Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) karena PDRB merupakan ukuran yang menunjukkan nilai tambah produksi barang dan jasa dalam masyarakat. Daerah yang memiliki sumber-sumber input produksi seperti, tenaga kerja, modal, dan sumberdaya alam yang melimpah akan dapat menciptakan nilai tambah yang besar. Nilai tambah yang tercermin pada nilai PDRB tersebut merupakan pendapatan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di suatu daerah.

Akan tetapi, setiap daerah tidak memiliki sumber-sumber input produksi, sarana dan prasarana yang sama. Oleh karena itu, kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kesenjangan pendapatan antardaerah. Kesenjangan tersebut dapat terjadi dalam ruang lingkup yang besar seperti antarnegara, ataupun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu antarpropinsi dalam suatu negara atau antarkabupaten/kota dalam suatu propinsi.

Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju, kriminalitas, konflik antarmasyarakat, dan dalam konteks kenegaraan, kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi dan aktivitas ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, kesenjangan harus diatasi oleh pemerintah.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang miskin atau memiliki pendapatan yang lebih rendah. Dengan demikian, daerah miskin diharapkan mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi


(2)

oleh daerah miskin terhadap daerah yang kaya, sehingga kesenjangan antardaerah dapat diperkecil dari waktu ke waktu.

Kepemilikan pendapatan antardaerah di Indonesia masih belum menunjukkan kemerataan. Hal ini dapat dilihat pada besaran kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah atau daerah di Indonesia. Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 menurut pulau pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) ADHK 2000, yaitu sebesar 61 persen. Pulau Sumatera merupakan daerah yang memiliki peran terbesar kedua dalam pembentukan PDB ADHK setelah Pulau Jawa dengan nilai sebesar 21 persen. Sedangkan penjumlahan kontribusi pulau-pulau lainnya memberikan kontribusi sebesar 18 persen.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDB ADHK 2000 menurut Pulau Tahun 2010

Kontribusi PDRB yang terdapat di Pulau Sumatera tidak merata. Pada Tahun 2010, Propinsi Sumatera Utara yang merupakan pemilik kontribusi PDRB ADHK terbesar, menyumbang PDRB lebih dari 25 persen terhadap total PDRB Pulau Sumatera. Sedangkan Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB nya terhadap PDRB ADHK Sumatera paling rendah, yaitu di bawah lima persen. Dengan

21%

61% 1% 9%

5% 3%

P.Sumatera P.Jawa P.Bali P.Kalimantan P.Sulawesi Lainnya


(3)

demikian, pembangunan di wilayah tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah, agar daerah tersebut mampu meningkatkan perekonomiannya. Lokasi Pulau Sumatera yang dekat dengan Pulau Jawa merupakan peluang bagi masing-masing propinsi di Pulau Sumatera untuk meningkatkan aktivitas ekonominya. Tabel 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Pulau

Sumatera menurut Propinsi Tahun 2010

Propinsi Kontribusi PDRB

Nanggroe Aceh Darussalam 7,07%

Sumatera Utara 25,35%

Sumatera Barat 8,30%

Riau 20,87%

Jambi 3,73%

Sumatera Selatan 13,62%

Bengkulu 1,78%

Lampung 8,18%

Kepulauan Bangka Belitung 2,32%

Kepulauan Riau 8,78%

Sumber : BPS, diolah.

Penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia yang dirangkum oleh Tambunan (176-182:2003) diantaranya adalah pertama, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, suatu daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan tumbuh lebih cepat. Hal ini dapat menyebabkan tenaga kerja, modal, dan kegiatan perdagangan pindah ke daerah yang lebih maju. Kedua, alokasi investasi yang terpusat di suatu daerah tertentu. Hal ini menyebabkan tingkat pendapatan per kapita yang rendah di daerah minim investasi. Ketiga, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah. Keempat perbedaan sumber daya antarpropinsi. Kelima, perbedaan demografis antarwilayah, seperti jumlah dan pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, dan disiplin masyarakat serta etos kerja. Keenam, kurang lancarnya kegiatan perdagangan antarpropinsi yang disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi.


(4)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia adalah kesenjangan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Perbedaan ketersediannya antardaerah bisa menimbulkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi.

Infrastruktur yang berperan penting dalam proses pembangunan diantaranya adalah infrastruktur ekonomi dan sosial. Infrastruktur ekonomi dapat berupa jalan, listrik, air, irigasi, dan komunikasi. Infrastruktur ekonomi dapat menjadi modal yang digunakan oleh tenaga kerja dalam melakukan proses produksi seperti listrik dan air bersih. Konsumsi air bersih oleh rumah tangga juga dapat menjadi sesuatu yang berperan menjaga kesehatan tenaga kerja, sehingga air bersih dapat pula berperan secara tidak langsung terhadap perekonomian melalui peningkatan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sehat mampu bekerja dengan baik, sehingga mereka diharapkan menjadi lebih produktif. Adapun infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan dan komunikasi dapat menjadi sarana penunjang bagi kelancaran arus kegiatan ekonomi.

Infrastruktur sosial dapat meliputi infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Peningkatan pendidikan tenaga kerja mampu meningkatkan keahlian mereka dalam berproduksi. Infrastruktur kesehatan dapat membantu tenaga kerja mengatasi permasalahan kesehatan yang dapat menganggu jalannya kegiatan kerja mereka. Oleh sebab itu, kehadiran infrastruktur tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja.

Penyediaan berbagai infrastruktur di atas sangat bermanfaat dalam menciptakan daya tarik investasi bagi tiap daerah. Khususnya bagi daerah yang relatif lebih miskin yang umumnya memiliki sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang masih rendah. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur perlu direncanakan dengan sebaik mungkin agar mampu meningkatkan perekonomian daerah, terutama daerah miskin, agar kemudian dapat meminimalkan kesenjangan antardaerah. Berbagai jenis infrastruktur di atas dapat dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta atau gabungan antara keduanya.


(5)

1.2 Rumusan Masalah

Jumlah penduduk suatu daerah memengaruhi jumlah PDRB yang diterima per penduduk. Maka dari itu untuk melihat kesenjangan secara lebih jelas, akan digunakan ukuran PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000. PDRB berdasarkan harga konstan merupakan pengukuran yang telah menghilangkan efek perbedaan harga, sehingga disebut PDRB riil.

Kesenjangan pendapatan antarpropinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, secara sepintas dapat dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000. Propinsi Kepulauan Riau merupakan daerah dengan nilai PDRB per kapita ADHK 2000 tertinggi, yakni Rp 24.466.510,30. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh Propinsi Bengkulu, yaitu Rp 4.855.877,48. Dapat dilihat bahwa Propinsi Kepulauan Riau merupakan propinsi yang bukan merupakan kontributor PDRB terbesar terhadap PDB, namun memiliki nilai PDRB per kapita ADHK tertinggi. Sementara itu, Sumatera Utara yang merupakan kontributor PDRB tertinggi terhadap PDB memiliki PDRB per kapita yang relatif lebih rendah dari Propinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, ukuran PDRB per kapita ADHK dapat dikatakan lebih baik untuk melihat kesenjangan daripada pengukurannya tanpa membagi dengan jumlah penduduk.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 2. PDRB per Kapita ADHK 2000 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (Juta Rupiah)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 Nanggroe Aceh Darussalam

Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau


(6)

Infrastruktur merupakan modal yang dapat menjadi input produksi ataupun penunjang bagi kelancaran kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat. Perbedaan ketersediaan infrastruktur yaitu jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan di berbagai propinsi di Pulau Sumatera menunjukkan bahwa masing-masing propinsi memiliki perbedaan sarana dan prasarana yang dapat membantu meningkatkan produktivitas dan memudahkan akses pelaku ekonomi terhadap sumber kegiatan ekonomi. Daerah dengan akses terhadap infrastruktur yang cukup mempunyai kesempatan melaksanakan kegiatan ekonomi dengan lebih lancar dan memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dan sebaliknya. Hal ini selanjutnya dapat menimbulkan kesenjangan antardaerah dalam menciptakan pendapatan.

Pada Tahun 2010, persentase jalan berkondisi rusak dan rusak berat tertinggi terdapat di Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Bengkulu. Propinsi Jambi dan Propinsi Bengkulu termasuk propinsi yang memiliki PDRB per kapita relatif rendah. Sedangkan wilayah yang paling sedikit memiliki persentase jalan kondisi rusak dan rusak berat pada tahun yang sama adalah Propinsi Bangka Belitung. Meskipun propinsi ini PDRB nya berkontribusi kecil terhadap PDB, namun setelah dilihat dalam ukuran PDRB per kapita, wilayah ini memiliki nilai PDRB per kapita yang hampir sama dengan propinsi yang merupakan kontributor PDRB tertinggi di Pulau Sumatera.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 3. Persentase Jalan Kondisi Rusak dan Rusak Berat menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50%


(7)

Persentase energi listrik terjual terhadap total energi terjual di Sumatera pada Tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 4. Persentase tertinggi dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yakni sebesar 31,41 persen. Adapun propinsi dengan persentase energi listrik terjual terendah adalah Propinsi Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Propinsi Kepulauan Riau juga memiliki persentase yang rendah, akan tetapi nilai itu di luar satuan PLN Batam yang juga merupakan bagian dari Propinsi Kepulauan Riau menurut geografis kepemerintahan. Dengan demikian, Propinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan memiliki persentase energi terjual sebesar 8,88 persen. Energi yang terjual baik kepada industri maupun rumah tangga berperan dalam meningkatkan produktivitas. Masyarakat yang memiliki akses terhadap listrik dapat memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam melakukan berbagai kegiatan yang produktif dengan lancar, seperti belajar, bekerja, dan kegiatan lainnya. Selain itu, usaha rumahan, layaknya industri, juga membutuhkan akses listrik untuk menunjang aktivitas produksi.

Sumber : PLN, diolah.

Gambar 4. Persentase Energi Terjual terhadap Total Pulau Sumatera menurut Satuan PLN/Propinsi Tahun 2010

Konsumsi air bersih yang disalurkan oleh PDAM dapat tercermin pada jumlah air bersih yang didistribusikan kepada pelanggan. Konsumsi air bersih diantaranya dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah industri. Penduduk yang memiliki akses terhadap air bersih diharapkan memiliki kesehatan

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Nanggroe Aceh Darussalam

Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau Batam


(8)

yang baik dan akhirnya dapat menjadi lebih produktif. Sedangkan industri dapat memanfaatkan air bersih sebagai salah satu bahan baku pada proses produksi. Distribusi air bersih yang meningkat akan membantu meningkatkan pendapatan melalui hal tadi. Jumlah air bersih yang didistribusikan oleh PDAM pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah air yang didistribusikan antarpropinsi. Propinsi Bengkulu dan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang memiliki jumlah air didistribusikan paling kecil. Sedangkan distribusi air terbesar pada tahun yang sama dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yaitu hampir sebesar 200 juta kubik. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah air terdistribusikan di propinsi lainnya.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 5. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan oleh PDAM menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (ribu m3)

Selain infrastruktur ekonomi di atas, infrastruktur sosial juga penting untuk diperhatikan. Ketersediaan infrastruktur sosial berupa rumah sakit dan psukesmas sebagai sarana menjaga kesehatan masyarakat adalah hal yang penting. Masyarakat yang sehat diharapkan mampu menjalankan aktivitas dengan lancar dan produktif. Pada Tahun 2010, kepemilikan jumlah rumah sakit dan puskesmas di berbagai propinsi di Pulau Sumatera berbeda antardaerah. Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang memiliki jumlah rumah sakit dan puskesmas terbanyak dibandingkan dengan propinsi lainnya.

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000 220000


(9)

Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah.

Gambar 6. Jumlah Infrastruktur Kesehatan Tahun 2010 menurut Propinsi di Pulau Sumatera

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera?

2. Bagaimana peran infrastruktur dan faktor lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera.

2. Mengidentifikasi peran infrastruktur dan faktor lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. Selain itu, penelitian ini memberikan masukan mengenai jenis infrastruktur yang dapat berpengaruh secara signifikan sebagai pemicu konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan sebagai masukan untuk perumusan kebijakan bagi pemerintah.

0 100 200 300 400 500 600 700


(10)

Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti untuk mengkaji masalah konvergensi dan pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di suatu daerah.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas mengenai konvergensi yang terjadi di Pulau Sumatera pada Tahun 2003-2010. Pengamatan meliputi sembilan propinsi di Pulau Sumatera. Propinsi Kepulauan Riau yang mekar pada tengah waktu pengamatan dimasukkan ke dalam propinsi induknya yaitu Propinsi Riau. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepastian data. Infrastruktur yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jalan, air bersih, listrik, dan kesehatan. Periode penelitian dipilih berdasarkan ketersediaan data untuk infrastruktur pada masa otonomi daerah di Pulau Sumatera.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi

Teori mengenai pertumbuhan ekonomi akan memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi Neoklasik Solow menjelaskan mengenai pengaruh persediaan modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi terhadap ouput. Fungsi produksi agregat dapat membantu menggambarkan mengenai hal tersebut. Mula-mula akan dibahas mengenai pertumbuhan ouput yang dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja tanpa memasukkan teknologi. Fungsi produksi agregat dapat ditulis sebagai berikut:

Y = F(K,L) ……….. (2.1) Model pertumbuhan Solow mengasumsikan adanya constant return to

scale ketika input dianalisis secara bersamaan. Namun, ketika input dianalisis

secara terpisah maka asumsi yang digunakan adalah diminishing return to scale (Todaro dan Smith, 150:2006). Pada mulanya peningkatan modal per tenaga kerja akan meningkatkan output per kapita, akan tetapi ketika penambahan modal terus dilakukan output meningkat lebih rendah (diminishing marginal product of

capital).

Output per kapita, y

Sumber : Dornbusch, Fischer, dan Startz (62:2008)

Gambar 7. Fungsi Produksi per Kapita

k k

y


(12)

Fungsi produksi tanpa memasukkan unsur kemajuan teknologi dilakukan untuk penyederhanaan, sehingga tidak dapat dilihat pertumbuhan jangka panjang pada perekonomian secara lebih lengkap. Kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen dalam teori ekonomi neoklasik Solow. Untuk melihat hal itu dalam teori pertumbuhan neoklasik Solow, dengan memasukkan kemajuan teknologi, persamaan fungsi agregat dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 212:2006) : Y = F(K, L x E) ……… (2.2) E merupakan variabel yang mewakili efisiensi tenaga kerja, yaitu pengetahuan mengenai metode produksi. Pendidikan atau keahlian serta kesehatan tenaga kerja dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja ketika contohnya, teknologi komputer dipakai pada proses produksi dalam bidang manufaktur untuk proses perakitan pada akhir abad dua puluh (Mankiw, 212:2006).

Peningkatan jumlah pekerja efektif akibat peningkatan teknologi tersebut mampu meningkatkan output. Akan tetapi peningkatan jumlah pekerja efektif tidak berarti menunjukkan peningkatan input atau tenaga kerja. Jumlah pekerja dapat sama dengan waktu yang lalu, tetapi dengan kemajuan teknologi yang dikuasai tenaga kerja saat ini, ketersediaan tenaga kerja efektif menjadi bertambah. Maka dari itu, dari persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan output ditentukan oleh modal (K) dan jumlah pekerja efektif (L x E).

Efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari modal tidak dijelaskan dalam model dasar Solow, padahal dalam beberapa hal modal manusia serupa dengan modal fisik. Modal manusia mampu memberikan peningkatan kemampuan untuk memproduksi ouput. Modal manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pekerja dari kegiatan pendidikan seperti on the job training dan pendidikan formal lainnya. Pada model Solow, E merupakan modal manusia yang bergabung dengan variabel tenaga kerja. Sementara yang dimaksud dengan menggunakan modal manusia di atas adalah menganalisis modal manusia dengan terpisah dari variabel tenaga kerja, yaitu sebagai bentuk baru dari modal (K). Dengan demikian, E hanya mencerminkan teknologi dan modal manusia tidak merupakan bagian di dalamnya (Mankiw, 222:2006).


(13)

Mankiw (222:2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya, modal yang ada tidak hanya merupakan jenis modal pada model neoklasik Solow saja, yaitu tabungan. Akan tetapi, jalan raya, jembatan, sistem pembuangan air, pabrik, komputer, dan robot juga merupakan bentuk lain dari modal yang ada di dunia. Oleh sebab itu, pengembangan terhadap fungsi produksi dilakukan oleh para ekonom untuk meneliti faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh dalam proses perekonomian di dunia atau di suatu wilayah.

2.2 Konvergensi

Teori ekonomi neoklasik berpendapat bahwa perekonomian akan bergerak menuju steady state atau kondisi mapan, pergerakan tersebut ditentukan oleh tingkat teknologi, tingkat investasi termasuk modal manusia dan modal fisik, tingkat pertumbuhan penduduk, serta tingkat depresiasi modal manusia dan modal fisik. Pergerakan perekonomian menuju kondisi mapan terjadi saat tingkat teknologi dan tabungan yang dimiliki suatu perkeonomian tinggi dan tingkat pertumbuhan populasi serta depresiasi yang terjadi rendah, dan sebaliknya. Perbedaan tingkat tabungan, tingkat teknologi, tingkat pertumbuhan populasi, serta perbedaan karakteristik lainnya antarnegara atau antardaerah menyebabkan setiap perekonomian tidak memiliki tingkat kondisi mapan yang sama. Peningkatan pendapatan per kapita hanya akan terjadi sebesar tingkat teknologinya ketika suatu perekonomian telah berada pada kondisi mapannya (Valdés, 62-63:2003).

Valdés (2003) lebih lanjut memberikan ilustrasi mengenai konvergensi menuju kondisi mapan (Gambar 8). Jika suatu perekonomian berada di bawah kondisi mapannya (jalur C), maka pertumbuhan pendapatan per kapita akan lebih besar dari pada tingkat teknologi. Sedangkan jika perekonomian berada di atas kondisi mapannya (jalur D), maka perekonomian akan bergerak menuju kondisi mapan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih kecil dari tingkat teknologinya. Jalur B menunjukkan perekonomian yang telah berada pada kondisi mapan, pada posisi tersebut pertumbuhan ekonomi akan tumbuh sebesar tingkat teknologinya.


(14)

Sumber : Valdés (63:2003)

Gambar 8. Konvergensi Menuju Kondisi Mapan

Terdapat dua kosep konvergensi, yaitu σ convergence dan β convergence. Konsep yang pertama fokus pada dispersi yang dapat diukur dengan misalnya, standard deviasi dari logaritma pendapatan atau produk per kapita antardaerah. Jika nilainya menunjukkan penurunan antarwaktu maka konvergensi pendapatan terjadi. Namun, jika nilainya tidak menunjukkan penurunan maka konvergensi tidak terjadi. Sedangkan konsep yang kedua menyatakan perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) perekonomian kaya dalam hal pendapatan atau produk per kapita (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004).

Konsep β convergence dapat dibedakan menjadi dua, yaitu absolute

convergence dan conditional convergence. Konvergensi absolut terjadi ketika

pengukuran konvergensi didasarkan pada tingkat pendapatan awal saja. Sedangkan konvergensi kondisional menambahkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol ini merupakan karakteristik yang menentukan tingkat kondisi mapan masing-masing perekonomian. Dengan demikian konvergensi kondisional menyatakan bahwa perekonomian akan berkonvergen pada kondisi mapan masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai variabel kontrol seperti tingkat tabungan dan pertumbuhan populasi (Barro dan Sala-i Martin, 17:2004).


(15)

2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB serupa dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan output barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu negara (nasional), termasuk pendapatan warga negara asing di dalam negeri (Mankiw, 28:2006). Sedangkan PDRB menunjukkan output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian di suatu daerah (regional). Terdapat dua jenis PDRB yaitu, PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menghitung nilai tambah ouput dengan menggunakan harga pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menghitung nilai tambah ouput menggunakan harga tahun dasar tertentu. Maka dari itu, pada PDRB atas dasar harga konstan, pengaruh perbedaan harga antarwaktu telah dihilangkan.

Pergeseran dan struktur perekonomian dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kemampuan sumber daya ekonomi suatu daerah untuk menghasilkan output pada tahun tersebut. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat secara keseluruhan atau sektoral (BPS Propinsi Banten, 10-12:2008).

2.4 Infrastruktur

Terdapat beragam definisi berkaitan dengan infrastruktur, diantaranya adalah definisi infrastruktur dalam The McGraw-Hill Dictionary of Modern

Economics (Greenwald, 297:1973), yakni:

“The foundation underlying a nation’s economy (transportation and communications systems, power facilities, and other public services) upon which the degree of economic activity (industry, trade, etc) depends.”

Definisi lainnya untuk infrastruktur pada Kamus Istilah Ekonomi (Rochaety dan Tresnati, 163:2005), yaitu:

Pelayanan kepada masyarakat dalam skala besar seperti air, jalan raya, kereta api, sistem penerbangan, telepon, komunikasi radio, dan lain-lain.”

Salim (48:2000) menyatakan bahwa infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik berupa listrik, air minum, transportasi, dan telekomunikasi, sedangkan infrastruktur sosial terdiri dari pendidikan, latihan, dan kesehatan. Selain itu,


(16)

Ramelan (5-6:1997) menjelaskan secara lebih rinci, bahwa terdapat dua jenis infrastruktur pembangunan yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi berupa infrastruktur fisik yang digunakan masyarakat ataupun pada proses produksi, seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan yang dimaksud dengan infrastruktur sosial adalah kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa infrastruktur fisik termasuk sebagai social

overhead capital, penambahannya akan meningkatkan produktivitas

perekonomian.

Pembangunan berbagai jenis infrastruktur dapat memberikan dampak

multiplier terhadap perekonomian. Infrastruktur fisik menjadi komponen modal

dalam faktor produksi yang penambahannya dapat menciptakan produktivitas marjinal. Untuk mendukung terjadinya konvergensi diperlukan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas maupun kualitas infrastruktur di masing-masing daerah, khususnya di daerah yang lebih miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap daerah kaya.

2.4.1 Jalan

Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Selanjutnya, ekspor dapat meningkat dengan adanya biaya komoditi yang murah di pasar internasional.

Transportasi yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB (Bappenas, 2003). Hal tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9.

Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam


(17)

suatu pulau atau propinsi. Sejak Otonomi Daerah (Otda) diberlakukan, perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi, kabupaten, kota, dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, perbedaan ketersediaan infrastruktur jalan dapat memengaruhi perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan aktivitas ekonominya, selanjutnya hal itu dapat menjadi pendorong kesenjangan perekonomian antardaerah.

Sumber : Bappenas (123:2003)

Gambar 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah

2.4.2 Listrik

Selain jalan, energi merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam berbagai aktivitas. Kemajuan suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan terhadap energi listrik. Kebutuhan listrik juga meningkat seiring dengan perubahan dunia yang menjadi semakin modern.

Berbagai alat rumah tangga dan telekomunikasi saat ini penggunaannya tergantung pada kesediaan listrik. Industri membutuhkan listrik untuk berproduksi,

Daya Saing Wilayah

Ekspor (X)

Investasi (I)

Pembangunan Wilayah PDRB = C+I+G+nX

Konsumsi (C) Lapangan Kerja

Pembiayaan Pemerintah (G) Sistem Transportasi


(18)

sehingga investasi di bidang industri akan berkaitan dengan jaminan ketersediaan listrik. Beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha, sehingga mereka membutuhkan listrik untuk berproduksi. Penduduk yang memiliki akses listrik mampu bekerja dan beraktivitas lebih lama. Kelancaran sistem transportasi pun tidak luput dari kebutuhan terhadap listrik, traffic light akan menjalankan tugasnya berdasarkan ketersediaan listrik yang mengalir. Daerah yang memiliki akses konsumsi listrik yang baik akan memiliki peluang lebih besar dalam menjalankan kegiatan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Daerah tersebut akan memiliki produktivitas yang lebih baik dari pada daerah yang minim akan akses listrik.

Ketersediaan listrik yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dengan semakin tergantungnya berbagai aktivitas terhadap energi listrik. Pengelolaan listrik dan penyalurannya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh PT. PLN. Perusahaan milik negara ini bertugas untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelanggan listrik di Indonesia bergantung pada kemampuan PT. PLN dalam menghasilkan dan menyalurkan listrik.

2.4.3 Air Bersih

Ketersediaan air bersih merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perekonomian. Air bersih merupakan barang ekonomi karena penggunaannya membutuhkan kompetisi. Kompetisi tersebut terjadi karena air bersih merupakan sumberdaya yang terbatas dan penting. Oleh karena itu, air merupakan barang yang diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Hal tersebut merupakan beberapa prinsip Dublin yang dikemukakan pada UN Conference on

Environment and Development (UNCED) Tahun 1992 di Rio de Janeiro (Bouhia,

8:2001).

Pentingnya permasalahan air membuat pemerintah mengeluarkan UU Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undang-undang tersebut menjelaskan mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan air. Pemerintah menegaskan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pada undang-undang tersebut juga tertulis bahwa negara menjamin hak setiap orang


(19)

untuk mendapatkan air untuk memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Fungsi sosial dari air bersih dapat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang bisa tercermin dari kesehatannya. Penduduk yang sehat mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan pendapatan bagi kehidupannya. Daerah dengan akses air bersih yang minim, memiliki kesempatan yang terbatas dalam melakukan salah satu upaya menjaga kesehatan masyarakatnya. Pada sisi ekonomi, air bersih bisa digunakan bagi berbagai industri untuk berproduksi.

Akses terhadap air bersih yang berkelanjutan menjadi salah satu dari target

Millenium Development Goals 2015 (Todaro dan Smith, 31:2006). Penekanan

pentingnya akses air bersih oleh lembaga dunia, yakni United Nations

Development Programme (UNDP) bertujuan agar kesenjangan penyediaan

kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dapat secepatnya dihilangkan. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen terkait serta pihak lainnya harus mampu menjamin ketersediaan air bersih dan penyalurannya bagi seluruh masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah yang lebih miskin agar masyarakatnya memiliki kesempatan meningkatkan kesehatannya untuk dapat bekerja dengan lebih produktif.

2.4.4 Fasilitas Kesehatan

Pembangunan sumber daya manusia dapat berbentuk pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat yang sehat diharapkan dapat bekerja lebih pruduktif, sehingga mampu menghasilkan output atau pendapatan dengan baik. Selain itu, masyarakat yang sehat senantiasa memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan salah satu poin yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Investasi pada bidang kesehatan dapat berupa perbaikan dan ataupun penambahan sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan puskesmas merupakan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pembangunan dan perbaikan kedua infrastruktur tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan begitu, daerah dengan infrastruktur kesehatan yang


(20)

cukup diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakatnya.

2.5 Penelitian Terdahulu

Konsumsi energi dalam kehidupan, terutama di era modern menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Rumah tangga dan industri membutuhkan energi untuk melakukan berbagai aktivitas harian dan ekonomi. Lorde, Waithe, dan Francis (2010) meneliti hubungan antara GDP riil dan konsumsi energi berupa listrik di Barbados. Penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi energi baik oleh residensial maupun oleh kelompok non-residensial (sektor perhotelan, industri, dan bisnis) memberikan pengaruh yang signifikan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan kausalitas

bidirectional antara GDP riil dan konsumsi energi total pada jangka panjang.

Akan tetapi pada jangka pendek, hanya ada satu hubungan kausalitas yaitu konsumsi energi total memengaruhi GDP riil dan tidak untuk sebaliknya.

Setiadi (2006) menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur dasar terhadap pendapatan per kapita di Pulau Sumatera periode 1983-2003. Variabel yang digunakan adalah panjang jalan per luas wilayah propinsi tanpa memerhitungkan kondisi jalan, jumlah telepon tetap per kapita, produksi listrik per kapita, investasi (PMA dan PMDN) per kapita, serta indeks pendidikan penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan per kapita. Sedangkan investasi non infrastruktur, indeks pendidikan, telepon, dan listrik berpengaruh signifikan pada pendapatan per kapita.

Penelitian mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia (KBI) periode 1995-2006 dilakukan oleh Prasetyo (2008). Variabel yang digunakan adalah panjang jalan sesuai kondisi baik dan sedang per kapita, energi listrik terjual per kapita, kapasitas air bersih disalurkan per kapita, investasi per kapita, dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh PDRB ADHK per kapita dan pendapatan per kapita yang dinyatakan oleh PDRB


(21)

atas dasar harga berlaku per kapita. Sedangkan air tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Penelitian tersebut juga menganalisis ketimpangan di KBI menggunakan Indeks Williamson dan

Klassen Typologi. Nilai indeks ketimpangan antarpropinsi di KBI dari Tahun

1995-2007 cukup besar yaitu 0,59-0,73. Nilai tersebut meningkat pada awal masa otonomi daerah dan menurun pada tahun-tahun setelahnya. Pada periode 2000-2007 tanpa DKI Jakarta, Riau, dan Aceh, hasil tipologi klassen menunjukkan bahwa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat berada pada kuadran 1, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Bali di kuadran 2, Jambi dan Bengkulu di kuadran 3, dan Lampung, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta di kuadran 4.

Manasan dan Mercado (1999) meneliti konvergensi pendapatan di Filipina. Hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa konvergensi telah terjadi selama 1975-1997. Konvergensi terjadi lebih cepat saat sektor pertanian tumbuh lebih besar dari sektor industri dan sebaliknya. Agarwalla dan Pangotra (2011) menemukan bahwa proses divergensi pendapatan pada Tahun 1980-2006 terjadi di India. Sedangkan jika analisis dibagi menjadi daerah khusus dan non khusus, konvergensi sigma terjadi di daerah khusus dan divergensi terjadi di daerah non khuhus. Analisis konvergensi kondisional dengan metode cross section yang melibatkan tingkat tabungan, pertumbuhan tenaga kerja, dan depresiasi menunjukkan divergensi terjadi di India. Sedangkan jika analisis kembali dipisahkan, maka dapat dilihat konvergensi antardaerah khusus terjadi dan divergensi terjadi antardaerah non-khusus. Adapun analisis panel menunjukkan bahwa konvergensi pendapatan terjadi di India.

Krismanti (2011) meneliti ketimpangan di Pulau Jawa menggunakan koefisien variasi Williamson dan konvergensi pendapatan kabupaten/kota di pulau Jawa dengan menggunakan FD-GMM. Selain itu ia juga meneliti faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, termasuk infrastruktur, di Pulau Jawa. Analisis ketimpangan dengan koefisien variasi Williamson dan konvergensi menggunakan dua jenis variabel dependen yaitu PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Variabel independen yang digunakan untuk meneliti konvergensi adalah investasi dan tenaga kerja.


(22)

Ketimpangan yang terjadi di Pulau Jawa pada pendekatan PDRB yaitu sebesar 0,94 sampai 0,98. Namun angka tersebut mencerminkan penurunan selama periode pengamatan. Sedangkan hasil estimasi dengan pendekatan kedua menunjukkan nilai koefisien variasi Williamson yang lebih kecil, yaitu antara 0,29 sampai 0,44. Hasil estimasi konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan konvergensi tidak terjadi. Sedangkan hasil estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Pulau Jawa dengan tingkat konvergensi 107,28 persen. Kecepatan yang cukup tinggi tersebut disebabkan karena konvergensi dilihat dari sisi rumah tangga.

Analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota antarpropinsi di Pulau Jawa juga dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu koefisien variasi Williamson dari PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Adapun variabel independen yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan wilayah adalah pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja, jumlah puskesmas, jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen, volume air bersih yang disalurkan PDAM kepada konsumen, dan panjang jalan yang berkondisi baik dan sedang untuk Tahun 2001-2009. Pada analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, propinsi DKI Jakarta dikecualikan dari pengamatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa listrik dan air meningkatkan ketimpangan PDRB antarwilayah. Sedangkan dengan pendekatan koefisien variasi Williamson dari pengeluaran rumah tangga, tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas merupakan variabel yang meningkatkan ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa.

Infrastruktur merupakan variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Eropa. Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh dalam membentuk proses konvergensi pendapatan (Del Bo, Florio, dan Manzi, 2010). Infrastruktur berupa panjang jalan dan jumlah sambungan telepon seluler, beserta variabel modal manusia dan tenaga kerja, serta stok kapital secara signifikan memengaruhi pertumbuhan regional dan konvergensi.


(23)

Konvergensi terjadi dengan kecepatan sekitar 2 persen per tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan variabel yang penting dalam menutup kesenjangan antardaerah di Eropa.

Penelitian mengenai infrastruktur dan konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Margono (2009), ia menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1995-2005. Metode yang digunakan adalah fixed effect pada data panel. Adapun variabel yang digunakan berupa investasi (PMA dan PMDN) per kapita, jumlah tenaga kerja tamat SMA dan universitas per kapita, panjang jalan (kondisi baik dan sedang) per kapita, kapasitas air bersih per kapita, kapasitas listrik terpasang per kapita, jumlah sambungan telepon induk per kapita, pertumbuhan jumlah penduduk, dummy otonomi daerah, dan dummy krisis. Hasil analisis α-convergence dan β

-convergence menunjukkan adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi di

Indonesia. Pada analisis conditional convergence, variabel tenaga kerja, infrastruktur telepon, air, dan jalan, serta dummy otonomi daerah (Otda) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dummy krisis dan pertumbuhan penduduk memiliki elatisistas negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel investasi (PMA dan PMDN) serta listrik tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Waktu untuk menutup setengah kesenjangan awal adalah 14 tahun hingga 34 tahun.

2.6 Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang ingin dicapai setiap daerah. Hal tersebut menunjukkan pembangunan di suatu daerah. PDRB merupakan besaran yang dapat memerlihatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari proses penciptaan nilai tambah. Daerah dengan sumber input produksi yang melimpah dan berkualitas akan memberikan nilai tambah yang besar.

Akan tetapi kepemilikan terhadap sumber input produksi, sarana, dan prasarana masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Hal itu bisa mengakibatkan perbedaan kemampuan antardaerah untuk meningkatkan pendapatan dan kemudian akan menimbulkan kesenjangan perekonomian


(24)

antardaerah. Kesenjangan pendapatan antardaerah dapat menimbulkan berbagai masalah kriminalitas, konflik antarmasyarakat, migrasi yang tinggi dari daerah miskin ke daerah yang maju, dan dalam konteks kenegaraan akan menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang, sehingga akan mengancam keutuhan suatu negara.

Pemerintah dapat melakukan berbagai program untuk mendorong perkonomian daerah yang miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap perekonomian daerah yang maju. Pengejaran perkonomian yang miskin terhadap perekonomian yang sudah maju disebut konvergensi. Konvergensi pendapatan terjadi ketika pertumbuhan ekonomi daerah miskin lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi yang telah maju atau kaya.

Pulau Sumatera merupakan wilayah yang memiliki nilai PDRB ADHK tertinggi setelah Pulau Jawa. Akan tetapi nilai PDRB yang besar tersebut tidak terdistribusi merata dalam kepemilikannya. Propinsi yang berkontribusi cukup besar terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera adalah Propinsi Sumatera Utara. Sementara beberapa propinsi lainnya, yaitu Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB ADHK nya terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera paling rendah.

Salah satu penyebab kesenjangan dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana, seperti ketersediaan infrastruktur, baik infrastruktur sosial maupun infrastruktur ekonomi. Infrastruktur yang memadai dan layak dapat menjadi pendorong perekonomian suatu daerah. Selain itu, ketersediaan infrastruktur tersebut akan menarik minat investasi. Perbedaan ketersediaan infrastruktur antardaerah dapat menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam menciptakan pendapatan, sehingga menimbulkan kesenjangan. Dengan demikian, penyediaan infrastruktur, khususnya di daerah yang miskin, penting untuk dilakukan.

Ukuran terhadap kesenjangan pendapatan dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB riil per kapita. Pada Tahun 2010 di Pulau Sumatera, perbedaan PDRB per kapita ADHK antarpropinsi dapat terlihat. Hal ini dapat memicu kekhawatiran terhadap munculnya dampak negatif dari kesenjangan di waktu yang akan datang. Maka dari itu, penelitian ini akan menganalisis proses


(25)

konvergensi pendapatan yang terjadi di Pulau Sumatera. Selain itu, akan dilihat pula pengaruh infrastruktur jalan, air, listrik, dan kesehatan terhadap proses konvergensi.

Dampak infrastruktur terhadap perekonomian dan ketimpangan telah dilakukan pada berbagai penelitian. Hasil yang ditunjukkan sangat beragam. Secara teori, infrastruktur adalah modal yang dapat berpengaruh positif terhadap perekonomian. Ketersediannya yang tidak merata dapat mencerminkan perbedaan akses terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki antardaerah. Hal itu, selanjutnya dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah untuk menghasilkan pendapatan di daerahnya. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur di daerah yang miskin diharapkan dapat membantu kelancaran dan peningkatan perekonomian daerah tersebut dan kemudian mengurangi kesenjangan antarwilayah.

Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh infrastruktur serta variabel penjelas lainnya berupa jumlah tenaga kerja terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian di Pulau Sumatera. Infrastruktur tersebut berupa energi listrik yang dilihat dari jumlah energi listrik terjual oleh PLN, jumlah air yang didistribusikan oleh PDAM, panjang jalan berkondisi baik dan sedang baik jalan negara, propinsi, maupun kabupaten/kota, dan jumlah fasilitas kesehatan berupa jumlah rumah sakit serta puskesmas.

Analisis konvergensi dilakukan terhadap data panel pada sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung dalam rentang Tahun 2003-2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis berupa Sys-GMM. Software yang digunakan adalah STATA 12 dan Microsoft Excel. Hasil analisis akan memerlihatkan proses konvergensi pendapatan dan signifikansi pengaruh tenaga kerja serta infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian. Selanjutnya, hasil tersebut digunakan dalam menganalisis saran yang dapat berupa implikasi kebijakan bagi pihak terkait dalam rangka mendukung proses konvergensi dan mendorong perkonomian di Pulau Sumatera. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.


(26)

Gambar 10. Kerangka Pemikiran

Pulau Sumatera memiliki kontribusi PDRB terbesar setelah Pulau Jawa.

Namun, kontribusi PDRB tersebut tidak merata antarpropinsi.

Analisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan pengaruh

infrastruktur pada konvergensi menggunakan Sys-GMM.

Ketidakmerataan penyediaan infrastruktur dapat menjadi salah satu penyebab kesenjangan.

Ketersediaan dan akses infrastruktur di Pulau Sumatera belum merata.

Saran dan kebijakan bagi pihak terkait untuk mengurangi kesenjangan.


(27)

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan literatur maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis, yakni:

1) Konvergensi pendapatan terjadi di Pulau Sumatera dengan semakin berkurangnya ketimpangan regional yang ditunjukkan dengan laju konvergensi yang positif.

2) Infrastruktur dan faktor lainnya berupa jumlah penduduk yang bekerja merupakan faktor yang memengaruhi proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera selama periode penelitian.


(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Jenis data yang digunakan adalah data panel, yaitu gabungan data cross section dan time series. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data time series tahunan periode 2003-2010. Adapun data yang digunakan sebagai variabel penelitian meliputi data PDRB ADHK 2000, jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang), jumlah air yang disalurkan PDAM, jumlah listrik terjual (GWh), dan jumlah rumah sakit serta puskesmas tiap propinsi dari Tahun 2003 sampai Tahun 2010. Beragam data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan RI, dan PT. PLN.

3.2 Analisis Konvergensi

Konvergensi pendapatan dapat dilihat dari penurunan dispersi pendapatan antardaerah dengan menghitung koefisien variasi atau standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita antardaerah dari tahun ke tahun. Konvergensi dengan pendekatan tersebut dinamakan konvergensi sigma ( sigma (σ)

convergence). Maka dari itu, untuk mengetahui konvergensi sigma di Pulau

Sumatera akan dihitung standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun.

Pendekatan kedua dalam melihat konvergensi adalah konvergensi beta

(beta (β) convergence). Pendekatan ini menyatakan bahwa konvergensi terjadi

ketika perekonomian yang miskin mampu tumbuh lebih cepat dari perekonomian yang kaya. Dengan demikian, perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) pendapatan per kapita perekonomian kaya (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004). Untuk melihat hal tersebut terdapat dua jenis konvergensi beta, pertama konvergensi absolut dan kedua konvergensi kondisional.


(29)

Konvergensi absolut dilihat dengan tanpa memasukkan variabel kontrol yang merupakan karakteristik masing-masing daerah. Setiap daerah dianggap mempunyai kondisi steady state yang sama dan tidak memerhitungkan peran variabel lain yang berbeda antardaerah. Maka dari itu, untuk melihat pengaruh infrastruktur dan variabel lainnya yang diperkirakan memengaruhi kondisi steady

state masing-masing daerah, akan dihitung konvergensi kondisional.

Persamaan konvergensi yang digunakan oleh Krismanti (59:2011) untuk menghitung konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah:

……….. (3.1)

dengan adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000 sebagai proksi untuk menghitung pendapatan rumah tangga. Inv adalah investasi sebagai bentuk modal dan labour adalah tenaga kerja.

Modal, dalam penelitian ini, dilihat dalam bentuk ketersediaan infrastruktur. Adapun pendapatan dilihat dari PDRB per kapita. Persamaan untuk menghitung konvergensi kondisional pada penelitian ini, adalah sebagai berikut :

……….. (3.2)

dengan :

:

: PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun t

: PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun sebelumnya

: jumlah rumah sakit dan puskesmas di propinsi i pada tahun t : jumlah listrik terjual di propinsi i pada tahun t

: jumlah air yang disalurkan di propinsi i pada tahun t

: panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang) di propinsi i pada

tahun t

: jumlah penduduk yang bekerja di propinsi i pada tahun t


(30)

: error term

i : propinsi yang diamati (Aceh, Sumatera Utara,..., Lampung) t : periode penelitian (2003, 2004,..., 2010)

Analisis pada persamaan 3.2 akan memberikan gambaran mengenai proses konvergensi pendapatan dan pengaruh infrastruktur dalam mendukung konvergensi pendapatan. Konvergensi terjadi ketika koefisien dari kurang dari satu. Tingkat konvergensi dinyatakan dengan – ln . Adapun waktu yang diperlukan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal yang disebut dengan

half-life of convergence dihitung dengan (Jan dan A.R. Chaudhary, 2011) :

………..………... (3.3)

3.3 Metode Analisis 3.3.1 Data Panel

Data panel merupakan data yang terdiri dari data cross section dan data

time series. Jenis data ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan data cross

section dan time series. Penggunaan panel data dalam suatu model dapat

membantu menjelaskan perbedaan antarindividu dalam satu waktu dan juga perbedaan perilaku suatu unit individu antarwaktu. Pada panel data, variabel yang digunakan memiliki analisis antarindividu dan antarwaktu yang ditandai oleh penggunaan indeks i untuk individu (i= 1,…, N) dan t untuk periode waktu (t=1,…, T). Dengan demikian, model yang dibangun dengan data panel dapat memberikan model yang lebih realistis daripada cross section dan time series murni (Verbeek, 341-342:2004).

Kelebihan penggunaan data panel yang dirangkum oleh Baltagi (4-7:2005) menurut Hsiao, Klevmarken dan Solon adalah sebagai berikut :

1) Heterogenitas antarindividu dapat dikontrol, panel data mengusulkan bahwa individu bersifat berbeda-beda atau heterogen.

2) Penggunaan panel data dapat memberikan informasi data yang lebih banyak dan beragam, permasalahan multikolinearitas yang minim, derajat bebas yang lebih banyak, dan lebih efisien.


(31)

3) Analisis penyesuaian dinamis (dynamics of adjustment) lebih baik dilakukan oleh panel data.

4) Panel data lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat ditemukan pada data cross section murni atau time-series murni.

5) Model pada panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model pada perilaku yang lebih kompleks dari pada data cross section murni atau time-series murni.

Suatu panel data dikatakan balanced panel jika masing-masing unit

cross-section memiliki jumlah observasi time-series yang sama. Sedangkan jika jumlah

observasi time-seriesnya berbeda antar individu atau anggota panel lainnya, maka disebut unbalanced panel (Gujarati, 640:2003).

3.3.2 Data Panel Dinamis

Manfaat penggunaan data panel salah satunya adalah untuk menganalisis penyesuaian dinamis (dynamic adjustment). Hubungan dinamis tersebut dapat dideteksi dari adanya lag variabel dependen pada persamaan regresi. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut:

; i = 1,…, N ; t = 1,…, T ………..………(3.4)

dimana δ merupakan skalar dan merupakan matriks berukuran dan β merupakan matriks berukuran . Asumsi pada adalah one-way error

component model, yaitu :

………. (3.5)

dengan adalah efek individu yang diasumsikan dan adalah

error term yang diasumsikan , dan saling bebas satu sama

lain.

Ketika suatu persamaan mengandung lag dari variabel dependen maka akan muncul masalah berupa korelasi antara variabel dengan . Hal itu dapat dikarenakan merupakan fungsi dari dan berarti juga merupakan fungsi dari . Sehingga estimasi dengan panel data statis seperti OLS, fixed effect,


(32)

dan random effect pada persamaan panel dinamis menjadi bias dan inkonsisten, meskipun tidak berkorelasi secara serial (Baltagi, 135-136:2005). Hal itu juga ditekankan oleh Verbeek (360-361:2004). Konsistensi (robustness) dan efisiensi mengenai perlakuan ketika menggunakan Fixed Effect Method (FEM) maupun

Random Effect Method (REM) pada model panel statis bisa didapatkan.

Sedangkan pada panel dinamis hal ini tidaklah sama, karena tergantung pada .

Permasalahan inkonsistensi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan method of moments atau Generalized Method of Moment (GMM). Dua jenis prosedur estimasi GMM yang biasa digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah (Indra, 52:2009) :

1. First-difference GMM (FD-GMM)

2. System GMM (SYS-GMM)

3.3.2.1 First-difference GMM (FD-GMM)

Ide dari penggunaan FD-GMM pada persamaan panel dinamis, yakni dengan menghilangkan efek individu, diantaranya diusulkan oleh Arellano dan Bond (Baltagi, 136:2005). Pada persamaan first difference, instrumen yang tepat untuk digunakan adalah variabel lag dari level. Estimasi δ yang konsisten dengan N→∞ dengan T tetap diperoleh dengan melakukan first-difference pada persamaan di bawah untuk menghilangkan pengaruh individual ( )

δ ; |δ| < 1 ; t=1,…, T ………... (3.6)

dengan dimana dan saling bebas satu sama lain. Sehingga:

; t = 2,…, T …………..….. (3.7)

Estimasi dengan OLS pada persamaan di atas akan menghasilkan penduga δ yang inkonsisten meskipun jika T→∞, sebab dan berkorelasi. Maka pendekatan instrumen dianjurkan untuk digunakan (Verbeek, 362:2004). Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen, berkorelasi dengan


(33)

tetapi tidak berkorelasi dengan , dan tidak berkorelasi serial. Penduga variabel instrumen untuk δ adalah sebagai berikut :

………

.…...…... (3. 8) Syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah

………...… (3. 9)

Penduga (3.8) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao. Mereka juga menganjurkan penduga alternatif dimana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi δ adalah:

………

.….. (3.10) Syarat perlu agar penduga tersebut konsisten adalah:

………. (3.11)

Penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) membutuhkan tambahan lag variabel untuk menciptakan instrumen, sehingga jumlah efektif pada observasi pada estimasi berkurang satu periode sampel. Kerugian dari pengurangan ukuran sampel dapat dieliminasi dengan pendekatan metode momen, pendekatan ini juga dapat menyatukan penduga. Langkah pertama pada pendekatan tersebut adalah menetapkan kondisi momen (moment condition), yakni:

... (3.12)

dan


(34)

Estimator IV dan IV(2) diberi kondisi momen pada saat estimasi. Semakin banyak kondisi momen yang digunakan, efisiensi dari penduga akan meningkat. Jika terdapat ukuran sampel sebanyak T, maka vektor transformasi eror dapat ditulis sebagai:

……… (3.14)

dan matriks instrumen berupa

………..…. (3.15)

setiap baris pada matriks berisi matriks yang valid untuk periode yang diberikan. Seluruh himpunan kondisi momen dapat ditulis sebagai :

′ ………..…. (3.16)

Dengan kondisi 1+2+3+…+T-1. Untuk menurunkan estimator GMM, persamaan (3.16) ditulis sebagai :

′ ……….………….….. (3.17) Estimasi δ akan dilakukan dengan meminimumkan bentuk kuadrat momen sampel yang berkoresponden karena jumlah kondisi momen biasanya melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui. Dengan demikian, penduga GMM adalah :


(35)

Penduga konsisten selama matriks penimbang merupakan definit positif. Matriks penimbang yang optimal mampu memberikan penduga yang paling efisien, yaitu yang memberi matriks kovarian asimtotik terkecil untuk .

Blundell dan Blond (138:1998) menyatakan bahwa pada sampel yang berukuran kecil, penduga FD-GMM dapat mengandung bias dan ketidaktepatan. Selain itu, instrumen berupa lagged level pada persamaan first-difference merupakan instrumen yang lemah pada FD-GMM. Estimasi dengan least square pada panel data dengan model AR(1) akan mengasilkan koefisien yang bias ke atas (biased upward) dan pendugaan dengan fixed effect akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah (biased downward). Penduga koefisien yang konsisten dapat diperoleh jika nilai koefisien terdapat di antara penduga least

square atau fixed effect (Firdaus, 220-221:2011). Penduga FD-GMM yang

memiliki nilai di bawah penduga fixed effect kemungkinan disebabkan oleh instrumen yang lemah (Indra, 57-58:2009).

3.3.2.2 System GMM (SYS-GMM)

Inti dari metode System GMM (SYS-GMM) adalah pengestimasian sistem persamaan baik pada first-difference maupun pada level. Instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-difference. Asumsi tambahan pada metode SYS-GMM adalah , untuk i= 1,..., N. Adapun matriks instrumen bagi SYS-GMM adalah (Firdaus, 221:2011):

………...….. (3.19)

Himpunan kondisi momen dapat dituliskan sebagai :

………...…. (3.20) ... (3.21)

Maka System GMM memiliki kombinasi instrumen berupa level pada persamaan


(36)

Blundell dan Bond (1998) mendapatkan bahwa estimasi dengan model ini merupakan salah satu cara untuk menghindari masalah bias pada sampel yang sedikit dan ketidaktepatan yang ada pada FD-GMM pada saat T yang digunakan kecil.

3.4 Kriteria Model Terbaik

Pada analisis dengan menggunakan model panel dinamis, kriteria yang digunakan untuk menguji model sedikit berbeda dengan uji pada panel statis. Pengujian model yang dilakukan adalah uji validitas dan konsistensi. Untuk menguji validitas instrumen dapat dilakukan dengan melakukan Uji Sargan. Hipotesis nol pada Uji Sargan adalah instrumen valid, berarti instrumen tidak bermasalah. Selanjutnya adalah uji konsistensi yang dapat didapat dari statistik Arellano-Bond m1 dan m2. Jika statistik m1 menunjukkan nilai yang menolak hipotesis nol dan m2 menunjukkan nilai yang menerima hipotesis nol, maka estimator konsisten. Selain itu, estimator yang tidak bias adalah yang berada di antara estimator pooled least squares dan fixed effect (Firdaus, 222: 2011).


(37)

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR

4.1 Jalan

Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan melancarkan penyaluran barang serta mobilitas manusia atau tenaga kerja. Hubungan antara desa dan kota juga dibantu oleh ketersediaan infrastruktur jalan, menurut Perpres RI No. 29 Tahun 2011 tentang Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2012 Buku III, hampir 90 persen pedesaan di Sumatera dapat diakses dengan jalan darat.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 11. Persentase Panjang Jalan menurut Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010

Persentase panjang jalan menurut kondisi di Pulau Sumatera pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan bahwa 40,59 persen jalan berada dalam keadaan baik. Jalan berkondisi baik adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 kilometer per jam dan hingga dua tahun ke depan tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan. Sedangkan jalan berkondisi sedang di Pulau Sumatera pada tahun 2010 adalah sebesar 24,27 persen. Jalan dengan kondisi sedang adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 40 hingga 60 kilometer per jam dan selama satu tahun ke depan tanpa rehabilitasi pada

40.59%

24.27% 20.22%

14.92%


(38)

pengerasan jalan. Adapun jalan berkondisi Rusak, yaitu jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 20 hingga 40 kilometer per jam serta perlu perbaikan kondisi jalan adalah sebesar 20,22 persen. Jalan dengan kondisi rusak berat adalah sebesar 14,92 persen. Jalan dengan kategori rusak berat adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan nol hingga 20 kilometer per jam.

Tabel 2. Panjang Jalan menurut Kewenangan dan Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km)

Kewenangan Baik Sedang Rusak Rusak Berat

Negara 5.718 4.946 283 621

Propinsi 7.722 3.860 2.210 1.455

Kabupaten 52.881 30.839 30.533 22.305

Sumber : BPS, diolah.

Jika dilihat menurut kewenangannya, di Pulau Sumatera, jalan kabupaten/kota adalah jalan dengan jumlah terpanjang, yaitu mencapai 83,59 persen, disusul oleh jalan propinsi 9,33 persen, dan jalan negara 7,08 persen. Jika dilihat jalan menurut kondisi pada kewenangannya, maka jalan dalam kondisi rusak hingga rusak berat terbanyak juga berada di jalan kabupaten/kota yaitu sebesar 38,69 persen, lalu jalan propinsi 24,04 persen, dan jalan negara 7,81 persen. Pada masa otonomi daerah, perbaikan dan pemeliharaan jalan di masing-masing daerah menjadi tanggung jawab masing-masing-masing-masing daerah.

Propinsi yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terbanyak berdasarkan Gambar 12 adalah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Lampung. Selanjutnya, daerah yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terkecil adalah Propinsi Bengkulu, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan jalan berkondisi baik dan sedang di masing-masing propinsi di Pulau Sumatera belum merata. Jumlah di atas tidak melihat per wilayah, maka diasumsikan jalan-jalan tersebut berada pada wilayah yang merupakan pusat kegiatan atau wilayah yang tidak berada di pedalaman.


(39)

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 12. Kondisi Jalan Baik dan Sedang menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km)

4.2 Listrik

Listrik yang diproduksi oleh PT. PLN didistribusikan kepada berbagai jenis pelanggan. Jumlah pelanggan listrik di Pulau Sumatera dari Tahun 2003 hingga Tahun 2010 dapat terlihat pada Gambar 13. Pelanggan listrik jenis rumah tangga merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak dari tahun ke tahun disusul oleh jenis pelanggan bisnis setelahnya.

Pertumbuhan jumlah pelanggan pada Tahun 2010 terhadap Tahun 2003 yang paling tinggi terjadi pada jenis penerangan publik yaitu sebesar 165,28 persen. Kategori pelanggan dengan pertumbuhan jumlah pelanggan tertinggi kedua adalah pelanggan bisnis, yakni sebesar 56,48 persen. Sedangkan pertumbuhan jumlah pelanggan yang negatif dimiliki oleh pelanggan jenis industri yaitu sebesar -5,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jumlahnya pada Tahun 2003.

0 5000 10000 15000 20000 25000


(40)

Sumber : PLN, diolah.

Gambar 13. Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 Jumlah energi listrik yang disalurkan tercermin pada jumlah energi listrik terjual kepada pelanggan. Sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun 2010, energi listrik yang terjual di Pulau Sumatera terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan energi listrik terjual pada Tahun 2010 cukup tinggi yaitu sebesar 11, 68 persen. Pertumbuhan ini tertinggi kedua selama Tahun 2003 hingga Tahun 2010, selain pada Tahun 2008 yang sebesar 11,85 persen.

Sumber : PLN, diolah.

Gambar 14. Energi Listrik Terjual di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (GWh) 0

1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000 9000000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

0 5000 10000 15000 20000 25000


(41)

Konsumsi energi terbesar sepanjang tahun di Pulau Sumatera dimiliki oleh jenis konsumen rumah tangga, bisnis, dan industri. Konsumsi terkecil dimiliki oleh jenis konsumen sosial dan pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun jumlah pelanggan industri merupakan yang terkecil, tetapi konsumsi energi oleh jenis pelanggan tersebut termasuk yang terbesar.

Pada Tahun 2010, jika dilihat dari kategori penggunaan, energi listrik terjual paling besar digunakan untuk kategori rumah tangga yaitu sebesar 51,23 persen. Sedangkan sisanya digunakan oleh kategori pelanggan bisnis 20,03 persen, industri 19,86 persen, penerangan publik 4,12 persen, sosial 2,87 persen, dan pemerintah sebesar 1,89 persen. Jumlah energi listrik terjual per propinsi pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan pemakai energi listrik terbesar. Selanjutnya, pengguna energi listrik terbesar adalah Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan listrik oleh rumah tangga dan industri terbanyak berada di Propinsi Sumatera Utara. Begitu juga dengan Propinsi Sumatera Selatan yang penggunaan energi listrik rumah tangganya terbanyak kedua setelah Propinsi Sumatera Utara.

Sumber : PLN, diolah.

Gambar 15. Energi Listrik Terjual menurut Satuan PLN/Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (GWh)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000


(42)

4.3 Air Bersih

Perusahaan air bersih yang melakukan distribusi air bersih di Sumatera pada Tahun 2010 adalah sebanyak 204 perusahaan. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Tahun 2003, pada waktu itu hanya terdapat 197 perusahaan air bersih. Jumlah pelanggan air bersih di Pulau Sumatera berfluktuasi selama Tahun 2003 hingga Tahun 2010. Pertumbuhan jumlah pelanggan air bersih yang paling tinggi adalah pelanggan kelompok khusus serta niaga dan industri. Kedua jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 tumbuh sebesar 261,19 persen dan 37,29 persen secara berurutan terhadap jumlahnya di Tahun 2003.

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 16. Jumlah Pelanggan Air Bersih di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 Konsumsi terhadap air bersih dapat terlihat pada jumlah air yang terdistribusikan kepada pelanggan. Persentase pertumbuhan air yang didistribusikan di Pulau Sumatera dapat ditunjukkan pada Gambar 17. Pada Tahun 2010, persentase pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan di Pulau Sumatera mengalami penurunan dari Tahun 2003. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan berfluktuatif sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun 2010. Sepanjang tahun tersebut, konsumen jenis non-niaga serta niaga dan industri merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak. Mereka juga merupakan konsumen air bersih terbesar.

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000


(43)

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 17. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Didistribusikan di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (%)

Pada awal bagian dari penelitian ini telah diperlihatkan jumlah air yang didistribusikan di tiap propinsi yang ada di Pulau Sumatera pada Tahun 2010. Jika dilihat pada penggunaannya, air bersih pada Tahun 2010 lebih banyak digunakan oleh kategori non-niaga sebesar 83,16 persen. Kemudian disusul oleh penggunaan kelompok pelanggan niaga dan industri sebesar 10,73 persen, selanjutnya sosial 4,16 persen, dan 1,95 persen oleh kelompok khusus.

Perkembangan jumlah air yang didistribusikan per propinsi pada beberapa tahun terakhir akan dilihat secara lebih jelas pada gambaran posisi tiga tahun terakhir, yaitu Tahun 2008 hingga 2010. Pada Gambar 18 dapat terlihat bahwa selama tiga tahun terakhir, Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan konsumsi air bersih tertinggi dibandingkan propinsi lainnya dan jumlahnya terus mengalami peningkatan. Sedangkan daerah pengguna air bersih terendah adalah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, tetapi penggunaan air bersih terus meningkat di daerah ini. Hal di atas dapat terjadi karena penggunaan air bersih oleh kelompok non-niaga dan niaga serta industri terbesar ada di Propinsi Sumatera Utara selama tiga tahun terakhir. Propinsi yang mengalami penurunan jumlah air didistribusikan selama tiga tahun terakhir adalah Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jambi, dan Propinsi Kepulauan Riau.

-20% -15% -10% -5% 0% 5% 10% 15% 20%


(44)

Sumber : BPS, diolah.

Gambar 18. Jumlah Air Didistribusikan menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2008-2010 (ribu m3)

4.4 Infrastruktur Kesehatan

Selain infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial juga merupakan bagian penting. Infrastruktur sosial berupa infrastruktur kesehatan, berguna untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Penduduk yang sehat mampu beraktivitas dengan lancar untuk menghasilkan berbagai output termasuk pendapatan. Selain dari sisi kuantitas, kualitas infrastruktur penting untuk dilihat. Akan tetapi, karena keterbatasan data, infrastruktur dilihat dari ketersediaannya dalam bentuk jumlah rumah sakit dan puskesmas.

Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, jumlah puskesmas yang ada yaitu 85 persen. Jumlah ini merupakan porsi yang sangat besar daripada rumah sakit yang hanya 15 persen. Puskesmas memiliki jangkauan yang lebih tersebar di berbagai penjuru daerah dibandingkan rumah sakit yang biasanya hanya dibangun di pusat kota atau kabupaten, sehingga ketersediaan puskesmas sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Namun demikian, peran rumah sakit tentu tidak dapat dikesampingkan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat.

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000

2008 2009 2010


(1)

Lampiran 2. Estimasi Konvergensi dengan PLS

Lampiran 3. Estimasi Konvergensi dengan Fixed Effect

_cons .7618217 .3177625 2.40 0.020 .125267 1.398377 k -.0480188 .0185076 -2.59 0.012 -.085094 -.0109437 j -.0359749 .0170499 -2.11 0.039 -.0701299 -.0018199 l .0414243 .0157517 2.63 0.011 .0098698 .0729789 a .026322 .0058377 4.51 0.000 .0146276 .0380163 p -.00864 .0200167 -0.43 0.668 -.0487383 .0314582

L1. .9513186 .0117016 81.30 0.000 .9278775 .9747596 y

y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total 12.1656975 62 .196220927 Root MSE = .02568 Adj R-squared = 0.9966 Residual .036932585 56 .00065951 R-squared = 0.9970 Model 12.1287649 6 2.02146081 Prob > F = 0.0000 F( 6, 56) = 3065.09 Source SS df MS Number of obs = 63 . reg y l.y p a l j k

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2003 to 2010 panel variable: prop (strongly balanced) . xtset prop tahun

F test that all u_i=0: F(8, 48) = 1.46 Prob > F = 0.1970 rho .83637297 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .0248771 sigma_u .05624349

_cons .3794417 1.009777 0.38 0.709 -1.650851 2.409735 k .0241067 .0638401 0.38 0.707 -.1042524 .1524658 j -.0226183 .0203869 -1.11 0.273 -.0636089 .0183724 l .0051391 .0302918 0.17 0.866 -.0557667 .0660449 a .0087123 .0118301 0.74 0.465 -.0150736 .0324982 p .0534675 .0779418 0.69 0.496 -.1032451 .21018

L1. .9217419 .0503306 18.31 0.000 .8205454 1.022938 y

y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.2270 Prob > F = 0.0000 F(6,48) = 103.22 overall = 0.9837 max = 7 between = 0.9857 avg = 7.0 R-sq: within = 0.9281 Obs per group: min = 7 Group variable: prop Number of groups = 9 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 63 . xtreg y l.y p a l j k, fe


(2)

67


(3)

Lampiran 1. Estimasi Konvergensi dengan Sys-GMM

Prob > chi2 = 1.0000 chi2(34) = 2.919797

H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions . estat sargan

H0: no autocorrelation 2 -.2607 0.7943 1 -1.6724 0.0944 Order z Prob > z

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond

GMM-type: LD.y D.a Instruments for level equation Standard: D.p D.l D.j D.k GMM-type: L(2/3).y L(1/2).a Instruments for differenced equation errors are recommended.

Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard

k -.0516904 .1523295 -0.34 0.734 -.3502508 .2468699 j -.0129681 .0180932 -0.72 0.474 -.0484303 .022494 l .1074767 .0641844 1.67 0.094 -.0183224 .2332758 p -.2074573 .1977042 -1.05 0.294 -.5949503 .1800358 a .0202355 .023417 0.86 0.388 -.025661 .066132

L1. .9301395 .2316774 4.01 0.000 .47606 1.384219 y

y Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] Two-step results

Prob > chi2 = 0.0000 Number of instruments = 40 Wald chi2(6) = 14871.47 max = 7 avg = 7 Obs per group: min = 7 Time variable: tahun

Group variable: prop Number of groups = 9 System dynamic panel-data estimation Number of obs = 63 . xtdpdsys y p l j k, pre(a) twostep maxldep(2) maxlags(2) noconstant

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2003 to 2010 panel variable: prop (strongly balanced) . xtset prop tahun


(4)

69

Lampiran 2. Estimasi Konvergensi dengan PLS

Lampiran 3. Estimasi Konvergensi dengan Fixed Effect

_cons .7618217 .3177625 2.40 0.020 .125267 1.398377 k -.0480188 .0185076 -2.59 0.012 -.085094 -.0109437 j -.0359749 .0170499 -2.11 0.039 -.0701299 -.0018199 l .0414243 .0157517 2.63 0.011 .0098698 .0729789 a .026322 .0058377 4.51 0.000 .0146276 .0380163 p -.00864 .0200167 -0.43 0.668 -.0487383 .0314582

L1. .9513186 .0117016 81.30 0.000 .9278775 .9747596 y

y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total 12.1656975 62 .196220927 Root MSE = .02568 Adj R-squared = 0.9966 Residual .036932585 56 .00065951 R-squared = 0.9970 Model 12.1287649 6 2.02146081 Prob > F = 0.0000 F( 6, 56) = 3065.09 Source SS df MS Number of obs = 63 . reg y l.y p a l j k

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2003 to 2010 panel variable: prop (strongly balanced) . xtset prop tahun

F test that all u_i=0: F(8, 48) = 1.46 Prob > F = 0.1970 rho .83637297 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .0248771 sigma_u .05624349

_cons .3794417 1.009777 0.38 0.709 -1.650851 2.409735 k .0241067 .0638401 0.38 0.707 -.1042524 .1524658 j -.0226183 .0203869 -1.11 0.273 -.0636089 .0183724 l .0051391 .0302918 0.17 0.866 -.0557667 .0660449 a .0087123 .0118301 0.74 0.465 -.0150736 .0324982 p .0534675 .0779418 0.69 0.496 -.1032451 .21018

L1. .9217419 .0503306 18.31 0.000 .8205454 1.022938 y

y Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.2270 Prob > F = 0.0000 F(6,48) = 103.22 overall = 0.9837 max = 7 between = 0.9857 avg = 7.0 R-sq: within = 0.9281 Obs per group: min = 7 Group variable: prop Number of groups = 9 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 63 . xtreg y l.y p a l j k, fe


(5)

NISA KARAMI

.

Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi

Pendapatan di Pulau Sumatera (dibimbing oleh

HERMANTO SIREGAR

).

Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan di suatu daerah akan

menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa

peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju,

kriminalitas, dan konflik antar masyarakat. Dalam konteks kenegaraan

kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang

kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Maka dari itu, kesenjangan

harus diatasi oleh pemerintah dengan mendorong daerah yang miskin untuk

mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah

kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran

pertumbuhan ekonomi oleh daerah miskin terhadap daerah kaya.

Salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia

dapat diakibatkan oleh kesenjangan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur

merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan

peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat

dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi melalui fungsinya yang

dapat melancarkan proses produksi dan mobilitas manusia, barang, dan jasa.

Dengan demikian, infrastruktur berperan sebagai prasyarat dalam meningkatkan

perekonomian. Perbedaan ketersediannya antardaerah dapat menciptakan

perbedaan kemampuan antardaerah dalam menciptakan pendapatan. Selanjutnya,

hal itu akan berdampak pada kesenjangan pendapatan antardaerah.

Kepemilikan nilai PDRB riil per kapita dan infrastruktur di berbagai

propinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010 menunjukkan kondisi yang belum

merata. Infrastruktur yang diamati adalah jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan.

Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa masing-masing propinsi memiliki

perbedaan sarana dan prasarana yang dapat memengaruhi perbedaan kemampuan

untuk meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian ini mencoba menganalisis

proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan mengidentifikasi peran

infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian

Kesehatan RI, dan PT. PLN. Data panel yang dikumpulkan berupa data

cross

section

yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,

Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data

time series

tahunan periode

2003-2010. Konvergensi sigma dihitung dengan standard deviasi dari logaritma

PDRB riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera

dari tahun ke tahun. Analisis konvergensi beta kondisional melibatkan variabel

infrastruktur. Persamaan yang digunakan yaitu persamaan pada Krismanti (2011)

dengan penyesuaian terhadap penelitian ini. Metode analisis yang digunakan

adalah panel dinamis dengan Sys-GMM.

Hasil estimasi konvergensi sigma menunjukkan adanya konvergensi

pendapatan, dilihat dari penurunan nilai standard deviasi logaritma PDRB riil per


(6)

kapita selama periode analisis. Analisis konvergensi beta kondisional

menunjukkan bahwa proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera telah

terjadi. Hal itu terlihat pada koefisien dari

lag

PDRB riil per kapita yang kurang

dari satu, yaitu sebesar 0,9301 dan signifikan. Konvergensi pendapatan di Pulau

Sumatera memiliki kecepatan 7,24 persen dan waktu untuk mengurangi setengah

kesenjangan menuju ke kondisi mapan adalah lebih dari 9 tahun. Infrastruktur

yang mendukung terjadinya konvergensi adalah listrik.

Pentingnya infrastruktur sebagai pendukung konvergensi pendapatan di

Pulau Sumatera, menunjukkan bahwa pemerintah perlu terus memerhatikan

pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur. Hal tersebut utamanya

perlu dilakukan di daerah yang berpendapatan rendah, sehingga daerah tersebut

diharapkan dapat mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang sudah maju.

Penelitian selanjutnya disarankan menganalisis lebih lanjut mengenai pengaruh

infrastruktur lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera yang

juga dapat melancarkan arus barang, jasa, manusia, dan informasi. Dengan

demikian, estimasi dapat lebih lengkap dan menyeluruh.