103
BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
BERDASARKAN KETENTUAN PMNAKEPALA BPN NO. 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK. 35PUU-X2012
A. Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah Lahirnya PMNAKBPN No. 5 Tahun 1999
Sebagai salah satu pernyataan yang dimuat dalam UU Pokok Agraria bahwa hukum agraria ini didasarkan pada hukum adat, dan yang secara tegas
mengakui eksistensi hak ulayat masyarakat seperti saat ini, maka kedua rumusan pasal 3 dan pasal 5 masih benar dan harus dimanfaatkan pasal ini oleh
Pemerintah. Sebab disinilah penghormatan negara atas tanah atau hak – hak rakyat yang masih belum tersentuh pendaftaran tanah. Bahkan ini adalah salah
satu ciri dari hukum tanah di negara ini yang tetap memberikan rasa aman atas pemilik tanah lama untuk terus dimilikinya dengan kewajiban akan konversi kelak
sehingga tidak menyimpang dari UUPA itu sendiri.
128
Tanah ulayat merupakan tanah milik bersama dari masyarakat hukum adat, tanah ulayat merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Hak
ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat. Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa
setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung
kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya
128
Jurnal Konstitusi LK SPs Universitas Sumatera Utara, Vol. I, No. 2, November 2009 “Politik Agraria dalam Menyahuti Perkembangan Otonomi Daerah” oleh Prof. Dr. Muhammad
Yamin, SH, MS, CN hal. 16 – 17
Universitas Sumatera utara
104
untuk kepentingan suatu generasi, tetapi juga untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.
129
Masyarakat diluar komunitas masyarakat hukum adat, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau
membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adat. Dengan izin penguasa adat itu maka
seseorang dapat membuka tanah untuk berladang atau untuk dijadikan sebutan tanaman muda, yaitu kebun yang ditanami dengan tanaman yang tidak
memerlukan waktu lama untuk dipungut hasilnya. Sebab orang asing hanya boleh menguasai atau mengerjakan tanaman yang dibukanya itu selama satu panen saja.
Tanah yang dibuka itu dikuasainya dengan hak pakai. Orang asing tidak boleh tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
130
Dengan demikian, efektivitas peraturan tentang pengakuan hak ulayat tergantung inisiatif pemerintah daerah untuk melakukan penelitian sebagai dasar
penentuan keberadaan hak ulayat di daerah bersangkutan, dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga hasil yang
diperoleh terjamin obyektivitasnya. Mengingat bahwa kebijakan pertanahan tersebut bersifat pedoman, dan hak ulayat masing-masing daerah mempunyai sifat
Pasal 5 ayat 1 menyatakan, bahwa Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.
129
Arie Sukanti Hutagalung, “Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok: 2003, hlm. 15.
130
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 190
Universitas Sumatera utara
105
dan karakteristiknya yang khas, maka pelaksanaan kebijakan hak ulayat tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah masing-masing daerah, dengan
mempertimbangkan unsur-unsur lokal dan budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
131
Pada dasarnya, sebelum lahirnya Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan
pemerintah untuk mengatur bidag pertanahan tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat 3 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar - besar
kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria
Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang – Undang Pokok Agraria.
132
Pengakuan yang diberikan oleh UUPA terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dengan syarat sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan negara
dan bangsa, menjadi tolak awal adanya bentuk perlindungan hukum terhadap hak Hukum Tanah Indonesia berdasarkan Undang – Undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut mengisyaratkan bagi pembuat undang – undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan,
melainkan harus mengindahkan unsur – unsur yang berstandar pada hukum agama.
131
Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Manggarai Dengan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, 2001, Pengakuan dan Perlindungan
Terhadap Hak Ulayat atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Rangka Otonomi Daerah di Desa Colol Kecamatan Pocoranaka Timur Kabupaten Manggarai Timur, Kupang, hlm. 5.
132
Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah Bandung : Mandar Maju, 2008 hlm. 19.
Universitas Sumatera utara
106
ulayat, hal tersebut diakomodir dengan dikeluarnya ketentuan agraria PMNAKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 yang menjadi pedoman penyelesaian
masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan
Nasional Pasal 1 berisi pengertian atas hak ulayat, tanah ulayat. Hak ulayat beserta tanah adat yang merupakan milik dan menjadi kewenangan atas
masyarakat adat, haruslah diakui keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat regional mapun masyarakat nasional dengan Pasal UUPA.
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan
pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah
untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau terlantar, hak guna usaha atau hak pakai
yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak
ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA dan munculnya
berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala lokal maupun nasional yang tidak pernah memperoleh penyelesaian secara tuntas, maka
pemerintah menetapkan suatu peraturan perundangan melalui Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Universitas Sumatera utara
107
Keberadaan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 telah memberi peluang menuju pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat
hukum adat, sehingga penjabaran dan pelaksanaan ketentuan itu terpulang kepada kita untuk menyambutnya dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam
menikmati hak- hak yang ada diperolah dan disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta strategi yang diupayakan untuk melestarikan hak – hak
masyarakat adat berkelanjutan. Hal ini merupakan penjabaran dari Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya
masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat Tan Kamelo,
133
1. Unsur masyarakat adat : terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu mpersekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan –
ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari – hari. menyarankan perlu diteliti oleh pemerintah daerah sebagai “stakeholder” dan
secara obyektif dikualifisir dengan tanda – tanda yang meliputi 3 tiga unsur yaitu :
2. Unsur – wilayah :terdapat hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari –hari.
133
Tan Kamelo, Eksistensi Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Eks Konsesi dan Perusahaan Lainnya Dalam Perspektif Hukum Perdata, Seminar Nasional Pemberdayaan
Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mendukung Pembangunan Jati Diri Bangsa tanggal 7 Juli 2012, Medan, hlm. 6
Universitas Sumatera utara
108
3. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya :
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut. Keluarnya Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999
sebagaimana dalam Pasal 4 ayat 1 b, menyebutkan bahwa penguasaan bidang – bidang tanah yang termasuk tanah ulayat oleh instansi pemerintah, badan hukum
atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata
cara hukum adat yang berlaku. Falsafah hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai
pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional yang menurut Prof. Boesi Harsono, S.H, terwakili dalam satu kata kunci, yaitu
komunalistik religius
4
. Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian – bagian tanah bersama sebagai karunia
Tuhan yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak – hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengadung unsur kebersamaan.
134
134
Konsepsi hukum tanah nasional yang bersifat komunalistik religius ini disimpulkan oleh Prof. Boedi Harsono, S.H. dari ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan 2 UUPA yang mengatur tanah
hak bersama bangsa Indonesia, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 6, Pasal 16 ayat 1 UUPA yang mengatur hak – hak atas tanah. Hal ini berarti bahwa hukum tanah nasional
menggunakan konsepsi, asas – asas, lembaga – lembaga hukum, dan sistem hukum adat. Sunaryo Basuki, Diktat Hukum Agraria Jilid 1 Jakarta: Universitas Indonesia, 2005, hlm. 2. Pembahasan
lebih mendalam dapat dibaca dalam Boedi Harsono, “Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI No. IXMPR2001;,” Jakarta: Universitas
Trisakti, Maret 2002, hlm. 49.
Universitas Sumatera utara
109
Selanjutnya Pasal 4 ayat 2, Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa, Penglepasan hak ulayat atas tanah
masyarakat hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak
dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan
berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut telah membuka kemungkinan
warga diluar masyarakat hukum adat untuk mempergunakan tanah ulayat masyarakat hukum adat, dengan syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
4 ayat 2 yaitu terbatas hanya untuk keperluan pertanian dan keperluan lain dengan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu. Ketentuan
Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut juga menyebutkan pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Pakai berikut
perpanjangan dan pembaharuan berlakunya diberikan oleh negara, sehingga disinilah letak menguasai hak negara tersebut tampak kembali, yang dengan
demikian secara tidak langsung ketentuan tersebut akan melemahkan kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat, karena lambat laun tanah ulayat tersebut akan
berkurang fungsinya bagi masyarakat hukum adat tersebut, selain itu juga sejalan dengan perubahan pola kehidupan masyarakat karena dengan begitu lamanya
Universitas Sumatera utara
110
jangka waktu yang diberikan untuk pengunaan tanah ulayat masyarakat adat tersebut, bisa jadi masyarakat tersebut sudah tidak eksis lagi.
Kemudian apabila dikaitkan dengan UUPA jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atas Tanah, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara, begitu juga dengan hak pakai, bahwa tanah yang dapat diberikan
dengan hak pakai adalah tanah negara. Dengan demikian ketentuan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tersebut, maka berarti hak ulayat sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala
BPN Nomor 5 Tahun 1999 adalah tanah negara, berarti dengan demikian adanya suatu pengingkaran secara tidak langsung oleh negara terhadap kedudukan hak
ulayat, yang oleh undang – undang sendiri diakui. Pasal 12 dan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1999 juga
membahas masalah ganti rugi terhadap tanah ulayat yang dibebani dengan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha dan Hak
Pakai mempunyai kewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada negara. Akan tetapi Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999, telah mengatur
pembayaran ganti rugi kepada masyarakat hukum adat. Hal ini kembali memperlihatkan bahwa tanah ulayat adalah merupakan tanah negara.
Konsep hak menguasai negara merupakan suatu kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk memberikan suatu hak atas tanah atau hak – hak
lainnya kepada orang lain baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama orang lain, serta badan – badan hukum, dimana negara mempunyai kewenangan –
Universitas Sumatera utara
111
kewenangan berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hal ini yang menjadi dasar bagi negara untuk
mengatur pemberian, pengelepasan atau penyerahan hak atas tanah, termasuk hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat kepada pihak lain.
Ketentuan pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar hukum adat berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut sebenarnya tidak berarti bahwa tanah ulayat tersebut menjadi hilang atau menjadi hak mutlak pihak
lain,akan tetapi hanya penglepasan dan penyerahan bersifat sementara. Pakar Hukum Pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
UGM Maria S.W. Sumardjono mengatakan,perlindungan terhadap tanah ulayat bisa dilakukan jika pemerintah kabupaten memiliki niat baik untuk melindungi
masyarakat asli. Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999.
135
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 14 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota meliputi
poin k tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga, sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin b, yang
menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas – luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus pemerintah yang
135
Maria S. W. Sumardjono, Diabaikan, Hak Ulayat Sakai Payung Hukum Sebenarnya Ada, Tergantung Niat Baik Pemda, Kompas, 26 Maret 2007.
Universitas Sumatera utara
112
ditetapkan dalam undang – undang ini. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan .pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
136
Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupatenkota serta desa
merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat
luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar – benar memahani dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga
harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan
cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.
137
Dalam rangka memperjelas kewenangan kabupatenkota dan propinsi di bidang pertanahan, maka dikeluarkan pula Keputusan Presiden Keppres Nomor
34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pasal 2 ayat 1 menentukan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan
dilaksanakan oleh pemerintah kabupatenkota, dan ayat 2 menentukan bahwa ada sembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan
136
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, Pekanbaru : LPNU Press, 2005, hlm. 9.
137
Ali Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah, Jakarta :Prestasi Pustaka, 2003, hlm. 44.
Universitas Sumatera utara
113
oleh pemerintah kabupatenkota, salah satunya adalah penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat.
Walaupun Rancangan Undang – Undang Perlindungan Masyarakat Adat hingga sekarang belum disahkan, lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, merupakan angin segar bagi pengakuan masyarakat adat yang mendiami nusantara ini. Di samping desa, dalam Undang – Undang Nomor 6
Tahun 2014, juga diakui adanya Desa Adat. Pemerintah daerah dapat melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan menetapkannya menjadi Desa
Adat melalui sebuah peraturan daerah. Asalkan tiga kriteria Desa Adat terpenuhi, yakni kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata
masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, terbitnya
Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk
memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. BupatiWalikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupatenkota, yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat. Hasil verifikasi dan validasi tersebut, kemudian
disampaikan kepada kepala daerah. Bupatiwalikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi
Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
138
138
http:hukum.kompasiana.com20140917pengakuan-masyarakat-adat-674916.html diakses pada tanggal 11 Februari 2015.
Universitas Sumatera utara
114
Tanah adat tanah ulayat adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak memerintahkan pendaftaran hak ulayat, juga tidak dimasukkan ke dalam golongan objek pendaftaran tanah. Berbeda
dengan prosedur mendapatkan tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan lain – lain, untuk mendapatkan tanah ulayat,pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu
dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan pelepasan hak.
Pembangunan memang sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, akan tetapi pihak lain sebagian besar dari masyarakat juga memerlukan
tanah tersebut sebagai tempat pemukiman, terutama masyarakat hukum adat, tanah merupakan tempat hidup mereka sampai mati, selain tempat mereka tinggal,
tempat mereka mencari makan, sampai tempat mereka dimakamkan. Oleh sebab itu bila tanah tersebut diambil begitu saja maka jelas mengorbankan hak asasi
masyarakat. Dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, telah ditegaskan bahwa hak adat yang secara nyata masih
berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundang – undangan, serta dalam rangka penegakan hak asasi manusia tersebut,
identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak – hak adat masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap menghormati
dan melindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas – asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Perbedaan dan kebutuhan
Universitas Sumatera utara
115
dalam masyarakat hukum adat ini harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah dalam rangka pembinaan dan perkembangan hukum
itu sendiri. Sehingga apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa
pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang
kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasaraa yang harus ditujukan
kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai arena penunjang perkembangan modernisasi dan perkembngan yang
menyeluruh.
139
139
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep – Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : PT. Alumni, 2006, hlm. 112
Penyelesaian masalah hak ulayat atas tanah oleh masyarakat hukum adat dengan pihak lain berdasarkan PMNAKBPN Nomor 5 Tahun 1999 dapat
ditempuh dengan dua cara yaitu : melalaui jalur pengadilan dan luar pengadilan, jika dilakukan melalui jalur pengadilan biasanya pihak yang menang adalah pihak
yang ekonominya kuat, pengadilan biasanya tidak berpihak kepada masyarakat adat. Untuk itu jika terdapat masalah atau sengketa terhadap tanah ulayat dengan
pihak lain biasanya dilakukan dengan cara luar pengadilan, yaitu mediasi ataupun cara musyawarah antara kedua pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera utara
116
B. Dampak Putusan MK Nomor 35PUU-X2012 Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat