berdasarkan kebutuhan diatas ibu merasa khawatir akan keselamatan dirinya juga bayinya maka memutuskan memilih bidan sebagai penolong persalinan.
Berdasarkan teori diatas dapat diketahui bahwa kepercayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama.
Kepercayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat sesuai dengan peradaban manusia dan pengetahuan yang diperoleh dapat merubah perilaku kesehatan kearah
yang lebih baik. Penelitian ini tidak sependapat dengan penelitian Mira 2009, yang
menyimpulkan kepercayaan budaya mempunyai hubungan yang bermakna dengan pemilihan penolong persalinan . Alasannya dukun adalah tetangga dekat dengan
tempat tinggal ibu, merasa nyaman dan puas dengan dukun karena telah memberikan pelayanan mulai dari kehamilan tujuh bulan, sampai proses persalinan serta
perawatan nifas. Tindakan ibu ini dipengaruhi dari kebiasaan keluarga yang mengangap dukun lebih berpengalaman.
5.3 Pengaruh Faktor Enabling terhadap Pemilihan Penolong Persalinan
5.3.1 Pengaruh Penghasilan Keluarga terhadap Pemilihan Penolong
Persalinan
Hasil analisis bivariat dengan uji statistik chi square menunjukkan ibu yang penghasilan keluarganya UMKab sebanyak 72,2 memilih bidan sebagai
penolong persalinan. Sedangkan ibu yang penghasilan keluarganya ≥ UMKab
84,2 memilih bidan sebagai penolong persalinan. Pada penelitian ini penghasilan
Universitas Sumatera Utara
tidak berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan, dengan nilai p=0,460 0,05, karena p
≥0,25 maka tidak dikutsertakan pada Analisis multivariat. Penghasilan keluarga tidak berpengaruh terhadap pemilihan penolong
persalinan di Kecamatan Bandar Pulau , seperti diketahui upah minimum Kabupaten Asahan adalah sebesar Rp 1.050.000. Pada penelitian ini ibu dengan penghasilan
keluarga UMkab yaitu sebanyak 72,7 memilih bidan sebagai penolong persalinan, walaupun penghasilan keluarga ibu UMKab ternyata ibu tersebut
mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan melakukan pemeriksaan kehamilannya ke bidan termasuk memilih bidan sebagai penolong persalinan. Hal ini
disebabkan oleh karena ibu sudah mengetahui tentang kehamilan yang sehat dan bahaya persalinan yang tidak aman.
Penelitian ini berbeda dengan pendapat Kloos, Newecheck et al, Bebak et al 1999 dalam Hardeman, status ekonomi suatu kelompok masyarakat berpengaruh
terhadap status kesehatan masyarakatnya. Status ekonomi rendah akan tercermin dalam status kesehatan yang dimiliki masyarakat seperti angka kematian dan angka
kesakitan yang tinggi. Kajian tentang kemampuan bayar keluarga untuk mendapatkan pertolongan
persalinan di Indonesia berdasarkan Analisis Data Susenas Kor 2001 yang dilakukan Manueke dkk 2008 menemukan bahwa kemampuan membayar keluarga
berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan. Kemampuan membayar rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan.
Universitas Sumatera Utara
Hasil stratifikasi kemampuan membayar keluarga dengan pemanfaatan penolong persalinan berdasarkan pembagian wilayah di Indonesia menunjukkan
bahwa selisih proporsi pemanfaatan penolong persalinan oleh bidan dan dukun tertinggi di wilayah kawasan Indonesia timur sebesar 9, wilayah Jawa dan Bali 4
dan wilayah Sumatera 1. Ini berarti bila dilihat dari kemampuan membayar keluarga, perbedaan proporsi pemanfaatan penolong persalinan oleh bidan dan
dukun terbesar di kawasan Indonesia timur 2 kali lebih besar daripada wilayah Jawa dan Bali.
Penghasilan keluarga berpengaruh terhadap pemilihan penolong persalinan seperti ditemukan penelitian Widawati 2008, bahwa 36,7 ibu yang berpenghasilan
rendah memilih dukun sebagai penolong persalinan, sedangkan ibu yang berpenghasilan tinggi hanya 28,4 yang memilih dukun sebagai penolong
persalinan.
5.3.2 Pengaruh Keikutsertaan Asuransi Kesehatan terhadap Pemilihan Penolong Persalinan