Penapisan Antibakteri yang Dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat dari Produk Bekasam Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia)

(1)

1.1 Latar Belakang

Bahan pangan merupakan salah satu kebutuhan utama untuk kelangsungan hidup manusia. Bahan pangan umumnya memiliki masa simpan atau daya awet yang terbatas, terutama pada bahan pangan yang bersifat perishable food atau rentan akan kerusakan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bahan pengawet alami agar bahan pangan tersebut tidak mudah mengalami perubahan sifat (warna, rasa, bau) dan juga perubahan kandungan gizi didalamnya.

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan salah satu jenis bakteri yang mampu memproduksi metabolit sebagai senyawa antibakteri. Bakteri asam laktat dinilai tidak berbahaya, sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet alami atau probiotik melawan bakteri patogen. Bakteri asam laktat menghasilkan senyawa-senyawa seperti asam laktat, asam asetat, H2O2, diasetil dan bakteriosin.

Potensi senyawa antibakteri pada bakteri asam laktat ialah sebagai bahan pengawet makanan (Daeschel 1983 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002).

Bakteri yang memproduksi asam laktat termasuk ke dalam golongan bakteri Gram-positif, sebagian besar bersifat katalase negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang dan coccus. Golongan bakteri asam laktat ini dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen (Casida 1968 diacu dalam Fauzan 2009). Kelompok bakteri asam laktat terdiri dari famili Micrococcaceae, yaitu spesies dari genus Micrococcus dan Staphylococcus, famili Lactobacillaceae, yaitu spesies dari genus Lactobacillus dan bakteri yang termasuk dalam famili Streptococcaceae, yaitu spesies dari genus Leuconostoc, Streptococcus, Pediococcus dan Aerococcus (Fardiaz.1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat ialah suhu, nilai pH, garam dan karbohidrat (Fauzan 2009).

Produk olahan hasil perikanan yang memanfaatkan bakteri asam laktat dalam proses fermentasinya ialah bekasam. Fermentasi ikan merupakan suatu proses penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan yang terkontrol atau diatur (controlled condition). Karena ikan banyak mengandung air (± 80%), maka


(2)

pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berperan dalam proses fermentasi akan terhambat oleh bakteri-bakteri pembusuk. Oleh karena itu, agar proses fermentasi ikan dapat berlangsung, maka diperlukan penambahan garam (NaCl) agar tercipta keadaan yang terkontrol itu (Moeljanto 1992).

Bekasam merupakan suatu olahan ikan secara tradisional yang rasanya asam dan banyak dikenal di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Bekasam ialah hasil proses fermentasi ikan yang digolongkan sebagai penghasil senyawa-senyawa yang secara nyata mempunyai daya awet akibat adanya penambahan garam sebagai bahan pengawet, dalam proses fermentasi juga digunakan nasi atau keraknya sebagai sumber energi mikroorganisme (Moeljanto 1992). Proses pembuatan bekasam sampai saat ini masih dilakukan secara tradisional dengan menerapkan fermentasi spontan, yaitu bakteri yang berperan, pertumbuhannya dirangsang dengan penambahan garam dan sumber karbohidrat dalam kondisi anaerobik (Winarno et al. 1973).

Proses pembuatan bekasam biasanya dilakukan penambahan dengan karbohidrat. Sumber karbohidrat yang biasa ditambahkan pada umumnya adalah nasi, beras sangrai atau tape ketan yang proses fermentasinya berlangsung secara anaerobik (Murtini 1992). Penambahan karbohidrat bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat akan menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana, yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionat dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini berguna sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada produk bekasam (Rahayu et al. 1992). Bekasam bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas penggunaanya. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan antibakteri yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat dari bekasam yang bermanfaat sebagai bahan pengawet makanan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menapis senyawa antibakteri dari tiga isolat bakteri asam laktat (BAL) yang berbeda dan menentukan waktu optimum produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih sebagai bahan pengawet makanan alami.


(3)

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia)

Ikan seluang merupakan ikan khas perairan rawa, walaupun sebagian kecil lainnya dapat ditemukan pula di daerah aliran sungai. Penyebaran ikan seluang meliputi wilayah Afrika dan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam (Priyono 2011). Ikan seluang yang termasuk dalam Genus Rasbora spp. ini terdiri dari sekitar 70 spesies, salah satunya ialah Rasbora argyrotaenia. Klasifikasi ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) (Bleeker 1850 diacu dalam Fishbase 2010) ialah sebagai berikut.

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Actynopterygii Sub Kelas : Neopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Rasbora

Spesies : Rasbora argyrotaenia

Gambar 1 Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) (Sumber : www.fishbase.us)

Ikan seluang memiliki ciri morfologi berupa bentuk tubuh yang pipih, bersisik tipis, berwarna putih kekuningan dan mempunyai sepasang mata jernih, pada beberapa spesies terdapat garis kehitaman di bagian tengah badan. Ikan ini banyak ditemukan di sungai berair jernih dan rawa, biasanya ikan seluang memakan zooplankton, serangga, cacing tanah dan crustacea. Ikan seluang hidup


(4)

berkoloni dan bergerak bebas di permukaan air, namun ketika suhu air naik terutama pada musim kemarau, ikan seluang tidak berada pada permukaan air karena tidak tahan terhadap peningkatan suhu air. Sejumlah spesies ikan seluang dapat dijadikan ikan hias karena keindahan warnanya (Sobri 2008). Kisaran pH pada habitat ikan seluang ialah sebesar 6,0-7,5. Panjang maksimum tubuh ikan seluang dewasa ialah 14cm. Ikan betina dewasa biasanya berperut bulat dan berukuran sedikit lebih besar dari jantan. Ikan seluang berkembang biak seperti ikan cyprinid lain pada umumnya, dimana setelah pemijahan telur yang dihasilkan tersebut akan ditinggalkan oleh induk seluang (Duffill 2007).

Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) merupakan jenis ikan seluang yang jarang dimanfaatkan sebagai ornamental fish. Ikan jenis ini juga tidak tersedia secara teratur dalam dunia perdagangan. Ikan seluang memiliki daerah distribusi yang luas. Ikan seluang tersebar dari sungai Mekong dan sungai Chao Phraya serta Mae Klong di bagian barat Thailand. Selain itu, ikan ini juga banyak ditemukan di Kamboja, Semenanjung Malaysia dan Cina. Distribusinya meluas lebih lanjut ke arah selatan Filipina dan Kepulauan Sunda termasuk bagian dari Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam. Ikan dapat bervariasi dalam warna dan polanya tergantung pada wilayah hidupnya masing-masing (Duffill 2007).

2.2 Fermentasi Ikan

Pengolahan ikan dengan cara fermentasi merupakan cara pengawetan tradisional di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, dimana prosesnya relatif mudah dan murah (Rahayu et al. 1992). Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz 1992). Adanya bakteri fermentasi tersebut tidak hanya memberikan rasa yang khas pada produk perikanan, tetapi juga membuat produk tahan terhadap pembusukan dan perkembangbiakan bakteri yang merugikan (Rose 1982 diacu dalam Fauzan 2009). Hal tersebut dikarenakan selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi


(5)

komponen-komponen lain yang berperan dalam membentuk citarasa produk (Adawyah 2007). Perubahan kimia dalam bahan pangan terjadi dalam proses fermentasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim. Enzim yang berperan tersebut dapat dihasilkan oleh mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan.

Fermentasi ikan dibedakan menjadi empat golongan berdasarkan prosesnya, yaitu fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, asam organik, asam mineral dan fermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat (Rahayu et al. 1992). Fermentasi asam laktat dapat terjadi sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bakteri asam laktat homofermentatif dan heterofermentatif (Adawyah 2007). Penggunaan bakteri asam laktat dalam proses fermentasi merupakan cara yang relatif mudah, murah dan aman. Bakteri tersebut dapat dirangsang pertumbuhannya dengan melakukan penambahan sumber karbohidrat dan garam dalam jumlah yang optimum pada kondisi anaerobik. Fermentasi tersebut hanya dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba pada substrat organik yang sesuai. Peranan substrat yang terpenting adalah sebagai sumber energi bagi metabolisme sel, sebagai bahan pembentuk sel dan produk metabolisme (Rachman 1989 diacu dalam Fauzan 2009).

2.3 Bekasam

Bekasam adalah produk ikan fermentasi tradisional yang pada awalnya diolah oleh penduduk yang bermukim di Muara Sungai Bengawan Solo dan Surabaya, tetapi kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Produk tersebut di Kalimantan Tengah disebut dengan wadi

(Moeljanto 1992). Bekasam pada umumnya berasal dari ikan air tawar atau payau. Pada dasarnya, semua ikan air tawar dapat diolah menjadi bekasam, tetapi setiap daerah mempunyai pertimbangan tersendiri dalam memilih jenis ikan air tawar yang digunakan sebagai bahan mentah. Ikan yang telah umum digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, bader, nila dan mujair (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Pembuatan bekasam pada prinsipnya terdiri atas tiga tahap, yaitu proses penggaraman, penambahan karbohidrat dan dilanjutkan dengan fermentasi. Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat dalam


(6)

kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi menjadi gula-gula sederhana dan kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang berperan sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam. Dalam proses pembuatan bekasam secara tradisional pada umumnya digunakan garam untuk mencegah terjadinya pembentukan ammonia dari senyawa nitrogen dan untuk menyeleksi mikroba (Murtini 1992). Penambahan karbohidrat pada pembuatan bekasam bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat (Rahayu et al. 1992).

Proses pembuatan bekasam sampai saat ini masih dilakukan secara tradisional dengan menerapkan fermentasi spontan, yaitu bakteri yang berperan pertumbuhannya dirangsang dengan penambahan garam dan sumber karbohidrat dalam kondisi anaerobik (Winarno et al. 1973). Bekasam memiliki ciri khas rasa yang asam dan salah satu kekhasan dari produk ini adalah rasanya yang tidak terlalu asin, sehingga diharapkan dapat meningkatkan jumlah konsumsi atau

intake protein yang berasal dari produk perikanan (Rahayu et al. 1992).

2.4 Penapisan Antibakteri

Penapisan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui adanya senyawa antibakteri dari BAL. Penapisan dibagi ke dalam dua metode, yakni metode penapisan secara langsung dan tidak langsung. Metode penapisan secara tidak langsung diantaranya adalah metode the spot on the lawn, dimana pada metode ini bakteri yang diduga menghasilkan senyawa antibakteri dititikkan ke dalam media agar dan diinkubasi selama 12 jam untuk menumbuhkan koloni tunggal dari bakteri tersebut. Koloni bakteri yang tumbuh tersebut kemudian dilapisi dengan media agar yang telah berisi organisme uji yang sensitif dan diinkubasi kembali untuk menghasilkan suatu zona penghambatan. Pada metode secara langsung, bakteri uji dan bakteri yang diduga menghasilkan senyawa antibakteri ditumbuhkan secara bersamaan dan efek antagonis yang ditunjukkan tergantung pada terdifusinya zat penghambat yang dihasilkan pada fase pertumbuhan dari bakteri penghasil senyawa antibakteri ke dalam media. Metode ini diantaranya ialah metode difusi sumur agar. Metode ini dilakukan dengan memasukkan supernatan dari bakteri yang diduga menghasilkan antibakteri ke


(7)

dalam sumur pada media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji (DeiVuyst dan Vandamme 1994b diacu dalam Nurmalis 2008).

Aktivitas penghambatan oleh senyawa antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekeliling sumur. Zona bening tersebut terdiri atas dua macam, yaitu zona bening dengan batas tepi lingkaran yang tegas dan jelas, serta zona bening dengan tepi lingkaran yang keruh. Pada kasus senyawa antibakteri dari BAL, zona bening dengan batas tepi lingkaran yang jelas dan tegas disebabkan oleh adanya aktivitas bakteriosin, karena bakteriosin memiliki sifat

single hit inactivation yang artinya satu molekul bakteriosin akan membunuh satu sel bakteri indikator. Zona bening dengan tepi lingkaran yang keruh disebabkan oleh adanya aktivitas asam. Keruhnya zona bening tersebut disebabkan semakin rendahnya konsentrasi asam yang terdapat dalam supernatan yang mengakibatkan turunnya aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji (Ray 1996 diacu dalam Nurmalis 2008).

2.5 Bakteri Asam Laktat

Bakteri yang memproduksi asam laktat termasuk ke dalam golongan bakteri Gram-positif, sebagian besar bersifat katalase negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang dan coccus. Golongan bakteri asam laktat ini dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen (Casida 1968 diacu dalam Fauzan 2009). Berdasarkan produk akhir dari metabolisme glukosa, bakteri asam laktat dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam laktat yang termasuk homofermentatif dapat mengubah 95 % dari glukosa atau heksosa lainnya menjadi asam laktat. Karbondioksida dan asam-asam volatil lainnya juga dihasilkan, tetapi dalam jumlah sedikit. Beberapa contoh bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif adalah Streptococcus,

Pediococcus, Aerococcus dan beberapa spesies Lactobacillus.

Asam laktat merupakan salah satu metabolit utama dari bakteri asam laktat. Namun pada bakteri heterofermentatif, bakteri asam laktat juga memproduksi asam asetat dan sebagian asam propionat dalam jumlah besar. Asidifikasi (pengasaman) yang diakibatkan asam organik meningkatkan aktivitas antibakterial, baik asam laktat maupun substansi inhibitor lain seperti bakteriosin


(8)

(Theron dan Lues 2011). Bakteri asam laktat heterofermentatif mengubah glukosa dan heksosa lainnya menjadi asam laktat, etanol, asam asetat, asam format dan CO2 dalam jumlah yang hampir sama. Beberapa contoh bakteri asam laktat

heterofermentatif adalah Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus. Bakteri heterofermentatif tidak mempunyai enzim fruktosadifosfat aldolase, transaldolase dan transketolase yang berperan dalam tahap glikolisis. Bakteri homofermentatif dapat menghasilkan energi sebesar dua kali energi yang dihasilkan oleh bakteri heterofermentatif dari sejumlah substrat yang sama (Fardiaz 1988). Bakteri asam laktat yang banyak terdapat pada bekasam adalah Lactobacillus coryneformis, Lactobacillus spp., Lactobacillus spp., Pediococcus sp., Lactobacillus coryneformis dan Pediococcus damnosus (Sugiyono et al. 1999).

Bakteri asam laktat dapat mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob dan proses ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap awal, zat pati dari sumber karbohidrat akan dihidrolisa menjadi maltosa oleh α dan β amilase yang merupakan enzim ekstraseluler pada mikroorganisme, kemudian molekul maltosa ini akan dipecah menjadi glukosa oleh maltase dan pada tahap terakhir bakteri asam laktat akan mengubah glukosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil bahan lain seperti asam asetat, asam propionate dan etanol (Fardiaz 1988). Sejauh ini telah diketahui bahwa keberadaan bakteri asam laktat tidak bersifat patogen dan aman bagi kesehatan sehingga sering digunakan dalam industri pengawetan makanan, minuman dan berpotensi sebagai produk probiotik. Beberapa kriteria penting untuk karakter fisiologi yang merupakan seleksi kelayakan bakteri sebagai produk probiotik antara lain uji pertumbuhan/resistensi bakteri probiotik pada pH rendah (Hardiningsih et al. 2005). BAL dapat berfungsi sebagai pengawet makanan karena mampu memproduksi asam organik, menurunkan pH lingkungannya dan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat mikroorganisme patogen seperti H2O2,

diasetil, CO2, asetaldehid, d-isomer asam-asam amino dan bakteriosin (Hardy


(9)

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan bakteri asam laktat. Oleh karena itu, perlu dibuat kondisi yang ideal bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat antara lain adalah suhu, nilai pH, kadar garam dan karbohidrat.

Suhu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan juga pembentukan produk oleh mikroba. Hal ini berhubungan dengan jenis mikroba yang dominan selama fermentasi (Fardiaz 1988). Berdasarkan suhu (minimum, optimum dan maksimum) untuk pertumbuhannya mikroba dibedakan atas tiga grup, yakni psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Nilai pH medium merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH sekitar 6,5-7,5. Bakteri yang berperan dalam fermentasi silase adalah bakteri asam laktat. Perubahan pH selama proses fermentasi terjadi karena asam yang dihasilkan. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan bakteri asam laktat adalah 3-8 (Djakffar et al. 1996 diacu dalam Nur 2005). Bakteri asam laktat juga mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins dan Nannen 1993 diacu dalam Hardiningsih et al. 2005). Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan nilai pH pada lingkungan pertumbuhannya. Menurut Hardiningsih et al. (2005), bakteri asam laktat mempunyai toleransi pH dengan rentang yang luas.

Garam sering digunakan dalam proses fermentasi ikan. Pada umumnya jumlah garam yang ditambahkan dalam pembuatan bekasam berkisar antara 15-20 % dari berat ikan segar (Murtini 1992). Kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme bervariasi, tergantung dari sifat dinding sel dan tekanan osmotik internalnya (Fardiaz 1992). Karbohidrat merupakan sumber energi bagi bakteri asam laktat. Penambahan karbohidrat akan membuat lingkungan yang baik bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Selama fermentasi, karbohidrat akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang sederhana seperti asam laktat, asam asetat, asam propionat dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini yang meyebabkan rasa asam pada produk dan dapat berfungsi sebagai pengawet (Rahayu et al. 1992).


(10)

2.7 Senyawa Antibakteri

Senyawa antibakteri pada bakteri asam laktat memiliki potensi sebagai bahan pengawet makanan. Bakteri asam laktat menghasilkan senyawa-senyawa tertentu selain asam laktat dan asam asetat (asam organik) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Senyawa-senyawa tersebut diantaranya H2O2, diasetil dan bakteriosin dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan

dengan produksi asam organik (Daeschel 1983 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002).

2.7.1 Asam laktat

Asam laktat merupakan molekul yang larut dalam air. Mekanisme antimikroba asam laktat berdasarkan pada teori chemiosmotic dan pH homeostasis. Ketika asam laktat yang diproduksi disekresikan ke lingkungan, beberapa molekul terdisosiasi menjadi H+ dan anion, sementara yang lain tidak terdisosiasi. Salah satu faktor yang berperanan terhadap terdisosiasi atau tidaknya suatu molekul adalah pH lingkungan dan pK (tetapan keseimbangan). Hal ini menyebabkan peningkatan proton transmembran yang pada akhirnya menyebabkan gradien proton. Perbedaan ini menyebabkan proton lebih cepat masuk ke dalam sel sehingga meningkatkan kebutuhan energi untuk mempertahankan pH alkali dalam sel (Ray 1992).

Aktivitas antibakteri dari asam laktat selain memaksa zat antibakteri lain masuk, juga memiliki perannya tersendiri. Asam yang masuk melalui plasma membran sel akan terdisosiasi menjadi kation dan anion toksik. Membran sel akan luruh dan menyebabkan transportasi sel terganggu. Selain itu aktivitas air bebas (water activity) dan metabolisme sel seperti glikolisis juga akan terganggu (Theron dan Lues 2011). Asam laktat mampu melemahkan permeabilitas bakteri Gram-negatif dengan merusak membran luar bakteri Gram-negatif. Pelindung dari permeabilitas membran luar berupa lapisan lipopolisakarida yang terletak pada permukaan membran dirusak oleh asam laktat sehingga substrat antimikroba yang lain yaitu diasetil, bakteriosin, hidrogen peroksida dan laktoperidase sistem dapat berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma (Alokomi et al. 2000).


(11)

2.7.2 Diasetil

Bakteri Gram-negatif lebih sensitif terhadap diasetil daripada bakteri Gram-positif. Diasetil pada 344 µg/ml dapat menghambat strain Listeria, Salmonella, Yersinia, E. coli dan Aeromonas (Jay 1982 diacu dalam Ammor et al.

2006). Diasetil diproduksi oleh strain dalam semua genera dari BAL oleh fermentasi sitrat. Diasetil menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang bereaksi dengan pemanfaatan arginin (Jay 1986 diacu dalam Ammor et al. 2006). 2.7.3 Karbon dioksida (CO2)

Karbon dioksida diproduksi terutama oleh BAL heterofermentatif. Karbon dioksida memainkan peranan penting dalam membuat lingkungan anaerobik yang menghambat enzimatik dekarboksilase, dan akumulasi CO2 membran lipid bilayer

dapat menyebabkan disfungsi permeabilitas (Eklund 1984 diacu dalam Ammor et al. 2006). Karbon dioksida secara efektif dapat menghambat banyak mikroorganisme perusak makanan, terutama bakteri psikrotropik Gram-negatif (Farber 1991 diacu dalam Ammor et al. 2006).

2.7.4 Hidrogen peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida merupakan prekursor untuk produksi bakterisidal radikal bebas seperti superoksida (O2-) dan radikal hidroksil (OH-) yang dapat

merusak DNA (Byczkowski dan Gessner 1988 diacu dalam Ammor et al. 2006). Hidrogen peroksida diproduksi oleh bakteri asam laktat sebagai hasil dari aksi flavoprotein oksidase atau nikotinamida adenine dinukleotida (NADH) peroksidase. Efek antimikroba dari H2O2 adalah hasil dari oksidasi grup sulfhydryl

yang menyebabkan denaturasi sejumlah enzim, dan dari peroksidase membran lipid meningkatkan permeabilitas membran (Kong dan Davison 1980 diacu dalam Ammor et al. 2006).

2.7.5. Bakteriosin

Bakteriosin adalah senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri lain terutama yang memiliki kekerabatan erat secara filogenik (Hardy 1975 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002). Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah sebagai berikut: (1) molekul bakteriosin kontak langsung dengan membran sel, (2) proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas membran sitoplasma


(12)

sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3) ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang atau pori pada membran sel melalui proses gangguan terhadap PMF (Proton Motive Force) (Gonzalez et al. 1996 diacu dalam Usmiati 2007).

Bakteriosin dapat diproduksi oleh Lactococcus, Lactobacillus dan

Pediococcus yang berasal dari berbagai bahan makanan, misalnya nisin diproduksi oleh Lactococcus lactis, pediosin AcH dihasilkan Pediococcus acidilactic. Beberapa kelebihan bakteriosin sehingga potensial digunakan sebagai biopreservatif, yaitu karena bukan termasuk bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein, tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim saluran pencernaan, dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai pengawet pangan, penggunaannya fleksibel dan stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan terhadap proses pengolahan yang melibatkan asam dan basa, serta kondisi panas dan dingin (Cleveland et al. 2001 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007).

2.7 Bakteri Uji

Bakteri uji merupakan bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas senyawa antibakteri. Bakteri uji sangat berperan dalam penentuan efektifitas daya hambat suatu senyawa antibakteri. Bakteri uji yang digunakan tersebut terdiri atas bakteri Gram-positif (Listeria monocytogenes dan Staphylococcus aureus) dan bakteri Gram-negatif (Escherichia coli dan Salmonella typhimurium).

2.7.1 Listeria monocytogenes

Listeria monocytogenes merupakan Gram-positif, psikrotropik, fakultatif anaerobik, tidak berspora, motil, batang pendek. Pada kultur segar, selnya terkadang membentuk rantai pendek. Listeria monocytogenes tumbuh pada kisaran 1-44 oC, dengan suhu pertumbuhan optimum 35-37 oC. Pada suhu 7-10 oC, dapat memperbanyak diri dengan sangat cepat. Bakteri ini memfermentasi glukosa tanpa menghasilkan gas. Sel ini cukup resisten terhadap pembekuan, pengeringan, kadar garam tinggi, dan pH ≥5. Listeria monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71,7 oC selama 15 detik atau 62,8 oC selama 30 menit)


(13)

(Ray 2000). Listeria monocytogenes yang bersifat patogen biasanya terdapat pada daging unggas dan sapi serta olahannya, dapat bertahan pada pH, aw dan suhu

rendah, sehingga berbahaya untuk produk beku. Masalah yang dihadapi akibat infeksi L. monocytogenes yaitu 63% bakterimia dan 26% bermasalah dengan sistem syaraf (Veclerc et al. 2002 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007). 2.7.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob, Gram-positif dan berbentuk kokus yang tersusun bergerombol seperti sekelompok anggur.

Staphylococcus aureus membentuk koloni dengan warna kuning keemasan dan termasuk ke dalam katalase positif (artinya dapat menghasilkan enzim katalase) dan mampu mengubah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen.

Kebanyakan S. aureus merupakan koagulase positif yang berarti mampu memproduksi protein, yakni enzim (Corning 2011). Staphylococcus aureus dapat bertambah dengan cepat pada beberapa tipe media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap (Jawetz et al. 2001).

Staphylococcus aureus mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat, faktor differensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya masih efektif.

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti jerawat, selulitis folikulitis, bisul dan abses. Selain itu juga dapat menyebabkan penyakit yang mengancam kehidupan seperti pneumonia, meningitis, osteomielitis, endokarditis, bakterimia dan toxic shock syndrome (TSS). Beberapa strain

S..aureus juga dapat menghasilkan enterotoksin yang merupakan agen penyebab

S. aureus gastroenteritis. Gejala-gejala gastroenteritis ialah seperti mual, muntah, diare dan nyeri perut (Corning 2011).

2.7.3 Escherichia coli

Eschericia coli merupakan bakteri Gram-negatif, motil, tidak berspora, berbentuk batang dan anaerobik fakultatif. E. coli bersifat aerob atau kualitatif anaerob, dapat tumbuh pada media buatan. Bakteri ini umumnya hidup pada


(14)

rentang suhu 20-40ºC dengan suhu optimum 37ºC, tumbuh baik pada pH 7,0 tapi tumbuh juga pada pH yang lebih tinggi. E.coli mengandung enterotoksin dan atau faktor virulensi lainnya, termasuk invasiveness dan faktor kolonisasi, menyebabkan penyakit diare. E.coli juga penyebab utama infeksi urin dan infeksi nosomical termasuk septisemia dan meningitis. Dari sekian ratus strain E.,coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil yang bersifat patogen (Holt et al. 1994).

Industri kimia banyak mengaplikasikan teknologi fermentasi yang memanfaatkan bakteri E..coli, misalnya dalam produksi obat-obatan (insulin, antiobiotik), high value chemicals (1-3 propanediol, lactate). Escherichia coli

tersebar di seluruh dunia dan ditularkan bersama air atau makanan yang terkontaminasi oleh feses. Strain pathogen E. coli dapat menimbulkan penyakit diare berdarah, pembengkakan dan kelainan ginjal, demam, kelainan syaraf, bahkan kematian (Veclerc et al. 2002 diacu dalam Usmiati dan Marwati 2007). 2.7.4 Salmonella typhimurium

Salmonella typhimurium termasuk ke dalam bakteri Gram-negatif, tidak berspora, fakultatif anaerobik dan motil. Salmonella yang bersifat mesofilik memiliki suhu pertumbuhan optimum 35-37oC, tetapi umumnya memiliki range pertumbuhan pada suhu 5-46 oC. Salmonella mati pada suhu dan waktu pasteurisasi, sensitif pada pH rendah dan tidak membelah diri pada aw 0,94,

khususnya jika dikombinasikan pH ≤5.5. Selnya dapat bertahan pada suhu beku dan kondisi kering dalam jangka panjang (Ray 2000).

Salmonella typhimurium merupakan salah satu bakteri penyebab diare dan gangguan pencernaan lainnya (Ajizah 2004). Selain sebagai bakteri patogen, bakteri ini juga merupakan jenis bakteri pembusuk (Okolocha and Ellerbroek 2005 diacu dalam Usmiati 2007) sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius (Deumier and Collignan 2003 diacu dalam Usmiati 2007). Salmonella

dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enteric (thypoid dan parathypoid),

septicemia (mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah), diare, nausea dan muntah. Daging ayam dan olahannya dilaporkan sebagai media penyebaran penyakit salmonellosis (Usmiati 2007). Strain bakteri Salmonella, seperti


(15)

salmonellosis yang paling sering dilaporkan. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian salmonellosis pada manusia disebabkan oleh bakteri Salmonella dengan strain S. enteritidis, S. typhimurium dan juga S. heidelberg (Ajizah 2004).


(16)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai Agustus 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Bioteknologi Molekuler, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium FKH Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Petanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri asam laktat (BAL) SK(15), SK(16) dan SK(19) yang diisolasi dari produk bekasam ikan seluang, media nutrient agar (NA), nutrient broth (NB), de Mann Rogosa sharpe agar (MRSA), de Mann Rogosa sharpe broth (MRSB), Mueller Hinton agar

(MHA), bakteri uji seperti Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium, NaOH, (NH4)2SO4, NaH2PO4,

NA2HPO4, aquades, alkohol 70%, fenolftalein, spiritus, millipore filter, kertas pH,

kapas, alumunium foil, cling wrap, plastik tahan panas, korek api dan label. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, tabung ulir, botol schott, erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, pipet pasteur, pipet mikro, ose, sudip, kompor listrik, kertas buram, rak tabung reaksi, timbangan digital, tabung eppendorf, sentrifuse, spektrofotometer, inkubator, pH meter, holder, syringe, vortex, autoclave, shaker water bath, refrigerator dan

clean bench.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan terdiri atas dua tahap, yaitu (1) penapisan senyawa antibakteri dari tiga isolat BAL, yakni SK(15), SK(16) dan SK(19) dan (2) produksi senyawa antibakteri dari isolat BAL terpilih. Tahap pertama bertujuan untuk menyeleksi isolat BAL yang menghasilkan senyawa antibakteri terbaik. Tahapan ini meliputi kultivasi, pemanenan dan uji aktivitas


(17)

senyawa antibakteri. Tahap kedua bertujuan untuk menentukan waktu optimum produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih. Tahap ini meliputi kultivasi isolat terpilih, pengukuran kadar asam laktat dan uji aktivitas senyawa antibakteri dari isolat terpilih.

3.3.1 Kultivasi

Tahap awal kultivasi dilakukan dengan mempersiapkan media pertumbuhan untuk bakteri asam laktat (BAL). Refresh isolat BAL atau proses peremajaan biakan dilakukan dengan menggoreskan isolat BAL dari gliserol ke media MRSA miring dan diinkubasi pada keadaan semi anaerob dengan suhu 37oC selama 48 jam. Pembuatan inokulum dilakukan dengan mengambil 1 ose BAL dari MRSA miring kemudian diinokulasikan dalam 10 ml MRSB. Setelah itu diinkubasi dengan shaker water bath pada suhu 37oC selama 18 jam hingga OD660 inokulum mencapai 0,6-0,8.

Sebanyak 10% inokulum diinokulasikan dalam medium produksi (MRSB) dengan volume kerja 90 ml dalam botol schott. Kemudian media MRSB tersebut diinkubasi dengan water bath shaker pada suhu 37oC selama 24 jam. Pegamatan yang dilakukan adalah pengukuran pH dan OD awal (sebelum inkubasi dengan

shaker water bath) dan pengukuran pH dan OD akhir (setelah diinkubasi selama 24 jam).

3.3.2 Pemanenan

Setelah kultur diinkubasi selama 24 jam dilakukan tahap pemanenan. Kultur disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm dengan suhu 4oC selama 15 menit. Proses sentrifugasi akan menghasilkan pemisahan antara supernatan dan biomassa. Supernatan tersebut kemudian diberi tiga perlakuan, yaitu (1) tanpa dinetralkan, (2) dinetralkan dengan NaOH 1 N dan (3) dinetralkan kemudian diendapkan dengan (NH4)2SO4 sebesar 50%. Tahap purifikasi parsial bakteriosin

(presipitasi protein) ini akan menghasilkan ekstrak endapan (Purwanti 2003). Kemudian supernatan dengan perlakuan (1) dan (2) difiltrasi dengan menggunakan milipore filter dengan ukuran pori 0,2 µm sehingga diperoleh supernatan bebas sel. Supernatan pada perlakuan (3) diendapkan selama 24 jam dalam refrigerator. Supernatan tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm dengan suhu 4oC selama 30 menit. Kemudian endapan


(18)

yang diperoleh dilarutkan dengan larutan buffer fosfat 0,1 M dengan pH 7 (Lampiran 1). Penambahan substrat kasar bakteriosin dengan buffer fosfat bertujuan agar mengurangi bahan pengekstrak yang terikat pada molekul protein (Wijaya 2002 diacu dalam Magdalena 2009).

3.3.3 Uji aktivitas senyawa antibakteri

Isolat bakteri uji berupa Listeria monocytogenes, Escherichia coli dan

Salmonella typhimurium disegarkan kembali dalam media NA miring selama 18.jam. Kemudian bakteri indikator diinokulasi dalam 10 ml NB dan diinkubasi dengan shaker water bath pada suhu 37oC selama 18 jam. Sebanyak 20 µl bakteri uji dengan OD 0,6-0,8 dipindahkan ke dalam 20 ml media MHA cair dengan suhu media 40oC. Campuran media MHA cair dan bakteri uji dituangkan ke dalam cawan petri steril. Uji potensi senyawa antibakteri dari bakteri asam laktat dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar (agar well diffusion). Media agar yang telah padat dibuat sumur dengan menggunakan pipet Pasteur steril berdiameter 5 mm. Kemudian sebanyak 50 µl supernatan steril dimasukkan ke dalam masing-masing sumur yang telah dibuat, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian dilakukan pengukuran diameter zona bening pada masing-masing bakteri indikator. Zona bening yang dihasilkan di sekeliling sumur menunjukkan adanya daya hambat. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal bening yang terbentuk di sekitar sumur (Hilmi dan Yusuf 2000 diacu dalam Nurmalis 2008). Diagram alir penapisan senyawa antibakteri dari tiga isolat BAL yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.


(19)

Gambar 2 Diagram alir penapisan senyawa antibakteri dari tiga isolat BAL yang berbeda.

Sentifugasi 10.000 rpm suhu 4oC; 30 menit Filtrasi dengan

millipore filter

Filtrasi dengan

millipore filter Tidak

dinetralkan

Dinetralkan dengan NaOH dan diendapkan dengan

(NH4)2SO4 50%

Dinetralkan dengan NaOH

Supernatan aktif asam (A)

Supernatan aktif setelah dinetralkan (N)

Endapan ditambahkan larutan buffer fosfat

Supernatan aktif hasil pengendapan (E) Uji aktivitas senyawa

antibakteri

Kultur disentifugasi 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit

Biomassa Supernatan

Kultivasi dalam 90 ml MRSB, shaker

pada suhu 37oC selama 24 jam; ukur OD dan pH (awal dan akhir kultivasi)

Refresh isolat BAL dalam MRSA, inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam

Isolat BAL

Inokulasi dalam 10 ml MRSB,


(20)

3.3.4 Kultivasi isolat terpilih

Tahap awal produksi senyawa antibakteri dari isolat BAL terpilih dilakukan dengan melakukan refresh isolat BAL terpilih atau proses peremajaan biakan. Proses ini dilakukan dengan menggoreskan isolat BAL dari gliserol ke media MRSA miring dan diinkubasi pada keadaan semi anaerob dengan suhu 37oC selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembuatan inokulum dengan mengambil 1 ose BAL dari MRSA miring dan diinokulasikan dalam 30 ml MRSB. Setelah itu diinkubasi dengan shaker water bath pada suhu 37oC selama 18 jam hingga OD660 inokulum mencapai 0,6-0,8.

Sebanyak 10% inokulum diinokulasikan dalam 22 buah tabung ulir berisi medium produksi (MRSB) dengan volume kerja 12 ml. Kemudian media MRSB tersebut diinkubasi dengan shaker water bath pada suhu 37oC. Pegamatan yang dilakukan adalah pengukuran pH dan OD per 4 jam selama 48 jam. Kultur yang telah diamati tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm dengan suhu 4oC selama 15 menit. Proses sentrifugasi akan menghasilkan supernatan. Supernatan tersebut kemudian difiltrasi dengan menggunakan millipore filter

berukuran pori 0,2 µm.

3.3.5 Pengukuran kadar asam laktat

Kadar asam laktat pada supernatan BAL diuji dengan metode analisis total asam tertitrasi. Dalam penentuan kadar asam laktat digunakan larutan baku standar NaOH 0,1091 N dari indikator fenolftalein. Masing-masing supernatan dilarutkan dengan pewarna fenolftalein, kemudian dititrasi dengan menggunakan NaOH hingga warna larutan supernatan berubah menjadi kemerahan. Adanya aktivitas bakteri asam laktat selama proses produksi memungkinkan kandungan asam laktatnya meningkat. Adapun pengukuran kadar asam laktat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

% Asam laktat = V NaOH x N NaOH x 90 x FP x 100% Bobot Sampel

Keterangan:

V NaOH : Volume NaOH yang terpakai (ml)

N NaOH : Normalitas NaOH yang terukur (0,1091 N) FP : Faktor Pengencer (1)


(21)

3.3.6 Uji aktivitas senyawa antibakteri dari isolat terpilih

Uji aktivitas senyawa antibakteri dari isolat terpilih dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar (agar well diffusion), sama halnya dengan pengujian pada tahap penapisan senyawa antibakteri. Namun, terdapat empat bakteri yang diujikan, yaitu Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Pengukuran diameter zona bening dilakukan per waktu produksi pada masing-masing bakteri uji. Diagram alir produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih.

Refresh isolat BAL dalam MRSA, inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam

Isolat BAL

Kultivasi dalam MRSB, shaker pada suhu 37oC selama 24 jam; ukur OD dan

pH per 4 jam selama 48 jam Inokulasi dalam 30 ml MRSB, shaker pada suhu 37oC selama 18 jam

Kultur disentifugasi 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit

Biomassa Supernatan

Pengukuran kadar asam laktat

Uji aktivitas senyawa antibakteri


(22)

Penapisan antibakteri perlu dilakukan untuk mengetahui potensi senyawa antibakteri dari bakteri asam laktat dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Daya hambat suatu senyawa antibakteri dapat diketahui dengan melakukan uji aktivitas menggunakan metode difusi sumur agar. Metode ini sering digunakan sebagai bioassay untuk penentuan jenis senyawa antibakteri yang dihasilkan. Aktivitas hambatan terhadap pertumbuhan bakteri patogen yang diujikan tampak sebagai zona bening di sekeliling sumur agar.

4.1 Penapisan Senyawa Antibakteri

Tahap penapisan senyawa antibakteri bertujuan untuk menyeleksi isolat BAL yang menghasilkan senyawa antibakteri terbaik. Tahapan ini meliputi kultivasi, pemanenan dan uji aktivitas senyawa antibakteri. Penapisan senyawa antibakteri dilakukan dengan menggunakan tiga isolat bakteri asam laktat yang berbeda, yakni isolat BAL SK(15), SK(16) dan SK(19).

4.1.1 Kultivasi

Kultivasi sel bakteri merupakan proses peningkatan konsentrasi beberapa atau semua komponen suatu populasi dan biasanya secara mutlak ditentukan oleh macam pengukuran yang digunakan untuk memantau proses tersebut. Pengukuran sering digunakan untuk mencerminkan pertambahan jumlah atau massa sel. Faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme (Hadiutomo 1988). Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikroorganisme lain dan biasanya mengacu pada perubahan di dalam hasil panen (pertambahan jumlah dan atau massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya) (Pelczar dan Chan 2005).

Tahap awal kultivasi dilakukan dengan mempersiapkan media pertumbuhan untuk BAL. Pengukuran pertumbuhan perlu dilakukan untuk mengetahui peningkatan densitas BAL yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi. Hasil pengukuran densitas optik dan pH pada awal dan akhir kultivasi (setelah diinkubasi selama 24 jam) pada setiap isolat yang dikerjakan dapat dilihat pada


(23)

Tabel 1 Densitas optik dan pH dari tiga isolat BAL selama inkubasi 24 jam. Isolat BAL Awal Kultivasi Akhir Kultivasi

OD pH OD pH

SK(15) 0,15 6 3,61 4

SK(16) 0,11 6 3,19 4,5

SK(19) 0,10 6 2,64 4,5

Pertumbuhan bakteri dapat diartikan sebagai penambahan jumlah sel bakteri, ukuran bakteri yang semakin besar atau substansi atau massa bakteri dalam koloni semakin banyak (Hadiutomo 1988). Densitas optik pada awal kultivasi akan mempengaruhi besarnya nilai absorbansi pada akhir kultivasi. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai OD pada awal kultivasi untuk ketiga isolat berada pada kisaran 0,10-0,15. Pada akhir kultivasi nilai OD mengalami kenaikan untuk ketiga isolat. Densitas optik isolat SK(15), SK(16) dan SK(19) pada akhir kultivasi secara berturut-turut ialah 3,61; 3,19 dan 2,64. Perubahan nilai OD ini menunjukkan adanya pertumbuhan sel BAL pada masing-masing isolat. Perbedaan nilai OD akhir kultivasi pada masing-masing-masing-masing isolat ini dapat disebabkan karena respon isolat BAL yang berbeda-beda terhadap kesesuaian lingkungan pada media pertumbuhannya.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat antara lain adalah suhu, nilai pH, kadar garam dan karbohidrat (Fardiaz 1992). Secara umum, kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni kebutuhan fisik dan kebutuhan kimiawi. Aspek-aspek fisik dapat mencakup suhu, pH, dan tekanan osmotik, sedangkan kebutuhan kimiawi meliputi air, sumber karbon, nitrogen oksigen, mineral-mineral dan faktor penumbuh (Pelczar dan Chan 2005). Selain itu, besarnya nilai absorbansi pada awal kultivasi juga akan mempengaruhi besarnya nilai absorbansi pada akhir kultivasi, dimana pada awal kultivasi isolat SK(15) memiliki nilai OD yang lebih tinggi. Hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan BAL, sehingga isolat SK(15) memiliki nilai OD akhir kultivasi terbesar dibandingkan dengan isolat SK(16) dan SK(19). Perbedaan nilai OD dan pH pada akhir kultivasi untuk


(24)

ketiga isolat BAL juga diduga karena masing-masing isolat BAL tersebut menghasilkan senyawa antibakteri yang berbeda-beda kandungannya.

Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Tingkat keasaman dipengaruhi adanya konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air. Pengukuran pH dilakukan secara duplo pada masing-masing isolat BAL pada awal kultivasi dan akhir kultivasi (setelah diinkubasi selama 24 jam). Tingkat keasaman isolat SK(15), SK(16) dan SK(19) pada awal kultivasi memiliki nilai pH yang sama, yakni 6 dan pada akhir kultivasi nilai pH pada ketiga isolat berada pada kisaran 4-4,5. Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa nilai pH untuk ketiga isolat mengalami penurunan pada akhir kultivasi, sedangkan nilai OD mengalami peningkatan. Meningkatnya densitas BAL selama kultivasi, maka akan meningkatkan pula aktivitas metabolismenya. Hasil metabolisme ini sebagian besar berupa asam laktat yang mampu menurunkan nilai pH pada lingkungan pertumbuhannya.

Asam laktat dapat bersifat mengawetkan bahan pangan (Winarno 1994). Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat (Amin dan Leksono 2001 diacu dalam Rostini 2007). Bakteri asam laktat menghasilkan senyawa-senyawa tertentu selain asam laktat dan asam asetat (asam organik), senyawa-senyawa tersebut diantaranya H2O2,

diasetil dan bakteriosin dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan produksi asam organik (Daeschel 1983 diacu dalam Kusmiati dan Malik 2002). Nilai pH medium merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Bakteri asam laktat merupakan mikroba yang mempunyai kemampuan dalam menciptakan respon terhadap keasaman medium (Lunggani 2007).

4.1.2 Uji aktivitas senyawa antibakteri

Uji aktivitas senyawa antibakteri dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Bakteri asam laktat mampu menghasilkan senyawa asam laktat, asam asetat, asam format, asam suksinat, etanol, hidrogen peroksida, dan diasetil maupun bakteriosin yang


(25)

bersifat antagonistik dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain. Supernatan bebas sel yang diberi perlakuan tidak dinetralkan (A), dinetralkan (N), serta dinetralkan dan diendapkan dengan (NH4)2SO4 (E) diuji aktivitasnya

terhadap bakteri uji Listeria monocytogenes, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium sebanyak 50 µl. Hasil pengujian aktivitas senyawa antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 2.

Tabel 2 Uji aktivitas senyawa antibakteri dari supernatan bebas sel terhadap bakteri uji.

Isolat BAL

Diameter Zona Hambat (mm) Tidak Dinetralkan

(pH 4-4,5)

Dinetralkan pH (6,5-7)

Diendapkan pH (6,5-7)

LM EC ST LM EC ST LM EC ST

SK(15) 7 6 6 - - - -

SK(16) 3 5 7 - - - -

SK(19) - 2 3 - - - -

Keterangan:

diameter zona bening sudah termasuk hasil pengurangan diameter sumur LM : Listeria monocytogenes

EC : Escherichia coli

ST : Salmonella typhimurium

(-) : tidak menghasilkan zona hambat

Uji aktivitas senyawa antibakteri dari ketiga isolat BAL asal supernatan bebas sel yang diujikan menunjukkan bahwa dari ketiga isolat BAL SK(15), SK(16) dan SK(19) memiliki daya hambat terhadap ketiga bakteri uji, kecuali SK(19) tidak memiliki daya hambat terhadap L. monocytogenes (supernatan bebas sel yang tidak dinetralkan). Supernatan bebas sel yang dinetralkan, serta dinetralkan dan diendapkan dengan (NH4)2SO4 tidak menunjukkan adanya daya

hambat atau zona bening di sekitar sumur. Perlakuan supernatan bebas sel yang tidak dinetralkan bertujuan untuk mempertahankan kondisi asam yang terbentuk dari senyawa asam-asam organik. Perlakuan supernatan bebas sel yang dinetralkan bertujuan untuk menghilangkan pengaruh antibakteri dari asam organik, sehingga zat antibakteri yang aktif berupa senyawa organik. Perlakuan supernatan bebas sel yang dinetralkan dan diendapkan dengan (NH4)2SO4


(26)

bertujuan untuk mengendapkan protein yang terdapat pada supernatan, dimana senyawa protein yang dieksresikan oleh BAL tersebut berupa bakteriosin

Ion-ion (NH4)2SO4 pada konsentrasi rendah akan melindungi molekul

protein dan mencegahnya bersatu, sehingga akan meningkatkan kelarutan protein. Amonium sulfat lebih mampu mengendapkan protein enzim dibandingkan dengan etanol dan aseton (Wijaya 2002 diacu dalam Magdalena 2009). Tipe protein yang mampu larut dalam larutan garam rendah ialah globulin. Protein tipe globulin ini dapat diendapkan dengan melakukan penambahan dengan amonium sulfat. Proses pengendapan protein globulin terjadi akibat adanya pengendapan isoelektrik ketika dilakukan penambahan garam. Kelarutan protein jenis globulin ini akan menurun seiring dengan penurunan konsentrasi garam. Distribusi residu hidrofilik dan hidrofobik pada permukaan molekul protein adalah fitur yang menentukan proses kelarutan tersebut, dimana ketika molekul air di sekitar residu hidrofobik berada pada permukaan protein maka akan menyebabkan terjadinya interaksi hidrofobik. Agregasi hidrofobik pada permukaan protein terjadi karena adanya konsentrasi garam yang tinggi. Ion garam yang cenderung lebih mendominasi akan menyebabkan molekul air yang tersedia secara bebas menjadi sedikit, sehingga akan terjadi penarikan molekul air dari rantai samping hidrofobik (Scopes 1994).

Aktivitas penghambatan yang negatif pada supernatan bebas sel yang diberi perlakuan dinetralkan, serta dinetralkan dan diendapkan dengan (NH4)2SO4

dikarenakan adanya proses penambahan NaOH yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai pH dari asam (pH 4-4,5) menjadi netral (pH 6,5-7). Sehingga pengaruh asam-asam organik berupa asam laktat dan asam asetat yang terdapat pada supernatan bebas sel menjadi hilang. Selain efek penambahan NaOH, aktivitas penghambatan yang negatif pada supernatan bebas sel yang diberi perlakuan dinetralkan dan diendapkan dengan (NH4)2SO4 juga diduga karena

konsentrasi proteinyang terendapkan terlalu kecil. Pada penelitian ini konsentrasi (NH4)2SO4 yang digunakan pada tahap purifikasi parsial bakteriosin (presipitasi

protein) hanya sebesar 50%. Menurut Purwanti (2003), tahap purifikasi parsial bakteriosin (presipitasi protein) dengan penambahan (NH4)2SO4 sebesar 50%


(27)

tersebut bergantung pada karakteristik isolat bakteri asam laktat terseleksi yang digunakan.

Daya hambat yang terjadi pada supernatan bebas sel yang tidak dinetralkan (tingkat keasaman tinggi) terhadap bakteri uji menunjukkan bahwa supernatan yang digunakan cenderung menghasilkan asam-asam organik. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya zona hambat yang terbentuk di sekeliling sumur pada supernatan bebas sel yang dinetralkan. Asam-asam organik yang terbentuk ini berkaitan erat dengan penurunan pH yang terjadi pada akhir kultivasi (Tabell1). Asam organik berupa asam laktat yang terbentuk berasal dari hasil metabolisme bakteri asam laktat. Menurut Khunajakr et al. (2008), strain bakteri asam laktat dengan kemampuan untuk memproduksi asam organik dapat berpotensi sebagai aplikasi probiotik maupun sebagai pengawet makanan alami. Asam laktat mampu melemahkan permeabilitas bakteri uji terutama pada bakteri uji jenis Gram-negatif dengan merusak bagian membran luar bakteri. Menurut Alakomi et al. (2000), asam laktat merupakan molekul yang larut dalam air sehingga mampu menembus ke dalam periplasma bakteri Gram-negatif melalui protein porin pada membran luarnya. Pelindung dari permeabilitas membran luar berupa lapisan lipopolisakarida yang terletak pada permukaan membran dirusak oleh asam laktat sehingga substrat antimikroba yang lain yaitu diasetil, bakteriosin, hidrogen peroksida dan lactoperidase system dapat berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma.

Asam organik banyak digunakan sebagai aditif dalam pengawetan pangan (Roller 2003). Aksi antimikroba dari asam organik terutama berdasarkan pada kemampuannya dalam mereduksi pH pangan dalam fase air. Ketika nilai pH <4, asam menghambat pertumbuhan bakteri. Asam dapat juga menyebabkan kerusakan sel dan meningkatkan kemungkinan kehilangan viabilitas. Molekul yang tidak terdisosiasi dan ion terdisosiasi dapat menyebabkan kerusakan selular (Ray 2000). Keefektifan antibakteri dari asam organik pada pangan bergantung pada tipe asam yang digunakan, konsentrasi dan aplikasi metode. Efektivitas juga dipengaruhi oleh suhu, pH, aw, oksigen, garam dan antibakteri lainnya (Roller


(28)

Isolat BAL SK(15) dan SK(16) mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji L. monocytogenes, E. coli dan S. typhimurium. Berdasarkan hasil uji aktivitas senyawa antibakteri pada Tabel 2 menunjukkan bahwa isolat SK(15) merupakan isolat yang menghasilkan daya hambat yang lebih baik dibandingkan dengan SK(16) dengan diameter zona hambat pada L. monocytogenes, E. coli dan

S..typhimurium masing-masing sebesar 7 mm, 6 mm dan 6 mm. Senyawa antibakteri dari isolat SK(16) menghasilkan diameter zona hambat pada

L..monocytogenes, E. coli dan S..typhimurium masing-masing sebesar 3 mm, 5 mm dan 7 mm. Berbeda dengan isolat SK(19), dimana potensi senyawa antibakteri hanya mampu menghambat bakteri uji E. coli dan S. typhimurium

dengan diameter zona hambat pada masing-masing bakteri uji sebesar 2 mm dan 3 mm, sedangkan pada bakteri uji L..monocytogenes tidak dihasilkan zona bening di sekitar sumur.

Berdasarkan Tabel 2, aktivitas hambatan senyawa antibakteri dari isolat SK(15) terhadap L. monocytogenes lebih besar apabila dibandingkan dengan

E..coli dan S. typhimurium. Sedangkan pada isolat SK(16) efektivitas penghambatan yang lebih baik pada pengujian dengan bakteri S. typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri uji L. monocytogenes lebih sensitif terhadap aktivitas senyawa antibakteri yang terkandung pada isolat SK(15). Isolat SK(15) memiliki potensi sebagai agen biopreservatif makanan. Menurut Einarsson dan Lauzon (1995) diacu dalam Sutoyo (1998) senyawa antibakteri dengan aktivitas spesifik dan mempunyai efek hambatan pertumbuhan terhadap patogen yang menular melalui makanan (food borne pathogen) seperti Listeria spp., dapat diaplikasikan sebagai biopreservatif dalam industri makanan.

Isolat BAL SK(16) memiliki efektivitas penghambatan yang lebih baik pada pengujian dengan bakteri uji S. typhimurium dan E. coli. Hal ini diduga karena bakteri uji yang berasal dari golongan Gram-negatif lebih sensitif terhadap aktivitas senyawa antibakteri yang dihasilkan isolat SK(16), dibandingkan dengan bakteri uji yang berasal dari golongan Gram-positif. Daya hambat terhadap bakteri uji dapat disebabkan karena isolatSK(16) membentuk asam-asam organik seperti asam laktat, asam asetat dan asam butirat. Adanya asam-asam organik (pH 4-4,5) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang diujikan, yakni L. monocytogenes,


(29)

E..coli dan S..typhimurium menjadi terhambat. Asam laktat memiliki efek antibakteri terbatas ketika digunakan dalam pangan pada tingkat 1-2%, bahkan pada pH 5 atau lebih. Pertumbuhan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif berkurang, diindikasikan oleh meningkatnya aksi bakteriosin. Asam laktat memiliki efek bakterisidal pada pH dibawah 5, khususnya pada bakteri Gram-negatif (Ray 2000).

Isolat BAL SK(19) memiliki efek penghambatan yang lebih tinggi terhadap bakteri uji E. coli dan S. typhimurium. Hal tersebut diduga karena senyawa antibakteri yang diproduksi oleh isolat SK(19) memiliki kandungan asam laktat yang tinggi sehingga menghasilkan efek penghambatan hanya terhadap bakteri uji Gram-negatif. Asam laktat dan diasetil yang diproduksi oleh BAL memiliki efek penghambatan yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram-negatif daripada bakteri Gram-positif. Bakteriosin yang diproduksi oleh BAL memiliki efek penghambatan yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram-positif, sedangkan hidrogen peroksida mempunyai daya aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram negatif (Salmonella dan Pseudomonas) dan bakteri Gram-positif, seperti Staphylococcus (Holzapfel et al. 1995 diacu dalam Nurmalis 2008). Kandungan diasetil pada senyawa antibakteri juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Bakteri Gram-negatif lebih sensitif terhadap diasetil daripada bakteri Gram-positif. Diasetil menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang bereaksi dengan pemanfaatan arginin (Jay 1986 diacu dalam Ammor

et al. 2006).

Aktivitas antibakteri yang lebih tinggi terhadap bakteri uji E. coli dan

S..typhimurium dibandingkan dengan L. monocytogenes juga berkaitan dengan perbedaan antara bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif yang didasarkan pada perbedaan struktur dinding selnya. Bakteri Gram-negatif mengandung lipid, lemak atau substansi seperti lemak dalam persentase lebih tinggi daripada yang dikandung bakteri Gram-positif. Dinding sel berupa peptidoglikan pada bakteri Gram-negatif cenderung lebih tipis dibandingkan dengan bakteri Gram-positif, yakni berkisar antara 2-7 nm (terletak diantara membran dalam dan luar) (Pelczar dan Chan 2005). Kandungan lipid, protein, dan lipopolisakarida pada membran luar bakteri Gram-negatif tersebutlah yang menyebabkan permeabilitas sel bakteri


(30)

Gram-negatif akan lebih mudah rusak ketika terkena pH rendah dibandingkan dengan bakteri Gram-positif.

Bakteri asam laktat merupakan mikroba yang mempunyai kemampuan dalam menciptakan respon terhadap keasaman medium. Mekanisme penghambatan komponen antimikroba ini terhadap mikroba target adalah dengan cara destabilisasi dari membran sitoplasma (Lunggani 2007). Efektivitas BAL dalam menghambat bakteri pembusuk dipengaruhi oleh kepadatan, strainnya, serta komposisi media (Jeppensen dan Huss 1993 diacu dalam Rostini 2007). Selain itu, produksi substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media pertumbuhan, pH, dan temperatur lingkungan (Ahn dan Stiles 1990 diacu dalam Rostini 2007). Berdasarkan uji aktivitas senyawa antibakteri yang telah dilakukan menunjukkan bahwa isolat SK(15) merupakan isolat BAL yang menghasilkan daya hambat terbaik apabila dibandingkan dengan isolat SK(16) dan SK(19). Hal tersebut ditunjukkan dengan keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji L. monocytogenes, E..coli dan S. typhimurium dengan diameter zona bening yang paling besar.

4.2 Produksi Senyawa Antibakteri dari Isolat BAL Terpilih

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimum pertumbuhan dan produksi senyawa antibakteri dari isolat BAL terpilih (SK(15)). Tahap produksi senyawa antibakteri meliputi kultivasi, pengukuran kadar asam laktat dan uji aktivitas senyawa antibakteri. Pengamatan yang dilakukan ialah pengukuran OD, perubahan pH dan pengukuran kadar asam laktat setiap 4 jam selama 48 jam. Isolat terpilih (SK(15)) kemudian diuji aktivitasnya terhadap bakteri uji Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Hasil pengukuran OD, pH, kadar asam laktat dan diameter zona hambat dapat dilihat pada Tabel 3.


(31)

Tabel 3 Perubahan densitas optik, pH, kadar asam laktat (%) dan aktivitas penghambatan (mm) isolat terpilih (SK(15)).

Lama Inkubasi

(jam)

pH OD Kadar

Asam Laktat (%)

Diameter Zona Hambat (mm)

LM SA EC ST

0 5,76 0,45 1,67 - - - -

4 5,23 1,07 2,78 - - 4 4

8 4,25 3,60 4,94 5 6 5 6

12 3,97 4,63 5,06 5 6 6 6

16 3,95 4,90 5,16 5 7 6 6

20 3,93 6,00 5,19 5 7 5 6

24 3,91 6,05 5,08 7 7 7 6

28 3,91 5,90 5,01 8 7 7 8

32 3,91 5,20 4,96 7 6 6 7

44 3,91 5,20 4,96 5 6 6 6

48 3,91 5,10 4,91 5 5 6 5

Konsentrasi kontrol positif asam asetat (%)

0,20 2 1 1 1

0,40 3 4 2 2

0,60 2 5 4 3

0,80 5 6 6 6

1 6 8 7 8

Keterangan:

diameter zona bening sudah termasuk hasil pengurangan diameter sumur LM : Listeria monocytogenes

SA : Staphylococcus aureus

EC : Escherichia coli

ST : Salmonella typhimurium

(-) : tidak menghasilkan zona hambat

Tabel 3 menunjukkan perubahan densitas optik, pH dan kadar asam laktat selama inkubasi 48 jam pada isolat terpilih (SK(15)) dan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji L. monocytogenes, S. aureus, E. coli dan S. typhimurium. Isolat SK(15) mengalami penurunan nilai pH selama masa inkubasi yang seiring dengan peningkatan nilai OD hingga jam ke-24, kemudian nilai pH cenderung stabil hingga akhir masa inkubasi yang seiring dengan penurunan nilai OD. Hasil pengukuran kadar asam laktat berkaitan erat dengan nilai pH yang terukur, dengan meningkatnya kadar asam laktat maka akan menyebabkan pH medium menjadi asam. Aktivitas antibakteri isolat SK(15) memiliki daya hambat terhadap bakteri uji E. coli dan S. typhimurium pada jam ke-4. Bakteri uji L. monocytogenes dan


(32)

S..aureus baru mengalami aktivitas penghambatan pada jam ke-8. Uji aktivitas senyawa antibakteri yang dilakukan terhadap isolat terpilih SK(15) menunjukkan bahwa diameter zona hambat terbaik terjadi pada waktu inkubasi di jam ke-28. 4.2.1 Perubahan densitas optik, pH dan kadar asam laktat isolat terpilih

Pengamatan densitas optik, perubahan pH dan pengukuran kadar asam laktat dilakukan setiap 4 jam sekali selama inkubasi 48 jam. Pengamatan densitas optik dan perubahan pH dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi dan tingkat keasaman media pertumbuhan isolat terpilih, sedangkan pengukuran kadar asam laktat diuji dengan metode analisis total asam tertitrasi. Pengukuran kadar asam laktat dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar NaOH 0,1091 N dari indikator fenolftalein. Titrasi NaOH dilakukan hingga warna larutan supernatan berubah menjadi kemerahan. Kurva pertumbuhan, perubahan pH dan kadar asam laktat isolat terpilih (SK(15)) dapat dilihat pada Gambar 4.

0 1 2 3 4 5 6 7

0 4 8 12 16 20 24 28 32 44 48

Lama inkubasi (jam)

D ensi tas opt ik d an p H 0 1 2 3 4 5 6 7 K adar asam l aktat ( %)

Gambar 4 Perubahan densitas optik ( ), pH ( ) dan kadar asam laktat ( ) selama inkubasi 48 jam pada isolat SK(15).

Gambar 4 menunjukkan tidak adanya fase adaptasi pada pola pertumbuhan isolat SK(15). Hal ini diduga karena fase adaptasi pada isolat SK(15) terjadi dengan sangat cepat. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai OD pada awal waktu inkubasi, yakni pada jam ke-0 menuju jam ke-4. Hal ini diduga karena media yang digunakan pada proses inokulum sama dengan media yang digunakan pada saat kultur bakteri (Suhandana 2010). Pembelahan sel belum terjadi pada fase adaptasi karena pada fase ini beberapa enzim belum disintesis.


(33)

mungkin tidak memerlukan fase adaptasi apabila sel ditempatkan dalam media dan lingkungan yang sama seperti media dan kondisi lingkungan pada proses sebelumnya (Fardiaz 1992). Walaupun pada fase ini populasi sel pertumbuhannya tidak meningkat atau lamban, namun sel individu secara metabolik aktif dalam rangka peningkatan kandungan dan persiapan untuk pembelahan (Cowan dan Talaro 2006). Fase adaptasi merupakan suatu fase dimana bakteri yang baru dipindahkan ke dalam suatu medium akan mengalami penyesuaian dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Lamanya fase ini bervariasi tergantung dari kecepatan penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya.

Fase pertumbuhan logaritmik (pertumbuhan cepat dan konstan) terjadi pada waktu inkubasi setelah jam ke-0 hingga jam ke-20 (Gambar 4). Proses metabolisme pada fase pertumbuhan logaritmik ini sangat pesat. Hal tersebut dikarenakan adanya nutrisi yang berlimpah dan kondisi media yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri, sehingga sintesis bahan sel sangat cepat dan konstan. Fase ini menunjukkan kecepatan membelah diri paling tinggi, waktu generasinya pendek dan konstan. Selama fase ini metabolisme paling pesat dikarenakan nutrisi yang berlimpah, jadi sintesis bahan sel sangat cepat dan konstan pula. Keadaan ini terus berlangsung sampai nutrien habis atau telah terjadi penimbunan atas hasil metabolisme yang bersifat racun yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. (Hidayat et al. 2006).

Fase stasioner ditunjukkan dengan pertumbuhan bakteri yang melambat dan pertumbuhannya cenderung tetap. Fase stasioner terjadi pada jam ke-20 hingga jam ke-28. Bakteri mampu hidup dan tumbuh karena dapat menyerap cairan tercerna ekstraseluler dari bahan organik yang ada disekitarnya, pencernaan bahan organik tersebut dilakukan melalui dinding sel masuk ke membran sitoplasma yang bersifat permeabel selektif. Ketika memasuki fase stasioner pertumbuhan bakteri akan melambat. Faktor yang mempengaruhi lambatnya pertumbuhan pada fase ini diantaranya ialah nutrisi yang terkandung dalam medium sudah sangat berkurang dan hasil metabolisme yang mungkin beracun, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri yang dihasilkan pada fase ini sama dengan jumlah bakteri yang mati sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi konstan (Hidayat et al. 2006).


(34)

Fase penurunan terjadi pada waktu inkubasi jam ke-32 hingga akhir waktu inkubasi (48 jam). Penurunan nilai OD ini diduga karena pada fase penurunan sel mulai rentan mengalami kematian karena bakteri kehabisan nutrien dan kondisi lingkungannya yang sudah tidak sesuai. Kondisi lingkungan yang sudah tidak sesuai ini dapat terjadi akibat adanya zat-zat beracun dari hasil metabolisme bakteri selama diinkubasi.

Perubahan nilai pH pada Gambar 4 menunjukkan tingkat keasaman yang relatif mengalami penurunan. Terjadi penurunan nilai pH yang cukup drastis dari jam ke-0 hingga jam ke-24, dimana terjadi penurunan nilai dari 5,76 menjadi 3,91 (Tabel 3). Penurunan nilai pH tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan isolat BAL SK(15). Penurunan nilai pH tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas metabolisme bakteri karena jumlah sel BAL yang terus bertambah (pertumbuhan tinggi). Hasil dari aktivitas metabolisme ini sebagian besar berupa asam laktat yang menyebabkan terciptanya kondisi asam sehingga akan menurunkan nilai pH pada lingkungan pertumbuhannya. Menurut Amin dan Leksono (2001) diacu dalam Rostini (2007), efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat.

Setelah inkubasi 24 jam hingga jam ke-48 nilai pH cenderung stabil, yaitu 3,91. Pertumbuhan bakteri dan produksi asam laktat akan melambat dan cenderung tetap ketika memasuki fase stasioner, sehingga nilai pH tidak lagi mengalami penurunan. Penggunaan nutrien atau substrat oleh bakteri pada fase stasioner tidak dipergunakan untuk pertumbuhan, tetapi lebih banyak dipergunakan untuk metabolisme sekunder dalam menghasilkan metabolit lain diantaranya bakteriosin (Usmiati dan Marwati 2007).

Kadar asam laktat mengalami peningkatan dari jam ke-0 hingga jam ke-20 lama inkubasi. Setelah itu, kadar asam laktat mulai mengalami penurunan dan cenderung stabil, yakni pada kisaran 5,075%-4,910% (Tabel 3). Kadar asam laktat yang terukur ini berkaitan erat dengan pertumbuhan dan nilai pH selama masa inkubasi. Ketika memasuki fase pertumbuhan logaritmik terjadi peningkatan nilai OD dan persentase kadar asam laktat, sedangkan nilai pH mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pada fase logaritmik, terjadi peningkatan sel yang pesat


(35)

sehingga pertumbuhan bakteri menjadi cepat dan aktivitas metabolismenya menjadi tinggi. Hasil dari aktivitas metabolisme ini merupakan asam-asam organik, salah satunya berupa asam laktat sehingga dengan meningkatnya kadar asam laktat tersebut, maka akan menyebabkan pH medium menjadi asam.

Ekstraseluler produk tertinggi dihasilkan pada jam ke-20 yang merupakan fase stasioner dari pola pertumbuhan isolat SK(15). Pertumbuhan jasad renik pada fase stasioner, yakni pada jam ke-20 hingga jam ke-28 akan menjadi lambat karena nutrisi yang terkandung dalam medium sudah sangat berkurang, sehingga dalam kondisi lingkungan yang tidak sesuai tersebut menyebabkan terjadinya produksi metabolit sekunder dengan persentase yang lebih tinggi. Persentase kadar asam laktat ketika memasuki fase akhir stasioner akan mengalami penurunan hingga terjadinya fase decline.

Menurut Hardy (1975) diacu dalam Kusmiati dan Malik (2002), asam laktat merupakan salah satu metabolit utama dari bakteri asam laktat. Asam organik yang biasanya diasosiasikan dengan bakteri asam laktat adalah asam laktat, asam propionat dan asam asetat yang diproduksi dalam jumlah yang kecil. Asam laktat telah menunjukkan adanya aktivitas antibakteri melawan bakteri pembentuk spora, akan tetapi memiliki efek yang kecil terhadap fungi. Asam-asam organik mampu menurunkan pH lingkungan dan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen. Menurut Hwang et al. (2011), metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat seperti asam laktat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi media (sumber karbohidrat, konsentrasi gula, dan faktor pertumbuhan), keberadaan oksigen, tingkat pH, dan konsentrasi metabolit sekunder dari produk.

4.2.2 Uji aktivitas senyawa antibakteri isolat terpilih

Uji potensi senyawa antibakteri dari bakteri asam laktat dilakukan dengan menggunakan metode penapisan secara langsung yang sering disebut dengan metode difusi sumur agar (agar well diffusion). Uji aktivitas senyawa antibakteri dari isolat terpilih dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat BAL SK(15) dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Pengujian ini dilakukan berdasarkan waktu inkubasi per 4 jam selama 48 jam. Hubungan


(36)

antara aktivitas antibakteri dengan lama inkubasi pada isolat terpilih (SK(15)) terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 6 dan Lampiran 4.

Gambar 6 Hubungan antara aktivitas antibakteri dengan lama inkubasi pada isolat terpilih (SK(15)) terhadap bakteri uji Listeria monocytogenes ( ), Staphylococcus aureus ( ), Escherichia coli ( ) dan Salmonella typhimurium ( ).

Berdasarkan Gambar 6, dapat disimpulkan bahwa senyawa antibakteri pada isolat terpilih (SK(15)) ketika diujikan terhadap bakteri L. monocytogenes, S..aureus, E. coli dan S. typhimurium pada waktu inkubasi di jam ke-0 tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan. Hal ini dapat disebabkan karena pada jam ke-0 supernatan bebas sel yang diujikan mengandung kadar asam organik yang relatif masih rendah, sehingga belum mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji. Selain itu, pada jam ke-0 pertumbuhan bakteri asam laktat belumlah optimal, karena pada waktu inkubasi tersebut bakteri baru mengalami fase pertumbuhan awal. Kandungan asam laktat isolat SK(15) pada waktu inkubasi di jam ke-0 ialah sebesar 0,1670% dengan nilai pH yang relatif masih tinggi, yakni 5,76 (Tabel 3). Asam laktat memiliki efek bakterisidal pada pH dibawah 5, khususnya pada bakteri Gram-negatif (Ray 2000).

Aktivitas penghambatan oleh senyawa antibakteri baru terjadi pada jam ke-4 pada bakteri uji E. coli dan S. typhimurium, dimana kedua bakteri uji tersebut merupakan jenis bakteri Gram-negatif. Hal tersebut diduga karena senyawa antibakteri yang diproduksi oleh isolat SK(15) memiliki kandungan asam laktat

0 2 4 6 8

0 4 8 12 16 20 24 28 32 44 48

Lama inkubasi (jam)

D ia m e te r z o n a h a m b a t (m m )


(37)

yang tinggi sehingga menghasilkan efek penghambatan hanya terhadap bakteri uji Gram-negatif. Kandungan asam laktat dan diasetil menghasilkan efek penghambatan hanya terhadap bakteri uji Gram-negatif. Asam laktat dan diasetil yang diproduksi oleh BAL memiliki efek penghambatan yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram-negatif daripada bakteri Gram-positif, sehingga pertumbuhan dari bakteri uji Gram-positif tidak menunjukkan adanya hambatan (Holzapfel et al. 1995 diacu dalam Nurmalis 2008). Menurut Alakomi et al. (2000), asam laktat mampu melemahkan permeabilitas bakteri Gram-negatif dengan merusak membran luar bakteri Gram-negatif. Asam laktat merupakan molekul yang larut dalam air sehingga mampu menembus ke dalam periplasma bakteri Gram-negatif melalui protein porin pada membran luarnya, sehingga substrat antimikroba dapat berpenetrasi ke dalam membran sitoplasma.

Senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh isolat bakteri asam laktat SK(15) pada jam ke-8 mampu menghambat pertumbuhan keempat bakteri yang diujikan, yakni L. monocytogenes, S. aureus, E. coli dan S. typhimurium. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan bakteri pada jam ke-8 ini sudah memasuki fase pertumbuhan logaritmik (Gambar 4), dimana pada fase tersebut pertambahan jumlah sel sangat pesat, sehingga hasil aktivitas metabolisme dari bakteri (berupa asam-asam organik) juga akan meningkat. Asam laktat merupakan salah satu jenis asam organik yang diproduksi oleh bakteri asam laktat. Kadar asam laktat isolat SK(15) pada jam ke-8 ini mengalami peningkatan, yakni sebesar 4,939% dengan nilai pH yang mulai rendah, yakni 4,25 (Tabel 3). Hal tersebut menyebabkan aktivitas hambat terhadap keempat bakteri uji yang tidak tahan terhadap asam.

Kadar asam laktat yang dihasilkan oleh BAL dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi media (sumber karbohidrat, konsentrasi gula, dan faktor pertumbuhan), keberadaan oksigen, tingkat pH, dan konsentrasi metabolit sekunder dari produk. Bakteri asam laktat menggunakan jalur fermentasi untuk menghasilkan energi selular dan memproduksi asam organik. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan pH pada media di sekitar lingkungan pertumbuhannya (Theron dan Lues 2011). Mekanisme antimikroba asam laktat berdasarkan pada teori chemiosmotic dan pH homeostasis. Ketika asam laktat yang diproduksi disekresikan ke lingkungan, beberapa molekul terdisosiasi


(38)

menjadi H+ dan anion, sementara yang lain tidak terdisosiasi. Salah satu faktor yang berperan penting terhadap terdisosiasi atau tidaknya suatu molekul adalah pH lingkungan dan pK (tetapan keseimbangan) (Ray 1992).

Berdasarkan Gambar 6, aktivitas penghambatan senyawa antibakteri optimum terjadi pada jam ke-28, dimana bakteri uji L. monocytogenes dan

S..typhimurium mengalami penghambatan pertumbuhan dengan diameter zona bening sebesar 8 mm. Sedangkan pada bakteri uji S. aureus danE. coli diameter zona bening yang dihasilkan ialah sebesar 7 mm. Bakteri memasuki fase akhir stasioner pada jam ke-28 (Gambar 4), pertumbuhan bakteri pada fase ini cenderung melambat bahkan mulai menunjukkan sedikit penurunan.

Memasuki waktu inkubasi di jam ke-32 aktivitas penghambatan senyawa antibakteri yang dihasilkan isolat SK(15) terhadap pertumbuhan bakteri uji mengalami penurunan hingga jam ke-48. Pada waktu inkubasi tersebut, bakteri berada pada fase decline, dimana pertumbuhan bakteri mengalami penurunan dan sel bakteri mulai rentan mengalami kematian. Selain itu, kondisi lingkungan yang sudah tidak sesuai mengakibatkan munculnya zat-zat beracun yang berasal dari hasil metabolisme bakteri pada fase sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan aktivitas penghambatan oleh isolat SK(15) menjadi tidak optimum, sehingga diameter zona bening di sekeliling sumur yang dihasilkan pun semakin kecil.

Kontrol positif berfungsi untuk membandingkan aktivitas antibakteri dengan isolat yang diteliti. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini ialah asam asetat dengan konsentrasi 0,20%, 0,40%, 0,60%, 0,80% dan 1%. Asam asetat merupakan senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat. Asam asetat termasuk ke dalam golongan asam lemah yang bersifat korosif. Setiap bakteri uji memiliki ketahanan masing-masing terhadap jenis asam organik yang berbeda-beda. Bakteri uji L..monocytogenes memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap asam laktat dibandingkan dengan asam asetat. Bakteri uji

S..aureus memiliki toleransi ketahanan asam yang paling tinggi dibandingkan dengan bakteri uji lainnya. Escherichia coli dan Salmonella typhimurium

memiliki kerentanan yang tinggi terhadap asam laktat dan asam asetat (Theron dan Lues 2011). Berdasarkan pengujian yang dilakukan, isolat SK(15) memiliki aktivitas antibakteri yang hampir setara dengan aktivitas antibakteri pada asam


(39)

asetat dengan kisaran konsentrasi 0,80%-1%. Uji aktivitas pada kontrol positif (asam asetat) dapat dilihat pada Lampiran 5.

Bakteri asam laktat digunakan sebagai biopreservatif alami karena zat metabolit sekunder yang dihasilkannya cenderung tidak berbahaya dan memiliki efek inhibitor pada bakteri lain, seperti bakteri enteropatogenik. Efek inhibitor utama terjadi pada jalur metabolisme utama bakteri asam laktat, yakni jalur fermentasi (Theron dan Lues 2011). Senyawa antibakteri dengan aktivitas spesifik dan mempunyai efek hambatan pertumbuhan terhadap patogen yang menular melalui makanan (food borne pathogen) dapat diaplikasikan sebagai biopreservatif dalam industri makanan (Einarsson dan Lauzon 1995 diacu dalam Sutoyo 1998). Aktivitas penghambatan senyawa antibakteri yang dihasilkan oleh isolat SK(15) terhadap keempat bakteri uji, yakni Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium

menunjukkan bahwa isolat SK(15) menimbulkan efek penghambatan yang cukup efektif. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3, dimana diameter zona bening yang terbentuk di sekeliling sumur cukup besar. Menurut Hilmi dan Yusuf (2000) diacu dalam Nurmalis (2008), aktivitas antimikroba yang diproduksi BAL dengan zona penghambatan > 3mm termasuk ke dalam kelompok aktivitas hambat tinggi. Dengan demikian, isolat SK(15) memiliki potensi sebagai agen biopreservatif makanan.


(40)

5.1 Kesimpulan

Penapisan isolat SK(15), SK(16) dan SK(19) yang berasal dari produk bekasam ikan seluang menghasilkan senyawa antibakteri berupa asam-asam organik (asam laktat) yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji. Senyawa antibakteri jenis protein (bakteriosin) diduga tidak terendapkan pada tahap purifikasi parsial bakteriosin (presipitasi protein) dengan penggunaan konsentrasi (NH4)2SO4 50%. Isolat SK(15) merupakan isolat dengan hasil terbaik

yang ditunjukkan dengan aktivitas zona hambat terbesar di sekeliling sumur pada uji aktivitas senyawa antibakteri dibandingkan dengan isolat SK(16) dan SK(19), sehingga isolat SK(15) merupakan isolat terpilih pada tahap produksi senyawa antibakteri.

Isolat SK(15) menghasilkan aktivitas hambat terhadap pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan

Salmonella typhimurium. Aktivitas penghambatan terbaik terjadi pada jam ke-28 yang merupakan fase stasioner dari pertumbuhan bakteri. Aktivitas antimikroba yang diproduksi isolat SK(15) termasuk ke dalam kelompok aktivitas hambat tinggi, sehingga isolat SK(15) memiliki potensi sebagai agen biopreservatif makanan..

5.2 Saran

Penggunaan konsentrasi (NH4)2SO4 yang berbeda pada tahap purifikasi

parsial bakteriosin perlu dilakukan untuk menghasilkan konsentrasi endapan protein yang lebih besar. Selain itu, perlu dilakukan karakterisasi isolat BAL SK(15) dan pengujian dengan metode TPC untuk mengetahui efektifitas senyawa antibakteri yang dihasilkan isolat SK(15) dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen, sehingga senyawa antibakteri SK(15) dapat diaplikasikan secara langsung sebagai bahan pengawet makanan alami.


(41)

IKAN SELUANG (

Rasbora argyrotaenia)

IKMA RATNA PUSPITA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(42)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penapisan Antibakteri yang Dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat dari Produk Bekasam Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Ikma Ratna Puspita


(1)

Lampiran 3 Contoh perhitungan kadar asam laktat

Pengukuran kadar asam laktat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % Asam laktat = V NaOH x N NaOH x 90 x FP x 100%

Bobot Sampel

Contoh perhitungan pada waktu inkubasi jam ke-0: V NaOH : 1,7 ml

N NaOH : 0,1091 N

90 : bobot ekuivalen asam laktat

FP : 1

Bobot sampel : 1000 mg

% Asam laktat = 1,7 ml x 0,1091 N x 90 x 1 x 100% 1000

= 16,6923 x 100% 1000


(2)

Jam ke-0, 4 dan 8 Jam ke-12, 16 dan 20

Jam ke-24, 28 dan 32 Jam ke-44 dan 48

b. Bakteri uji Staphylococcus aureus


(3)

Jam ke-24, 28 dan 32 Jam ke-44 dan 48

c. Bakteri uji Escherichia coli

Jam ke-0, 4 dan 8 Jam ke-12, 16 dan 20


(4)

Jam ke-0, 4 dan 8 Jam ke-12, 16 dan 20


(5)

Lampiran 5 Uji aktivitas pada kontrol positif dan negatif

a. Bakteri uji Listeria monocytogenes b. Bakteri uji Staphylococcus aureus

c.__Bakteri uji Escherichia coli d. Bakteri uji Salmonella typhimurium


(6)

hidup manusia. Bahan pangan umumnya memiliki masa simpan atau daya awet yang terbatas, terutama pada bahan pangan yang bersifat perishable food atau rentan akan kerusakan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bahan pengawet alami agar bahan pangan tersebut tidak mudah mengalami perubahan sifat (warna, rasa, bau) dan juga perubahan kandungan gizi didalamnya. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan salah satu jenis bakteri yang mampu memproduksi metabolit sebagai senyawa antibakteri. Bakteri asam laktat dinilai tidak berbahaya, sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet alami atau probiotik melawan bakteri patogen.

Penelitian ini bertujuan untuk menapis senyawa antibakteri dari tiga isolat bakteri asam laktat (BAL) yang berbeda dan menentukan waktu optimum produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih.

Metode penelitian yang dilakukan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pertama penapisan senyawa antibakteri dari tiga isolat BAL, yakni SK(15), SK(16) dan SK(19). Tahapan ini meliputi kultivasi, pemanenan dan uji aktivitas senyawa antibakteri. Tahap kedua adalah produksi senyawa antibakteri dari isolat BAL terpilih. Tahap ini meliputi kultivasi, pengukuran kadar asam laktat dan uji aktivitas senyawa antibakteri dari isolat terpilih.

Penapisan isolat SK(15), SK(16) dan SK(19) yang berasal dari produk bekasam ikan seluang menghasilkan senyawa antibakteri berupa asam-asam organik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji. Berdasarkan penapisan senyawa antibakteri yang dilakukan, SK(15) merupakan isolat dengan hasil terbaik yang ditunjukkan dengan aktivitas zona hambat terbesar di sekeliling sumur pada uji aktivitas senyawa antibakteri. Produksi senyawa antibakteri dari isolat terpilih (SK(15)) menunjukkan bahwa isolat SK(15) menghasilkan aktivitas hambat terhadap pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes, Staphylococcus

aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Aktivitas antimikroba yang

diproduksi isolat SK(15) termasuk ke dalam kelompok aktivitas hambat tinggi, sehingga isolat SK(15) memiliki potensi sebagai agen biopreservatif makanan. Aktivitas penghambatan terbaik terjadi pada jam ke-28 yang merupakan fase stasioner dari pertumbuhan bakteri.