Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat, yang disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Menurut Sukirno (2004) dalam analisis makro, tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah menjadi perhatian pemerintah karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi nasional merupakan agregasi pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi antardaerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi salah satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju-tertinggal.
Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mulai 1 Januari 2001, yang kemudian diperbarui
(2)
dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Otonomi daerah mempunyai tujuan dalam rangka mencapai kemandirian daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal tersebut dimaksudkan bahwa daerah lebih mengerti kondisi daerahnya sehingga pembangunan daerah akan dapat difokuskan pada prioritas kebutuhan dan potensi yang dimiliki daerah masing-masing.
Selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497 kabupaten/kota se-Indonesia). Informasi tersebut berdasarkan SK Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 44/KEP-M-PDT/2010. Pada Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa Pulau Sumatra memiliki paling banyak daerah tertinggal (25,14 persen), diikuti oleh Pulau Sulawesi dan Papua masing-masing 19,13 persen dan 18,58 persen.
Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010 (diolah) Gambar 1.1. Persentase Jumlah Daerah Tertinggal Menurut Pulau
36,82
25,14
4,92 8,74 19,13
15,3
2,73 18,58
t ert inggal Sum at ra Jaw a Bali Kalim ant an Sulaw esi Nusa Tenggara M aluku
(3)
3
Masih banyaknya kabupaten di Pulau Sumatra yang tergolong sebagai daerah tertinggal patut menjadi perhatian. Daftar 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra yang menjadi fokus penelitian pada Lampiran 1. Kondisi perekonomian 22 daerah tertinggal di Sumatra jika dibandingkan dengan angka nasional relatif kecil. Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan (ADHK) 22 daerah tertinggal sangat kecil, bahkan hanya sekitar 33 persen dari rata-rata daerah secara nasional. Pertumbuhan ekonominya juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal sebesar 6,2 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan nasional yang sebesar 6,28 persen. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar antardaerah.
Tabel 1.1. Perbandingan Rata-rata PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi di 22 Kabupaten Tertinggal dengan Nasional Tahun 2007-2009
Tahun
Rata-rata PDRB ADHK (Miliar Rp)
Pertumbuhan Ekonomi (persen)
Tertinggal Nasional Tertinggal Nasional
2007 1.352,45 4.281,21 6,20 6,28
2008 1.429,45 4.591,57 5,69 6,43
2009 1.508,31 4.794,41 5,52 4,74
Sumber: BPS, 2007-2009 (diolah)
Menurut hasil studi Bappenas (2007), perbedaan kondisi karakteristik daerah tertinggal dengan daerah maju merupakan penyebab bervariasinya keberhasilan pembangunan antar daerah. Pada umumnya kabupaten tertinggal merupakan daerah yang relatif sulit dijangkau, memiliki potensi sumber daya
(4)
alam dan sumber daya manusia yang terbatas, keterbatasan sarana dan prasarana, serta merupakan daerah rawan bencana atau konflik.
Pada Gambar 1.2 memperlihatkan keragaman karakteristik di antara 22 kabupaten tertinggal. Daerah tertinggal yang akses dari dan menuju daerah tersebut tergolong masih sulit masih sebesar 45,45 persen, Separuh kabupaten merupakan daerah rawan bencana sehingga menghambat pembangunan bahkan merusak fasilitas yang telah dibangun. Sejumlah 72,73 persen kabupaten mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang minimal dan belum dikelola dengan baik. Kualitas SDM di 21 kabupaten (95,45 persen) masih di bawah angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional.
Sumber: BPS (2008 dan 2010), diolah
Gambar 1.2. Persentase Daerah Berdasarkan Karakteristik di 22 Kabupaten Tertinggal
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satu cara yang dapat dilakukan daerah tertinggal adalah dengan meningkatkan belanja pemerintah daerah. Sodik (2007) mengemukakan bahwa belanja pemerintah daerah (baik belanja rutin maupun pembangunan) berpengaruh signifikan terhadap
45,45
72,73
95,45
50,00
0% 20% 40% 60% 80% 100%
ham bat an geografis
M inim SDA Kualit as SDM Rendah
raw an Bencana/ Konflik
p
e
rs
e
n
ta
s
e
(5)
5
pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk rangsangan/stimulus yang dilakukan untuk memacu perkembangan perekonomian daerah.
Kontribusi belanja pemerintah daerah terhadap PDRB berkisar antara 20-25 persen, berbeda dengan nasional yang hanya sembilan persen terhadap PDB. Campur tangan pemerintah daerah yang masih besar sesuai dengan tahap perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Musgrave, yang masih berada di tahap awal perkembangan. Pengelolaan keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Hasil pertumbuhan ekonomi diarahkan agar dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.
Belanja pemerintah daerah masih didominasi dengan belanja rutin/pegawai sebesar 45 persen, sedangkan belanja modal hanya 22 persen dari total belanja. Oleh karena itu, peningkatan volume keuangan daerah belum optimal digunakan untuk pembangunan. Menurut alokasi fungsi belanja tahun 2010 pada Gambar 1.3, yang terbesar adalah belanja fungsi pelayanan umum yaitu 36 persen, yang terendah sebesar 8 persen merupakan belanja fungsi kesehatan. Belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan sudah cukup tinggi sebesar 26 persen, sedang untuk fungsi ekonomi masih 10 persen dari total belanja.
(6)
Sumber: Kementrian Keuangan, 2010 (diolah)
Gambar 1.3. Rata-rata Alokasi Belanja Daerah Menurut Fungsi Tahun 2010
1.2. Perumusan Masalah
Pemerintah merumuskan kegiatan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam rangka mempercepat pembangunan daerah (PP Nomor 32/2011). Hal tersebut bertujuan memberikan akselerasi positif bagi pelaksanaan pembangunan di setiap wilayah, terutama implikasinya bagi daerah tertinggal. Daerah tertinggal memerlukan program-program yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya. Program yang dicanangkan diharapkan dapat langsung mencapai sasaran permasalahan yang ada di daerah tersebut.
Perkembangan desentralisasi di Indonesia berimplikasi pada keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya, baik sisi penerimaan maupun pengeluaran. Menurut Dumairy (1996), anggaran belanja merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dapat memengaruhi perekonomian melalui fungsi anggaran dalam alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
pelayanan um um 36
pendidikan 26 kesehat an
8 ekonom i
10
lainnya 20
(7)
7
Berdasarkan pendekatan Keynes yang mengasumsikan bahwa hubungan sebab akibat berlangsung dari pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian Rahayu (2004) menunjukkan bahwa investasi pemerintah (yang didekati dari belanja modal/pembangunan) memengaruhi pertumbuhan ekonomi, sedangkan konsumsi pemerintah tidak berpengaruh signifikan. Oleh karena itu, kondisi keragaman alokasi pengeluaran/belanja antardaerah diasumsikan akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja perekonomian di 22 daerah tertinggal.
2. Bagaimana pengaruh belanja per fungsi (sebagai proksi terhadap belanja maupun investasi pemerintah daerah) terhadap kinerja pembangunan (pertumbuhan ekonomi) di 22 daerah tertinggal.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka ditetapkan tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja perekonomian 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra.
2. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi (sebagai proksi terhadap belanja/konsumsi maupun investasi pemerintah daerah) terhadap
(8)
kinerja pembangunan daerah (pertumbuhan ekonomi) pada 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terutama pemerintah daerah tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang dapat memberikan kemajuan pembangunan dalam rangka percepatan dan pengentasan daerahnya. Pengalokasian belanja daerah lebih mendasarkan pada pengembangan ekonomi lokal dan infrastruktur sebagai modal untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
(9)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Pembangunan Ekonomi
Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, yaitu:
a. Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa. Setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.
b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat,
(10)
pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.
c. Peningkatan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan perkapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan perkapita harus mengalami kenaikan terus-menerus.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Menurut Jhingan (2000), pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
(11)
11
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Pembangunan ekonomi yang berlangsung di suatu negara membawa dampak positif, yaitu bahwa melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi memungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan mengurangi pengangguran.
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth): pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi
(12)
apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapatdipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat dari satu periode ke periode berikutnya.
Menurut Kuznets dalam Jhingan (2000), pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.
Definisi pertumbuhan ekonomi Kuznets mempunyai tiga komponen, yaitu: pertama bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya persediaan barang secara terus-menerus; kedua teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; dan ketiga penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
Produk Domestik Bruto (PDB) pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau
(13)
13
merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar penghitungan.
Untuk menghitung angka PDB digunakan tiga pendekatan yaitu :
a. Pendekatan Produksi. PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa.
b. Pendekatan Pendapatan. PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).
c. Pendekatan Pengeluaran. PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta
(14)
nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor).
2.1.3. Pengeluaran/Belanja Pemerintah
Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh pengeluaran agregat. Pada umumnya pengeluaran agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari pengeluaran agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment.
Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow, fungsi produksi sederhana dari teori ini adalah (Mankiw, 2006):
Y = a K
dimana Y adalah output, a adalah konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit modal, sedangkan K adalah persediaan modal. Fungsi produksi ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Modifikasi fungsi produksi Cobb-Douglas dalam Barro dan Sala-i-Martin (1995) dinyatakan sebagai berikut:
Y = a L1-α Gα, dimana 0 < α < 1
persamaan ini menunjukkan bahwa produksi yang dilakukan pada constant return to scale pada input L dan K . Asumsinya adalah angkatan kerja agregat (L) adalah konstan. Modal (K) digantikan oleh Pengeluaran pemerintah (G) berada pada
(15)
15
diminishing return untuk modal agregat (K). Oleh karena itu, perekonomian berada pada kondisi pertumbuhan ekonomi endogen.
Salah satu komponen dalam permintaan agregat (aggregate demand [AD]) adalah pengeluaran pemerintah. Pada Mankiw (2006) dinyatakan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Selain itu, peranan pengeluaran pemerintah (G) di negara berkembang sangat signifikan mengingat kemampuan sektor swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peranan pemerintah sangatlah penting. Peningkatan AD berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari PDB maka peningkatan pertumbuhan berarti peningkatan pendapatan.
2.1.3.1. Teori Pengeluaran Pemerintah
1. Model perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Rostow-Musgrave.
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan
(16)
menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.
Musgrave dalam Norista (2010) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2.1 dimana kenaikan pengeluaran
(17)
17
pemerintah mempunyai bentuk ekponensial. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut:
dimana PkPP : pengeluaran pemerintah per kapita PPK : pendapatan per kapita
1,2,…,n : jangka waktu (tahun)
0 waktu
Sumber: Dumairy (1996)
Gambar 2.1. Grafik Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner
2.1.3.2. Hubungan Kausalitas Pengeluaran Pemerintah dan PDB
a. PDB memengaruhi pengeluaran pemerintah. Hal ini berarti bahwa produk domestik bruto memengaruhi pengeluaran pemerintah. Teori perkembangan pengeluaran pemerintah yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) akan memengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah.
(18)
b. Pengeluaran pemerintah mempengaruhi PDB. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat PDB nyata dengan mengubah persediaan berbagai faktor yang dapat dipakai dalam produksi melalui program-program pengeluaran pemerintah seperti pendidikan. Rahayu (2004) mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pemerintah yang mendorong besaran jumlah pengeluaran negara mempunyai pengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Landau (1986) membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang militer dan pendidikan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara untuk pendidikan sendiri berkorelasi kuat dan investasi pemerintah berkorelasi positif tetapi tidak signifikan. Lin (1994) mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (peningkatan PDB) dengan laju yang semakin mengecil.
2.1.3.3. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB), baik Negara maupun daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), pengeluaran dibedakan menjadi:
1. Belanja Operasi. Rincian kegiatan belanja operasi antara lain digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang dan jasa, pemeliharaan, perjalanan dinas, pinjaman, subsidi, hibah, dan belanja opeasional lainnya.
2. Belanja Modal. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pembentukan aset tetap seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya
3. Belanja Tak Terduga/Tersangka. Merupakan belanja tidak terduga yang sebelumnya tidak dianggarkan seperti penanganan bencana.
(19)
19
Untuk mempermudah mengevaluasi penggunaan belanja/pengeluaran, mulai tahun 2007 sistem penganggaran mulai diperjelas rinciannya menurut fungsi/sektor, yaitu:
1. Fungsi pelayanan umum. Pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan pelayanan umum pemerintah terhadap masyarakat maupun pihak swasta seperti untuk pembayaran gaji, akses layanan/perijinan, kemudahan informasi, dan belanja operasi kebutuhan perkantoran sehari-hari.
2. Fungsi ekonomi. Pengeluaran ini digunakan untuk menciptakan lapangan kerja, pembangunan sarana dan prasarana umum, serta memicu peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat. Pengeluaran ini ditujukan agar mempunyai pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat sekaligus mempunyai
multiplier effect yang besar.
3. Fungsi kesehatan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan dan pelayanannya seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan (alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan. 4. Fungsi pendidikan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan internet sekolah, maupun gedung sekolah.
5. Fungsi ketertiban dan keamanan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk menambah kekuatan dan ketahanan dalam mendukung ketahanan dan keamanan kondisi daerah.
(20)
6. Fungsi pariwisata dan lingkungan hidup. Merupakan pengeluaran untuk peningkatan kegembiraan/hiburan bagi masyarakat seperti promosi dan pemeliharaan tempat wisata sekaligus dalam mempertahankan kelestaian dan kualitas lingkuangan hidup agar tercipta kenyamanan.
7. Fungsi perlindungan/jaminan sosial. Merupakan pengeluaran untuk jaminan perlindungan masyarakat seperti penanganan bencana, permasalahan sosial dan lingkungan (panti dan perlindungan orang terlantar).
2.1.4. Daerah Tertinggal
Daerah tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
(21)
21
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan program pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik.
Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain :
a. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
b. Sumber Daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan.
(22)
c. Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
d. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan.
f. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Makrifah (2009) di kabupaten/kota se-Jawa Timur bertujuan menganalisis pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi (pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan IPM). Pengelolaan keuangan yang bijak, mengedepankan kepentingan publik mempunyai dampak meningkatkan PDRB (terdapat pertumbuhan ekonomi) dan mengurangi kemiskinan. Untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah
(23)
23
terhadap pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, dan IPM digunakan model Vector Auto Reggressive (VAR) dalam data time series.
Rahayu (2004) meneliti peranan sektor publik lokal dalam pertumbuhan ekonomi regional. Sampel yang diteliti adalah 7 Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Surakarta selama periode 1987-2000. Penelitian mengidentifikasi pengaruh investasi pemerintah daerah, laju pertumbuhan angkatan kerja, pengeluaran (konsumsi) pemerintah daerah, dan penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan teknik data panel. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Pooled Least Square. Garis besar hasil estimasi persamaan menunjukkan bahwa selama periode pengamatan, peranan sektor publik lokal (investasi pemerintah dan PAD) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Sodik (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia, dengan mengambil sampel di 26 provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003. Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh investasi swasta, investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, tenaga kerja, dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Teknik analisis data yang digunakan adalah fixed effect model General Least Square (GLS). Hasilnya untuk semua variabel memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional kecuali untuk variabel investasi swasta yang tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
(24)
Studi yang dilakukan Nurudeen dan Usman (2010) menganalisis pengaruh belanja rutin dan pembangunan per sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Analisis dilakukan terhadap data time series dari tahun 1970 sampai dengan 2008 dengan menggunakan model Error Cointegration Model (ECM), Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa belanja rutin dan belanja sektor pendidikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan belanja modal dan di sektor kesehatan berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Norista (2011) dalam penelitian tentang Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Operasi terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah menggunakan data panel. Peneliti menggunakan model fixed effect dalam menganalisis pengaruh belanja modal dan operasi/rutin terhadap pertumbuhan. Kajian tersebut menghasilkan bahwa kedua variabel yaitu rasio belanja modal maupun rasio belanja operasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.3. Kerangka Pemikiran
Pemberlakuan UU Otonomi Daerah berikut perubahannya (UU Nomor 22/1999 dirubah dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 23/1999 dirubah dengan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) membawa dampak terhadap pemerintahan dan tata kelola keuangan di Indonesia. Perubahan pola pemerintahan daerah yang sentralistik menjadi desentralistik juga memberikan kewenangan untuk memanfaatkan dan mengalokasikan keuangan.
(25)
25
Berdasarkan alur pemikiran tersebut, penelitian ini difokuskan dalam hal sebagai berikut yang tergambar pada diagram kerangka pemikiran (Gambar 2.2):
Keterangan: Fokus kerangka pemikiran Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Pert um buhan Ekonom i
Fungsi Lainnya Fungsi Pelayanan
Umum Fungsi
Kesehat an Fungsi
Pendidikan Fungsi
Ekonom i Pendapat an
Pem erint ah
Alokasi Belanja Pem erint ah Daerah
Keleluasaan Kew enangan OTONOM I DAERAH
(26)
2.4. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. Belanja pemerintah daerah (sebagai proksi konsumsi maupun investasi/modal pemerintah) per fungsi diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi di 22 kabupaten tertinggal
(27)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari publikasi resmi pemerintah. Data yang digunakan adalah data panel yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Keuangan. Data dari BPS berasal dari data Potensi Desa (Podes) 2005 dan 2008, publikasi PDRB Kabupaten/Kota, serta Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari tahun 2007 sampai dengan 2009. Data pengeluaran pemerintah daerah diperoleh dari laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah yang diterbitkan Kementrian Keuangan.
Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel yang Digunakan dalam Analisis Regresi
Nomor Variabel Penelitian Sumber Data Satuan
1 Pertumbuhan Ekonomi
BPS (PDRB kabupaten/kota se-Pulau Sumatra), tahun
2007-2009
persen 2 Belanja Fungsi
Pelayanan Umum
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2007-2009 juta rupiah 3 Belanja Fungsi
Ekonomi
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2007-2009 juta rupiah 4 Belanja Fungsi
Kesehatan
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2007-2009 juta rupiah 5 Belanja Fungsi
Pendidikan
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2007-2009 juta rupiah 6 Belanja Fungsi
Lainnya
Kemenkeu (Realisasi APBD),
tahun 2007-2009 juta rupiah
7 Angkatan Kerja BPS (SAKERNAS),
(28)
3.2. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan untuk menjelaskan variabel dalam penelitian ini antara lain:
a. Pertumbuhan Ekonomi (GRW) adalah nilai kenaikan output/perubahan nilai riil berdasarkan PDRB ADHK dari tahun 2007-2009, dalam satuan persen. b. Jumlah Angkatan Kerja (AK) adalah jumlah dari penduduk usia kerja (15
tahun keatas) yang bekerja maupun mencari pekerjaan, dalam satuan orang. c. Alokasi Belanja Pemerintah Daerah menurut Fungsi adalah realisasi anggaran
belanja menurut kategori jenis belanja/pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan fungsi penggunaan, meliputi fungsi pelayanan umum (BLU), ekonomi (BE), pendidikan (BP), kesehatan (BS), dan lainnya (seperti ketertiban, pariwisata, lingkungan hidup dan perlindungan sosial (BL), dalam satuan juta rupiah.
3.3. Metode Analisis 3.3.1. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.
Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan secara umum keragaan belanja daerah, pertumbuhan ekonomi dan karakteristik kondisi (seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia) di
(29)
29
22 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra periode 2007-2009. Penggambaran keragaan pertumbuhan ekonomi antardaerah dilihat apakah perkembangannya semakin konvergen atau timpang. Keragaan alokasi belanja pemerintah daerah menurut fungsi dilihat proporsi struktur alokasi serta keragaman an prioritas alokasi belanja pemerintah daerahnya.
3.3.2. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pengaruh belanja pemerintah (sebagai proksi konsumsi dan investasi pemerintah) terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal di Sumatra. Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini adalah pendekatan ekonometrika dengan metode analisis data panel (pooled data). Menurut Baltagi (2005), keunggulan penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut: a. Analisis data panel memiliki kontrol terhadap heterogenitas data individual
dalam suatu periode waktu.
b. Analisis data panel menyajikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, memiliki kolinearitas antar variabel yang kecil, memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien.
c. Analisis data panel lebih tepat dalam mempelajari dinamika penyesuaian
(dynamics of change).
d. Analisis data panel dapat lebih baik mengidentifikasi dan mengukur pengaruh-pengaruh yang secara sederhana tidak dapat terdeteksi dalam data cross section atau time series saja.
(30)
e. Model analisis data panel dapat digunakan untuk membuat dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan analisis data cross section murni atau time series murni.
f. Analisis data panel pada level mikro dapat meminimisasi atau menghilangkan bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro.
g. Analisis data panel pada level makro memiliki time series yang lebih panjang tidak seperti masalah jenis distribusi yang tidak standar dari unit root tests
dalam analisis data time series.
Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Menurut Baltagi (2005), keterbatasan penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut:
a. Analisis data panel menimbulkan masalah dalam rancangan dan pengumpulan data penelitian yang mencakup coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara akibat penggunaan data yang relatif besar dengan melibatkan komponen cross section dan time series.
b. Analisis data panel dapat menimbulkan distorsi dalam kesalahan pengamatan. c. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah selektivitas seperti self
selectivity, nonresponse, dan attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan)
(31)
31
e. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah ketergantungan cross section
yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat
(missleading inference).
Analisis data panel dapat diestimasi mengunakan metode Ordinary Least Square (OLS) jika memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) atau dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) jika syarat BLUE tidak dipenuhi. Menurut Gujarati (2003), terdapat 3 macam pendekatan analisis data panel, antara lain:
1. Pooled Least Square
Metode pendekatan kuadrat terkecil ini pada dasarnya sama dengan metode Ordinary Least Square (OLS) hanya saja data yang digunakan bukan data
time series saja atau cross section saja tetapi merupakan data panel (gabungan antara time series dan cross section). Sesuai dengan namanya yaitu pooled yang berarti dalam metode ini digunakan data panel dan least squares yang berarti metode ini meminimumkan jumlah error kuadrat. Meminimumkan error kuadrat dikarenakan error kuadrat kemungkinan besar jika dijumlahkan akan bernilai nol dan jika error hanya dijumlahkan saja tanpa dikuadratkan maka terjadi “ketidakadilan” karena nilai error yang besar dan yang kecil disamaratakan. Persamaan pada estimasi menggunakan pooled least square dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut:
Yit= α + βj xjit + µit
dimana i = 1, 2, …N (jumlah observasi populasi) t = 1, 2, … T (tahun time series)
(32)
Dengan menggunakan metode Pooled Least Square, maka dapat dilakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap individu cross section pada waktu tertentu atau sebaliknya. Hal ini akan mengakibatkan akan didapatkan hasil dimana terdapat T persamaan yang sama (individu sama, waktu berbeda) dan terdapat N persamaan yang sama untuk setiap T observasi (periode waktu sama, individu berbeda). Ini diakibatkan karena metode Pooled Least Square ini memiliki asumsi bahwa baik intercept dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan untuk antar daerah dan antar waktu.
2. Fixed Effects Model
Untuk membuat agar estimasi berbeda-beda baik antar cross section dan time series maka digunakanlah bentuk estimasi fixed effects model. Estimasi pada data panel bergantung kepada asumsi yang diberikan pada intercept, koefisien
slope, dan error term. Beberapa kemungkinan asumsi adalah sebagai berikut: a. Diasumsikan bahwa intercept dan koefisien slope konstan antar waktu dan
individu dan error term melingkupi perbedaan baik dalam waktu maupun individu. Pendekatan yang paling sederhana adalah asumsi ini karena dengan diberikan asumsi bahwa intercept dan slope konstan antar waktu dan individu dan error term maka dimensi ruang dan waktu diabaikan dan bentuk estimasinya seperti OLS.
b. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk setiap individu.
c. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk setiap individu antar waktu.
(33)
33
d. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope
berbeda untuk setiap individu.
e. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope
berbeda untuk setiap individu antar waktu.
Spesifikasi model yang akan dibahas di sini mengikuti asumsi poin (b), yaitu:
Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit
di mana i di sini menggambarkan bahwa intercept dari individu berbeda-beda, tetapi model masih memiliki koefisien slope sama. Di dalam literatur, model di atas dikenal sebagai Fixed Effects Model. Maksud Fixed Effects Model ini adalah walaupun intercept dapat berbeda-beda antarindividu tetapi setiap intercept
individu tersebut tidak berbeda pada setiap waktu.
Untuk menjelaskan Fixed Effects ini digunakan variabel Dummy, yaitu dengan differential intercept dummies. Penulisan model adalah sebagai berikut:
Yit= α1+ α2D2i+ α3D3i+ α4D4i+ β2X2it+ β3X3it+ uit
Variabel Dummy yang ditambahkan di model ini sama banyaknya dengan jumlah data dari cross section yang dikurangi satu untuk menghindari adanya dummy-variable trap (perfect collinearity). Model ini sering disebut juga sebagai Least-Square Dummy Variable Model (LSDV). Kelemahan dari Fixed Effects Model
adalah terkadang variabel dummy yang ditambahkan tersebut tidak memiliki informasi penuh dalam menjelaskan model aslinya.
(34)
3. Random Effects Model
Jika variabel dummy ternyata kurang memberikan informasi tentang model, maka digunakanlah error term. Model ini sering disebut sebagai Error Components Model (ECM) dengan ide dasar:
Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit β1i = β1+ εi i = 1, 2, . . . ,N
Yit = β1 + β2X2it+ β3X3it+ εi+ uit= β1+ β2X2it+ β3X3it+ wit wit= εi+ uit
i~ N(0, 2) = komponen cross section error uit~ N(0, u2) = komponen time series error E(εiuit) = 0 E(εiεj) =0 ( ≠ j )
E(uituis) = E(uitujt) = E(uitujs) =0 ( ≠ j ; t ≠ )
Error secara individual dan error secara kombinasi diasumsikan tidak berkolerasi. Tetapi dalam random effects juga terdapat kelemahan, yaitu adanya korelasi antara error term dengan variabel independen.
3.3.2.1. Pengujian untuk Memilih Model Terbaik
Pengujian yang dapat dilakukan untuk memilih model yang paling tepat dalam pengolahan data panel, antara lain:
1. Chow Test adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan
Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
(35)
35
H1: Model Fixed Effect (Unrestricted)
Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
Chow = ( – )/ ( )
/ ( – – )
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed) N= Jumlah data cross section
T= Jumlah data time series
K=Jumlah variabel penjelas
Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu F(N-1, NT-N-K). Jika
nilai Chow Statistics (F Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti untuk penolakan terhadap H0 sehingga model yang kita
gunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
2. Haussman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih antara menggunakan model fixed effect atau model random effect. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: Random Effects Model
H1: Fixed Effects Model
Sebagai dasar penolakan H0 tersebut digunakan dengan menggunakan
(36)
3.3.2.2. Pengujian Validitas Model 1. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar persentase variasi variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel terikatnya. Nilai R2 berkisar antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel terikat amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel terikat (Gujarati, 2003).
2. F-Statistic dan Probability
Untuk metode ordinary least squares nilai F-statistik dihitung dengan formula:
F = / ( )
( ) / ( – )
Nilai F statistik yang besar lebih baik dibandingkan dengan nilai F statistik yang rendah. Sedangkan nilai probabiltas F merupakan tingkat signifikansi marginal dari F statistik.
Dengan menggunakan hipotesis :
H0: semua parameter yang kita duga sama dengan nol (tidak ada variabel
bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat)
H1 : minimal ada satu parameter yang kita duga tidak sama dengan nol
(minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel terikat) Tolak H0 jika Prob Fstat< α
(37)
37
Jika nilai prob F kurang dari nilai alpha (α), maka dengan tingkat keyakinan (1-α) kita dapat menyimpulkan bahwa minimal ada parameter yang kita duga (tidak termasuk konstanta) adalah berbeda dengan nol.
3. Uji t (Partial test)
Pada uji t dilakukan pengujian kofisien regresi secara individu (masing-masing variabel) untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini adalah:
H0 : semua parameter yang kita duga sama dengan nol
H1 : semua parameter yang kita duga tidak sama dengan nol
Berdasarkan hasil perhitungan dalam uji t, maka akan dipilih variabel bebas yang signifikan secara statistik dimana probability value- nya kurang dari α.
3.3.2.3. Pengujian Asumsi Klasik 1. Multikolinearitas
Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier antara variabel independennya. Setiap variabel dipastikan memiliki nilai korelasi. Uji masalah multikolinier ini dilakukan dengan metode melihat hasil estimasi OLS, jika hasil estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R squared yang tinggi dan memiliki nilai t yang signifikan maka model diabaikan dari masalah multikolinear.Tetapi jika hasil estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R squared yang tinggi tetapi memiliki nilai t yang tidak signifikan maka model memiliki masalah multikolinearitas. Dalam EViews, diujii dengan menggunakan
(38)
nilai korelasi antar semua variabel bebas. Jika nilai korelasi kurang dari 0,8 maka variabel tersebut bebas dari multikolinearitas.
2. Heteroskedastisitas
Pengujian asumsi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan tiga metode, yakni: a. Metode Grafik. Metode grafik dilakukan dengan membuat grafik garis dari
kuadrat residual. Apabila tidak terdapat pola khusus pada grafik tersebut maka model adalah homoskedastik, namun apabila terdapat pola tertentu pada grafik residual maka model adalah heteroskedastik.
b. White Test. White test dilakukan untuk menguji apakah model terbebas dari asumsi heteroskedastisitas. Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Model Homoskedastik
H1 : Model Heteroskedastik
Kemudian dilakukan penghitungan statistik White, yang dirumuskan sebagai:
WHITE = n x R2
Dasar penolakan Ho apabila nilai statistik White lebih besar dari χ tabel dengan derajat bebas adalah jumlah variabel independen.
c. Membandingkan nilai R squared weighted dengan unweighted. Jika nilai R squared weighted lebih besar dibandingkan dengan nilai R squared unweighted maka model mengalami heteroskedastik. Model homoskedastik apabila nilai R squared weighted sama atau lebih kecil dibandingkan dengan nilai R squared unweighted.
(39)
39
3. Autokorelasi
Untuk masalah autokorelasi pengujiannya dilakukan dengan melihat
Durbin-Watson statistic (DW) yang nilainya telah disediakan dalam program
Eviews. Nilai DW berkisar pada angka 1,8 hingga 2,1 dan model dikatakan tidak mengalami masalah autokorelasi jika nilai DW stat berkisar di angka 2. Masalah autokorelasi sendiri dapat diatasi dengan 3 cara yaitu first differences, auto regressive (AR), atau dengan menggunakan lag dari variabel dependen atau variabel independen. Pada data panel, cara yang pertama dan kedua tidak dapat langsung dilakukan di dalam Eviews, oleh karena itu ini dapat dilakukan dengan menambah variabel lag pada model dan kemudian meregresinya.
3.4. Spesifikasi model
Rancangan model yang akan diajukan adalah model regresi linear berganda dengan enam variabel bebas (belanja pemerintah daerah berdasarkan fungsi pelayanan umum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, serta variabel angkatan kerja), dengan variabel terikatnya adalah pertumbuhan ekonomi. Variabel belanja fungsi pelayanan umum dan fungsi lainnya dikembangkan dari hasil penelitian Rahayu (2004) dan Sodik (2007) sebagai pendekatan dari variabel konsumsi/belanja pemerintah. Investasi pemerintah didekati dari belanja fungsi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang diadopsi dari hasil penelitian Nurudeen dan Usman (2010).
Adapun data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut berbeda satuan sehingga di-logaritmanatural-kan. Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil
(40)
regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterprestasikan. Model yang disusun dalam penelitian adalah sebagai berikut:
GRWit= α + β1ln(AKit) + β2ln(BLUit) + β3ln(BEit) + β4ln(BSit) + β5ln(BPit)
+ β6ln(BLit) +
dimana :
α = intercept
β1,2,3,4,5,6 = konstanta masing-masing variabel bebas
= error term/derajat kesalahanmodel
GRWit = Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (dalam persen)
AKit = Jumlah angkatan kerja (dalam orang/jiwa)
BLUit = belanja fungsi pelayanan umum (dalam juta rupiah)
BEit = belanja fungsi ekonomi (dalam juta rupiah)
BSit = belanja fungsi kesehatan (dalam juta rupiah)
BPit = belanja fungsi pendidikan (dalam juta rupiah)
BLit = belanja fungsi lainnya seperti perlindungan sosial dan lingkungan
hidup (dalam juta rupiah)
i = data cross section, yaitu 22 kabupaten tertinggal
(41)
BAB IV
ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL
4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah
Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan untuk mengetahui program pembangunan yang tepat dalam memajukan suatu daerah. Karakteristik yang perlu dilihat lebih lanjut adalah kondisi aksesibilitas, sumber daya alam (baik masih potensi maupun yang sudah dikembangkan), sumber daya manusia (kuantitas maupun kualitasnya), dan perkembangan sarana prasarana.
4.1.1. Aksesibilitas
Aksesibilitas sebuah daerah berperan penting dalam menyalurkan sumber daya input produksi sekaligus sebagai jalur pemasaran/pendistribusian hasil produksi tersebut. Kemudahan akses untuk keluar masuk barang jasa dalam suatu daerah mampu mempercepat kinerja perekonomian. Mobilitas perpindahan sumber daya akan mengalir ke tempat sumber daya tersebut lebih dibutuhkan. Sulitnya akses dari dan menuju suatu wilayah menyebabkan harga barang dan jasa menjadi relatif lebih mahal dikarenakan adanya tambahan biaya transport.
Kondisi geografis dari sebagian besar 22 kabupaten tertinggal terletak di kepulauan dan pegunungan/perbukitan yang sulit diakses, daerah pesisir dan daerah yang rawan bencana. Pada umumnya kabupaten tertinggal merupakan daerah yang relatif sulit dijangkau. Untuk daerah yang sulit diakses dikarenakan
(42)
kepulauan antara lain Kabupaten Simeuleu, Nias Selatan, dan Nias. Untuk kesulitan akses dengan kondisi perbukitan atau belum terbukanya akses jalan di sebagian besar wilayah desanya adalah Kabupaten Simeuleu, Aceh Jaya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Padang Pariaman, dan Way Kanan.
Sebagian besar daerah mempunyai kondisi rawan bencana (banjir, gempa, tsunami, dan longsor) terutama yang terletak di wilayah Pantai Barat Sumatra antara lain Kabupaten Simeuleu, Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nias, Nias Selatan, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan Mukomuko. Kondisi daerah yang rawan bencana bukan hanya dapat menyebabkan pembangunan terhambat, bahkan merusakkan pembangunan yang sudah terlaksana. Kerusakan fasilitas, terutama jalan sebagai jalur transportasi, dapat menyebabkan sebuah daerah terisolir.
Sumber: BPS, Podes 2008 (diolah)
Gambar 4.1. Persentase Desa dengan Jalan yang Dapat Dilalui Mobil dan Desa dengan Jalan yang Sudah Diaspal Tahun 2008
0 20 40 60 80 100 S im e u le u A c e h B e sa r A c e h S e la ta n A c e h B a ra t D a y a A c e h J a y a N ia s T a p a n u li T e n g a h P a k p a k B h a ra t N ia s S e la ta n P a d a n g P a ri a m a n S o lo k S o lo k S e la ta n P a sa m a n B a ra t L a h a t B a n y u a si n O g a n I li r K a u r M u k o m u k o L e b o n g L a m p u n g B a ra t L a m p u n g U ta ra W a y K a n a n p e rs e n ta se d e sa Kabupat en
(43)
43
Kondisi jalan sebagai jalur transportasi di 22 kabupaten tertinggal masih cukup memprihatinkan. Walaupun sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat (mobil), akan tetapi, hanya sekitar 61 persen yang sudah diaspal, lebih banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal masih banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (64 persen). Kabupaten Aceh Jaya, Banyuasin, dan Way Kanan merupakan daerah yang mempunyai persentase desa dengan jalan aspal yang paling rendah.
4.1.2. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan salah satu faktor dalam pembangunan ekonomi. Daerah tertinggal diindikasikan memiliki sumber daya alam yang terbatas maupun berpotensi namun belum dikembangkan/dikelola dengan baik. Potensi sumber daya alam kabupaten tertinggal biasanya bergantung pada sektor primer. Beberapa daerah bahkan tidak memiliki potensi sumber daya alam, yang sangat menggantungkan pembangunan daerahnya dari pajak dan dana perimbangan, seperti Kabupaten Solok Selatan dan Lebong.
Daerah yang mempunyai potensi dari subsektor petanian pangan dan palawija (berupa produk padi, jagung, cabai, dan singkong) adalah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Besar, Pakpak Bharat, Padang Pariaman, Lahat, Banyuasin, dan Lampung Utara. Di antara daerah tersebut, yang dapat dikatakan lebih mampu mengelola potensinya adalah Lahat. Dengan program pertanian yang terpadu dengan dinas pertanian terkait diharapkan mampu memacu perkembangan produk
(44)
pertanian. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan daerah penyangga (dari OKU Timur) dalam kerangka ketahanan pangan nasional.
Sebagian besar daerah yang berpotensi pada produk perikanan masih belum bisa mengelola sumberdaya perikanannya dengan baik (masih perikanan tangkap, bukan budidaya). Daerah dengan produk perikanan seperti Nias dan Nias Selatan sangat tergantung musim dan perairan. Daerah yang sudah mulai mengembangkan pola budidaya dengan keramba dan tambak adalah Lampung Barat. Dengan pengembangan budidaya maka akan relatif dapat memastikan pasokan produk ke pasaran.
Adapun daerah yang memproduksi tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa sawit belum bisa mengembangkan produksinya dengan maksimal dikarenakan belum adanya industri lanjutan. Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat Daya merupakan penghasil Kopi Aceh (Kopi Gayo) yang terkenal, meskipun produksinya belum massive. Kabupaten lain yang juga sebagai produsen kopi antara lain Solok dan Lampung Barat. Kabupaten yang sedang mengembangkan perkebunan kelapa sawit adalah Kaur dan Mukomuko.
4.1.3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia juga perlu diperhatikan, selain sumber daya alam, sebagai faktor pembangunan. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia merupakan motor penggerak sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia daerah tertinggal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, dengan peningkatan tersebut masih
(45)
45
relatif kecil dibandingkan angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan pembangunan sumber daya manusia masih kurang progesif.
Sumber: BPS (diolah)
Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2007
Perkembangan kuantitas dan pembangunan kualitas sumber daya manusia tahun 2007-2009 dapat dilihat dari Gambar 4.2 dan 4.3. Seluruh kabupaten mengalami peningkatan IPM pada 2009 dibandingkan dengan tahun 2007. Akan tetapi, peningkatan kualitas 21 kabupaten masih berada di bawah IPM nasional (2007 sebesar 70,59 dan pada 2009 menjadi sebesar 71,67), hanya Kabupaten Aceh Besar yang berada di atas nilai IPM nasional. Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai IPM yang jauh tertinggal dibandingkan kabupaten lain.
Sebagian besar kabupaten juga mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja sejalan penambahan jumlah penduduk. Kabupaten yang memiliki Tingkat
20 30 40 50 60 70 80 90
64 66 68 70 72 74
T P A K ipm Simeuleu Aceh Besar Aceh Selat an Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias
Tapanuli Tengah Pakpak Bharat Nias Selat an Padang Pariaman Solok
Solok Selat an Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur M ukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Ut ara Way Kanan
(46)
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lebih tinggi dari nasional antara lain Aceh Selatan, Lebong, Lahat, Ogan Ilir, dan Kaur. TPAK nasional tahun 2007 sebesar 66,99 persen dan meningkat di tahun 2009 menjadi 67,23 persen.
Sumber: BPS (diolah)
Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2009
4.1.4. Sarana dan Prasarana
Pembangunan sarana dan prasarana ekonomi maupun sosial suatu daerah merupakan investasi masa depan bagi daerah itu sendiri. Ketersediaan fasilitas fisik yang memadai dan berkualitas mendorong pengembangan sumber daya dengan efektif yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat. Begitu halnya dengan ketersediaan infrastruktur energi (listrik) sangat perlu diperhatikan. Pengembangan kegiatan ekonomi daerah berbasis industri kurang dapat menyebar ke daerah tertinggal jika kapasitas produksi masih belum mencukupi kebutuhan.
20 30 40 50 60 70 80
64 66 68 70 72 74
T P A K ipm Simeuleu Aceh Besar Aceh Selat an Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias
Tapanuli Tengah Pakpak Bharat Nias Selat an Padang Pariaman Solok
Solok Selat an Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur M ukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Ut ara Way Kanan
(47)
47
Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kabupaten tertinggal cukup memfokuskan pada pembangunan sarana sosial maupun ekonomi. Perkembangan jumlah sarana kesehatan dan pendidikan yang meningkat, serta penambahan daya listrik terpasang merupakan indikasi adanya pembangunan sarana yang krusial. Tabel 4.1. Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22
Kabupaten Tertinggal Tahun 2005 dan 2008 Kabupaten
Tertinggal
Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk
Rasio SD dan SMP per 10.000
penduduk
Persentase Keluarga Pengguna Listrik
2005 2008 2005 2008 2005 2008
Simeuleu 3,82 14,67 18,24 19,56 46,95 73,11
Aceh Besar 4,07 8,00 8,04 10,51 68,74 93,01
Aceh Selatan 5,05 4,71 12,68 13,28 65,40 75,37 Aceh Barat Daya 3,71 5,36 11,71 11,70 47,63 76,59
Aceh Jaya 5,94 7,28 13,30 19,05 42,91 65,79
Nias 2,64 3,79 11,70 12,85 26,69 47,95
Tapanuli Tengah 4,09 6,52 13,53 13,25 66,46 78,25 Pakpak Bharat 7,75 12,91 16,78 19,24 58,65 71,63 Nias Selatan 1,88 4,07 8,02 13,27 35,33 45,08 Padang Pariaman 3,72 4,24 11,47 12,37 80,71 82,80
Solok 3,50 6,07 11,18 11,78 68,96 78,79
Solok Selatan 3,61 5,38 10,28 13,40 58,13 73,87 Pasaman Barat 2,90 2,37 10,34 10,38 42,27 54,51
Lahat 5,35 6,17 17,77 12,36 48,53 71,41
Banyuasin 2,49 6,36 7,09 8,10 49,19 62,62
Ogan Ilir 1,83 9,91 9,96 10,57 46,85 73,40
Kaur 4,71 10,07 13,33 14,24 34,90 48,47
Muko-muko 5,12 11,40 11,40 11,33 35,39 65,24
Lebong 5,46 10,97 13,27 15,14 49,93 68,12
Lampung Barat 2,99 6,83 10,80 11,59 34,33 42,20 Lampung Utara 3,79 5,84 9,94 10,63 54,28 69,95
Way Kanan 3,64 6,74 11,58 12,36 24,19 50,44
Rata-rata
Nasional 89,01 92,73
Sumber: BPS, Podes (2005 dan 2008)
Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN) mencanangkan bahwa satu SD terhadap maksimal menampung 200-300 anak usia 7-12 tahun atau maksimal
(48)
30 anak dalam satu kelas. Menurut Kementrian Kesehatan, sarana kesehatan yang dibangun seyogyanya mampu melayani 30.000 penduduk di sekitarnya atau dengan rasio sekitar 30. Kabupaten tertinggal memiliki rasio yang lebih rendah dibandingkan nasional berdasarkan Tabel 4.1. Hal ini menunjukkan kapasitas fasilitas kesehatan melebihi kapasitas ideal yang diharapkan.
4.2. Struktur Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal
Keterbatasan potensi dan PAD dari daerah tertinggal menyebabkan terbatasnya kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran yang ada. Anggaran sebagai instrumen fiskal dalam fungsi alokasi disesuaikan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Keterpaduan alokasi yang tepat bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja daerah sehingga bermanfaat bagi perekonomian kabupaten.
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.4. Struktur Alokasi Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal Berdasarkan Fungsi Tahun 2009
0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 S im e u le u A c e h B e sa r A c e h S e la ta n A c e h B a ra t D a y a A c e h J a y a N ia s T a p a n u li T e n g a h P a k p a k B h a ra t N ia s S e la ta n P a d a n g … S o lo k S o lo k S e la ta n P a sa m a n B a ra t L a h a t B a n y u a si n O g a n I li r K a u r M u k o m u k o L e b o n g L a m p u n g B a ra t L a m p u n g U ta ra W a y K a n a n p e rs e n te s e a lo k a s i Kabupaten lainnya pendidikan kesehat an ekonom i pelayanan um um
(49)
49
Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa struktur alokasi belanja pemerintah daerah tertinggal hampir sama. Alokasi belanja terbesar masih didominasi belanja fungsi pelayanan umum kemudian baru fungsi pendidikan. Alokasi belanja fungsi pelayanan umum berkisar antara 22-40 persen dari total belanja. Belanja fungsi kesehatan, ekonomi, dan lainnya relatif kecil, antara 5 persen sampai dengan 20 persen.
4.2.1. Belanja Fungsi Pelayanan Umum
Perkembangan belanja fungsi pelayanan umum dari tahun 2007-2009 bervariasi antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan. Kenaikan belanja fungsi ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pegawai (baik dari segi nominal maupun jumlah pegawai). Rekrutmen pegawai baru juga semakin memberikan beban tersendiri karena semakin memperbesar pengalokasian.
Pada tahun 2009 Kabupaten Lahat mempunyai pengeluaran untuk fungsi belanja pelayanan umum terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya untuk kebutuhan yaitu sebesar 250.055,65 miliar rupiah atau 64,91 persen lebih tinggi dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten yang ada yaitu 151.628,10 miliar rupiah. Belanja untuk kebutuhan pelayanan umum terkecil adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang hanya 34.444,74 miliar rupiah atau 77,28 % lebih kecil dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten.
Pada Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa terdapat sepuluh kabupaten yang mengalokasikan belanja fungsi alokasi yang lebih besar dibandingkan rata-rata (32 persen). Sepuluh kabupaten tersebut adalah Simeuleu, Aceh Selatan, Aceh
(50)
Barat Daya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Solok, Kaur, Lampung Barat, Lampung Utara, dan Way Kanan.
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009
4.2.2. Belanja Fungsi Ekonomi
Kenaikan belanja fungsi ekonomi antara lain digunakan untuk pengembangan pelatihan kerja, peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat, dan promosi potensi wilayah. Kabupaten Lahat memiliki belanja fungsi ekonomi tertinggi dibandingkan daerah lain, dimana sedang memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian.
0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 S im e u le u A c e h B e sa r A c e h S e la ta n A c e h B a ra t D a y a A c e h J a y a N ia s T a p a n u li T e n g a h P a k p a k B h a ra t N ia s S e la ta n P a d a n g P a ri a m a n S o lo k S o lo k S e la ta n P a sa m a n B a ra t L a h a t B a n y u a si n O g a n I li r K a u r M u k o m u k o L e b o n g L a m p u n g B a ra t L a m p u n g U ta ra W a y K a n a n a lo k a si a n g g a ra n Kabupaten
(51)
51
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009
Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi ekonomi adalah sebesar 9,5 persen. Alokasi fungsi ini relatif kecil untuk pengembangan ekonomi masyarakat, dimana kebutuhan pembangunan infrastruktur/fasilitas umum membutuhkan dana yang besar. Alokasi fungsi ekonomi antarkabupaten cukup beragam, Nias Selatan merupakan kabupaten dengan alokasi terendah sebesar 6 persen, sedangkan Nias tertinggi sebesar 12 persen. Walaupun bersebelahan, alokasi fungsi ekonomi memang berbeda dimana Nias Selatan masih lebih berfokus kepada pemulihan terhadap kondisi setelah bencana.
0,0 5,0 10,0 15,0 S im e u le u A c e h B e sa r A c e h S e la ta n A c e h B a ra t D a y a A c e h J a y a N ia s T a p a n u li T e n g a h P a k p a k B h a ra t N ia s S e la ta n P a d a n g P a ri a m a n S o lo k S o lo k S e la ta n P a sa m a n B a ra t L a h a t B a n y u a si n O g a n I li r K a u r M u k o m u k o L e b o n g L a m p u n g B a ra t L a m p u n g U ta ra W a y K a n a n a lo k a si a n g g a ra n Kabupaten
(52)
4.2.3. Belanja Fungsi Kesehatan
Belanja fungsi kesehatan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan dan produktivitas masyarakat. Contoh pembelanjaan fungsi ini antara lain seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan (alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan.
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.7. Alokasi Belanja Fungsi Kesehatan Menurut Daerah Tahun 2009
Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi kesehatan adalah sebesar 9,9 persen. Alokasi fungsi kesehatan digunakan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat seperti peningkatan sarana prasarana kesehatan, alat-alat kesehatan, dan obat-obatan. Keragaman alokasi belanja fungsi kesehatan antardaerah cukup bervariasi. Kabupaten Simeuleu merupakan daerah dengan alokasi terendah sebesar 5 persen, sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat tertinggi sebesar 11 persen. Pengalokasian belanja fungsi kesehatan secara efektif di Kabupaten Kaur terbukti dapat menurunkan angka kejadian penyakit menular dan endemik.
0,00 5,00 10,00 15,00
a
lo
k
a
si
a
n
g
g
a
ra
n
(53)
53
4.2.4. Belanja Fungsi Pendidikan
Belanja fungsi pendidikan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan internet sekolah, maupun gedung sekolah. Alokasi belanja fungsi pendidikan secara nasional untuk daerah dicanangkan minimal 20 persen.
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.8. Alokasi Belanja Fungsi Pendidikan Menurut Kabupaten Tahun 2009
Pada Gambar 4.8 bahwa secara rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan cukup besar, yaitu 27,02 persen. Alokasi fungsi pendidikan antarkabupaten cukup beragam, tapi dengan persentase yang lebih dibandingkan alokasi fungsi yang lain. Kabupaten yang paling sedikit mengalokasikan belanja pada fungsi pendidikan adalah Mukomuko (16,26 persen), sedangkan yang terbesar adalah Solok. Belanja fungsi pendidikan difokuskan kepada peningkatan prasarana sekaligus kualitas fasilitas pendidikan seperti buku, laboratorium,
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00
a
lo
k
a
si
a
n
g
g
a
ra
n
(54)
peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan kualitas pengajar. Perkembangan alokasi belanja fungsi pendidikan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Hal ini salah satunya dikarenakan semakin banyaknya program intervensi dari pemerintah pusat seperti peningkatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa pendidikan.
4.2.5. Belanja Fungsi Lainnya
Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka belanja fungsi lain yang belum tercakup seperti perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Belanja perlindungan sosial digunakan untuk biaya penanggulangan bencana yang dianggarkan, jaminan sosial masyarakat, dan pendistribusian bantuan. Belanja lingkungan hidup lebih diarahkan dalam pemeliharaan dan pelestarian kondisi lingkungan terutama hutan.
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)
Gambar 4.9. Alokasi Belanja Fungsi Lainnya Menurut Kabupaten Tahun 2009
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00
a
lo
k
a
si
a
n
g
g
a
ra
n
(55)
55
Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi lainnya adalah sebesar 8,8 persen. Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa alokasi fungsi ekonomi antardaerah sangat beragam. Lampung Utara merupakan daerah dengan alokasi terendah sebesar 2,8 persen, sedangkan Lebong tertinggi sebesar 20,3 persen. Belanja fungsi lainnya biasanya merupakan pengeluaran untuk perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Kabupaten Lebong mempunyai alokasi yang cukup tinggi pada belanja ini, yang lebih menitikberatkan pada lingkungan hidup, dimana pengembalian fungsi hutan mangrove, kelestarian terumbu karang, dan reboisasi hutan sangat digalakkan oleh pemerintah daerahnya. Kabupaten Nias dan Nias Selatan juga memiliki alokasi yang belanja fungsi lainnya yang tinggi terkait fokusnya pada program revitalisasi pasca bencana.
4.3. Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan Tabel 4.2, pada tahun 2007 dari 22 kabupaten tertinggal tersebut yang memiliki pertumbuhan tertinggi adalah Aceh Besar (Provinsi Nangro Aceh Darusalam) sebesar 13,87 persen Tingginya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah kabupaten di Aceh pada tahun tersebut lebih disebabkan adanya pengembangan kawasan ekonomi terpadu Basajan (Banda Aceh, Sabang, dan Jantho) sebagai kawasan wisata dan berikat serta pembangunan jaringan telekomunikasi di sebagian besar wilayah NAD tersebut.
(56)
Tabel 4.2. Perbandingan PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi pada 22 Kabupaten Tertinggal
Kabupaten Tertinggal
PDRB ADHK (Miliar Rp) Pertumbuhan Ekonomi (%)
2007 2008 2009 2007 2008 2009
Simeuleu 225 236 246,66 11,59 4,83 4,68
Aceh Besar 2.135 2.258 2.405 13,87 5,77 6,50 Aceh Selatan 1.181 1.244 1.317 6,14 5,34 5,85 Aceh Barat Daya 582 608 635 4,57 4,50 4,44
Aceh Jaya 243 252 264,91 2,95 3,73 5,14
Nias 1.739 1.855 1.980,33 6,64 6,70 6,75
Tapanuli Tengah 1.000 1.062 1122,91 6,23 6,18 5,70 Pakpak Bharat 138 14 6 154,42 5,95 5,87 5,83 Nias Selatan 1.085 1.137 1.182,9 4,27 4,77 4,08 Padang Pariaman 2.490 2.645 2.749,34 6,11 6,24 3,94
Solok 1.812 1.927 2.047,62 6,24 6,35 6,27
Solok Selatan 546 579 614,81 6,02 6,04 6,18 Pasaman Barat 2.251 2.395 2.544,86 6,41 6,40 6,26
Lahat 2.292 2.433 2.562,84 5,92 6,09 5,40
Banyuasin 4.033 4.251 4.484,12 6,12 5,43 5,41 Ogan Ilir 1.493 1.568 1.651,28 5,01 5,07 5,29
Kaur 214 226,9 234,81 4,65 5,45 3,98
Mukomuko 488 510 533,78 4,97 4,55 4,65
Lebong 446 468 489,66 5,11 4,99 4,58
Lampung Barat 1.286 1.352 1.427,75 5,88 5,09 5,64 Lampung Utara 2.855 3.014 3.194,21 6,27 5,71 5,84 Way Kanan 1.220 1.278 1.337,66 5,52 4,74 4,69
Nasional 6.28 6,43 4,74
Sumber: BPS, 2007-2009
Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Aceh Jaya dan Nias Selatan yang hanya sebesar 2,95 dan 4,27 persen. Hal tersebut dikarenakan pemulihan kondisi pasca bencana terdahulu belum maksimal. Walaupun Kabupaten Aceh lainnya juga terkena dampak bencana, akan tetapi tidak separah dan proses restrukturisasi daerah lebih cepat
(1)
UJI UNTUK PEMILIHAN MODEL:
1. UJI CHOW
Redundant Fixed Effects Tests Equation: COBA2
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 2.037062 (21,38) 0.0277 Cross-section Chi-square 49.772075 21 0.0004
H0 : Model common effect (pooled)
H1 : Model fixed effect
Kesimpulan: Karena p value cross section chi square 0,0000 < α (0,05) ataupun p value F test 0,0000 < α (0,05)
Maka keputusan H0 ditolak (yang dipilih adalah model fixed effect)
2. UJI HAUSM AN
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: RANDOMFINAL
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.957563 6 0.2412
H0 : Model random effect
H1 : Model fixed effect
Kesimpulan: Karena p value F test 0,2412 > α (0,05)
(2)
Lampiran 3. Hasil Pengujian Asumsi Klasik.
1. Norm alit as
Berdasarkan nilai prob 0,827 > α (0,05) berart i disim pulkan t olak H0 (residual t ersebar norm al).
2. Aut okorelasi
H0 : t idak ada korelasi serial H1 : ada korelasi serial
H0 t idak dit olak jika p value obs R square < α,
at au nilai p value dari Durbin Wat son t erlet ak pada du < dw < 4-du Kesim pulan: Karena p value Durbin Wat son 1,825 dengan nilai du = 1,664 dan dL = 1,053 sehingga nilainya t erlet ak diant ara 1,664 < 1,825 < 2,34 m aka t idak t olak H0 (t idak ada aut okorelasi dalam m odel regresi)
0 2 4 6 8 10 12
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2009
Observations 66
Mean -1.93e-17 Median -0.001986 Maximum 0.855810 Minimum -0.712200 Std. Dev. 0.315596 Skewness 0.175203 Kurtosis 3.124465
Jarque-Bera 0.380257 Probability 0.826853
(3)
3. M ult ikolinierit as
Korelasi a b c d e f
a 1 0.4975 0.6934 0.5606 0.2515 0.7832
b 0.4975 1 0.6355 0.5899 0.2203 0.5638
c 0.6934 0.6355 1 0.4513 0.3614 0.7396
d 0.5606 0.5899 0.4513 1 -0.1983 0.5055
e 0.2515 0.2203 0.3614 -0.1983 1 0.1766
f 0.7832 0.5638 0.7396 0.5055 0.1766 1
Keterangan: a. Ln variabel jumlah angkatan kerja b. Ln variabel belanja fungsi ekonomi c. Ln variabel belanja fungsi kesehatan d. Ln variabel belanja fungsi lainnya
e. Ln variabel belanja fungsi pelayanan umum f. Ln variabel belanja fungsi pendidikan
Dikarenakan nilai korelasi ant ara variabel bebas < 0,8 m aka dapat disim pulkan bahw a t idak t erjadi m ult ikolinierit as ant ara variabel bebas
4. HETEROSKEDASTISITAS
Heteroskedastisitas dilihat dengan membandingkan nilai sum square residu weight < sum square residu unweight). Jika terjadi, maka harus dilakukan metode random lain dengan weighted kemudian cross-section SUR sehingga heteroskedastisitas diabaikan
Weighted Statistics
R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423 Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949 S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332 F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976 Prob(F-statistic) 0.000826
Unweighted Statistics
R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788 Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918
(4)
Lampiran 4. Penetapan Model Terbaik.
Random Effect EGLS Weighting Cross-section SUR Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 11/21/11 Time: 01:20
Sample: 2007 2009 Periods included: 3
Cross-sections included: 22
Total panel (balanced) observations: 66
Swamy and Arora estimator of component variances
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.670176 6.169529 0.432801 0.6667 LN_AK -0.089737 0.330677 -0.271373 0.7871 LN_LAYANAN -1.372154 0.394085 -3.481873 0.0009 LN_EKONOMI 0.137156 0.616474 0.222484 0.8247 LN_KESEHATAN 2.032626 0.908060 2.238428 0.0290 LN_PENDIDIKAN 0.858407 0.320087 2.681795 0.0095 LN_LAINNYA -1.312499 0.496796 -2.641930 0.0105
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 0.707650 0.2841
Idiosyncratic random 1.123350 0.7159
Weighted Statistics
R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423 Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949 S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332 F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976 Prob(F-statistic) 0.000826
Unweighted Statistics
R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788 Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918
(5)
RINGKASAN
NUR SAIDAH. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal (dibimbing oleh LUKYTAWATI
ANGGRAENI).
Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan meningkatkan kemandirian daerah. Akan tetapi, setelah evaluasi pelaksanaan sepuluh tahun masih banyak daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497 kabupaten/kota). Pertumbuhan, sebagai prasyarat pembangunan, yang relatif lebih kecil dapat menghambat daerah tertinggal untuk menuju konvergensi dengan daerah yang lebih maju. Belanja pemerintah merupakan salah satu ukuran yang memengaruhi perekonomian dan merupakan bentuk stimulus yang dilakukan pemerintah pada tahap awal perkembangan. Hal ini terkait bahwa belanja pemerintah mempunyai peranan sebagai instrumen fiskal melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Pengalokasian belanja seharusnya lebih diutamakan pada fungsi-fungsi krusial dibandingkan hanya belanja rutin.
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana karakteristik dan perkembangan kinerja ekonomi 22 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra menurut aksesibilitas, sumber daya alam, sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi, dan alokasi belanja pemerintah daerah per fungsi pada tahun 2007-2009. Tujuan kedua adalah menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal dan belanja fungsi apa yang memberikan pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan tersebut.
Data yang digunakan dalam menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah data pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah per fungsi, dan jumlah angkatan kerja. Sumber data pertumbuhan ekonomi dan angkatan kerja diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan data belanja pemerintah daerah per fungsi didasarkan pada realisasi Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang diperoleh dari Kementrian Keuangan. Metode yang digunakan adalah analisis data panel pada 22 kabupaten tertinggal melalui tahap pengujian dengan asumsi klasik, kemudian Uji Chow dan Hausman, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Random Effect Model EGLS Weight cross-section SUR.
Sebagian besar kabupaten tertinggal memiliki aksesibilitas yang relatif sulit, keterbatasan sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, ragam alokasi belanja yang masih lebih besar untuk belanja fungsi pelayanan umum dan belum memprioritaskan pada belanja investasi yang produktif, serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang masih relatif rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa variabel fungsi belanja pelayanan umum dan lainnya, sebagai proksi dari konsumsi/belanja pemerintah, mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Investasi pemerintah yang signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
(6)
adalah belanja fungsi kesehatan dan pendidikan. Variabel tenaga kerja tidak memberikan pengaruh signikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan agar pemerintah kabupaten tertinggal mengalokasikan dana secara bijaksana dengan memprioritaskan belanja pembangunan pada fungsi kesehatan dan pendidikan. Alokasi belanja fungsi ekonomi harus ditingkatkan mengingat rendahnya alokasi menyebabkan belanja tersebut belum memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah daerah tertinggal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja jajaran pegawai, salah satunya dengan perampingan struktur organisasi pemerintahan.