Perkembangan Masyarakat Hukum Adat

71 Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua antitas yang berbeda dan berhadap-hadapan. d “Diatur dalam undang-undang” Indonesia adalah Negara berdasar hukum, apabila dalam Negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari- hari tidak akan berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal bila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya. Dengan demikian, masyarakat hukum adat dapat melakukan atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia selaku pemohon pengujian undang-undang selama masyarakat hukum adat tersebut masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI.

2. Perkembangan Masyarakat Hukum Adat

Perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa. Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada, nota bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali. Secara retrospektif Universitas Sumatera utara 72 dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan negara yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 83 Sejak reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan perundang - undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya. Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari konstitusi sampai peraturan desa. Pada level konstitusi misalkan dipertegas dengan keberadaan Pasal 18B ayat 2 UUD NRI Tahun 1945. Kemudian sejumlah undang-undang khususnya yang terkait dengan sumber daya alam berisi pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini sangat Masyarakat hukum adat tidak hanya berdiam diri terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu. Mereka tidak berada pada posisi membela diri, karena tidak mempunyai akses pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. 83 Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia terdapat penjelasan bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia sesseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan , atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Universitas Sumatera utara 73 dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak mengatur ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara. Reposisi hubungan antara masyarakat adat dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan pada saat pendirian AMAN pada tahun 1999: “Bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara.” 84 Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun Permenag itu mengatur bahwa penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dapat diulakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataanya diterjemahkan bahwa Perda dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah. Politik pengakuan politic of recognition menjadi kata kunci dalam memperlakukan masyarakat adat pada situasi kontemporer. Tidak berhenti pada level nasional, pada level daerah pun terdapat sejumlah inisiatif serupa. Hal sejalan dengan semangat desentralisasi dan juga diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 tentang 85 Latief Fariqun mendefinisikan pengakuan sebagai 86 84 Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan Hukum”, : “… pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara” Fariqun, 2007:81. https:www.academia.edu3537826Masyarakat_adat_dalam_kontestas_pembaruan_huk um diakses tanggal 08 Februari 2015. 85 Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan Hukum”, https:www.academia.edu3537826Masyarakat_adat_dalam_kontestas_pembaruan_huk um diakses tanggal 08 Februari 2015. 86 A. Latief Fariqun, “Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007, hlm. 81. Universitas Sumatera utara 74 Pergeseran paradigma itu tidak lagi memposisikan masyarakat hukum adat sebagai kelompok tradisional yang perlu dimodernkan dengan tolak ukur orang kota, yang ‘mendesak’ perubahan pola sosial ekonomi masyarakat adat ke dalam kategori kesejahteraan menurut penguasa. Hal ini sejalan pula dengan semangat zaman yang melampaui paham linearitas dari tradisional ke modern. Dalam paham lama ini, semua masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup dan cara produksinya menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan. 87 Cara pandang bahwa semua masyarakat dapat direkayasa agar berubah dari tradisional ke modern sudah mulai ditinggalkan. Diganti dengan pandangan bahwa masyarakat akan menentukan sendiri perubahannya sebagai sebuah subjek yang memiliki sejarah, peradaban dan kepentingannya masing-masing. 88 memiliki kapasitas daya tahan dan daya lenting yang kuat ketika menghadapi perubahan. Oleh karena itu, istilah pemberdayaan perlu mendapatkan porsi yang pas sehingga tidak malah meremehkan masyarakat hukum adat, tetapi disisi lain Hal ini sejalan dengan paradigma post-modern yang bertujuan menyediakan keberagaman agar masing-masing subjek dapat berinteraksi dalam ruang sosial yang bersaing. Cara pandang bahwa masyarakat hukum adat merupakan subjek yang lemah dan perlu diberdayakan sudah mulai bergeser. Istilah pemberdayaan beranjak dari asumsi bahwa masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang lemah, lumpuh, tidak tahu apa-apa, tidak tahu mana yang baik untuk kepentingannya sendiri, sehingga perlu dibantu berjalan mengarungi kehidupannya. Padahal, sudah diakui secara global bahwa masyarakat hukum adat 87 Ibid. 88 Ibid. Universitas Sumatera utara 75 juga bukan berarti masyarakat hukum adat tidak perlu menikmati pendampingan – pendampingan untuk bisa menikmati pembangunan. 89 Pasal tersebut menunjukkan adanya pengakuan, tetapi sekaligus membatasi pengakuan tersebut. Pada satu sisi keberadaan masyarakat hukum adat diakui, tetapi masyarakat hukum adat juga dibatasi, yaitu dengan adanya klausul “…sepanjang menurut kenyataannya masih ada…” Kalimat tersebut mengandung makna bahwa ukuran masih ada eksist ini sampai sekarang belum dapat diwujudkan, akhirnya sampai sekarang masih mengundang permasalahan bagi Pemerintah Daerah. Bahkan kehadiran PMNAKBPN No. 5 Tahun 1999 pun tidak mampu menjawab eksistensi ini. Sehingga dalam bila berhadapan dengan keberadaan hak ulayat yang sebagian mulai kabur tentu hal ini sebaiknya Pemerintah membuka kesempatan kepada Pengadilan untuk menetapkan batas tanah ulayat, tanah adat dan tanah negara. Agar tidak saling mengklaim tanah tersebut sebagai tanahnya atau miliknya diluar kehendak aturan. Apalagi sering kali masyarakat membaca hak ulayat itu sesuai kehendaknya saat ini dengan ukuran yang lama yang sudah berbeda dan berkembang. Padahal hak ulayat yang diakui itu adalah hak ulayat yang masih eksis dimasyarakat jika tidak lagi eksis pemerintah daerah boleh mengapresiasinya untuk dikokohkan eksisnya menurut prosedur dan aturan yang ada. Hak ulayat saat ini tidak diada – adakan Pasal 3 ayat 1 UUPA menyatakan: “Mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” 89 A. Latief Fariqun. Ibid. Universitas Sumatera utara 76 eksistensinya sebab harus terukur sebagai hak ulayat dan dapat dikokohkan sebagai hak ulayat sebagaimana dalam udang – undang agraria ini. Tentu bila demikian adanya untuk eksistensi hak ulayat pemerintah daerah harus aktif mengambil perannya agar masyarakat tidak salah guna untuk mengeksistensinya. Apalagi dengan banyaknya pemekaran desa, kecamatan yang tentunya dekat dengan batas – batas hak – hak tanah di masyarakat. Yang bila dibiarkan akan mengundang kerawanan demi menentukan batas desa dan batas wilayah kecamatan yang dimekarkan tersebut. 90 Di samping itu, terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. BupatiWalikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupatenkota, yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat. Hasil verifikasi dan validasi tersebut, kemudian disampaikan kepada kepala daerah. Bupatiwalikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. Dengan adanya kedua payung hukum tersebut, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah untuk mengabaikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, dengan berdalih tidak adanya aturan yang menjadi rujukan. Kita berharap, semoga pemerintah daerah memberikan perhatian yang penuh terhadap keberadaan masyarakat adat. Menolak keberadaan masyarakat 90 Jurnal Konstitusi LK SPs Universitas Sumatera Utara, Vol. I, No. 2, November 2009 “Politik Agraria dalam Menyahuti Perkembangan Otonomi Daerah” oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN hal. 16 – 17 Universitas Sumatera utara 77 adat sama dengan membiarkan terjadinya diskriminasi kepada masyarakat adat di Negara ini. 91 91 https:sopianhadi1983.wordpress.com20140919pengakuan-masyarakat-adatmore- 137 diakses pada tanggal 22 Februari 2015 Universitas Sumatera utara 78

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM

ADAT ATAS TANAH

A. Hak Ulayat Sebagai Sumber Hak Perorangan atas Tanah 1. Pengertian Hak Ulayat

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

7 185 136

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

2 73 96

Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

2 35 114

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Di Atas Tanah Register 40 Pasca Putusan Pidana No.2642 K/PID/2006 AN.Terpidana D.L Sitorus

2 52 119

Tinjauan Yuridis Atas Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertifikat Hak Milik (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2725 K/Pdt/2008)

1 55 132

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

Tinjauan Hukum Atas Perkawinan Beda Agama (Islam dan Kristen)Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Juncto Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 3 1

Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

0 1 8

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/20

2 2 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

0 1 20