisnya, karena bahan uji tersebut pada dosis tertentu tidak berbahaya tetapi pada dosis yang lebih tinggi mungkin berbahaya.
Pada umumnya pengujian toksisitas dibagi menjadi dua kelompok yaitu uji
toksikologi umum dan uji toksikologi khusus, uji toksikologi umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub kronis dan kronis.
2.2.1. Uji toksikologi umum
2.2.1.1.Toksisitas akut Toksisitas akut merupakan derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
dalam tempo singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal atau pemberian berulang dalam waktu terbatas umumnya 24 jam. Batasan waktu singkat adalah
bisa dalam rentang 24 jam ataupun paling lama adalah 14 hari Hodgson dan Levi 2000. Tujuan utama dilakukan pengujian ini adalah untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik bahan uji pada satu hewan uji atau lebih. Selain itu pengujian toksisitas akut juga ditujukan untuk
menilai bebagai macam gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji Omaye 2004.
Jadi, dalam ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif kisaran dosis letaltoksik dan tolok ukur ketoksikan
kualitatif gejala klinis, wujud dan mekanisme efek toksik. Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letaltoksik adalah nilai
Lethal dosis 50 LD 50, artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang
diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50 hewan uji.
Data yang di dapat dari pengujian ketoksikan akut dapat sebagai acuan untuk melakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat
memprediksi, mendiagnosa dan menentukan treatment yang tepat untuk menanggulangi dampak tersebut. Selain itu data tersebut juga dapat menjadi acuan
bagi pemangku kebijakan untuk menentukan regulasi dan bagi peneliti data tersebut dapat digunakan untuk menentukan mekanisme toksisitasnya Omaye
2004. 2.2.1.2. Ketoksikan sub kronis dan kronis
Uji ketoksikan sub kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama jangka waktu
kurang lebih 10 dari masa hidup hewan uji, misalnya 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Pengujian sub kronis ini bertujuan untuk menyelidiki
efek toksik yang timbul karena pemberian berulang dari zatsenyawabahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Data pengujian sub kronis dapat memberikan
informasi berharga mengenai efek kumulatif dari suatu zat pada organ sasaran, toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu tertentu
Yossa 2008. Sedangkan uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu
zatbahansenyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari
hidupnya, misal 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus Lu 1995, Omaye 2004. Jadi uji toksisitas sub kronis dan akut hanya dibedakan berdasarkan
waktunya saja. Kedua pengujian ini utamanya ditujukan untuk mengungkapkan spektrum
efek toksik sampel terkait dengan jenis organ yang terkena maupun kekerabatan antara dosis dan spektrum efek toksik. Selain itu, seringkali uji ini juga ditujukan
untuk mengevaluasi keterbalikan reversibilitas spektrum efek toksik yang terjadi. Dengan dilakukannya uji ini, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek
toksik yang munculnya lambat dan tidak muncul atau teramati pada uji ketoksikan akut.
2.2.2. Parameter pengamatan
Parameter yang biasa digunakan dalam toksisitas akut, sub kronis dan kronis adalah
1. LD 50
Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letaltoksik adalah nilai Lethal dosis 50 LD 50, artinya dosis
tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50 hewan uji Akhila et al. 2007
2. Pengamatan tingkah laku hewan percobaan
Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ
sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan Tabel 2.
Tabel 2. Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh Lu 1995 Sistim atau organ
Tanda toksik Autonomik
Membran niktitans melemah, eksoftalmos, hipersekresi hidung, salivasi, diare, keluar air seni, piloereksi
Perilaku Sedasi, gelisah, kepala tertunduk, kuku siap mencakar,
terengah-engah, iritabilitas, sikap agresif atau defensif, ketakutan, bingung, aktivitas yang aneh
Sensorik Reflek kornea, reflek penempatan, reflek tungkai belakang,
peka terhadap bunyi dan sentuhan, nistagmus Neuromuskuler Aktivitas
meningkat atau berkurang, fasikulasi tremor,
konvulsi, ataksia, lemas, opistotonus, respon Kardiovaskuler
Denyut jantung meningkat atau berkurang, sianosis, vasokontriksi, vasodilatasi, pendarahan
Pernafasan Hipopnea, dispnea, terengah-engah, apnea
Mata Warna mata, pemeriksaaan oftalmologik,
Gastrointestinal Diare, muntah, feses, nafsu makan
Sistim kemih Volume urin, konsistensi, warna
Kulit Warna, penampilan, bulu, eritema, bengkak
3. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan
Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan akan mempengaruhi konsumsi pakan hewan coba yang nantinya juga
berkaitan dengan berat badan tikus tersebut. 4.
Analisis kimiawi darah, serum atau urin Analisa kimiawi darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin,
menghitung jumlah eritosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT,
alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah, kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium,
natrium dan klorida. Sedangkan pada urin mencakup pemeriksaan fisik warna, berat jenis, dan pH, selain itu dilakukan juga pemeriksaan kimiawi
biasanya mencakup protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah dan kristal serta benda amorf.
Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan
SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel maka
mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan juga urea yang tinggi dalam serum dan juga urin mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjal. 5.
Pengamatan histologi terhadap organjaringan yang diduga menjadi sasaran senyawa toksik.
Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik dilakukan untuk mengkonfirmasi kerusakan dan juga menghitung paparan
kerusakan terhadap sel organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan terhadap sel yang normal dan juga sel yang mengalami degradasi, nekrosis
dan juga apoptosis. Parameter LD 50 dipakai hanya dalam pengujian toksisitas akut sedangkan
parameter yang lainnya bisa dipakai baik dalam pengamatan toksisitas akut, sub kronis maupun kronis. Pada pengujian toksisitas akut kadang kala hanya dilakukan
dengan menggunakan parameter LD 50 seperti penelitian yang dilakukan oleh Rasekh et al. 2005, ada yang menggunakan parameter LD 50 dan juga
pengamatan tingkah laku hewan percobaan Joshi et al. 2007, Alade et al. 2009 dan ada yang menggunakan parameter LD 50, pengamatan tingkah laku hewan
percobaan, berat badan dan konsumsi ransum dan pengamatan histologi terhadap organ Somfai-relle et al. 2005.
Sedangkan pengujian toksisitas sub kronis maupun kronis ada yang hanya menggunakan paremeter analisis kimiawi serum Amanvermez et al. 2009, ada
yang menggunakan parameter analisis serum dan paraneter pengamatan histologi Alade et al. 2009 dan ada yang menggunakan parameter kematian, pengamatan
tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi pakan, analisis kimiawi terhadap darah, serum dan urin dan juga pengamatan histologi terhadap organ
Somfai-relle et al. 2005.
2.2.3. Adsorbsi, distribusi dan metabolisme toksikan
Umumnya racun masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu sistim pernafasan, mulut pencernaan dan kulit. Meskipun demikian racun tidak bisa
begitu saja masuk ke dalam tubuh. Sistim ataupun organ tempat masuknya racun tersebut memiliki pertahanan-pertahanan, baik yang bersifat fisik maupun
enzimatis. Membran sel merupakan sawar barrier yang menghalangi masuknya racun pada semua semua sistim organ, artinya racun harus melalui
membran-membran sel tersebut untuk dapat diserap, didistribusi, dimetabolisme tubuh. Membran sel mempunyai sifat semipermeabel artinya hanya melewatkan
senyawa tertentu yang dikehendaki sel tersebut. Senyawa toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif, filtrasi oleh pori-pori
membran, transport aktif dengan perantara carrier dan pencaplokan oleh sel pinositosis Hodgson dan Levi 2000.
Sistim pencernaan umumnya dapat dimasuki toksikan karena toksikan tersebut berada dalam makanan ataupun minuman yang dikonsumsi. Sebelum
diabsorsi, toksikan akan mengalami interaksi dengan komponen kimiawi yang ada pada saluran pencernaan seperti HCl pada lambung. Absorsi utamanya terjadi
diusus halus dan senyawa-senyawa tertentu dapat diserap dilambung. Faktor penting yang mempengaruhi perjalanan toksikan di saluran pencernaan sampai
akhirnya dapat diserap di lambung ataupun usus adalah pH lingkungan pencernaan Hodgson dan Levi 2000, hal ini terjadi karena dari mulut sampai usus halus terjadi
perbedaan pH, mulut memiliki pH 7 sedangkan lambung pH nya 1 sampai 2 karena sekresi HCl dan usus halus pH nya sekitar 6.
Adanya perbedaan pH saat toksikan melalui jalur pencernaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi pada toksikan, sehingga saat mencapai
usus halus akan mempengaruhi dapat atau tidaknya suatu toksikan diserap dan juga cara penyerapannya. Racun yang tidak terionisasi dan larut dalam lipid akan
diserap melalui cara difusi pasif. Disamping itu dalam usus juga terdapat protein pembawa yang tugas normalnya adalah membawa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan
tubuh, namun beberapa toksikan seperti 5-fluorourasil dan timbal dapat menggunakan protein carier tersebut untuk memasuki membran usus halus,
sedangkan pewarna azo dan latek polistirena dapat memasuki usus dengan cara pinositosis Lu 1995.
Jalur pernafasan juga dapat dimasuki toksikan yang biasanya ada dalam udara yang diserap tubuh. Bentuknya bisa gas seperti karbon monoksida dan
belerang dioksida dan juga bisa berupa uap cairan seperti benzen dan karbon tetraklorida. Tempat utama penyerapannya adalah alveoli paru-paru yang memiliki
permukaan luas, tempat ini mudah diserang karena 1 memiliki banyak pembuluh darah kapiler tempat terjadinya pertukaran gas 2 memiliki lapisan cair yang tipis
yang dapat mudah dilewati gas Hodgson dan Levi 2000. Disamping itu menurut Donatus 2001 ukuran partikel menjadi faktor penentu utama absorsi racun pada
alveolus. Misalkan racun timah dengan garis tengah ukuran partikel 0,25 μm dapat
dengan mudah diabsorbi di alveoli, sedangkan uranuim dioksida dengan diameter 3 μm tidak bisa diabsorsi di alveoli.
Kulit merupakan salah satu tempat yang bisa menjadi jalan masuknya toksikan ke dalam tubuh. Walaupun demikian, umumnya kulit relatif impermeabel
sehingga merupakan sawar barrier yang baik bagi tubuh terhadap toksikan. Meskipun demikian senyawa toksik insektisida paration yang bisa masuk melalui
kulit dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi tubuh Donatus 2001. Zat-zat asam, basa, gas mustard dan beberapa pelarut seperti dimetil sulfoksida DMSO
akan merusak sawar kulit sehingga memudahkan masuknya toksikan melalui kulit. Absorbsi toksikan pada kulit dapat terjadi melalui folikel rambut atau lewat
kelenjar keringat tetapi absorbsinya kecil. Absorpsi toksikan melalui kulit umumnya terjadi ketika toksikan tersebut dapat menembus lapisan kulit yang
terdiri atas epidermis dan dermis Lu 1995. Setelah melewati sawar-sawar yang ada pada jalur masuknya toksikan
tersebut, maka toksikan akan masuk ke darah dan didistribusikan ke tempat yang menjadi target aksinya. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhubungan
dengan laju aliran darah, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel serta afinitas target aksi dengan toksikan tersebut Lu 1995.
Tempat yang biasanya dapat mengikat dan menyimpan toksikan tersebut adalah protein plasma, hati, ginjal, jaringan lemak dan tulang.
Komponen protein plasma umumnya berperan mengikat toksikan anorganik, contoh protein plasma adalah albumin yang dapat mengikat aneka
ragam senyawa misalnya kalsium, tembaga dan seng; celuloplasmin yang dapat mengikat tembaga dan litium; dan alfa glikoprotein yang dapat mengikat senyawa
yang bersifat basa. Jaringan lemak berperan dalam mengikat dan menyimpan toksikan yang larut dalam lipid contohnya DDT, dieldrin dan bifenilpoliklorin
PCB. Tulang merupakan tempat penimbunan utama dari toksikan flourida, timbal
dan strongsium. Hati dan ginjal merupakan tempat penyimpanan toksikan yang paling besar karena organ tersebut merupakan tempat terjadinya metabolisme hati
dan jalur eliminasi ginjal yang utama bagi toksikan.
2.2.4. Organ sasaran utama
2.2.4.1. Hati a. Morfologi hati
Hati merupakan salah satu organ besar dalam tubuh. Beratnya rata-rata sekitar 2,5 dari berat badan normal. Hati terletak pada rongga perut kanan
bagian atas dibawah diafragma. Permukaan hati diliputi oleh lapisan jaringan ikat padat dan ditutupi oleh peritoneum. Hati terbagi menjadi beberapa lobus
tergantung spesiesnya, hati tikus terbagi menjadi empat lobus, yaitu lobus kiri, lobus median, lobus kanan dan lobus kaudatus. Secara mikrokopis, setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus yang merupakan unit fungsional dari organ hati dan letaknya mengelilingi sebuah
vena sentralis. Setiap lobulus hati terbangun dari beberapa komponen yaitu sel-sel parenkim hati sel hepatosit, vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang
vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kuppfer dan kanakuli billiaris.
Gambar 2. Anatomi hati www.enjoylongerhealth.com Sel hepatosit berbentuk polihedral dengan inti bulat terletak ditengah,
sel tersebut tersusun radial kearah luar vena sentralis. Diantara hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagi sinusoid yang merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika Gambar 2. Pada beberapa sinusoid akan ditemukan sel kuppfer yang berfungsi sebagai makrofag yang memiliki fungsi
fagositik Delman dan Eurell 1998. Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri
hepatika kiri dan kanan dan darah vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan dan abdomen lain yaitu limpa dan kantung empedu Delman dan
Eurell 1998. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap oleh saluran pencernaan, selain itu turut masuk juga berbagai bakteri,
darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau disimpan. Sebanyak 75-80 darah pada organ hati berasal dari vena porta
sedangkan 20-25 darah yang masuk ke hati berasal dari arteri hepatika dan darah tersebut kaya akan oksigen Duffus dan Worth 2006.
Hati mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi metabolisme diantaranya karbohidrat, lipid, vitamin, zat besi dan darah; fungsi sintesis dan fungsi
detoksifikasi. Fungsi metabolisme karbohidrat dilakukan hati dengan cara mengatur pembentukan, penyimpanan, dan pemecahan glikogen. Sedangkan
dalam metabolisme lipid hati berperan dalam mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan lemak untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Berkaitan
dengan vitamin larut lemak ADEK dan zat besi hati berperan sebagai organ penyimpanan bagi keduanya Delman dan Eurell 1998.
Fungsi sintesis dilakukan hati dengan melakukan beberapa proses diantaranya mensintesis protein plasma seperti albumin dan globulin dan juga
mensintesis empedu yang memungkinkan makanan berlemak dan mengandung vitamin yang larut dalam lemak vitamin A, D, E dan K dapat
diserap oleh usus halus. Fungsi detoksifikasi dapat dilakukan oleh hati karena hati memiliki
enzim-enzim yang dapat melakukan proses tersebut. Proses detoksifikasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1. mengubah senyawa xenobiotik melalui
reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi yang dikatalisis oleh enzim hepatik contohnya sitokrom P450 Hukkanen et al. 2001, 2. mengikatnya
dengan senyawa yang lebih larut air konjugasi misalnya glukoronat, asam sulfat, dan glutation yang dikatilisis oleh enzim. Contohnya
glutation-S-transferase yang mengkatalisis mengikatan senyawa glutation pada senyawa xenobiotik Fanucchi et al. 2000.
b. Patologi hati Hati merupakan organ yang umumnya paling sering mengalami
kerusakan akibat adanya toksikan, kondisi tersebut berkaitan dengan peran dan posisi hati dalam sirkulasi cairan tubuh. Sebagian besar toksikan
memasuki tubuh melalui sistem pencernaan, setelah diserap lalu memasuki darah di sistim vena porta dan di distribusikan ke hati. Kondisi tersebut
diperparah dengan kenyataan bahwa 80 darah yang masuk ke hati berasal dari vena porta tersebut Harlina 2007.
Berdasarkan proses sirkulasi toksikan yang masuk melalui pencernaan, maka hati merupakan organ yang pertama kali menerima toksikan tersebut dan
juga organ yang pertama kali akan memetabolismenya. Proses metabolisme tersebut dalam beberapa kasus dapat meningkatkan toksisitas toksikan
sehingga dapat merusak hati, contohnya senyawa epoksida yang setelah dimetabolisme dengan komplek enzim fase I ternyata menjadi senyawa yang
lebih reaktif dan dapat melekat pada DNA hati membentuk “DNA adduct” sehingga menyebabkan kanker.
Keberadaan toksikan tersebut dapat menyebabkan beberapa perubahan pada berbagai komponen sel hati seperti bocornya membran sel dan
mitokondria yang membesar. Perubahan pada komponen sel hati ada yang bersifat reversibel dan ada yang irreversibel. Degenerasi merupakan
kerusakan sel yang reversibel karena hati dapat melakukan proses regenerasi sel dengan cara melakukan replikasi Guyton dan Hall 1997. Meskipun
demikian proses degenerasi yang berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan kematian sel nekrosis dan nekrosis merupakan kerusakan sel
yang bersifat irreversibel. Keberadaan toksikan juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ
hati secara umum yang juga berhubungan dengan kerusakan pada sel hati seperti nekrosis, perlemakan hati dan sirosis Lu 1995. Nekrosis merupakan
kematian sel hati hepatosit, berdasarkan penyebabnya dapat disebabkan karena dua hal yaitu 1 karena pengaruh langsung zat toksik 2 karena
kekurangan O
2
dan nutrisi. Perlemakan hati terjadi jika berat lipid yang ada pada hati lebih dari 5
Lu 1995. Lemak yang menumpuk dihati merupakan lemak netral dalam bentuk trigliserida. Menurut Farrel dan Larter 2006 secara garis besar
penumpukan tersebut bisa disebabkan karena konsumsi alkohol yang berlebihan ataupun bukan karena alkohol seperti tetrasiklin, etionin Lu 1995
dan defisiensi kolin Rinella et al. 2008. Mekanisme yang paling umum yang menyebabkan penumpukan trigliserida tersebut adalah terganggunya
pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma darah Carlton dan McGavin 1995.
Sirosis merupakan bentuk peradangan kronis yang ditandai dengan pembentukan jaringan. Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang
tersebar disebagian besar hati sehingga hati menjadi keras. Beberapa senyawa karsinogen dan juga CCl
4
dapat menjadi penyebab sirosis, selain itu konsumsi alkohol dan dibarengi dengan diet yang kurang kolin, protein, metionin,
vitamin B
12
, dan asam folat juga dapat menyebabkan sirosis pada hati Lu 1995.
Pendeteksian gangguan fungsi hati dapat dilihat terhadap kandungan bilirubin total hati yang meningkat dan kadar protein plasma albumin dan
globulin yang menurun. Menurut Harlina 2007 penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin sering terjadi pada sindrom nefrotik, patah
tulang, infeksi, tumor dan kondisi-kondisi peradangan. Sedangkan gangguan terhadap proses detoksifikasi dalam hati ditandai dengan peningkatan kadar
enzim-enzim transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase SGOT, serum glutamat piruvat transaminase SGPT dan juga enzim alkalin
fosfatase. Gangguan fungsi hati juga dapat dilihat dari kandungan total lemak, protein, kolesterol dan trigliserida.
Gangguan yang diidentifikasi pada profil biokimiawi serum darah tersebut dapat dikorelasikan dengan profil histopatologi hati yang berkaitan
dengan kondisi sel yang mengalami lesio degenerasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis ataupun apoptosis. Pengamatan dilakukan pada bagian
perilobuler yang dekat dengan vena hepatika dan arteri hepatika, karena bagian ini yang pertama kali berinteraksi dengan darah yang berasal dari usus
membawa zat gizi dan juga xenobiotik. Dengan mengkorelasikan kedua
parameter tersebut maka akan didapat gambaran yang lebih utuh terkait dampak toksisitas dari suatu senyawa terhadap organ hati.
2.2.4.2. Ginjal a. Morfologi ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak
dengan jumlah sepasang. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan warna merah kecoklatan. Bagian luar ginjal yang beraspek gelap
disebut kortek dan bagian dalam yang beraspek agak cerah disebut medula yang di dalamnya terdapat unit fungsional ginjal yang disebut nefron dengan
jumlah ribuan. Nefron memiliki fungsi dasar untuk membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh yang biasanya berasal
dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida serta ion hidrogen dalam jumlah yang berlebih Guyton dan Hall 1997.
Secara struktur nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Glomerulus terdapat dalam ruang bowman dan mendapat aliran darah
dari arteri aferen yang merupakan sistim kapiler bertekanan tinggi Lu 1995. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau
penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan ruang Bowman karena adanya tekanan dari darah
yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam tubulus ginjal mengalir melalui tubulus proksimal, ansa henle dan ke tubulus
distal Gambar 3. Dari sini cairan akan mengalir kesistem pengumpul yang terdiri dari tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus
kolektivus medularis. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih
melewati ureter Delman dan Eurell 1998. Fungsi ginjal adalah menyingkirkan hasil metabolisme normal seperti
urea, asam urat dan kreatinin dan juga senyawa xenobiotik yang tidak dibutuhkan tubuh. Disamping itu ginjal juga berperan penting dalam menjaga
homeostasis tubuh berkaitan dengan pH, cairan dan juga komposisi mineral
seperti sodium, potasium, klorida, kalsium dan fosfor.
Gambar 3. Antomi Ginjal www.uic.edu. Proses pengaturan cairan dan juga mineral dilakukan oleh ginjal dengan
perantara 2 hormon yaitu hormon vasopresin dan hormon aldosteron yang pengeluarannya diperantarai oleh sistem renin-angiotensin. ketika tubuh
kekurangan cairan salah satunya ditandai dengan ketika osmolalitas plasma yang meningkat maka parat juxtaglomerulat pada ginjal akan mengeluarkan
enzim proteolitik renin. Enzim tersebut akan mengkatalisis perubahan angiotensin plasma menjadi angiotensin I yang selanjutnya akan diubah
menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzim ACE. Angiotensin II akan memerintahkan hipotalamus melakukan 2 hal, yaitu
1 menstimulasi rasa haus, 2 memerintahkan jaringan ptuitari posterior untuk melepaskan hormon vasopresin ke dalam plasma, selanjutnya hormon
ini menuju sel-sel duktus koligenites ginjal untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air sehingga mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air. Air yang
direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler CES, jadi secara singkat hormon vasopresin mempunyai fungsi
antidiuretik. Tetapi jika osmolalitas tubuh normal kembali maka sekresi hormon vasopresin dihentikan.
Selain itu angiotensin II juga memerintahkan kortek adrenal untuk
mengeluarkan hormon aldosteron. Hormon ini berfungsi meningkatkan reabsorpsi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium pada bagian
tubulus distal ginjal Guyton dan Hall 1997. b. Patologi ginjal
Ginjal juga merupakan salah satu organ utama yang menjadi sasaran aksi toksikan karena beberapa hal, yaitu: 1 Mempunyai volume aliran darah
yang tinggi, darah tersebut umumnya membawa zat-zat yang tidak diperlukan tubuh termasuk toksikan, 2 Mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, 3
Membawa toksikan melalui tubulus dan, 4 Mengaktifkan toksikan tertentu Lu 1995. Keberadaan senyawa toksik dan juga peranan ginjal terhadap
senyawa toksik tersebut menyebabkan terjadi interaksi antara toksikan dengan sel-sel pada ginjal, interaksi tersebut dapat menyebabkan efek buruk pada
semua bagian ginjal. Gangguan yang umumnya terjadi pada glomerulus adalah gangguan
filtrasi yang bisa diakibatkan karena pori-pori glomerulus mudah dilakui oleh senyawa sehingga ketika filtrat yang sampai di tubuli berada dalam jumlah
yang tidak normal Harlina 2007, selain itu pada glomerulus juga sering terjadi endapan protein maupun amiloid yang dapat melebar sehingga
mempersempit ruang Bowman McGavin dan Zachary 2007. Sedangkan kelainan pada tubulus biasanya berkaitan dengan tidak sempurnanya fungsi
reabsorpsi dan keberadaan senyawa toksik. Beberapa kelainan yang umumnya terjadi berkaitan dengan tidak sempurnya reabsoprsi diantaranya adalah
degenerasi hidropik, degenerasi hialin dan degenerasi lemak pada tubulus proksimal Thomas 1979. Degenerasi tersebut bersifat reversibel, artinya jika
penyebabnya hilang maka degenerasi pun akan hilang, tetapi jika penyebabnya terus-menerus ada maka sel yang mengalami degenerasi lama
kelamaan akan berubah menjadi sel nekrosis McGavin dan Zachary 2007. Gangguan-gangguan yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan
terhambatnya proses pembentukan urin yang bisa diakibatkan karena kemampuan filtrasi glomerulus menurun. Kondisi ini akan mengakibatkan
tekanan darah meningkat dan timbul racun metabolisme dalam darah terutama ureum dan kreatinin.
Pengujian untuk mendeteksi kerusakan ginjal dapat diamati secara kimiawi pada urin dan serum darah. Analisis dapat dilakukan pada kandungan
kreatinin, urea, beberapa ion elektrolit seperti potasium, sodium, kalsium, fosfor dan klorida. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan juga
merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Kreatinin difiltrasi
glomerulus dan tidak disekresikan ataupun direasorbsi tubulus, sehingga kreatinin sering dijadikan indikator untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus
Harlina 2007. Sedangkan urea merupakan hasil metabolisme tubuh terhadap amonia
dari protein atau dengan kata lain urea merupakan bentuk buangan amonia yang dihasilkan dari katabolisme protein. Sehingga kadar ureum akan
tergantung dari kadar amonia yang tentunya tergantung dari banyaknya asam amino yang dikatabolisme oleh tubuh. Pada kondisi normal kandungan ureum
yang berlebih akan dikeluarkan tubuh lewat ginjal, sehingga jika kadar urea dalam serum darah tinggi berarti ada indikasi kelainan ginjal dalam
menjalankan fungsinya untuk mengeluarkan ureum lewat urin. Peranan ginjal dalam menjaga hemostasis pH dan cairan tubuh sangat
erat kaitannya dengan keberadaan ion-ion elektrolit dalam tubuh khususnya pada serum darah yang mudah diamati. Jumlahnya pada serum darah yang
lebih rendah ataupun lebih tinggi dari normal, mengindikasikan adanya permasalahan pada ginjal khususnya pada bagian tubulus dalam mereabsorbi
ion-ion tersebut. Kelainan-kelainan yang diamati pada profil biokimia serum darah,
dapat dikorelasikan dengan profil histologi ginjal yang berkaitan dengan terjadinya lesio degenerasi hialin pada tubulus dan endapan protein pada
glomerulus. Pengamatan terhadap preparat histologi ginjal dilakukan pada bagian glomerulus yang menjalankan fungsi filtrasi dan tubulus proksimal
karena bagian ini yang pertama kali menerima filtrat hasil filtrasi glomerulus.
METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan ITP Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Laboratorium Hewan Percobaan Departemen ITP dan Seafast Centre IPB dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai bulan Juni 2010.
3.2. Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah Morus alba L. kering yang diperoleh dari Fytagoras BV Sylviusweg Leiden Belanda. Sedangkan
bahan untuk pembuatan pakan standar terdiri dari sumber protein berupa kasein, minyak jagung, tepung maizena merk horning, CMC, multivitamin terdiri dari
vitamin A 1000 IU, vitamin B1 1,4 mg, vitamin B2 1,6 mg, vitamin B6 2 mg, vitamin B12 3 mg, vitamin C 60 mg, vitamin D 100 IU, vitamin E 5 mg,
nikotinamida 9 mg, kalsium pantotenat 5 mg dan campuran mineral mix untuk membuat 100mg campuran mineral terdiri dari NaCl 139,3 mg; KI 0,79; KH
2
PO
4
389 mg; MgSO
4
.7H
2
O 57,3 mg; CaCO
3
381,4; FeSO4.7H
2
O 27 mg; MnSO
4
.7H
2
O 4.010 mg; ZnSO
4
0,548 mg; CuSO
4
.5H
2
O 0.477; CoCl. 6H
2
O 0.023 Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus Sprague Dawley jantan dan
betina yang berumur 6-7 minggu masing-masing sejumlah 20 ekor yang didapat dari hasil breeding. Bahan kimia yang digunakan adalah air aquades, H
2
SO
4
pekat, eter, alkohol 70, 80 dan 100, xylol, parafin cair, formalin, Buffer PBS,
pewarna hematoksilin, pewarna eosin. Analisis serum menggunakan kit komersial AMS yang meliputi analisis bilirubin, alkalin fosfatase, SGPT, SGOT, total protein,
total lipid, kolesterol, trigliserida, urea, fosfor, kalium, kalsium, klorida, glukosa, kreatinin, albumin.
3.3. Alat