Hasil Wawancara Kecemasan Pasangan Usia Subur terhadap Infertilitas

Partisipan VI Ist “Rasa kepengen punya anak lagi itu ada, tapi lebih besar lagi rasa cemas atau takut saya mengingat usia saya tadi udah beresiko”. Sedangkan dari partisipan suami, hanya dua partisipan yang menyatakan rasa cemas mereka seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut : Partisipan V S “Kalo rasa cemas saya salah satunya umur saya itu udah tua, kalo umur saya nantinya udah kepala empat, seandainya punya bayi lagi yah gimana gitu…awak udah tua sedangkan anak masih kecil dan perlu biaya buat sekolah, trus saya udah tidak sanggup lagi bekerja”. Partisipan IV S “Rasa cemasnya ya, karena faktor usia istri saya tadi itukan udah beresiko, kalo seandainya kita dapat anak lagi maunya sehatlah semuanya gitu”. b. Kesedihan Partisipan isteri juga mengatakan bahwa mereka merasa sedih ketika menyadari bahwa keluarganya hanya memiliki satu orang anak saja. Empat partisipan istri menyatakan perasaan sedih mereka seperti dinyatakan dalam ungkapan berikut ini : Partisipan I Ist “Tekadang ada juga sih rasa sedih itu…kalo melihat anak-anak tetangga atau orang orang yang punya anak dua atau tiga gitu, apalagi mereka itu punya anak sepasang.. kadang timbul dalam hati’’ enak kalilah dia itu sudah punya anak sepasang”. Partisipan II Ist “Rasa sedih itu pasti ada, apalagi lihat teman-teman yang punya anak dua ya sedih juga lah”. Partisipan IV Ist “Perasaan saya ya, kalo nengok-nengok orang yang anaknya lebih dari satu gitu yah sedihlah.. rasanya sunyi gitu..kurang rame perasaan dirumah itu.” Sedangkan reaksi dari pihak suami, yaitu dua dari partisipan suami menyatakan perasaan yang sama sebagaimana diungkapkan dalam pernyataan berikut : Partisipan IV S “Perasaan saya itu yah was-waslah artinya rasa sedih, kuatir dan takut jadi satu.. apalagi anak saya ini kan perempuan dan kalo secara adat batak kan yang bawa marga itu anak laki-laki”. Partisipan V S “Gimana ya bilangkannya, agak sedih juga.. maunya sih dulu kalo saya udah berumah tangga nanti anak saya itu dua orang lah paling sedikit, tapi kalo datangnya cuman satu ya ga apa-apa.” c. Cemburu Iri Reaksi ketiga yang timbul pada pasangan yang mengalami infertilitas sekunder adalah cemburu atau iri, dua partisipan isteri mengatakan cemburu atau iri dengan orang-orang yang memiliki anak lebih dari satu, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan berikut : Partisipan V Ist “Rasanya ya kalo lihat orang yang punya anak dua atau sepasang gitu sempurnalah hidupnya, sedangkan saya masih satu dan rasanya pengen seperti mereka”. Partisipan VI Ist “Kadang-kadang ada jugu rasa cemburu itu, kalo lihat saudara atau keluarga saya yang punya anak tiga atau udah punya anak sepasang gitu,apalagi dari pihak lakik saya banyak-banyak anaknya.. sampe saya pernah berpikir kenapa ya, apalah kesalahan saya, dosa saya gitu .” Adapun ungkapan dari partisipan suami yang menyatakan perasaan yang sama, seperti pernyataan berikut : Partisipan IV S “Kalo seandainya ada anak saya laki-laki sudah ada lah penerus marga saya” 2. Dampak perubahan psikologis yang timbul akibat infertilitas sekunder Dari hasil wawancara didapatkan bahwa kondisi infertilitas sekunder yang dialami oleh suatu pasangan akan memberikan dampak bagi suami maupun isteri sebagai individu. Bagi isteri kondisi infertilitas sekunder dapat menimbulkan perubahan psikologi seperti perasaan sedih, cemas, khawatir atau takut. Dalam hal ini dampak psikologis yang muncul berupa perasaan khawatir yang dialami partisipan isteri sehubungan dengan kondisi yang dialaminya. Empat partisipan isteri menyatakan khawatir akan kondisi dirinya juga anaknya, seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut : Partisipan VI Ist “Gimana ya, nanti suamiku meremehkan aku, ga bisa hamil lagi, trus mertuaku pernah nyuruh suamiku kawin lagi“. Partisipan V Ist “Perasaan kuatir atau takutnya saya itu terutama kalo anak saya sakit, gimana ya karna anak saya cuman satu, nanti kalo ada apa-apanya dengan anak saya gitu”. Partisipan II Ist “Rasa takut atau kawatir saya itu, karena dua tahun yang lalu saya pernah keguguran dua kali dan yang terakhir kalinya kata dokter itu, saya hamil anggur.. jadi saya waktu itu dikuret dan saya takut tidak bisa hamil lagi”. Walaupun demikian ada juga pasangan justru sebaliknya, mereka tetap semangat meskipun hanya dikaruniai satu orang anak saja, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : Partisipan I SIst “Kami bersyukur masih diberi anak walaupun cuman satu, karena banyak juga teman-teman yang punya anak empat atau lima orang kadang-kadang mengeluh juga..jadi kami tetap fokus bekerja untuk masa depan si anak, karena saya perhatikan kecerdasan anak saya lebih menonjol dari anak-anak seusianya“ Partisipan III S “Aku gak pernah kuatir ataupun sedih jadi orang walaupun anak kita cuman satu, yah dulunya itu banyak anak banyak rezeki katanya.. kalo sekarang banyak anak tapi gak bisa disekolahkan untuk apa…satu aja pun kalo nantinya bisa jadi Camat?’’ Partisipan IV Ist “Kalo dibilang kawatir sih gak gitu kali lah, karena dilihat dari zaman sekarang ini anak yang sepantasnya itu dua aja udah cukup, karena dilihat dari segi ekonomi juga yang semakin sulit”. 2. Kemampuan mengatasi masalah Kemampuan mengatasi masalah adalah kemampuan masing-masing pasangan dalam mengatasi reaksi yang ditimbulkan oleh kondisi infertilitas sekunder tersebut. Hal ini diekspresikan oleh partisipan sebagai kemampuan untuk mencari informasi tentang pengobatan dan mencoba untuk tidak terlalu memikirkan dengan cara mencari suatu kesibukan. Cara-cara yang dilakukan pasangan ini merupakan suatu upaya pemecahan masalah seorang individu terhadap perubahan situasi yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengatasi masalah ini dapat dilihat sebagai suami atau isteri secara individu. Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara maka didapatkan beberapa pemecahan masalah dari kondisi yang dialami pasangan suami isteri tersebut yakni : a. Berusaha untuk melakukan pengobatan baik secara tradisional maupun secara medis. Empat partisipan isteri menyatakan berusaha melakukan pengobatan tradisional maupun medis. Hal ini seperti diungkapkan oleh partisipan berikut : Partisipan II Ist “Dokter bilang saya harus sering periksa dan harus sabar, jangan lupa berdoa, mudah-mudahan kamu bisa hamil lagi, karena saya kan udah pernah keguguran dua kali dan yang terakhir kali ini saya hamil anggur”. Partisipan III Ist “Pernah dulu kami ke dokter trus dibilangnya adanya nanti ini, bagus koq gak ada kelainan katanya, tapi hanya sekali itu saja karna dari segi ekonomi juga yah gimanalah penghasilan saya dan suami juga pas-pasan”. Mengenai pengobatan dari partisipan suami, empat partisipan suami menyatakan hal yang sama seperti diungkapkan pada pernyataan partisipan berikut: Partisipan IV S “Yang kami lakukan sekarang ini yah ingat pesan dokter dulu, karena hampir tiga tahun juga kemaren baru ada anak kami ini.. katanya kami berdua gak ada masalah cuman dianjurkan kurangi makan cabe, yang berlemak, juga minuman yang dingin seperti es dan dikasi obat penyubur juga dulu “. Partisipan V S “Kami berdua dengan isteri hanya pergi ke tukang kusuk aja, kalo ke dokter belum ada.. yah mengingat biaya ke dokter itu kan mahal, belum lagi kebutuhan sekarang ini serba sulit semuanya“. b. Pasrah dan berdoa kepada Tuhan Pasangan infertilitas sekunder mengakui bahwa dengan menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan meyakini bahwa kondisi infertilitas sekunder yang mereka alami bukan kehendak manusia. Selain pasrah pasangan juga tidak lupa berdoa. Dua partisipan isteri hanya pasrah dan berdoa seperti pernyataan berikut : Partisipan VI Ist “Saya dan suami udah punya prinsip, kalo emang ada dikasi Tuhannya semua itu” Partisipan I Ist “Karena masih banyak lagi orang yang belum punya anak sama sekali, jadi kita tetap bersyukur karena sudah diberi satu anak”. Kondisi pasrah dan berdoa juga diakui oleh suami sebagai suatu langkah yang ditempuh dalam menghadapi kondisi infertilitas sekunder. Dua partisipan suami hanya pasrah dan berdoa seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut : Partisipan III S “Anak itukan karunia Tuhan, jadi kalaupun aku pingin anak tiga misalnya, tapi kalau Tuhan menghendaki cuma satu saja yah apa boleh buat…semua kita serahkan sajalah sama Tuhan “. Partisipan VI S “Kalau Tuhan hanya menghendaki satu anak sama saya, kita sebagai manusia biasa gak bisa berbuat apa-apa, ya.. saya bersyukur sudah diberi anak, walaupun cuman satu.. itulah rencana Tuhan sama saya“. c. Berusaha melupakan atau mengalihkan perhatian Usaha lain yang dilakukan partisipan dalam menghadapi kondisi infertilitas sekunder adalah dengan melupakan atau mengalihkan perhatian. Tindakan ini diakui oleh keenam partisipan isteri untuk meringankan beban yang ada. Partisipan I Ist “Tetap semangat mengurus anak saya, terutama dalam hal belajar, karena saya lihat kecerdasan anak saya lebih menonjol dari teman-teman sebayanya dan gurunya disekolah juga bilang, kalo daya tangkap anak saya lebih cepat dibanding anak-anak lain “. Partisipan II Ist “Yah saya tetap semangat…jadi walaupun anak saya cuman satu yang penting kebutuhan dia bisa saya penuhi dan perhatian saya bisa lebih terfokus sama dia, saya bisa lebih mengatur dan mengurus dia“. Berusaha melupakan atau mengalihkan perhatian juga dilakukan oleh keenam partisipan suami pada pasangan infertilitas sekunder seperti pernyataan berikut ini : Partisipan II S ‘’Untuk mengalihkan perasaan saya, kebetulan saya punya hobby mancing, yah saya pergi saja mancing‘’. Partisipan VI S ‘’Saya hanya terus berusaha gimana supaya anak saya ini bisa sekolah sampai sarjana’’. Partisipan I S “Tetap fokus bekerja untuk masa depan si anak, karena saya perhatikan kecerdasan anak saya lebih menonjol dibanding anak-anak seusianya, yang membuat saya terpacu untuk bekerja”. d. Menceritakan masalah kepada orang lain keluarga Menceritakan atau mengungkapkan perasaan kepada orang lain adalah salah satu hal yang sering di lakukan oleh pasangan pasangan infertilitas sekunder. Umumnya pasangan menceritakan masalahnya kepada orang-orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka atau yang dianggap bisa dipercaya. Keenam partisipan isteri mengungkapkan perasaan mereka kepada orang lain yang senasib dengan mereka ataupun keluarga yang terdekat. Hal ini seperti diungkapkan oleh partisipan isteri pasangan infertilitas sekunder. Partisipan II Ist “Mereka bilang sama saya, satu kan udah ada anakmu, gimana pula dengan orang yang belum punya anak sama sekali dan ada pula yang sampe mengangkat anak lagi.. tapi mereka bahagianya ga apa-apalah anakmu satu yang penting bisa kau atur, apalagi kalo udah besar nanti dia berhasil“. Partisipan VI Ist “Kalo kakak saya pernah bilang sama saya, gak apa-apalah itu satu anakmu, bersyukurlah.. daripada orang lain itu pengen punya anak tapi belum ada juga’’ Sedangkan menurut suami dari pasangan infertilitas sekunder, bercerita dengan teman merupakan salah satu upaya yang dilakukan. Dua partisipan suami menyatakan hal yang sama, seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut : Partisipan II S “Kebetulan teman-teman yang sekantor dengan saya banyak juga yang hanya punya anak satu… mereka bilang sama saya’’ gak apa-apalah anak kita satu, yang penting bisa kita sekolahkan setinggi-tingginya, lagi pula syukur kita diberi anak satu, gimana pula dengan yang lain yang belum juga punya anak sama sekali “. Partisipan I S “Banyak juga teman-teman yang punya empat atau lima orang anak kadang- kadang mengeluh juga, karena dilihat dari perkembangan zaman sekarang ini semua serba susah.. yah pening jugalah kata mereka gitu’’ 3. Harapan para pasangan infertilitas sekunder Setiap orang pasti punya harapan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang mereka alami. Ada beberapa harapan yang diungkapkan oleh pasangan infertilitas sekunder untuk masa depan anak mereka walaupun hanya satu orang anak saja. Keenam partisipan isteri menyatakan harapan mereka seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut ini : Partisipan II Ist “Seandainya anak saya hanya satu ini saja, harapan saya nantinya anak saya ini lebih bisa dari kami…’’ Partisipan III Ist “Harapan saya ya, saya akan tetap berusaha semampu saya untuk menyekolahkan anak saya sampai setinggi-tingginya, supaya hidupnya nantinya tidak sama seperti kami ini “. Sedangkan harapan dari pihak suami atas kondisi yang mereka alami, seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut ini : Partisipan V S “Saya akan berusaha semampu saya untuk menyekolahkan anak saya setinggi- tingginya.. itulah harapan saya “. Partisipan III S “Meskipun anak aku hanya satu saja dikasi Tuhan, aku tetap bersyukur dan harapan aku nantinya anakku ini bisa jadi orang dan dia akan aku sekolahkan sampai setinggi-tingginya…juga sebagai orang tua maunya aku panjang umur lah biar kulihat dia nanti sampai berumah tangga..’’.

E. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian ini berdasarkan literatur yang berhubungan dengan kecemasan pasangan usia subur terhadap infertilitas sekunder yang meliputi reaksi pasangan terhadap infertilitas sekunder, dampak perubahan psikologis akibat infertilitas sekunder, kemampuan mengatasi masalah, harapan para pasangan infertilitas sekunder. 1. Reaksi pasangan terhadap infertilitas sekunder Pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sekunder sering kali mengalami perasaan tertekan terutama wanita yang pada akhirnya jatuh kepada keadaan depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan, sebagai salah satu stresor utama yang dapat mempengaruhi konsep diri, hubungan dengan pasangan, keluarga juga teman-teman. Pasangan sering kali membutuhkan bantuan untuk memisahkan konsep mereka terhadap keberhasilan dan kegagalan yang mereka alami, setelah berhasil memperoleh keturunan sebelumnya. Mengenali infertilitas sekunder sebagai sebuah kegagalan dan bagaimana mengatasi perasaan setiap pasangan yang mengalaminya, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menempatkan masalah infertilitas sekunder kedalam suatu perspektif Bobak, dkk, 2005 . Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan infertilitas sekunder di Dusun XI Desa Pasar Melintang Kecamatan Lubuk Pakam, ditemukan bahwa reaksi setiap pasangan terhadap infertilitas sekunder yang sering terjadi antara lain : a. Cemas Dari hasil penelitian partisipan mengatakan adanya rasa cemas sehubungan dengan kondisi yang mereka alami. Keenam partisipan istri mengatakan rasa cemas yang mereka rasakan karena usia yang sudah beresiko untuk hamil, semakin tambah usia maka rasa cemas mereka juga bertambah. Hal ini sesuai dengan Penelitian kedokteran yang menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin dan kadar Lutheinizing Hormon LH berhubungan erat dengan masalah psikis. Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat menganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang berpengaruh terhadap ovulasi Kasdu,2001. Perasaan cemas yang dialami oleh pasangan infertilitas sekunder dalam hal ini karena faktor usia pada pasangan tersebut sudah beresiko untuk hamil dan melahirkan. Kasdu 2001 menyatakan bahwa faktor usia sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita. Seiring dengan bertambahnya usia maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel telur akan mengalami penurunan. Penelitian menunjukkan bahwa