Analisis serum tikus Analisis Kerusakan Ginjal

ginjal akan meningkatkan sekresi lewat urin, sedangkan jika konsentrasinya dalam darah rendah maka ginjal akan menurunkan sekresi senyawa tersebut melalui urin.

4.5.3.1. Analisis serum tikus

4.5.3.1.1 Urea dan Kreatinin Urea merupakan senyawa organik yang disintesis di hati sebagai bentuk ekskresi nitrogen yang berasal dari katabolisme asam amino. Urea Blood Urea Nitrogen BUN dibentuk melalui jalur siklus urea yang memerlukan 2 amonium untuk membentuk satu molekul urea. Dari hati selanjutnya urea akan dikeluarkan ke dalam darah dan sebagian besar akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Konsentrasi BUN tidak pernah konstan karena tergantung kepada jenis dan jumlah protein yang dikonsumsi serta jarak antara waktu makan dan pengambilan darah Coles 1986. Jadi hewan yang mengkonsumsi banyak protein maka konsentrasi BUN nya lebih tinggi dibanding dengan hewan yang mengkonsumsi protein lebih sedikit. Selain itu kadar BUN juga akan meningkat jika terjadi peningkatan katabolisme protein akibat demam, trauma, infeksi dan pendarahan saluran pencernaan. Kreatinin merupakan senyawa nitrogen non protein yang terbentuk dari perubahan non enzimatis kreatinin fosfat di otot. Pemecahan tersebut dilakukan otot untuk mendapatkan energi dalam waktu cepat karena kreatinin fosfat merupakan bentuk simpanan energi di otot Murray et al. 2003. Kreatinin yang terbentuk akan dialirkan ke dalam darah dan sebagian akan dikeluarkan melalui urin. Produksi kreatinin harian hasil metabolisme otot relatif konstan Harlina 2007 dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi kreatinin dalam darah hampir sama dengn BUN tetapi kreatinin tidak dipengaruhi oleh protein makanan dan katabolisme protein, oleh karena itu peningkatan kadar kreatinin lebih cenderung karena kerusakan ginjal dibanding faktor lainnya. Dua faktor utama yang menentukan kecepatan ekskresi urea dan kreatinin melalui urin adalah 1 konsentrasi urea di dalam plasma, dan 2 laju filtrasi glomerulus Guyton dan Hall 1997. Oleh karena itu konsentrasi urea dan kreatinin dalam serum darah merupakan salah satu pemeriksaan klinis yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kegagalan fungsi ginjal utamanya dalam melakukan laju filtrasi glomerulus Hodgson dan Levi 2000, Suckow et al. 2006. Menurut Coles 1986 kadar BUN akan meningkat drastis jika 70 parenkim ginjal mengalami kerusakan hebat, sedangkan menurut Suckow et al. 2006 pengukuran konsentrasi kreatinin pada serum darah lebih spesifik dalam mengidentifikasi kerusakan ginjal khususnya laju filtrasi glomerulus. Ini berkaitan dengan sifat kreatinin yang tidak direabsorpsi di tubulus dan juga konsentrasinya yang tidak dipengaruhi oleh diet dan katabolisme protein tubuh. Tabel 14. Rata-rata dan standar deviasi BUN mgdl dan kreatinin mgdl pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 gkg bb. Jenis kelamin Perlakuan BUN mgdl Kreatinin mgdl Jantan Kontrol 22,37±2,43 a 0,60±0,08 a 0,1 gkg bb 22,42±3,36 a 0,61±0,11 a 1 gkg bb 24,91±2,63 a 0,67±0,04 a Betina Kontrol 23,51±3,11 a 0,56±0,12 a 0,1 gkg bb 24,83±2,93 a 0,61±0,06 a 1 gkg bb 26,16±2,79 a 0,70±0,05 a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata P0,05. Hasil pengukuran konsentrasi urea dan kreatinin pada setiap tikus jantan dan betina ditampilkan pada Lampiran 36a, 37a, 38a dan 39a, sedangkan konsentrasi rata-rata kedua parameter tersebut pada tikus jantan dan betina dari setiap perlakuan dan kontrol ditampilkan pada Tabel 14. Hasil pengukuran rata-rata BUN dan kreatinin pada tikus perlakuan lebih tinggi dibanding tikus kontrol, sedangkan antar perlakuan menunjukkan konsentrasi kreatinin dan BUN yang semakin tinggi dengan semakin banyaknya ekstrak air buah murbei yang ditambahkan Tabel 14. Analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi rata-rata BUN dan kreatinin pada tikus jantan dan betina tidak berbeda nyata P0,05 Lampiran 36b, 37b, 38bdan 39b. Selain itu konsentrasi rata-rata BUN dan kreatinin baik pada tikus kontrol maupun perlakuan masih masuk pada rentang normal pada tikus yaitu BUN 11-28 mgdl dan kreatinin 0,5-1,1 mgdl Charles River Laboratory 1984. Konsentrasi BUN dan kreatinin pada tikus perlakuan yang lebih tinggi dari kontrol juga terjadi pada penelitian Chen et al. 2005 yang memberikan 1 ekstrak air buah murbei pada kelinci selama 4 minggu. Pada penelitian tersebut kadar BUN mgdl kelinci kontrol perlakuan berturut-turut 18,7±1,9 dan 20,7±2,42, sedangkan konsentrasi rata-rata kreatinin mgdl 1,5±0,11 dan 1,65±0,24. Konsentrasi urea yang semakin tinggi dengan semakin tingginya pemberian ekstrak air buah murbei berkaitan dengan input protein yang semakin tinggi. Menurut Kaneko 1980 konsentrasi urea pada serum dipengaruhi oleh katabolisme asam amino yang dapat berasal dari konsumsi protein maupun katabolisme protein tubuh. Protein yang masuk ke tubuh akan dimetabolisme dan amoniumnya diubah menjadi urea melalui jalur siklus urea, demikian juga proses katabolisme protein tubuh contohnya katabolisme sel darah merah maka protein tersebut akan diubah menjadi asam amino yang seperti halnya dari makanan, asam amino tersebut akan dimetabolisme dan amoniumnya diubah menjadi urea melalui jalur siklus urea. Sehingga semakin tinggi konsumsi dan katabolisme protein maka keberadaan urea akan semakin banyak. Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 dan 1 gkg bb tidak memberikan dampak terhadap konsentrasi BUN dan kreatinin serum tikus Sprague Dawley. Artinya perlakuan tersebut tidak mempengaruhi fungsi ginjal dalam meregulasi konsentrasi BUN dan kreatinin dalam serum tikus tersebut. 4.5.3.1.2. Fosfor dan kalsium Fosfor dan begitu juga kalsium merupakan makromineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Fosfor penting bagi tubuh karena menjadi bagian dari beberapa senyawa yang penting bagi tubuh seperti ATP dan kreatinin fosfat, selain itu fosfor juga menjadi bagian dari DNA dan RNA yaitu sebagai rantai punggung yang menghubungkan antar deoksiribosa dan juga ribosa. Fosfat juga akan berinteraksi dengan kalsium membentuk kalsium fosfat sehingga meningkatkan kekakuan tulang dan gigi, 80-85 fosfor terdapat dalam skeleton dan sisanya ada dalam serum dan sel. Dalam serum, 80-85 fosfor berada dalam bentuk ion bebas sedangkan sisanya terikat dengan protein. Faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi fosfor dalam serum adalah masuknya fosfor dari pencernaan bioavaibilitas, pergerakan fosfor dalam tubuh dan ekskresi lewat urin Levi dan Popovtzer 1999. Bioavaibilitas fosfor salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan senyawa antinutrisi fitat dan saponin dan pergerakan fosfor dalam tubuh berkaitan dengan fungsi dan kebutuhan fosfor pada suatu tempat organ atau sel dalam tubuh. Sedangkan ekskresi fosfor melalui urin merupakan salah satu cara tubuh untuk menjaga homeostasis fosfor dalam tubuh. Kalsium juga salah satu makro mineral penting bagi tubuh yang sebagian besar 99 berada didalam tulang berbentuk hidroksiapatit dan 1 lagi berada didalam cairan ekstraseluler seperti serum dan jaringan lunak. Kalsium memegang 2 peranan fisiologis yang penting didalam tubuh berkaitan keberadaannya dalam tulang dan sel. Di dalam tulang, garam-garam kalsium berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan didalam cairan ekstraseluler dan sitosol. Ca 2+ sangat berperan pada berbagai proses biokimia tubuh diantaranya kontraksi otot, koagulasi darah, pemecahan glikogen dan aktivator siklus krebs. Di dalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca 2+ sekitar 50, kalsium yang terikat albumin sekitar 40 dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan fosfat adalah 10. Kalsium ion dan kalsium kompleks mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel, sehingga akan difiltrasi di glomerulus secara bebas. Kadar Ca 2+ didalam serum diatur oleh 2 hormon penting, yaitu PTH dan 1,25OH 2 Vitamin D kalsitonin. Hormon kalsitonin di produksi sebagai respon tingginya konsentrasi kalsium dalam serum, hormon tersebut akan menstimulasi peningkatan deposit kalsium dalam tulang, menurunkan penyerapan kalsium di usus halus dan reabsorpsi kalsium di tubulus. Sedangkan jika konsentrasi kalsium serum rendah maka akan menstimulasi pembentukan hormon paratiroid yang efeknya dapat meningkatkan pengeluaran kalsium dari tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium pada tubulus, menurunkan reabsorpsi fosfat meningkatkan ekskresi fosfat dan menstimulasi pembentukan 1,25OH 2 D3 vitamin D3 yang akan meningkatkan penyerapan kalsium dan juga fosfor di usus halus. Proses metabolisme tersebut menunjukkan peran penting ginjal dalam menjaga homeostasis kalsium dan fosfat pada serum. Oleh karena itu pengukuran konsentrasi fosfor Levi dan Popovtzer 1999, Hathcoock 2004 dan kalsium Deftos 2010 dapat menjadi salah satu cara untuk mendeteksi kerusakan ginjal. Hasil pengukuran konsentrasi fosfor dan kalsium pada setiap tikus jantan dan betina ditampilkan pada Lampiran 40a, 41a, 42a dan 43a, sedangkan konsentrasi rata-rata ketiga parameter tersebut pada tikus jantan dan betina dari setiap perlakuan dan kontrol ditampilkan pada Tabel 15. Hasil pengukuran konsentrasi rata-rata fosfor pada tikus perlakuan baik jantan dan betina menunjukkan nilai yang lebih rendah dibanding kontrol, sedangkan antar perlakuan menunjukkan konsentrasi yang semakin rendah dengan semakin tingginya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan Tabel 15. Tabel 15. Rata-rata dan standar deviasi fosfor mgdl dan kalsium mgdl pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 gkg bb. Jenis kelamin Perlakuan Fosfor mgdl Kalsium mgdl Jantan Kontrol 6,36±1,29 a 9,31±0,18 a 0,1 gkg bb 6,10±1,70 a 9,35±0,45 a 1 gkg bb 3,92±1,64 b 9,50±0,26 a Betina Kontrol 8,42±1,54 a 8,79±1,16 a 0,1 gkg bb 5,38±2,86 b 9,57±0,11 a 1 gkg bb 2,73±0,19 c 9,43±0,20 a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata P0,05. Analisis sidik ragam pada tikus jantan menunjukkan konsentrasi rata-rata fosfor berbeda nyata P0,05 Lampiran 40b pada pemberian ekstrak air buah murbei dosis 1 gkg bb Lampiran 40c, sedangkan pada tikus betina konsentrasi rata-rata fosfor berbeda nyata antara tikus perlakuan baik yang diberi 0,1 gkg bb maupun 1 gkg bb Lampiran 41b dan 41c. Konsentrasi rata-rata fosfor yang dihasilkan baik pada kontrol jantan maupun perlakuan jantan dan betina menunjukkan nilai yang lebih kecil dari normal, hanya tikus kontrol betina yang masuk dalam rentang normal fosfor menurut Charles River Laboratory 1984 yaitu 8,2-13,8 mgdl. Hasil pengukuran konsentrasi rata-rata kalsium pada tikus perlakuan baik jantan dan betina menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol. Pada tikus jantan konsentrasi rata-rata tertinggi terdapat pada tikus yang diberi 1 gkg bb ekstrak air buah murbei yaitu sebesar 9,495 mgdl, sedangkan pada tikus betina konsentrasi rata-rata tertinggi terdapat pada tikus yang diberi 0,1 gkg bb ekstrak air buah murbei yaitu sebesar 9,568 mgdl. Meskipun demikian konsentrasi yang dihasilkan dari pengukuran tersebut masih masuk ke dalam rentang standar tikus normal menurut Charles River Laboratorium 1984 yaitu sebesar 9,1-17,1 mgdl, kecuali pada tikus kontrol betina. Analisis sidik ragam pada tikus jantan dan betina menunjukkan konsentrasi rata-rata kalsium tidak berbeda nyata P0,05 Lampiran 42b. Menurut Levi dan Popovtzer 1999 faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi fosfor dalam serum adalah masuknya fosfor dari pencernaan bioavailabilitas, ekskresi lewat urin dan pergerakan fosfor. Jadi rendahnya kosentrasi rata-rata fosfor pada tikus perlakuan bisa terjadi karena rendahnya bioavailabilitas fosfor ke dalam usus halus, dan atau ekskresi fosfor berlebihan lewat urin yang dipicu produksi hormon paratiroid yang tinggi hiperparatiroidisme, dan atau pergerakan fosfor meninggalkan serum menuju sel lain yang membutuhkan. Hiperparatiroidisme ditandai dengan penurunan konsentrasi fosfor pada serum dan juga peningkatan konsentrasi kalsium pada hipertiroidisme primer atau penurunan konsentrasi kalsium serum pada hiperparatiroidisme sekunder berkaitan dengan kerusakan ginjal Davidson dan Henry 1974. Berdasarkan hal tersebut pada tikus perlakuan tidak terjadi hiperparatiroidisme karena konsentrasi rata-rata kalsiumnya normal baik secara statistik tidak berbeda nyata p0,05 maupun standar kalsium tikus normal. Sedangkan rendahnya bioavalabilitas fosfor salah satunya berkaitan dengan keberadaan asam fitat pada tanaman murbei. Fosfor yang terikat pada asam fitat tidak bisa diserap tubuh, fosfor harus dilepaskan dari fitat oleh enzim fitase sehingga dapat lepas dan diserap oleh usus halus. Tetapi tubuh tidak memiliki enzim ini sehingga fosfor yang terikat pada fitat tidak akan terserap. Keberadaan asam fitat pada buah murbei belum diketahui, yang sudah jelas adalah keberadaan asam fitat pada daun murbei yang menurut Singh dan Makkar 2002 18 fosfor pada daun murbei terikat pada fitat. Berdasarkan hal tersebut kecil kemungkinan atau kalaupun ada mungkin pengaruhnya hanya sedikit terhadap konsentrasi fosfor dalam serum. Kemungkinan lain yang mendasari rendahnya fosfor pada serum adalah pergerakan fosfor serum menuju sel pada organ lain yang membutuhkan. Jika mengacu pada salah satu peran utama keberadaan fosfor dalam tubuh yaitu sebagai penyusun energi dalam bentuk ATP, maka rendahnya fosfor pada serum mungkin terjadi karena ada sel pada organ lain yang melakukan aktivitas metabolisme yang tinggi sehingga memerlukan ATP dalam jumlah banyak. Untuk membuat ATP dalam jumlah banyak maka sel tersebut memerlukan suplai fosfor dalam jumlah banyak juga, tetapi karena konsentrasi fosfor dalam suatu sel terbatas maka terjadi pergerakan fosfor serum menuju sel tersebut. Salah satu proses yang memerlukan jumlah ATP yang banyak adalah regenerasi sel hati Angeles et al. 2003. Saat regenerasi akan terjadi proses biosintesis makromolekul yang diperlukan sel dan yang utama adalah biosintesis protein melalui proses transkripsi dan replikasi. Proses tersebut banyak memerlukan energi diantaranya saat pengikatan asam amino pada tRNA, pembentukan ikatan peptida antar 2 asam amino dan saat pemindahan peptida dari ruang asam amino ke ruang peptida Murray et al. 2003. Jika mengacu pada data konsentrasi rata-rata fosfor yang semakin menurun pada tikus perlakuan yang berbanding terbalik dengan semakin tingginya konsentrasi rata-rata protein total Tabel 10, maka dapat diduga bahwa penurunan fosfor tersebut berkaitan dengan peningkatan sintesis protein pada sel hepatosit. Semakin meningkatnya sintesis protein akan meningkatkan kebutuhan ATP, akibatnya terjadi peningkatan pergerakan fosfor dari serum sehingga menurunkan konsentrasinya dalam serum. Regenerasi sel merupakan proses perbaikan sel yang mengalami kerusakan irreversible contohnya degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada sel hepatosit McGavin dan Zachary 2007. Proses tersebut meningkatkan sintesis ATP pada sel hati sehingga untuk memenuhi kebutuhan fosfor dalam pembuatan ATP maka ada mobilisasi ATP serum menuju hati. Tetapi akibat dari pergerakan tersebut dapat menurunkan fosfor dalam serum Angeles et al. 2003. Profil histologi hati tikus menunjukkan profil sel hepatosit pada hati tikus perlakuan lebih baik dibanding tikus kontrol dan antar tikus perlakuan profil tersebut semakin baik dengan semakin tingginya dosis yang diberikan, sehingga profil histologi sel hati terbaik adalah pada hati tikus yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 gkg bb. Ini dibuktikan dengan jumlah sel normal yang paling tinggi dan sel degenerasi lemak dan nekrosis yang paling rendah. Profil tersebut terjadi salah satunya melalui proses perbaikan sel yang disebut regenerasi, sehingga berdasarkan hal tersebut regenerasi sel semakin banyak terjadi pada tikus perlakuan yang profil selnya paling baik yaitu pada perlakuan dosis tinggi 1 gkg bb. Karena untuk melaksanakan regenerasi dibutuhkan banyak ATP, maka sel hepatosit memerlukan banyak fosfor untuk membentuk ATP. Kebutuhan fosfor tersebut dapat dipenuhi dari serum yang akibatnya akan menurunkan fosfor serum. Semakin banyak regenerasi terjadi maka akibatnya akan semakin menurunkan fosfor serum, inilah penyebab yang paling mungkin berkaitan dengan rendahnya fosfor serum pada tikus perlakuan dosis tertinggi 1 gkg bb. Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 dan 1 gkg bb tidak memberikan dampak terhadap konsentrasi fosfor dan kalsium serum tikus Sprague Dawley. Artinya perlakuan tersebut tidak mempengaruhi fungsi ginjal dalam meregulasi konsentrasi fosfor dan kalsium dalam serum tikus tersebut. 4.5.3.1.3. Potasium dan klorida Potasium dan klorida merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Selain itu potasium juga berperan sebagai kofaktor contohnya untuk enzim piruvat kinase pada metabolisme karbohidrat sedangkan klorida dapat berikatan dengan H + untuk membentuk asam kuat HCl yang membuat lingkungan lambung jadi asam. Dalam sel cairan intraselICF Internal Cell Fluid, potasium merupakan sumber kation utama sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel, jumlah K + di dalam cairan intrasel 10 kali lebih tinggi daripada di dalam cairan interstisialECF External Cell Fluid diluar sel dan kondisi tersebut dijaga olek pompa Na-K yang ada pada membran sel. Selain itu potasium juga terdapat dalam serum sekalipun jumlahnya kurang dari 1. Persentase potasium terbesar adalah pada cairan intrasel yaitu sebesar 90 dan pada cairan interstisial sebesar 10 Guyton dan Hall 1997. Sedangkan klorida merupakan sumber anion baik di dalam maupun di luar sel serta di dalam plasma dan berkebalikan dengan potasium, konsentrasi terbesar klorida terdapat pada plasma dan ECF. Konsentrasi potasium dan klorida yang terdapat dalam cairan intrasel, cairan interstisial dan juga serum harus dijaga konstan agar keseimbangan elektrolit tubuh tetap terjaga. Homeostasis potasium dan klorida tubuh dipengaruhi oleh distribusinya antara ECF dan ICF serta keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Satu-satunya sumber asupan potasium dan klorida bagi tubuh adalah makanan yang bisa bersumber dari hewani maupun nabati dan juga minuman. Sedangkan pengeluarannya bisa melalui keringat maupun ginjal. Potasium dan klorida yang telah difiltrasi oleh glomerulus akan menuju tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distal untuk selanjutnya akan dikeluarkan lewat urin. Tetapi tidak semua potasium dan klorida yang difiltrasi di glomerulus akan dikeluarkan lewat urin, hanya 10 dari potasium yang difiltrasi akan dikeluarkan lewat urin, sedangkan 90 nya akan diserap kembali reabsorpsi di tubulus yaitu 65 di tubulus proksimal dan 25 di tubulus distal. Sedangkan reabsorpsi klorida terjadi pada ansa henle dan tubulus distal. Proses tersebut tidak begitu saja berlangsung tetapi diatur oleh hormon dan yang berperan adalah aldosteron. Hormon ini akan banyak disintesis pada kondisi plasma tubuh kelebihan potasium dan bekerja pada kantung pengumpul sebelum ke pelvis dengan cara meningkatkan sekresi potasium ke dalam urin McGavin dan Zachary 2007, Guyton dan Hall 1997. Berdasarkan gambaran tersebut terlihat peran utama ginjal dalam menjaga homeostasis mineral termasuk potasium dan klorida. Menurut Davidson dan Henry 1974 pengukuran konsentrasi mineral serum dapat menjadi indikator kerusakan ginjal termasuk juga pada potasium Osorio dan Linas 1999 dan klorida Taylor dan Bouska 1988. Hasil pengukuran konsentrasi klorida dan potasium pada setiap tikus jantan dan betina ditampilkan pada Lampiran 44a, 45a, 46a dan 47a, sedangkan konsentrasi rata-rata ketiga parameter tersebut pada tikus jantan dan betina dari setiap perlakuan dan kontrol ditampilkan pada Tabel 16. Hasil pengukuran terhadap konsentrasi rata-rata klorida dan potasium pada tikus perlakuan baik jantan dan betina menunjukkan nilai yang lebih rendah dari kontrol. Konsentrasi rata-rata klorida terendah pada tikus jantan dan betina terdapat pada tikus yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 0,1 gkg bb yaitu sebesar 96,403 mmoll pada tikus jantan dan 95,780 mmoll pada tikus betina. Sedangkan pada potasium konsentrasi rata-rata terendah baik pada tikus jantan maupun betina terdapat pada tikus yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 1 gkg bb yaitu sebesar 1,598 mmoll pada tikus jantan dan 1,543 mmoll pada tikus betina Tabel 16. Analisis sidik ragam antar perlakuan terhadap konsentrasi klorida dan potasium menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata baik pada tikus jantan maupun betina Lampiran 44b, 45b, 46b dan 47 b. Tabel 16. Rata-rata dan standar deviasi klorida mmoll dan kalium mmoll pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 gkg bb. Jenis kelamin Perlakuan klorida mmoll kalium mmoll Jantan Kontrol 99,41±2,91 a 2,17±0,27 a 0,1 gkg bb 96,40±6,01 a 1,61±0,49 a 1 gkg bb 98,01±2,36 a 1,60±0,59 a Betina Kontrol 98,90±7,66 a 2,00±0,45 a 0,1 gkg bb 95,78±2,15 a 1,65±0,59 a 1 gkg bb 98,54±5,46 a 1,54±0,59 a Keterangan : Bilangan yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap jenis kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata P0,05. Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 dan 1 gkg bb tidak memberikan dampak terhadap konsentrasi klorida dan potasium serum tikus Sprague Dawley. Artinya perlakuan tersebut tidak mempengaruhi fungsi ginjal dalam meregulasi konsentrasi klorida dan potasium dalam serum tikus tersebut.

4.5.3.2. Histologi ginjal