Produk Domestik Regional Bruto PDRB Penelitian Terdahulu

2.3 Produk Domestik Regional Bruto PDRB

PDRB serupa dengan Produk Domestik Bruto PDB. PDB merupakan output barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu negara nasional, termasuk pendapatan warga negara asing di dalam negeri Mankiw, 28:2006. Sedangkan PDRB menunjukkan output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian di suatu daerah regional. Terdapat dua jenis PDRB yaitu, PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menghitung nilai tambah ouput dengan menggunakan harga pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menghitung nilai tambah ouput menggunakan harga tahun dasar tertentu. Maka dari itu, pada PDRB atas dasar harga konstan, pengaruh perbedaan harga antarwaktu telah dihilangkan. Pergeseran dan struktur perekonomian dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kemampuan sumber daya ekonomi suatu daerah untuk menghasilkan output pada tahun tersebut. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat secara keseluruhan atau sektoral BPS Propinsi Banten, 10-12:2008.

2.4 Infrastruktur

Terdapat beragam definisi berkaitan dengan infrastruktur, diantaranya adalah definisi infrastruktur dalam The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics Greenwald, 297:1973, yakni: “The foundation underlying a nation’s economy transportation and communications systems, power facilities, and other public services upon which the degree of economic activity industry, trade, etc depends.” Definisi lainnya untuk infrastruktur pada Kamus Istilah Ekonomi Rochaety dan Tresnati, 163:2005, yaitu: “ Pelayanan kepada masyarakat dalam skala besar seperti air, jalan raya, kereta api, sistem penerbangan, telepon, komunikasi radio, dan lain-lain .” Salim 48:2000 menyatakan bahwa infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik berupa listrik, air minum, transportasi, dan telekomunikasi, sedangkan infrastruktur sosial terdiri dari pendidikan, latihan, dan kesehatan. Selain itu, Ramelan 5-6:1997 menjelaskan secara lebih rinci, bahwa terdapat dua jenis infrastruktur pembangunan yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi berupa infrastruktur fisik yang digunakan masyarakat ataupun pada proses produksi, seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan yang dimaksud dengan infrastruktur sosial adalah kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa infrastruktur fisik termasuk sebagai social overhead capital, penambahannya akan meningkatkan produktivitas perekonomian. Pembangunan berbagai jenis infrastruktur dapat memberikan dampak multiplier terhadap perekonomian. Infrastruktur fisik menjadi komponen modal dalam faktor produksi yang penambahannya dapat menciptakan produktivitas marjinal. Untuk mendukung terjadinya konvergensi diperlukan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas maupun kualitas infrastruktur di masing-masing daerah, khususnya di daerah yang lebih miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap daerah kaya.

2.4.1 Jalan

Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Selanjutnya, ekspor dapat meningkat dengan adanya biaya komoditi yang murah di pasar internasional. Transportasi yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB Bappenas, 2003. Hal tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9. Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam suatu pulau atau propinsi. Sejak Otonomi Daerah Otda diberlakukan, perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi, kabupaten, kota, dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, perbedaan ketersediaan infrastruktur jalan dapat memengaruhi perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan aktivitas ekonominya, selanjutnya hal itu dapat menjadi pendorong kesenjangan perekonomian antardaerah. Sumber : Bappenas 123:2003 Gambar 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah

2.4.2 Listrik

Selain jalan, energi merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam berbagai aktivitas. Kemajuan suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan terhadap energi listrik. Kebutuhan listrik juga meningkat seiring dengan perubahan dunia yang menjadi semakin modern. Berbagai alat rumah tangga dan telekomunikasi saat ini penggunaannya tergantung pada kesediaan listrik. Industri membutuhkan listrik untuk berproduksi, Daya Saing Wilayah Ekspor X Investasi I Pembangunan Wilayah PDRB = C+I+G+nX Konsumsi C Lapangan Kerja Pembiayaan Pemerintah G Sistem Transportasi Pendapatan Pemerintah sehingga investasi di bidang industri akan berkaitan dengan jaminan ketersediaan listrik. Beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha, sehingga mereka membutuhkan listrik untuk berproduksi. Penduduk yang memiliki akses listrik mampu bekerja dan beraktivitas lebih lama. Kelancaran sistem transportasi pun tidak luput dari kebutuhan terhadap listrik, traffic light akan menjalankan tugasnya berdasarkan ketersediaan listrik yang mengalir. Daerah yang memiliki akses konsumsi listrik yang baik akan memiliki peluang lebih besar dalam menjalankan kegiatan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Daerah tersebut akan memiliki produktivitas yang lebih baik dari pada daerah yang minim akan akses listrik. Ketersediaan listrik yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dengan semakin tergantungnya berbagai aktivitas terhadap energi listrik. Pengelolaan listrik dan penyalurannya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh PT. PLN. Perusahaan milik negara ini bertugas untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelanggan listrik di Indonesia bergantung pada kemampuan PT. PLN dalam menghasilkan dan menyalurkan listrik.

2.4.3 Air Bersih

Ketersediaan air bersih merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perekonomian. Air bersih merupakan barang ekonomi karena penggunaannya membutuhkan kompetisi. Kompetisi tersebut terjadi karena air bersih merupakan sumberdaya yang terbatas dan penting. Oleh karena itu, air merupakan barang yang diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Hal tersebut merupakan beberapa prinsip Dublin yang dikemukakan pada UN Conference on Environment and Development UNCED Tahun 1992 di Rio de Janeiro Bouhia, 8:2001. Pentingnya permasalahan air membuat pemerintah mengeluarkan UU Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undang- undang tersebut menjelaskan mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan air. Pemerintah menegaskan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pada undang-undang tersebut juga tertulis bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air untuk memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Fungsi sosial dari air bersih dapat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang bisa tercermin dari kesehatannya. Penduduk yang sehat mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan pendapatan bagi kehidupannya. Daerah dengan akses air bersih yang minim, memiliki kesempatan yang terbatas dalam melakukan salah satu upaya menjaga kesehatan masyarakatnya. Pada sisi ekonomi, air bersih bisa digunakan bagi berbagai industri untuk berproduksi. Akses terhadap air bersih yang berkelanjutan menjadi salah satu dari target Millenium Development Goals 2015 Todaro dan Smith, 31:2006. Penekanan pentingnya akses air bersih oleh lembaga dunia, yakni United Nations Development Programme UNDP bertujuan agar kesenjangan penyediaan kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dapat secepatnya dihilangkan. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen terkait serta pihak lainnya harus mampu menjamin ketersediaan air bersih dan penyalurannya bagi seluruh masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah yang lebih miskin agar masyarakatnya memiliki kesempatan meningkatkan kesehatannya untuk dapat bekerja dengan lebih produktif.

2.4.4 Fasilitas Kesehatan

Pembangunan sumber daya manusia dapat berbentuk pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat yang sehat diharapkan dapat bekerja lebih pruduktif, sehingga mampu menghasilkan output atau pendapatan dengan baik. Selain itu, masyarakat yang sehat senantiasa memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan salah satu poin yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia IPM. Investasi pada bidang kesehatan dapat berupa perbaikan dan ataupun penambahan sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan puskesmas merupakan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pembangunan dan perbaikan kedua infrastruktur tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan begitu, daerah dengan infrastruktur kesehatan yang cukup diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakatnya.

2.5 Penelitian Terdahulu

Konsumsi energi dalam kehidupan, terutama di era modern menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Rumah tangga dan industri membutuhkan energi untuk melakukan berbagai aktivitas harian dan ekonomi. Lorde, Waithe, dan Francis 2010 meneliti hubungan antara GDP riil dan konsumsi energi berupa listrik di Barbados. Penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi energi baik oleh residensial maupun oleh kelompok non-residensial sektor perhotelan, industri, dan bisnis memberikan pengaruh yang signifikan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan kausalitas bidirectional antara GDP riil dan konsumsi energi total pada jangka panjang. Akan tetapi pada jangka pendek, hanya ada satu hubungan kausalitas yaitu konsumsi energi total memengaruhi GDP riil dan tidak untuk sebaliknya. Setiadi 2006 menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur dasar terhadap pendapatan per kapita di Pulau Sumatera periode 1983-2003. Variabel yang digunakan adalah panjang jalan per luas wilayah propinsi tanpa memerhitungkan kondisi jalan, jumlah telepon tetap per kapita, produksi listrik per kapita, investasi PMA dan PMDN per kapita, serta indeks pendidikan penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan per kapita. Sedangkan investasi non infrastruktur, indeks pendidikan, telepon, dan listrik berpengaruh signifikan pada pendapatan per kapita. Penelitian mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia KBI periode 1995-2006 dilakukan oleh Prasetyo 2008. Variabel yang digunakan adalah panjang jalan sesuai kondisi baik dan sedang per kapita, energi listrik terjual per kapita, kapasitas air bersih disalurkan per kapita, investasi per kapita, dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh PDRB ADHK per kapita dan pendapatan per kapita yang dinyatakan oleh PDRB atas dasar harga berlaku per kapita. Sedangkan air tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Penelitian tersebut juga menganalisis ketimpangan di KBI menggunakan Indeks Williamson dan Klassen Typologi. Nilai indeks ketimpangan antarpropinsi di KBI dari Tahun 1995-2007 cukup besar yaitu 0,59-0,73. Nilai tersebut meningkat pada awal masa otonomi daerah dan menurun pada tahun-tahun setelahnya. Pada periode 2000- 2007 tanpa DKI Jakarta, Riau, dan Aceh, hasil tipologi klassen menunjukkan bahwa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat berada pada kuadran 1, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Bali di kuadran 2, Jambi dan Bengkulu di kuadran 3, dan Lampung, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta di kuadran 4. Manasan dan Mercado 1999 meneliti konvergensi pendapatan di Filipina. Hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa konvergensi telah terjadi selama 1975-1997. Konvergensi terjadi lebih cepat saat sektor pertanian tumbuh lebih besar dari sektor industri dan sebaliknya. Agarwalla dan Pangotra 2011 menemukan bahwa proses divergensi pendapatan pada Tahun 1980-2006 terjadi di India. Sedangkan jika analisis dibagi menjadi daerah khusus dan non khusus, konvergensi sigma terjadi di daerah khusus dan divergensi terjadi di daerah non khuhus. Analisis konvergensi kondisional dengan metode cross section yang melibatkan tingkat tabungan, pertumbuhan tenaga kerja, dan depresiasi menunjukkan divergensi terjadi di India. Sedangkan jika analisis kembali dipisahkan, maka dapat dilihat konvergensi antardaerah khusus terjadi dan divergensi terjadi antardaerah non-khusus. Adapun analisis panel menunjukkan bahwa konvergensi pendapatan terjadi di India. Krismanti 2011 meneliti ketimpangan di Pulau Jawa menggunakan koefisien variasi Williamson dan konvergensi pendapatan kabupatenkota di pulau Jawa dengan menggunakan FD-GMM. Selain itu ia juga meneliti faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, termasuk infrastruktur, di Pulau Jawa. Analisis ketimpangan dengan koefisien variasi Williamson dan konvergensi menggunakan dua jenis variabel dependen yaitu PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Variabel independen yang digunakan untuk meneliti konvergensi adalah investasi dan tenaga kerja. Ketimpangan yang terjadi di Pulau Jawa pada pendekatan PDRB yaitu sebesar 0,94 sampai 0,98. Namun angka tersebut mencerminkan penurunan selama periode pengamatan. Sedangkan hasil estimasi dengan pendekatan kedua menunjukkan nilai koefisien variasi Williamson yang lebih kecil, yaitu antara 0,29 sampai 0,44. Hasil estimasi konvergensi PDRB per kapita kabupatenkota di Pulau Jawa menunjukkan konvergensi tidak terjadi. Sedangkan hasil estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita kabupatenkota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Pulau Jawa dengan tingkat konvergensi 107,28 persen. Kecepatan yang cukup tinggi tersebut disebabkan karena konvergensi dilihat dari sisi rumah tangga. Analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupatenkota antarpropinsi di Pulau Jawa juga dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu koefisien variasi Williamson dari PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Adapun variabel independen yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan wilayah adalah pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja, jumlah puskesmas, jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen, volume air bersih yang disalurkan PDAM kepada konsumen, dan panjang jalan yang berkondisi baik dan sedang untuk Tahun 2001-2009. Pada analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, propinsi DKI Jakarta dikecualikan dari pengamatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa listrik dan air meningkatkan ketimpangan PDRB antarwilayah. Sedangkan dengan pendekatan koefisien variasi Williamson dari pengeluaran rumah tangga, tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas merupakan variabel yang meningkatkan ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa. Infrastruktur merupakan variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Eropa. Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh dalam membentuk proses konvergensi pendapatan Del Bo, Florio, dan Manzi, 2010. Infrastruktur berupa panjang jalan dan jumlah sambungan telepon seluler, beserta variabel modal manusia dan tenaga kerja, serta stok kapital secara signifikan memengaruhi pertumbuhan regional dan konvergensi. Konvergensi terjadi dengan kecepatan sekitar 2 persen per tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan variabel yang penting dalam menutup kesenjangan antardaerah di Eropa. Penelitian mengenai infrastruktur dan konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Margono 2009, ia menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1995-2005. Metode yang digunakan adalah fixed effect pada data panel. Adapun variabel yang digunakan berupa investasi PMA dan PMDN per kapita, jumlah tenaga kerja tamat SMA dan universitas per kapita, panjang jalan kondisi baik dan sedang per kapita, kapasitas air bersih per kapita, kapasitas listrik terpasang per kapita, jumlah sambungan telepon induk per kapita, pertumbuhan jumlah penduduk, dummy otonomi daerah, dan dummy krisis. Hasil analisis α-convergence dan β- convergence menunjukkan adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada analisis conditional convergence, variabel tenaga kerja, infrastruktur telepon, air, dan jalan, serta dummy otonomi daerah Otda berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dummy krisis dan pertumbuhan penduduk memiliki elatisistas negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel investasi PMA dan PMDN serta listrik tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Waktu untuk menutup setengah kesenjangan awal adalah 14 tahun hingga 34 tahun.

2.6 Kerangka Pemikiran