Identifikasi Potensi Bahaya Dengan Pendekatan HIRARC (Hazard Identifications, Risk Assessment And Risk Control) Pada Pekerja Cenex Plant Di PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk Pabrik Bunut Kisaran Tahun 2016

(1)

LAMPIRAN 1


(2)

LAMPIRAN 2


(3)

LAMPIRAN 3

Struktur Organisasi Perusahaan PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk Area Sumut 1

*Dalam masa transisi posisi Direktur Keuangan kosong, hal-hal berkaitan dengan lenders ditangani oleh BB restructuring team


(4)

LAMPIRAN 4


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Ini 5 Negara Produsen Karet Terbesar Di Dunia. Direktoral Jendral Industri Agro. 17 Maret 2016 : http:/agro.kemenprin.go.id/1567-Ini-5-Negara-Produsen-Karet Terbesar-Di-Dunia.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jakarta.

Erwin. Risiko Kecelakaan Kerja. 21 Januari 2016 ;

https://erwinazizijayadipraja.wordpress.com/2013/09/07/risiko-kecelakaan-kerja/.

Fil Socrates, M. 2013. Skripsi Analisis Risiko Keselamatan Kerja Dengan Metode HIRARC Pada Alat Suspension Preheater Bagian Produksi Di Plant 6 Dan 11 Field Citeureup PT. Indocement Tunggal Prakarsa.Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. 29 Januari 2016 : http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26507/1/MUHA MMAD%20FIL%20SOCRATES-FKIK.pdf.

Lexy, J. Moleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi Cetakan 29, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mateus. 2012. Laporan Analisis Dan Penerapan HIRARC Pada Aktivitas Drilling Dan Blasting Di PT. Telen Orbit Prima Site Buhut Kalimantan Tengah.Universitas Sebelas Maret.

Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

Puspitasari, Nindya. 2010. Hazard Identifikasi Dan Risk Assessment Dalam Upaya Mengurangi Tingkat Risiko Di Bagian Produksi PT. Bima Guna Kumia Ungaran Semarang.Universitas Sebelas Maret. 4 Februari 2016 : http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/10313.

Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam Perspektif K3 OHS Risk Management, Jakarta : Dian Agung.

Ramli, Soehatman. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001, Edisi Kedua, Jakarta : Dian Agung.

Sugandi, Didi. 2003. Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan Kerja Dalam Hieperkes Dan Keselamatan Kerja Bunga Rampai Hieperkes & KK, Edisi kedua, Semarang : Universitas Diponegoro.


(11)

Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (Hieperkes), Jakarta : CV. Sagung Seto.

Supriyandi, Agung. Data & Fakta K3 di Indonesia. 24 Januari 2016 ; http://katigaku.com/2014/08/24/infografik-data-dan-fakta-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-di-indonesia/.

Suryowati, Estu. BPJS, Jumlah Kecelakaan Kerja Turun. 21 Januari 2016

;http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/2943/Angka-Kasus-Kecelakaan-Kerja-Menurun.html.

Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Surakarta. Harapan Press. Tim Penulis PS. 1999. KARET: Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya

dan Pengolahan, Jakarta : Penebar Swadaya.

Undang-Undang RI No 1 Tahun 1970 Mengenai Keselamatan Kerja.

Wijaya, Albert dkk. 2015. Evaluasi Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Dengan Metode HIRARC Pada PT. Charoen Pokphand Indonesia. Jurnal Titra. Vol 3. No 1. Hal. 30. 7 Februari 2016 : http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/teknik

industri/article/download/2979/2684.

Wikipedia. Lateks. 17 Maret 2016 : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lateks. Zamani, Wildan. Unnes Journal of Public Health : Identifikasi Bahaya

Kecelakaan Unit Spinning I Menggunakan Metode HIRARC di PT. Sinar Pantja Djaja. ( Jurnal Elektronik) diakses 12 April 2016 ; http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph.

Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet, Karya Tulis Ilmiah. Medan: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penggunaan metode penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang identifikasi bahaya kecelakaan kerja dengan menggunakan metode HIRARC di proses pembuatan lateks pekat/ Centrifuged Lateks di PT.Bakrie Sumatera Plantations,Tbk. Studi deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk Pabrik Bunut, berlokasi di Kelurahan Bunut, Kecamatan Kota Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

3.2.2 Waktu Penelitian


(13)

3.3 Objek Penelitian

Objek yang diteliti adalah pekerja saat melakukan pekerjaannya, peralatan yang digunakan saat proses produksi, atau mesin di lingkungan sebagai sumber bahaya dari proses pengolahan lateks pekat yang dimulai dari penerimaan bahan baku lateks kebun dipabrik, proses pengolahan, proses penyimpanan produk lateks pekat hingga proses pengiriman.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang dipergunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Suharsimi Arikunto, 2013). Instrumen pada penelitian ini adalah lembar HIRARC, lembar checklist untuk menganalisa potensi bahaya dan media foto untuk membantu dalam proses analisa potensi bahaya.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

Data Primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara bebas. Wawancara bebas yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat data yang ingin dikumpulkan tanpa membawa pedoman yang akan ditanyakan (Suharsimi, 2013). Narasumber dari wawancara adalah pekerja, mandor, teknisi mesin, pembimbing lapangan dan kepala QHSE (Quality Health Safety and Environment).

Teknik pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan terbuka, yaitu pengamatan yang mana keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang diteliti


(14)

dan subjek memberikan kesempatan pada pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan (Moleong, 2011). Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengamati seluruh potensi bahaya yang berisiko mengakibatkan kecelakaan kerja pada saat pekerjaan itu dimulai hingga berakhir. Hal yang menjadi fokus pengamatan yakni pada instruksi kerja, serta kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari dokumen perusahaan PT. Bakrie Sumatera Plantations,Tbk dan hasil penelitian yang berkaitan dengan HIRARC. Dokumen yang digunakan pada penelitian ini adalah data kecelakaan perusahaan, data jumlah karyawan dan data hasil pemeriksaan hiperkes untuk melihat keadaan lingkungan kerja seperti hasil pemeriksaan pencahayaan, kebisingan, suhu ruangan dan lainnya sebagai indikator untuk mengisi lembar checklist yang selanjutnya akan dibandingkan dengan standart faktor fisik yang telah ditentukan Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

3.6 Definisi Istilah

1. Tempat Kerja : Ruangan tertutup dan terbuka dimana dilakukan proses pekerjaan dalam proses pembuatan lateks pekat.


(15)

2. Aktivitas Kerja Rutin : Aktivitas yang dilakukan setiap hari kerja mulai dari penerimaan bahan baku lateks, penerimaan bahan baku, proses pembuatan lateks pekat hingga penyimpanan lateks pekat. 3. Aktivitas Non Rutin : Aktivitas yang dilakukan pada waktu tertentu

misalnya proses pelilinan tangki yang dilakukan yang dilakukan 3 bulan sekali.

4. Sumber Bahaya : Kondisi faktor kimia, fisik, dan ergonomi yang dapat merugikan pekerja pada proses produksi pembuatan lateks pekat.

5. Identifikasi Bahaya : Mengenal adanya potensi bahaya pada proses kerja pembuatan lateks pekat.

6. Penilaian Risiko : Proses penilaian kemungkinan terjadinya kecelakaan dan tingkat keparahan yang ditimbulkan pada pembuatan lateks pekat sehingga didapat tingkat risiko.

3.7 Metode Pengolahan Data

Data diolah menggunakan HIRARC (Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control). Pengolahan data dengan metode HIRARC diawali dengan:


(16)

2. Melakukan identifikasi risiko pada setiap langkah kerja, pengendalian yang telah ada, undang-undang serta peraturan yang berlaku dan terkait dengan proses identifikasi tersebut.

3. Melakukan penilaian risiko untuk mengetahui tingkat bahaya dari pekerjaan tersebut. Melakukan penilaian risiko meliputi penentuan probabilitas terjadinya suatu risiko (occurrence/likelihood) dan penentuan tingkat keparahan jika risiko tersebut menjelma menjadi kecelakaan kerja (severity). Penentuan likelihood dan severity dilakukan dengan cara wawancara (data kualitatif) untuk memperoleh nilai likelihood dan nilai severity. Melakukan perhitungan score risiko dengan rumus :

Risk rating = likelihood x severity 3.8 Metode Analisis Data

Analisa data dimulai dengan menghitung nilai risiko yang diperoleh dari hasil perkalian likehood dan severity, sehingga diperoleh risk rating yang terdiri dari 4 kategori yaitu kategori Extreme Risk, High Risk, Moderat Risk dan Low risk untuk melihat apakah nilai tersebut masih bisa diterima atau tidak dan apakah perlu penanganan lain untuk mengurangi risiko tersebut sampai pada batas yang bisa diterima pekerja.


(17)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1 Profil Perusahaan

PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk (PT. BSP) merupakan Perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bergerak di bidang usaha perkebunan dan pengolahan karet dan sawit. Bunut Rubber Factory merupakan pabrik bagian dari PT. BSP yang mengolah karet dari bahan baku berupa lateks, getah mangkok (cup lump), lateks yang dibekukan (coagulum) dan getah tarik (tree lace) menjadi barang setengah jadi sebagai bahan baku industri ban, sepatu, peralatan medis, jok, pakaian dan lain sebagainya.

PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk. berdiri pada 17 Mei 1911 dengan nama NV Hollandsch Americansche Plantage Maatschappij (NV. H.A.P.M.), yang merupakan milik USA. Pada tahun 1941, rumah sakit didirikan untuk karyawan perkebunan HAPM berlokasi di kebun Tanah Raja, Kisaran dan diberi nama Chartarina Hospital. Kemudian pada tahun 1930 sebuah paviliyun dibangun untuk tempat para staf dan keluarganya yang sakit diopname dan namanya Rumah Sakit Atas. Selanjutnya pada tahun 1965 sewaktu manajemen dipegang oleh pemerintahan Republik Indonesia, nama Chartarina Hospital diubah menjadi Rumah Sakit Ibu Kartini (RSIK).


(18)

Perusahaan ini sempat diambil alih oleh Pemerintah Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun sejak pada Maret 1942, dan berganti nama menjadi Noyen Kanri Kyoku. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, perusahaan diambil alih oleh pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) dan kembali mengalami perubahan nama menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Republik Indonesia Cabang IV (PPN RI Cabang IV). Belanda menjual semua sahamnya kepada Amerika pada 8 Februari 1957, lalu perusahaan berganti nama menjadi United States Rubber Sumatera Plantations (USRSP). Pada tanggal 2 Maret 1965 manajemen USRSP dipegang oleh pemerintah Republik Indonesia dan berganti nama menjadi perusahaan Ampera II, lalu diganti lagi menjadi Perusahaan Perkebunan Karet XVIII (PPN Karet XVIII).

Manajemen perusahaan diserahterimakan pada 30 Oktober 1966 kepada PT. USRSP, dan pada 30 Juli 1970, nama perusahaan berganti menjadi PT. Uniroyal Sumatera Plantations dan memperoleh status Penanaman Modal Asing (PMA) dengan izin kepemilikan tetap berada pada Uniroyal Inc. Melalui Bakrie and Brothers Group, PT. Uniroyal Sumatera Plantations dipercayakan kepada pemerintah RI dengan menjual seluruh sahamnya pada 21 April 1986. Perusahaan berganti nama menjadi PT. United Sumatera Plantations, yang disahkan oleh Menteri Kehakiman yang saat itu dijabat Bapak Ismail Saleh. Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 25 Juni 1992, untuk menyesuaikan dengan nama induk perusahaan, nama PT. United Sumatera Plantations diganti menjadi PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk.


(19)

PT. Bakrie Sumatera plantations, Tbk, pabrik Bunut, berlokasi di Kelurahan Bunut, Kecamatan Kota Kisaran barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Bunut terletak ± 8 km dari pusat kota Kisaran dan memerlukan waktu tempuh ± 10 menit. PT. BSP, Tbk memiliki area perkebunan yang terbesar di beberapa daerah yaitu Tanah Raja Estate (mempunyai empat divisi), Sei Baleh Estate (mempunya 5 divisi), Gurach Batu Estate (mempunyai 6 divisi), Kuala Piasa Estate (mempunyai 1 divisi), Aek Salabat Estate ( mempunyai 4 divisi), dan Serbangan Estate (mempunyai 6 divisi).

Tanah milik PT. BSP,Tbk meliputi area perkebunan dan pemakaian tanah yang lain. Tanah yang bukan areal perkebunan tersebut adalah sebagai tempat didirikannya sarana/prasarana dan fasilitas pendukung seperti pabrik pengolahan karet/lateks kebun, dilengkapi dengan laboratorium mini dan quality control. Kompleks perumahan karyawan dan staf dilengkapi dengan fasilitas olah raga yaitu lapangan golf dan lapangan sepak bola, sarana peribadatan (mesjid,gereja), sarana pendidikan, sarana hiburan, sarana kesehatan (Rumah Sakit Ibu Kartini) dan kantor besar sebagai kantor pusat PT. BSP, Tbk yang berlokasi di Kisaran.

Selain di Kisaran, kompleks perumahan karyawan dan staf PT. BSP, Tbk juga banyak didirikan di beberapa daerah yaitu di Sei Balek, Tanah Raja, Gurach Batu, Serbangan, Kuala Piasa, Aek Salabat, dan lain-lain. Artinya setiap areal perkebunan (estate) didirikan komplek perumahan karyawan dan staf PT. BSP, Tbk. Dengan adanya komplek perumahan pada setiap estate akan memberikan


(20)

kemudahan pada karyawan dan staf PT. BSP, Tbk untuk bekerja di estate mereka masing-masing karena jaraknya relatif dekat.

4.1.2 Visi dan Misi Perusahaan

A. Visi Perusahaan

Menjadi perusahaan agrobisnis terintegrasi nomor satu dan paling dikagumi di Indonesia.

B. Misi Perusahaan

Mengembangkan dan menjaga kesinambungan kesejahteraan komunitas dengan melakukan ekstraksi penciptaan nilai optimal melalui kegiatan operasi yang ramah lingkungan dan memanfaatkan keahlian kunci dalam operasi multi tanaman dan operasi global.

4.1.3 Strukstur Organisasi

Struktur organisasi merupakan susunan yang terdiri dari fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan yang menyatakan keseluruhan kegiatan untuk mencapai suatu sasaran. Secara fisik struktur organisasi dapat dinyatakan dalam bentuk gambaran (bagan) yang memperlihatkan hubungan unit-unit organisasi dan garis-garis wewenang yang ada. Penggambaran organisasi dalam suatu bagan merupakan hasil keputusan yang telah dicapai tentang struktur organisasi yang bersangkutan.


(21)

Struktur organisasi PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk. – Bunut Rubber Factory adalah berbentuk lini dan fungsional. Hubungan lini karena pembagian tugas dilakukan dalam bidang atau area pekerjaan dengan pimpinan tertinggi dipegang oleh Manager. Selain itu perusahaan juga menggunakan struktur organisasi berbentuk fungsional, yang berarti pembagian tugas juga dilakukan berdasarkan fungsi-fungsi yang membentuk hubungan fungsional. Struktur organisasi PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk. – Bunut Rubber Factory dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4.

4.1.4 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Pengendalian Risiko serta Lingkungan.

Adapun kebijakan perusahaan yang dirancang oleh QHSE (Quality Health Safety and Environment) di PT. BSP, Tbk yang wajib dipahami oleh setiap personil yang berada di dalam lingkungan perusahaan adalah sebagai berikut:

1. Pimpinan dan karyawan PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk percaya bahwa mutu, lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah tanggung jawab setiap orang.

2. Sebagai suatu tim berusaha menjadi yang terbaik dalam hal mutu, teknologi produk, harga dan waktu penyerahan untuk memenuhi kepuasan pelanggan dan secara konsisten melakukan pengelolaan lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam seefisien mungkin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan kecelakaan kerja dalam kegiatan operasionalnya terutama pada pemanenan dan pasca panen untuk komoditi karet dan kelapa sawit.


(22)

3. Mempunyai komitmen mematuhi peraturan perundang-undangan, dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan produk, lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan melaksanakan perbaikan berkelanjutan agar sistem manajemen tersebut lebih efektif. Hal ini akan membuat PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk menjadi tokoh terdepan dalam menghasilkan karet alam dan palm oil.

4.1.5 Jam Kerja dan Jumlah Tenaga Kerja

a. Jam Kerja

Pekerja bekerja dari hari senin hingga sabtu dengan masing- masing jam kerja 7 jam/hari. Jam kerja pada waktu libur apabila diperlukan, dihitung sebagai lembur. Rotasi shift kerja dilakukan satu kali seminggu. Kerja lembur hanya bisa dilakukan pada hari Sabtu maksimal 2 jam.

Pembagian kerja yang diberikan kepada karyawan di PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk dibagi menjadi sebagai berikut :

Tabel 4.1 Jam Kerja di Pabrik Cenex PT. Bakrie Sumatera Plantations

Hari Waktu Keterangan

Senin-Jum’at Shift pagi

Shift sore

Shift malam

Sabtu

06.30 - 09.30 WIB 09.30 - 10.00 WIB 10.00 - 14.00 WIB 14.00 - 18.00 WIB 18.30 - 19.30 WIB 19.30 - 22.00 WIB 22.00 - 01.30 WIB 01.30 - 02.00 WIB 02.00 - 06.30 WIB 06.30 – 12.00 WIB

Jam kerja Jam istirahat Jam kerja Jam kerja Jam istirahat Jam kerja Jam kerja Jam istirahat Jam kerja Jam kerja


(23)

b. Tenaga Kerja

Jumlah tenaga kerja pada proses pembuatan lateks pekat yakni sebanyak 43 orang. Setiap shift terdiri dari 8 orang dengan masing-masing tugas yakni, 1 orang mandor, 1 orang operator, dan 6 orang pencucian blow disk. Selebihnya punya tugas masing-masing hanya pada shift pagi yaitu, 2 orang cuci talang, 2 orang ambil sampel, 1 orang kebersihan, 1 orang cuci RT, 3 orang bersihkan tangki PJKA, 1 orang pembuat larutan kimia, 2 orang cuci blowcase, 2 orang bertanggung jawab pada compressor, 1 orang cuci botol, 1 orang cuci pipa dan selang, dan 3 orang untuk bongkar lateks. Pendidikan para pekerja dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA). Umur pekerja rata-rata 30-50 tahun.

c. Pemeriksaan Kesehatan

Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1970 tentang “ Keselamatan Kerja” pada pasal 8 bahwa pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerjanya. Di antaranya pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja ditujukan agar pekerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga kerja lainnya, dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan dan tenaga kerja yang lainnya dapat dijamin. Pemeriksaan kesehatan awal atau sebelum kerja meliputi pemeriksaan fisik


(24)

lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bila mungkin) dan laboratorium, serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu.

Pemeriksaan kesehatan berkala dimaksudkan untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaanya, serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha pencegahan. Pemeriksaan kesehatan berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bila mungkin) dan laboratorium, serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu. Pemeriksaan kesehatan berkala sekurang-kurangnya dilakukan 1 kali dalam 1 tahun.

Pemeriksaan khusus untuk menilai adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja. Pemeriksaan kesehatan di PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk dilakukan 1 kali dalam setahun yaitu antara bulan Maret-April dengan mengambil sampel pada pekerja yang bekerja dengan risiko tertinggi saja. Pemeriksaan yang dilakukan oleh PT.Bakrie Sumatera Plantations,Tbk adalah :

1. Pengukuran intensitas kebisingan 2. Pengukuran iklim kerja

3. Pengukuran intensitas penerangan 4. Pengukuran getaran seluruh tubuh

5. Pengukuran kualitas udara lingkungan kerja 6. Pengukuran intensitas pendengaran


(25)

8. Pengukuran cholinesterase dalam darah

4.2 Proses Kerja Pengolahan Cenex ( Centrifuged Latex ) 4.2.1 Bahan yang digunakan

Bahan baku yang digunakan adalah lateks kebun dan bahan tambahan sebagai berikut:

 Kadar ammonia (NH3) adalah 0,78% OTW (On Total Weight).

 DAP (Diammonium Phospat Solution) 14% sebanyak 1,3 kg/ton lateks untuk menurunkan kadar non karet seperti magnesium dan kapur serta air.  TZ (Tizen) Dispersion solution 50% sebanyak 0,5kg/ton berat bersih lateks

kebun lateks untuk mencegah bakteri berkembang.

 Lauric Acid (LA) solution 10% sebanyak 2cc/kg concentrated latex. Hasil dari produk yang dihasilkan oleh pabrik lateks pekat yaitu Concentrated Latex NC405 dan NC411.

4.2.2 Proses Kerja Pengolahan Cenex ( Centrifuge Latex )

Kegiatan pembuatan lateks pekat (Centrifuged Latex/Cenex) di PT. Bakrie Sumatera Plantations,Tbk memiliki tahapan proses sebagai berikut :

1. Tahapan Persiapan

a. Pencucian Botol Sampel

Botol yang digunakan untuk mengambil sampel lateks terlebih dahulu di cuci dan dikeringkan sebelum digunakan yang selanjutnya sampel akan dibawa ke laboratorium. Botol sampel yang dicuci setiap harinya berjumlah 20-30 botol.


(26)

Gambar 4.1 Pekerja saat mencuci botol sampel

b. Pembersihan Receiving Tank, Lantai/Area Kerja

Pembersihan area kerja dilakukan setiap pagi sebelum lateks kebun datang pada siang hari. Kegiatan pembersihan terdiri dari pembersihan pipa/selang, cuci receiving tank, cuci lantai dan cuci talang.

c. Pelarutan Bahan Kimia

Bahan kimia yang dilarutkan yaitu DAP (Diammonium Phospat Solution) 10% ,TZ Dispersion solution 50% dan Lauric Acid dengan cara mencampurkan air dan bubuk kimia dimasukan kedalam wadah yang kemudian akan diaduk oleh mesin. Pelarutan bahan kimia dilakukan sesuai dengan kebutuhan/ lateks kebun yang akan diproduksi.


(27)

2. Penerimaan Bahan Baku Lateks/Lateks Kebun

a. Penimbangan dan Pengambilan Sampel

Lateks yang diangkut dari kebun ke pabrik dengan menggunakan truck tank sesampainya di pabrik dilakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan digital yang berkapasitas 20 ton untuk mengetahui berapa ton yang dibawa dari kebun ke pabrik. Kemudian diambil sampelnya untuk mengetahui persen DRC-nya (Dry Rubber Content).

b. Pembongkaran Lateks

Kemudian lateks dialirkan ke dalam Receiving Tank (RT) yang berjumlah 4 buah dengan kapasitas masing-masing 40 ton. Pengaliran lateks dengan cara memasangkan pipa dari truk tangki yang dihubungkan ke RT. Di truk tangki bagian belakang di pasang pipa yang akan mengalirkan tekanan udara sehingga lateks dapat mengalir di pipa pengaliran ke RT. Resiko yang dapat terjadi pada saat pengaliran lateks ke RT adalah cedera, patah tulang akibat terjatuh dari truk tangki pada saat pemasangan selang tekanan udara, terluka akibat tertimpa pipa, patah tulang akibat terjepit ban belakang truk pada saat mengganjal ban belakang truk dan meledaknya mesin compressor.


(28)

Gambar 4.2 Proses pengaliran lateks dari truck tangki ke Receiving Tank.

3. Pengolahan di Pabrik

a. Penambahan Larutan Kimia ke RT

Di dalam RT ini lateks di tambahkan asam laurat sebanyak 0,5 cc/ton dan DAP (Diammonium Phospat) 1,3 kg/ton dan Lauric Acid (LA) solution 10% sebanyak 2cc/kg concentrated latex. Resiko yang dapat terjadi pada saat penambahan bahan kimia di receiving tank adalah iritasi, keracunan akibat terpajan bahan kimia dan cedera akibat terjatuh dari bak receiving tank.


(29)

Gambar 4.3 Pekerja menambahkan zat kimia ke Receiving Tank

Kemudian lateks tersebut diendapkan selama 2 jam di dalam receiving tank. Setelah diendapkan selama 2 jam untuk menurunkan kadar Magnesium, kapur dan air, lateks kemudian dialirkan melalui float resulted ke separator.

b. Pengolahan Lateks dengan Mesin Separator

Di dalam separator, lateks diolah selama ± 2 ½ jam. Separator yang digunakan berjumlah 23 buah dengan 2 buah sebagai cadangan. Separator yang digunakan mempunyai kapasitas 300-320 kg/jam berputar dengan kecepatan tinggi yakni, 7200 rpm. Alat separator ini berfungsi untuk memisahkan lateks kebun dari kotoran dan material lain dengan menggunakan gaya sentrifugal. Sehingga lateks yang diperoleh menjadi lebih pekat (konsentrasi tinggi). Resiko


(30)

yang dapat terjadi pada saat pengoperasian mesin separator adalah, cedera akibat terjadinya pecah body mesin dan lantai yang licin karena pencucian lantai yang selalu dilakukan.

Gambar 4.4 Mesin Separator

c. Pencucian Blow Disk

Untuk mengendalikan persen konsetrasi digunakan skim screw. Skim screw pada separator berfungsi sebagai pengaturan persen konsentrasi lateks. Dimana skim screw yang pendek akan menghasilkan persen konsentrasi yang lebih tinggi begitu juga sebaliknya. Fraksi karet yang telah terbentuk disebut dengan concentrated lateks (cenex) yang berada pada lapisan atas di dalam bowl pada separator dan akan mengalir ke corong cenex dan dialirkan ke blending tank dan akhirnya masuk ke dalam blow case. Fraksi skim yang berada di lapisan bawah bowl akan mengalir ke corong skim dan kemudian kita alirkan ke dalam bak skim. Sedangkan padatan non karet yang disebut dengan sludge (kapur)


(31)

terperangkap didalam ruangan distributor. Kemudian bowl tersebut harus dibersihkan setiap 2,5 jam operasi. Resiko yang dapat terjadi pada saat pencucian bowl disk adalah luka gores akibat terkena bowl disk dan iritasi kulit akibat terpajan bahan kimia pada tangan.

Gambar 4.5 Pekerja saat mencuci bowl disk

d. Pengaliran ke Blending Tank

Setelah selesai diolah di separator, cenex dialirkan ke blending tank. Pada blending tank tersebut diadakan penambahan chemical yaitu Lauric acid (LA) solution 10% sebanyak 2cc/kg concentrated latex serta penambahan gas NH3 (Amonia) berkisar antara 0,70%-0,84% on total weight bergantung kepada kebutuhan amoniak terakhirnya. Resiko yang terjadi adalah gangguan fungsi paru, iritasi akibat emisi gas NH3.


(32)

Gambar 4.6 Blending Tank

e. Penyimpanan Sementara di Blow Case

Setelah ditambahkan semuanya, maka lateks pekat tadi dialirkan kedalam blow case. Lateks di blow case selama kurang lebih 8 jam. Dimana bertujuan untuk menimbulkan lateks dan meratakan lateks agar kadar DRC (Dry Rubber Content) dan TSC (Total Solid Content ) nya seimbang begitu juga dengan kadar ammoniaknya. Dan juga dilihat apakah lateks tersebut masih encer atau sudah kental, atau terlalu encer apa tidak, kalau masih terlalu encer maka ditambah lagi dengan bahan pengendapnya, atau kalau terlalu kental maka akan ditambahi lagi ammonia solution agar lateks tersebut tidak begitu kental. Kadar karetnya harus minimal 60% dan kadar airnya minimal 40%, tidak berbau busuk, tidak berwarna biru atau abu-abu.


(33)

Gambar 4.7 Blow Case

Kemudian lateks tersebut dikirimkan tank yang berjumlah 3 buah dengan kapasitas ±100 ton. Apabila storage tank telah penuh maka lateks tersebut akan dikirim ke tangki penimbunan yang terdapat di Belawan.


(34)

4. Spesifikasi Peralatan yang Digunakan di Pabrik Cenex.

1. Receiving Tank

Fungsi : Untuk menampung lateks lapangan yang telah ditimbang sebelum dialirkan ke separator, berfungsi sebagai tempat pengendapan.

Jumlah : 4 Unit Kapasitas : 40 ton

Bahan : Dinding Semen

Dimensi : 630 cm x 315 cm x 220 cm 2. Kompresor

Fungsi : Untuk memompa lateks dari NGRR menuju receiving tank (RT) Jumlah : 1 unit

3. Centrifuge Separator

Fungsi : Untuk proses pemekatan lateks kebun menjadi lateks pekat Jumlah : 23 unit (9 unit Alva laval. 14 unit Westfalia)

Tabel 4.2 Spesifikasi Centrifuged Seperator

No Spesifikasi Keterangan Keterangan

1 Merek Alva laval Westfalia

2 Jumlah Bowl 112-115 120-125

3 Kapasitas 320 ltr/jam 300-320 liter/jam

4 Daya 15 HP/11 KW 15 HP/11 KW

5 Tegangan 380 V 380 V

6 Arus 15 A 15 A

7 Putaran 7200 rpm 7200 rpm

4. Blending tank

Fungsi : Untuk tempat pencampuran dalam penambahan Amoniak dan asam laurat ke dalam lateks pekat.


(35)

5. Blow case

Fungsi : Untuk meratakan TSC dan DRC dari lateks pekat sebelum di kirim ke Storage tank

Kapasitas : 16 ton Jumlah : 2 unit 6. Storage Tank

Fungsi : Untuk menyimpan lateks pekat sebelum dibawa/dipindahkan ke Belawan dengan NGGR

Kapasitas : 100 ton Jumlah : 3 unit

4.3 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko Pada Proses Pembuatan Lateks Pekat

Segala potensi bahaya yang terdapat pada proses pembuatan lateks pekat akan diidentifikasi dan selanjutnya akan diberikan penilaian untuk memberikan makna terhadap potensi bahaya tersebut serta untuk mengkategorikan potensi-potensi bahaya tersebut. Hal ini di perlukan untuk memilah mana potensi-potensi bahaya yang memilki dampak besar terhdap perusahaan dan mana yang tidak.


(36)

4.3.1 Tahap Persiapan

Tabel 4.3 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Persiapan

Keterangan : R : Rutin NR : Non Rutin Likehood (L)

1. ≥ 1 kejadian tiap tahun atau lebih 2. ≥ 1 kejadian setiap bulan

3. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap minggu 4. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap hari 5. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap shift

Severity (SS)

1. Tidak terjadi cidera, kerugian finansal sedikit 2. Cidera ringan, kerugian financial sedikit

3. Cidera sedang, perlu medis, kerugian financial besar

Identifikasi Bahaya Penilaian Risiko

NO Aktivitas Kerja R/ NR Sumber Bahaya Potensi Bahaya

Risiko L S RR

1.

Pencucian botol sampel

R Ergonomi 1. posisi duduk salah

Cidera punggung

2 1 L(dapat diterima) Botol 1. Botol pecah Cidera

ringan

1 2 L(dapat diterima) 2. Pembersihan

Receiving Tank/area kerja

R Lantai licin 1. terpeleset Cidera ringan

2 2 L(dapat diterima) Ergonomic 2. posisi kerja

yang salah

Musculous ketetal disorder’s (MSDS)

2 1 L(dapat diterima)

3. Pembuatan larutan kimia (TZ,

DAP,LA)

R Tangga curam

1.

terpeleset/jatuh

Cidera ringan

2 1 L(dapat diterima) Kimia 2. terpajan

(hidung, mata, kulit)

Gangguan pernafasan, iritasi kulit, iritasi mata


(37)

4. Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5. Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak luas, terhentinya seluruh kegiatan.

Risk Rating (RR)

E : Extreme Risk H : High Risk M : Moderate Risk L : Low Risk 4.3.2 Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks

4.4 Tabel Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks

Identifikasi Bahaya Penilaian

Risiko No Aktivitas

Kerja R/ NR Sumber Bahaya Potensi Bahaya

Risiko L S RR 1. Pengambilan

sampel lateks pada saat penimbangan

R Kerja di ketinggian (truk tangki)

1. Terjatuh Cidera ringan-sedang

1 2 L(dapat diterima)

2. Pembongkaran lateks ke Receiving tank

R Kerja diketinggian (truk tangki) sat

memasangkan pipa

compressor

1. Terjatuh Cidera rinagn-sedang

1 2 L(dapat diterima)

Pipa 2. Tertimpa pipa pada saat

memasang ke truk

Cidera ringan

1 2 L(dapat diterima)

Gagal Komunikasi

3. Terjepit ban truk saat mengganjal ban

Cidera ringan

1 2 L(dapat diterima)

Mesin Panas 4.

Compressor meledak

Cidera ringan-berat


(38)

Keterangan : R : Rutin NR : Non Rutin Likehood (L)

1. ≥ 1 kejadian tiap tahun atau lebih 2. ≥ 1 kejadian setiap bulan

3. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap minggu 4. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap hari 5. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap shift

Severity (SS)

1. Tidak terjadi cidera, kerugian finansal sedikit 2. Cidera ringan, kerugian financial sedikit

3. Cidera sedang, perlu medis, kerugian financial besar 4. Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5. Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak luas, terhentinya seluruh kegiatan.

Risk Rating (RR)

E : Extreme Risk H : High Risk M : Moderate Risk L : Low Risk


(39)

4.3.3 Tahap Pengolahan di Pabrik

4.5 Tabel Identifikasi Bahaya dan Penilaian pada Tahap Pengolahan di Pabrik

Identifikasi Bahaya Penilaian

Risiko NO Aktivitas

Kerja R/ NR Sumber Bahaya Potensi Bahaya

Risiko L S RR 1. Penambahan

larutan kimia (LA) di Receiving Tank

R Tangga curam

1. Terjatuh dari

ketinggian

Cidera ringan-sedang

1 2 L(dapat diterima) Kimia 2. Terpajan

larutan kimia

Iritasi kulit dan mata

1 3 M 2. Katrol untuk

mengangkat bowl

R Katrol 1. Tertimpa katrol

Cidera ringan

1 2 L(dapat diterima) 3. Pengoperasia

n mesin separator

R Mesin Panas

1. Pecah bodi mesin

Cidera ringan-berat

1 4 H

Fisik 2. Kebisingan Penurunan daya pendengar an

1 1 L(dapat diterima)

4. Pencucian bowl disk

R Bowl

Disk

1. Terkena disk

Luka gores

2 2 L(dapat diterima) 5. Penambahan

Kimia di blending tank

R Kimia 1. Terhirup NH3

Gangguan pernafasan

1 3 M

Keterangan : R : Rutin NR : Non Rutin Likehood (L)

1. ≥ 1 kejadian tiap tahun atau lebih 2. ≥ 1 kejadian setiap bulan

3. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap minggu 4. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap hari 5. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap shift

Severity (SS)

1. Tidak terjadi cidera, kerugian finansal sedikit 2. Cidera ringan, kerugian financial sedikit


(40)

3. Cidera sedang, perlu medis, kerugian financial besar 4. Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5. Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak luas, terhentinya seluruh kegiatan.

Risk Rating (RR)

E : Extreme Risk H : High Risk M : Moderate Risk L : Low Risk 4.3.4 Tahap Penyimpanan Produk Lateks Pekat

Tabel 4.6 Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Penyimpanan

Identifikasi Bahaya Penilaian

Risiko NO Aktivitas

Kerja R/ NR Sumber Bahaya Potensi Bahaya

Risiko L S RR 1. Pengambilan

sampel di storage

R Kerja di ketinggian

1.Terjatuh Cidera ringan-sedang

1 2 L(dapat diterima) 2. Pembersihan/

pelilinan blowcase dan storage

NR Fisik 1. Terkena lilin panas

Cidera ringan

1 2 L(dapat diterima) Kerja di

ruang sempit 2. Kekurangan O2 Sesak nafas

1 2 L(dapat diterima) Keterangan : R : Rutin NR : Non Rutin

Likehood (L)

1. ≥ 1 kejadian tiap tahun atau lebih 2. ≥ 1 kejadian setiap bulan

3. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap minggu 4. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap hari 5. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap shift


(41)

Severity (SS)

1. Tidak terjadi cidera, kerugian finansal sedikit 2. Cidera ringan, kerugian financial sedikit

3. Cidera sedang, perlu medis, kerugian financial besar 4. Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5. Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak luas, terhentinya seluruh kegiatan.

Risk Rating (RR)

E : Extreme Risk H : High Risk M : Moderate Risk L : Low Risk 4.3.5 Tahap Pengiriman Produk Lateks Pekat

Tabel 4.7 Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Pengiriman Produk Lateks Pekat

Identifikasi Bahaya Penilaian

Risiko NO Aktivitas

Kerja R/ NR Sumber Bahaya Potensi Bahaya

Risiko L S RR 1. Pembersihan/

pelilinan tangki perumka

NR Fisik 1. Terkena lilin panas

Cidera ringan

1 2 L(dapat diterima) Kerja di ruang sempit 1. Kekurangan O2 Sesak nafas

1 2 L(dapat diterima) Keterangan : R : Rutin NR : Non Rutin

Likehood (L)

1. ≥ 1 kejadian tiap tahun atau lebih 2. ≥ 1 kejadian setiap bulan


(42)

5. Terdapat ≥ 1 kejadian setiap shift Severity (SS)

1. Tidak terjadi cidera, kerugian finansal sedikit 2. Cidera ringan, kerugian financial sedikit

3. Cidera sedang, perlu medis, kerugian financial besar 4. Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5. Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak luas, terhentinya seluruh kegiatan.

Risk Rating (RR)

E : Extreme Risk H : High Risk M : Moderate Risk L : Low Risk


(43)

BAB V

PEMBAHASAN

Perusahaan telah melaksanakan identifikasi bahaya dan penilaian risiko serta menentukan langkah pengendaliannya, namun belum mengacu pada standart HIRARC yang baku seperti OHSAS dan AS/NZS (Australian and New Zealand Standart Associations) , maka dari itu peneliti melakukan identifikasi potensi bahaya pada pekerja pembuatan lateks pekat yang sesuai standart AS/NZS 4360 (2004). Berdasarkan hasil identifikasi potensi bahaya dan penilaian risiko yang dilakukan peneliti pada proses pembuatan lateks pekat masih terdapat beberapa aktivitas kerja yang masih berpotensi menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja dengan kategori potensi bahaya moderate dan high. Dari 5 tahapan kerja, teridentifikasi 23 sumber bahaya dan hasil risk assessment di dapat 18 kegiatan termasuk kategori low (78%), 3 kegiatan kategori moderate (13%), 2 kegiatan kategori high (9%).

Gambar 5.1 Persentase hasil risk rating 78%

13% 9%

Risk Rating

Low Moderate High


(44)

Dari hasil diatas diketahui sumber bahaya dengan risiko rendah (risiko yang dapat diterima), sehingga tidak perlu penanganan/pengendalian lebih lanjut. Maka dari itu, di penelitian yang dibahas adalah sumber bahaya dengan potensi moderate dan high.

Ditempat kerja pembuatan lateks pekat terdapat sumber bahaya yang beraneka ragam mulai dari kapasitas bahaya yang rendah hingga bahaya tinggi. Kita tidak dapat mencegah kecelakaan jika tidak dapat mengenal bahaya dengan baik dan seksama. Jenis bahaya diklasifikasikan menjadi beberapa macam yakni bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikologi. Dari risiko keselamatan yang telah diidentifikasi, risiko keselamatan kerja yang terdapat pada proses kerja pembuatan lateks pekat berdasarkan jenis bahaya keselamatan ditemukan beberapa jenis bahaya diantaranya :

1. Bahaya fisik, yaitu jatuh dari ketinggian, terpeleset ditempat kerja, penurunan daya pendengaran karena bising, dan dehidarasi ringan disebabkan tempat kerja yang panas. Suhu tempat kerja di pabrik cenex berdasarkan pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2016 adalah 27,2oC sedangkan suhu nyaman bagi orang Indonesia adalah 24-26 oC.

2. Bahaya kimia, yaitu gangguan pernafasan, iritasi kulit dan mata yang disebabkan penggunaan bahn kimia tanpa menggunakan alat pelindung diri.

3. Bahaya ergonomis, yaitu posisi kerja yang salah seperti terlalu membungkuk saat membersihkan area kerja/lantai.


(45)

5.1 Hasil Peniliaian Risiko dengan Metode HIRARC

5.1.1 Hasil HIRARC pada Tahap Persiapan

1. Pelarutan Bahan Kimia

Bahan kimia yang dilarutkan yaitu DAP (Diammonium Phospat Solution) 14% ,TZ Dispersion solution 50% dan Lauric Acid. Bahan kimia dalam bentuk bubuk , dimasukan ke dalam air yang sudah didihkan . Risiko yang ada pada kegiatan ini adalah iritasi mata, kulit dan gangguan pernafasan karena terciprat (larutan) dan terhirup bahan kimia (bubuk). Pada saat melarutkan bahan kimia pekerja sering tidak menggunakan alat pelindung diri lengkap yang sudah disediakan oleh perusahaan. APD yang disediakan oleh perusahaan yaitu sarung tangan karet, masker, respirator, kacamata pelindung ( protective goggles), safety helm dan sepatu karet, sementara pekerja hanya menggunakan sepatu karet saat bekerja oleh karena itu potensi bahaya diatas dapat mungkin terjadi. Kurangnya kesadaran pekerja tentang keselamatannya sehingga mereka tidak menggunakan APD saat bekerja. Berikut hasil kutipan wawancara kepada pekerja yang bertugas melarutkan bahan kimia :

“….uda biasa gak perlu pakai APD, ya kalau terciprat itu pernah kena mata…”(Pekerja A).

Berikut hasil kutipan wawancara dengan kepala QHSE :

“….diingatkan sudah agar selalu memakai APD, tapi ya nanti tidak dipakai lagi..”


(46)

Pada kegiatan ini dikategorikan moderat dengan nilai kemungkinan terjadinya kecelakaan yaitu diberi nilai 1 artinya kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat jarang terjadi dan untuk keparahan diberi nilai 3 artinya kecelakaan ini dapat menimbulkan cidera sedang dan perlu penanganan medis.

5.1.2 Hasil HIRARC pada Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks

1. Pengoperasian mesin compressor

Hasil dari observasi peneliti yang dilakukan di lapangan, diketahui bahwa sumber bahaya dari mesin compressor adalah panas dari mesin yang sudah tua, mesin digunakan selama pengaliran lateks bisa menyebabkan mesin panas dan meledak.

Berikut hasil kutipan wawancara dengan teknisi mesin :

“…iya memang sudah tua, jadi perlu perawatan ekstra, kalau ada rusak langsung diperbaiki kalau tidak bisa bahaya..”(Teknisi B)

Oleh karena itu peneliti memberikan nilai 1 untuk kemungkinan terjadi dan nilai 4 untuk keparahan nya dapat ditimbulkan. Kejadian peledakan mesin compressor memang jarang terjadi namun tingkat keparahan yang ditimbulkan dapat mengakibatkan cidera berat pada pekerja dan proses produksi dapat terganggu.

5.1.3 Hasil HIRARC pada Tahap Pengolahan di Pabrik


(47)

Pada saat menambahkan larutan kimia di receiving tank, larutan kimia ini memiliki potensi bahaya yang berisiko bagi para pekerja. Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja cenderung mengabaikan keselamatan kerja dengan tidak menggunakan APD lengkap karena kurangnya kesadaran pekerja akan keselamatan dirinya. Pihak dari pabrik juga kurang pengawasannya, sehingga pekerja menganggap jika tidak memakai APD tidak masalah. APD lengkap digunakan ketika ada inspeksi mendadak atau kunjungan dari orang luar pabrik. Pada kegiatan ini dikategorikan moderate risk dengan nilai kemungkinan terjadinya kecelakaan yaitu 1 dan nilai keparahan yang dapat ditimbulkan adalah 3.

2. Pengolahan Lateks dengan Mesin Separator

Pada saat pengoperasian mesin, durasi sangatlah penting untuk diatur. Pemaksaan terhadap kerja mesin hanya akan membuat mesin panas dan dapat meledak.

Berikut hasil kutipan wawancara dengan mandor :

“….iya pernah terjadi peledakan karena mesinnya panas, tapi sudah lama sekali dan menyebabkan luka gores pada pekerja..”(Mandor A)

Pada kegiatan ini diberikan nilai 1 untuk kemungkinan terjadinya karena peledakan mesin separator jarang terjadi dan untuk keparah yang dapat ditimbulkan diberikan nilai 4 karena dapat menyebabkan cidera berat dan kerugian besar serta gangguan produksi , sehingga dikategorikan high risk


(48)

3. Pengaliran Lateks ke Blending Tank

Setelah selesai diolah di separator, cenex dialirkan ke blending tank. Pada blending tank tersebut diadakan penambahan Lauric acid (LA) serta gas NH3 (Amonia). Pekerja selalu kebiasaan tidak menggunakan APD lengkap saat bekerja, mereka hanya menggunakan sepatu karet. Pada saat penamabahan ammonia ini APD yang perlu digunakan adalah kacamata, sarung tangan dan respirator mengingat bahan kimia ammonia target organ nya adalah kulit, saluran pernafasan dan mata. Oleh karena itu pada kegiatan ini dikategoriakn moderate risk karena keparahan yang ditimbulkannya dapat menimbulkan cidera sedang dan perlu penanganan medis yang tepat.

5.2 Hasil Periksa Tempat Kerja (Inspeksi K3 )

Inspeksi K3 yaitu identifikasi dan pengamatan terhadap kondisi peralatan, lingkungan kerja, prosedur kerja, dan perilaku pekerja di tempat kerja. Berikut hasil inspeksi di tempat kerja proses pembuatan lateks pekat (centrifuged lateks/cenex) :

1.Kebisingan di tempat kerja cenex masih dalam nilai ambang batas yaitu 73,6 dBA dibagian operator dan 83,7 dbA di bagian mesin separator. 2.Penerangan sudah cukup sesuai standar.


(49)

Namun terdapat beberapa permasalahan berupa tindakan tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe condition) yang membutuhkan perbaikan oleh P2K3 di PT. Bakrie Sumatera Plantations,Tbk antara lain:

1. Tindakan tidak aman (unsafe action) para pekerja antara lain:

a. Ketidakpatuhan pekerja dalam memakai Alat Pelindung Diri (APD). b. Sikap pekerja yang kurang serius (misalnya bekerja sambil merokok).

c. Masih ada pekerja yang tidak mematuhi symbol/rambu-rambu pada setiap ruangan.

2. Kondisi tidak aman (unsafe condition) di PT.BSP,Tbk antara lain :

a. Di dalam ruang produksi lantai masih licin karena lantai yang selalu basah akibat dari pencucian bowl disk.

b. Tangga di tempat kerja yang terlalu curam dan kecil.

c. Tempat kerja yang bau lateks dan NH3 karena kurangnya ventilasi.

5.3 Hambatan Manajemen dalam Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Kendala utama yang dimiliki oleh pihak manajemen dalam menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja terdapat pada buruh yang bekerja mengingat karakteristik pekerja dengan kategori pendidikan rendah membuat tantangan tersendiri bagi pihak manajemen terkhusus departemen HSE untuk menanamkan budaya keselamatan kerja. Pemahaman dan pengetahuan pekerja yang sangat minim mengenai risiko bahaya pekerjaan serat kesadaran akan keselamatan diri sendiri dalam bekerja menjadi poin penting untuk diperhatikan. Hal ini terjadi


(50)

karena Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang baru bagi mereka sehingga membutuhkan waktu untuk menanamkan pemahaman tentang keselamatan kerja serta menjadikannya sebagai budaya keselamatan kerja.

Menurut Dupont, budaya K3 adalah sebuah hasil dari nilai-nilai, persepsi, perhatian, kompetensi dan pola-pola perilaku individudan grup yang menunjukkan komitmen, cara, dan kemampuan dari sebuah manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dari sebuah organisasi. Singkatnya, budaya K3 ini mencerminkan tingkat keselamatan kerja seseorang ketika tidak ada orang yang mengawasi. Menurut Nusantara (2012) salah satu hambatan dalam menciptakan budaya keselamatan kerja tidak lain adalah hambatan social budaya, ini artinya budaya keselamatan di Indonesia masih kurang ditandai dengan adanya kesenjangan social budaya dalam bentuk rendahnya disiplin dan kesadaran masyarakat dalam masalah keselamatan kerja, perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya mengerti terhadap bahaya-bahaya yang terdapat dalam industri dengan teknologi canggih serta belum adanya budaya mengutamakan keselamatan di dalam masyarakat atau pekerja.


(51)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian di PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk pabrik Bunut bagian Cenex Plant didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada pembuatan lateks pekat terdapat 5 tahapan kerja, teridentifikasi 22 sumber bahaya dan hasil risk assessment di dapat 18 kegiatan termasuk kategori low (78%), 3 kegiatan kategori moderate (13%) dan 2 kegiatan kategori high (9%)

2. Potensi bahaya yang terdapat pada tahap persiapan yaitu pada kegiatan pembuatan larutan kimia.

3. Potensi bahaya pada tahap pembo ngkaran lateks yaitu peledakan mesin compressor.

4. Pada tahap pengolahan lateks di pabrik, kegiatan yang berisiko diantaranya :

a. Pemberian lauric acid di receiving tank berisiko terkena larutan kimia. b. Pengoperasian mesin separator yang dapat menyebabkan mesin panas dan

pecah body mesin.

c. Penambahan NH3 gas di blending tank berisiko iritasi mata, kulit dan saluran pernafasan.


(52)

5. Potensi bahaya yang teridentifikasi pada proses pembuatan lateks pekat rata-rata disebabkan oleh tindakan tidak aman pekerja dikarenakan tidak menggunakan APD lengkap saat bekerja.

6.2 Saran

1. Bagi perusahaan hendaknya meningkatkan kegiatan sosialisasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di tempat kerja seperti memberikan pelatihan kepada pekerja mengenai cara kerja yang aman, budaya keselamatan dan prosedur keselamatan.

2. Berikan penjelasan mengenai risiko-risiko kerja yang ada di tempat kerja dan pekerja wajib memahaminya agar serta berikan pengarahan dan pengawasan rutin bagi penggunaan APD pada pekerja .

3. Berikan sanksi yang tegas kepada pekerja yang tidak mematuhi aturan kerja dan tidak menggunakan APD saat bekerja.


(53)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karet Alam (Lateks)

2.1.1 Sejarah Karet (Lateks)

Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut getah yang dikeluarkan oleh pohon karet. Lateks terdapat pada bagian kulit, daun dan biji karet. Lateks diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis, diolah dan diperdagangkan sebagai bahan industri dalam bentuk karet sheet, crepe, lateks pekat dan karet remah (Crumb rubber) (Tim Penulis PS, 1999).

Lateks dalam getah yang dikeluarkan oleh pohon karet, warnanya putih susu sampai kuning. Lateks mengandung 25-40 % bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-77 % serum (air dan zat yang larut). Karet mentah mengandung 90-95 % karet murni, 2-3 % protein, 1-2 % asam lemak, 0,2 % gula, 0,5 % garam dari Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe (Wikipedia).

Saat ini Asia menjadi sumber karet alami. Awal mulanya karet hanya hidup di Amerika Selatan, namun sekarang sudah berhasil dikembangkan di Asia Tenggara. Kehadiran karet di Asia Tenggara berkat jasa dari Henry Wickham. saat ini, negara-negara Asia menghasilkan 93% produksi karet alam, yang terbesar adalah Thailand, diikuti oleh Indonesia, dan Malaysia. Karet sintetik berkembang pesat sejak berakhirnya perang dunia kedua tahun 1945. Saat ini lebih dari 20 jenis karet sintetik terdapat di pasaran dunia.


(54)

Sebelum perang dunia kedua, hanya karet alam tersedia dalam jumlah besar di pasaran dunia. Dengan berkembangnya kebutuhan manusia seiiring dengan berkembangnya pengetahuan, sangat dirasakan keterbatasan dari karet alam, antara lain tidak tahan pada suhu tinggi. Pengembangan karet sintetik sesudah perang dunia kedua lebih banyak ditujukan untuk memperoleh karet yang sifat-sifatnya tidak dimiliki oleh karet alam, antara lain karet tahan minyak, karet tahan panas, dan lain-lain.

Karet alam adalah jenis karet pertama yang dibuat sepatu. Sesudah penemuan proses vulkanisasi yang membuat karet menjadi tahan terhadap cuaca dan tidak larut dalam minyak, maka karet mulai digemari sebagai bahan dasar dalam pembuatan berbagai macam alat untuk keperluan dalam rumah ataupun pemakaian di luar rumah seperti sol sepatu.

2.1.2 Lateks Pekat

Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat. Lateks dari kebun atau disebut lateks kebun dapat diolah lebih lanjut menjadi lateks pekat untuk pembuatan barang celup (balon, sarung tangan, kondom). Lateks pekat merupakan lateks dari karet alam yang sekurang-kurangnya mengandung 60% kadar karet kering. Untuk membuat jadi lateks pekat , maka terlebih dahulu lateks harus dipekatkan. Pemekatan lateks bertujuan untuk,

- Memperoleh kadar karet kering 60% - Mengurangi kenaikan biaya produksi

- Mengetahui jumlah air yang ditambahkan pada pengenceran lateks sampai kadar yang dikehendaki.


(55)

Beberapa cara pemekatan lateks yang sering digunakan adalah dengan cara pemusingan (centrifuging). Proses pemusingan adalah proses pemekatan lateks dengan menggunakan centrifuge, lateks diberi amoniak dicentrifuge dengan kecepatan ± 6000-7000 rpm. Biasanya lateks pekat digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi (Zuhra, 2006).

2.2 Tempat Kerja

Menurut UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 1 ayat 1, yang dimaksud tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. Oleh karena pada tiap tempat kerja terdapat sumber bahaya maka pemerintah mengatur keselamatan kerja baik di darat, di tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Tempat kerja sangat mendukung adanya suatu pekerjaan, tempat kerja yang buruk dapat menurunkan derajat kesehatan dan juga daya kerja para pekerja. Menurut UU No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja pengurus perusahaan mempunyai kewajiban untuk menyediakan tenpat kerja yang memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan.


(56)

2.3 Bahaya Di Tempat Kerja

Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya (Ramli, 2010). Menurut ILO (1986) yang dikutip Arif (2014), mendefenisikan potensi bahaya atau bahaya kerja adalah suatu sumber potensi kerugian atau suatu situasi yang berhubungan dengan pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja yang berpotensi menyebabkan gangguan/kerugian.

Bahaya di tempat kerja timbul atau terjadi ketika ada interaksi antara unsur-unsur produksi yaitu manusia, peralatan, material, proses atau metoda kerja. Dalam proses produksi tersebut terjadi kontak antara manusia dengan mesin, material, lingkungan kerja yang diakomodir oleh proses atau prosedur kerja. Karena itu, sumber bahaya dapat berasal dari unsur-unsur produksi tersebut, yaitu manusia, peralatan, material, proses serta sistem dan prosedur. Potensi bahaya merupakan segala sesuatu yang mempunyai kemungkinan mengakibatkan kerugian baik pada harta benda, lingkungan maupun manusia. Ditempat kerja, potensi bahaya sebagai sumber risiko keselamatan dan kesehatan akan selalu dijumpai.

Sumber bahaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Manusia

Menurut Suma’mur (1996) yang dikutip Nindya (2010) bahwa dari

penyidikan, ternyata faktor manusia dalam timbulnya kecelakaan sangatlah penting. Selalu ditemui, dari hasil penelitian bahwa 80-85% kecelakaan disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia. Bahkan ada suatu pendapat


(57)

bahwa akhirnya langsung atau tidak langsung, semua kecelakaan adalah dikarenakan faktor manusia. Kesalahan tersebut mungkin disebabkan oleh perancang pabrik, kontraktor yang membangun, pimpinan kelompok, pelaksana atau petugas yang melakukan penalitian mesin dan peralatan.

b. Peralatan

Dalam industri digunakan berbagai peralatan yang mengandung bahaya apabila tidak digunakan dengan semestinya, tidak ada latihan tentang penggunaan alat tersebut, tidak dilengkapi dengan perlindungan dan pengamanan, serta tidak ada perawatan atau pemeriksaan. Perawatan dan pemeriksaan diadakan menurut kondisi agar bagian-bagian mesin atau alat-alat yang berbahaya dapat dideteksi sedini mungkin. Bahaya yang mungkin timbul antara lain :

1. Kebakaran 2. Sengatan listrik 3. Ledakan

4. Luka atau cidera c. Bahan atau material

Karakteristik bahan yang ditimbulkan dari suatu bahan tergantung dari sifat bahan, antara lain:

1. Mudah terbakar 2. Mudah meledak 3. Menimbulkan energ

4. Menimbulkan kerusakaan pada kulit dan jaringan tubuh 5. Menyebabkan kanker


(58)

6. Menyebabkan kelainan pada janin 7. Bersifat racun

8. Radioaktif d. Lingkungan

1. Faktor-faktor bahaya lingkungan menurut beberapa sumber, antara lain : Faktor fisik, meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban, cepat rambat udara, suara, vibrasi mekanis, radiasi, tekanan udara, dll.

2. Faktor kimia, meliputi gas,uap, debu, kabut, asap, awan, cairan, dan benda-benda padat.

3. Faktor biologi, baik golongan hewan maupun tumbuhan.

4. Faktor fisiologis, seperti konstruksi mesin, sikap, dan cara kerja.

5. Faktor mental-psikologis, yaitu susunan kerja, hubungan di antara pekerja atau dengan pengusaha, pemeliharaan kerja dan sebagainya.

e. Cara Atau Sikap Kerja

1. Cara mengangkat dan mengangkut yang salah 2. Posisi tubuh yang tidak benar

3. Tidak menggunakan alat pelindung diri 4. Lingkungan kerja yang terlalu panas

5. Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai dengan peraturan

6. Keadaan mesin-mesin, perlengkapan dan peralatan kerja serta bahan-bahan.


(59)

2.4 Kecelakaan Kerja

2.4.1 Definisi Kecelakaan Kerja

Menurut Suma’mur (1996) yang dikutip Nindya (2010) kecelakaan kerja

adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan tidak disertai kerugian material maupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

Menurut Tarwaka (2008) yang dikutip Nindya (2010), kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya.

Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang diatur dalam Undang-Undang keselamatan dan kesehatan kerja yang dibuat untuk ( Undang-Undang-Undang-Undang K3 pasal 3 ayat 1, tahun 1970) :

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan;

b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

e. Memberi pertolongan kecelakaan;


(60)

g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;

h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan;

i. Menyelanggarakan suhu dan lembab udara yang baik; j. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; k. Menyelanggarakan udara yang cukup;

l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;

m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;

n. Mengamankan dan mempelancar pengangkutan orang, binatang, tanaman dan barang;

o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

p. Mengamankan dan mempelancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang;

q. Mencegah terkena aliran listrik berbahaya;

r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.4.2 Penyebab Kecelakaan Kerja

Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta


(61)

dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan

serupa tidak terulang kembali (Suma’mur, 2009).

Menurut Suma’mur (1986) yang dikutip Nindya (2010) bahwa pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan manusia yang tidak aman (unsafe act) dan keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition). Dari data kecelakaan didapatkan bahwa 85% sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan penting dalam penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang mau membiasakan dirinya dalam keadaan yang aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka kecelakaan kerja.

Adapun menurut H.W. Heinrich (1930) yang dikutip Ramli (2010) dengan teori dominonya yang menggolongkan faktor penyebab kecelakaan terdiri dari :

1. Tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act), misalnya tidak mau menggunakan alat keselamatan dalam bekerja. Tindakan ini dapat membahayakan dirinya atau orang lain yang dapat berakhir dengan kecelakaan.

2. Kondisi tidak aman (uncafe condition) yaitu kondisi di lingkungan kerja baik alat, material atau lingkungan yang tidak aman dan membahayakan.

2.5 Kerugian

Setiap kecelakaan adalah malapetaka, kerugian, dan kerusakan kepada manusia, harta benda atau properti dan proses produksi. Implikasi yang berhubungan dengan kecelakaan sekurang-kurangnya berupa gangguan kinerja perusahaan dan penurunan keuntungan perusahaan. Pada umumnya kerugian akibat kecelakaan kerja cukup besar dan dapat mempengaruhi upaya peningkatan


(62)

produktivitas kerja perusahaan. Menurut Ramli (2010), secara garis besar kerugian akibat kecelakaan kerja dapat di kelompokkan menjadi :

1. Kerugian atau biaya langsung (Direct Costs)

Kerugian langsung yaitu kerugian akibat kecelakaan yang langsung dirasakan dan membawa dampak terhadap organisai seperti berikut :

a. Biaya pengobatan dan kompensasi

Kecelakaan menyebabkan cedera, baik cedera ringan, berat cicada atau menimbulkan kematian. Cedera ini akan mengakibatkan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga mempengaruhi produktivitas. Jika kecelakaan terjadi perusahaan harus mengeluarkan biaya pengobatan dan tunjangan kecelakaan sesuai dengan ketentuan berlaku.

b. Kerusakan sarana produksi

Kerugian langsung lainnya adalah kerusakan sarana produksi akibat kecelakaan seperti kebakaran, peledakan, dan kerusakan. Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk perbaikan kerusakan.

2. Kerugian atau biaya tidak langsung atau terselubung (Inderect Costs) Disamping kerugian langsung, kecelakaan juga menimbulkan kerugian tidak langsung antara lain :

a. Kerugian jam kerja

Jika terjadi kecelakaan, kegiatan pasti akan terhenti sementara untuk membantu korban yang cedera, penanggulangan kejadian, perbaikan kerusakan atau penyelidikan kejadian. Kerugian jam kerja yang hilang akibat kecelakaan jumlahnya cukup besar dapat mempengaruhi produktivitas.


(63)

b. Kerugian produktivitas

Kecelakaan juga membawa kerugian terhadap proses produksi akibat kerusakan atau cedera pada pekerja. Perusahaan tidak bisa berproduksi sementara waktu sehingga kehilangan peluang untuk mendapat keuntungan.

c. Kerugian sosial

Apabila seorang pekerja mendapat kecelakaan, keluarganya akan turut menderita karena kehilangan sumber kehidupan. Selain itu, jika kecelakan besar seperti peledakan, kecelakaan juga dapat membawa dampak terhadap lingkungan sekitarnya, warga kan akan menjadi panik atau menjadi korban.

d. Citra dan kepercayaan konsumen

Kecelakaan menimbulkan citra negatif bgi organisasi karena dinilai tidak peduli keselamatan, tidak aman dan merusak lingkingan. Citra organisasi sangat penting dan menentukan kemajuan suatu usaha. Sebaliknya perusahaan yang peduli K3 akan dihargai dan memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan penanam modal.

Pada umumnya kita hanya terfokus pada kerugian atau biaya langsung, padahal pada kenyataannya, kerugian atau biaya-biaya yang tidak langsung dan terselubung jauh lebih besar dan mempunyai dampak yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari fenomena gunung es dimana puncak gunung es yang Nampak hanya sebagian kecil dibandingkan dengan bagian gunung es yang terdalam di dalamnya dan belum kelihatan pada saat kejadian. Dengan demikian jelas bahwa di samping kerugian langsung akibat kejadian kecelakaan, kerugian yang tidak


(64)

langsung harus mendapatkan perhatian yang serius karena sangat mempengaruhi kelangsungan proses produksi perusahaan secara keseluruhan.

2.6Manajemen Risiko 2.6.1 Pengertian Risiko

Menurut OHSAS 18001 yang dikutip Ramli (2010), risiko adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya kejadian berbahaya atau paparan dengan keparahan dari cidera atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kejadian atau paparan tersebut. Besarnya risiko tersebut ditentukan oleh besarnya paparan, lokasi, pengguna, kuantiti serta kerentanan unsur yang terlibat.

Risiko adalah menifestasi atau perwujudan potensi bahaya (hazard event) yang mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar. Tergantung dari cara pengelolaannya, tingkat risiko mungkin berbeda dari yang paling ringan atau rendag sampai ke tahap yang peling berat atau tinggi. Melalui analisis dan evaluasi semua potensi bahaya dan risiko, diupayakan tindakan minimalisasi atau pengendalian agar tidak terjadi bencana atau kerugian lainnya ( Sugandi, 2003).

Risiko diukur dalam kaitannya dengan kecenderungan terjadinya suatu kejadian dan konsekuensi atau akibat yang dapat ditimbulkannya. Dari definisi tersebut maka diperoleh pengertian bahwa suatu risiko diperhitungakan menurut kemungkinan terjadinya suatu kejadian serta konsekuensi yang ditimbulkan. Tidak selamanya risiko diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Contohnya adalah seseorang harus berani mengambil risiko untuk melakukan suatu perubahan.


(65)

2.6.2 Manajemen Risiko

Manajemen risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara kompeherensif, terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik (Ramli, 2010).

Manajemen risiko adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menanggapi risiko yang telah diketahui (melalui rencana analisis risiko atau bentuk observasi lain) untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang mungkin muncul. Salah satu manajemen K3 yang berlaku global adalah OHSAS 18001.

Menurut OHSAS 18001 dalam Ramli (2010) bahwa sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur mengenai Identifikasi Bahaya ( Hazards Identification), Penilaian Risiko ( Risk Assessment) dan menentukan Pengendaliannya ( Risk Control) atau disingkat HIRARC.

2.6.3 Tujuan Manajemen Risiko

Tujuan manajemen risiko menurut Australian Standart / New Zealand Standart 4360 (1999) yang dikutip Muhammad (2013) , yaitu :

1. Membantu meminimalisasi meluasnya efek yang tidak diinginkan terjadi. 2. Memaksimalkan pencapaian tujuan organisasi dengan meminimalkan

kerugian.

3. Melaksanakan program manajemen secara efisien sehingga memberikan keuntungan bukan kerugian.

4. Melakukan peningkatan pengambilan keputusan pada semua level.

5. Menyusun program yang tepat untuk meminimalisasi kerugian pada saat terjadi kegagalan.


(66)

6. Menciptakan manajemen yang bersifat proaktif bukan bersifat reaktif. 2.6.4 Manfaat Manajemen Risiko

Manajemen risiko sangat penting begi keberlangsungan suatu usaha atau kegiatan dan merupakan alat untuk melindungi perusahaan dari setiap kemungkinan yang merugikan. Manajemen tidak cukup melakukan langkah-langkah pengamanan yang memadai sehingga peluang terjadinya bencana semakin besar. Dengan melaksanakan manajemen risiko diperoleh berbagai manfaat antara lain (Ramli, 2010) :

1. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dari setiap kegiatan yang mengandung bahaya.

2. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan. 3. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai

kelangsungan dan keamanan investasinya.

4. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi setiap unsur dalam organisasi/perusahaan.

5. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku.

2.7 HIRARC (Hazard Identification Risk Assesment and Risk Control)

HIRARC adalah serangkaian proses mengidentifikasi bahaya yang dapat terjadi dalam aktifitas rutin ataupun non rutin di perusahaan kemudian melakukan penilaian risiko dari bahaya tersebut lalu membuat program pengendalian bahaya tersebut agar dapat diminimalisir tingkat risikonya ke yang lebih rendah dengan tujuan dengan tujuan mencegah terjadi kecelakaan. Implementasi K3 dimulai dengan perencanaan yang baik meliputi identifikasi bahaya, penilaian risiko.


(67)

HIRARC inilah yang menentukan arah penerapan K3 dalam perusahaan sehingga perusahaan nantinya akan menyelesaikan masalahnya sendiri terutama masalah manajemen (Ramli, 2010). Menurut OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan di seluruh aktivitas organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

2.7.1 Tujuan HIRARC

HIRARC merupakan suatu pedoman dalam mengidentifikasi bahaya, menilai risiko dan mengendalikan risiko memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi semua faktor yang dapat menyebabkan kerugian kepada karyawan dan lain-lain (yang bahaya);

2. Untuk mempertimbangkan kemungkinan besar risiko yang membahayakan siapa pun di lingkungan kerja, dan

3. Untuk memungkinkan pengusaha untuk merencanakan, memperkenalkan dan memantau tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa risiko tersebut cukup dikendalikan setiap saat.

Dalam melakukan perencanaan kegiatan HIRARC kegiatan harus memperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Melihat kondisi

2. Mana bahaya yang tampaknya menjadi ancaman yang signifikan 3. Memastikan apakah pengendalian yang ada memadai, dan


(68)

4. Dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan perbaikan atau pencegahan.

2.7.2 Langkah-Langkah HIRARC

Berikut ini merupakan langkah-langkah manajemen risiko dengan menggunakan HIRARC :

1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)

Menurut Ramli (2010), bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Bahaya merupakan sifat yang melekat dan menjadi bagian dari suatu zat, sistem, kondisi atau peralatan. Macam macam kategori bahaya adalah bahaya mekanis, bahaya listrik, bahaya fisis, bahaya biologis dan bahaya kimia.

Identifkasi bahaya merupakan langkah awal dalam mengembangkan manajemen risiko K3. Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui adanya bahaya dalam aktivitas organisasi. Identifikasi risiko merupakan landasan melakukan pengelolaan risiko dengan baik. Langkah sederhana adalah dengan melakukan pengamatan. Melalui pengamatan maka kita sebenarnya telah melakukan suatu identifikasi bahaya.

Identifikasi bahaya merupakan landasan dari program pencegahan kecelakaan atau pengendalian risiko. Tanpa mengenal bahaya, maka risiko tidak dapat ditentukan sehingga upaya pencegahan dan pengendalian risiko tidak dapat dijalankan (Ramli, 2010)


(69)

Berdasarkan pendapat Ramli (2010), identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat antara lain :

a) Mengurangi peluang kecelakaan

Identifkasi bahaya dapat mengurangi terjadinya kecelakaan, karena identifikasi bahaya berkaitan dengan faktor penyebab kecelakaan. b) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi

bahaya dari aktivitas perusahaan sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan.

c) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi pencegahan dan pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan mengenal bahaya yang ada, manajemen dapat menentukan skala prioritas penanganannya sesuai dengan tingkat risikonya sehingga diharapkan hasilnya akan lebih efektif.

d) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam perusahaan. Dengan begitu mereka dapat memperoleh gambaran mengenai risiko suatu usaha yang akan dilakukan.

Sumber identifikasi bahaya dapat diketahui dengan peristiwa atau kecelakaan yang pernah terjadi, pemeriksaan tempat kerja, melakukan wawancara dengan pekerja di lokasi kerja, data keselamatan bahan ( material safety data sheet )dan lainnya.

2. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Setelah melakukan identifikasi bahaya dilanjutkan dengan penilaian risiko yang bertujuan untuk mengevaluasi besarnya risiko serta dampak yang akan


(70)

ditimbulkan. Penilaian risiko adalah upaya untuk menghitung besarnya suatu risiko dan menetapkan apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak. Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tingkat risiko ditinjau dari kemungkinan terjadinya (likehood) dan keparahan yang dapat ditimbulkan (severity) (Ramli,2010).

Menurut AS/NZS yang dikutip Albert Wijaya, dkk (2015) bahwa tujuan dari risk assessment adalah memastikan kontrol resiko dari proses, operasi atau aktivitas yang dilakukan berada pada tingkat yang dapat diterima. Penilaian dalam risk assessment yaitu likelihood dan severity. Likelihood menunjukkan seberapa mungkin kecelakaan itu terjadi, severity menunjukkan seberapa parah dampak dari kecelakaan tersebut. Nilai dari likelihood dan severity akan digunakan untuk menentukan risk rating. Risk rating adalah nilai yang menunjukkan resiko yang ada berada pada tingkat rendah, menengah, tinggi, atau ekstrim. Acuan yang digunakan untuk melakukan penilaian resiko dapat dilihat pada tabel , tabel 2.1 dan tabel 2.2

Tabel 2.1. Skala likehood pada standar AS/NZS 4360-2004 Tingkat Deskripsi Keterangan

5 Almost

certain

Terdapat ≥ 1 kejadian dalam setiap shift

4 Likely Terdapat ≥ 1 kejadian setiap hari 3 Possible Terdapat ≥ 1 kejadian setiap minggu 2 Unlikely Terdapat ≥ 1 kejadian setiap bulan

1 Rare Terdapat ≥ 1 kejadian setiap setahun atau lebih


(71)

Tabel 2.2 Skala severity pada standar AS/NZS 4360-2004 Tingkat Deskripsi Keterangan

1 Insignificant Tidak terjadi cidera, kerugian financial sedikit 2 Minor Cidera Ringan, kerugian financial sedikit

3 Moderate Cidera sedang, perlu penanganan medis, kerugian financial besar

4 Major Cidera berat ≥ 1 orang, kerugian besar, gangguan produksi

5 Catastrophic Fatal ≥ 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak sangat luas, terhentinya seluruh kegiatan

(Sumber : AS/ANZ 4360-2004)

Tabel 2.3 Skala risk rating pada standar AS/NZS 4360-2004

Frekuensi risiko Dampak risiko

1 2 3 4 5

5 H H E E E

4 M H E E E

3 L M H E E

2 L L M H E

1 L L M H H

(Sumber : AS/ANZ 4360-2004)

Keterangan :

1. E : Extreme Risk ( kegiatan tidak boleh dilaksanakan atau dilanjutkan dan pengendalian )

2. H : High Risk ( kegiatan tidak boleh dilaksanakan atau dilanjutkan dan pengendalian )

3. M : Moderat Risk ( perlu tindakan untuk mengurangi risiko)


(72)

3. Pengendalian Risiko (Risk Control)

Pengendalian risiko adalah langkah penting dan menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan. OHSAS 18001 dalam Ramli (2010) memberikan pedoman pengendalian risiko yang lebih spesifik untuk bahaya K3 dengan pendekatan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Hirarki pengendalian bahaya 1) Eliminasi

Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya. Eliminasi merupakan langkah ideal yang dapat dilakukan dan harus menjadi pilihan utama dalam melakukan pengendalian risiko

Eliminasi

Substitusi

Engineering

Administratif


(1)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Karet Alam (Lateks) ... 9

2.1.1 Sejarah Karet (Lateks) ... 9

2.1.2 Lateks Pekat ... 10

2.2 Tempat Kerja ... 11

2.3 Bahaya Ditempat Kerja ... 12

2.4 Kecelakaan Kerja ... 15

2.4.1 Definisi Kecelakaan Kerja ... 15

2.4.2 Penyebab Kecelakaan Kerja ... 16

2.5 Kerugian ... 17

2.6 Manajemen Risiko ... 20

2.6.1 Pengertian Risiko ... 20

2.6.2 Manajemen Risiko ... 21

2.6.3 Tujuan Manajemen Risiko ... 21

2.6.4 Manfaat Manajemen Risiko ... 22

2.7 HIRARC ... 22

2.7.1 Tujuan HIRARC ... 23

2.7.2 Langkah-langkah HIRARC ... 24

2.8 Kerangka Pikir ... 32


(2)

viii

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.3 Obyek Penelitian ... 34

3.4 Instrumen Penelitian ... 34

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5.1 Data Primer ... 35

3.5.2 Data Sekunder ... 35

3.6 Definisi Istilah ... 35

3.7 Metode Pengolahan Data ... 36

3.8 Metode Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 38

4.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 38

4.1.1 Profil Perusahaan ... 38

4.1.2 Visi dan Misi Perusahaan ... 41

4.1.3 Struktur Organisasi ... 41

4.1.4 Kebijakan K3, Pengendalian Risiko serta Lingkungan ... 42

4.1.5 Jam Kerja dan Jumlah Tenaga Kerja ... 43

4.2 Proses Kerja Pengolahan Lateks Pekat ... 46

4.2.1 Bahan yang Digunakan ... 46

4.2.2 Proses Kerja Pengolahan Lateks Pekat ... 46

4.3 Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Pembuatan Lateks Pekat56 4.3.1 Tahap Persiapan ... 57

4.3.2 Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks ... 58

4.3.3 Tahap Pengolahan di Pabrik ... 60

4.3.4 Tahap Penyimpanan Produk Lateks Pekat ... 61

4.3.5 Tahap Pengiriman Produk Lateks Pekat ... 62

BAB V PEMBAHASAN ... 64

5.1 Hasil Penilian Risiko dengan Metode HIRARC ... 66

5.1.1 Hasil HIRARC pada Tahap Persiapan... 66

4.1.2 Hasil HIRARC pada Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks ... 67

4.1.3 Hasil HIRARC pada Tahap Pengolahan di Pabrik ... 67

5.2 Hasil Pemeriksaan Tempat Kerja (Inspeksi K3) ... 69

5.3 Hambatan Manajemen dalam Penerapan K3 ... 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(3)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Kecelakaan Kerja pada Pabrik Cenex PT. BSP,Tbk ... 6

Tabel 2.1 Skala Likehood pada Standart AS/NZS 4360 2004 ... 26

Tabel 2.2 Skala Severity pada Standart AS/NZS 4360 2004 ... 27

Tabel 2.3 Skala Risk Rating pada Standart AS/NZS 4360 2004 ... 27

Tabel 4.1 Jam Kerja di Pabrik Cenex ... 43

Tabel 4.2 Spesifikasi Centrifuged Seperator ... 55

Tabel 4.3 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Persiapan ... 57

Tabel 4.4 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Penerimaan Bahan Baku Lateks ... 58

Tabel 4.5 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Pengolahan di Pabrik ... 60

Tabel 4.6 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Penyimpanan Lateks Pekat ... 61

Tabel 4.7 Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Tahap Pengiriman Lateks Pekat ... 62


(4)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hirarki Pengendalian Bahaya ... 28

Gambar 2.2 Kerangka Pikir ... 32

Gambar 4.1 Pekerja saat mencuci botol sampel ... 47

Gambar 4.2 Proses Pengaliran Lateks dari Mobil Tangki ke RT ... 49

Gambar 4.3 Pekerja menambahkan zat kimia ke RT ... 50

Gambar 4.4 Mesin Seperator ... 51

Gambar 4.5 Pekerja saat mencuci bowldisk ... 52

Gambar 4.6 Blending Tank ... 53

Gambar 4.7 Blow Case ... 54

Gambar 4.8 Tangki Storage ... 54

Gambar 4.9 Persentasi hasil Risk Rating ... 64


(5)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Flowchart Proses Produksi pada Cenex Plant ... 77

Lampiran 2. Flowsheet Proses Produksi Cenex ... 78

Lampiran 3 Struktur Organisasi Perusahaan PT. BSP,Tbk ... 79

Lampiran 4. Struktur Organisasi Departemen QHSE ... 80

Lampiran 5. Surat Izin Survey Pendahuluan dari Fakultas ... 81

Lampiran 6. Surat Izin Survey Pendahuluan dari Instansi ... 82

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian dari Fakultas ... 83

Lampiran 8. Surat Izin Penelitian dari Instansi ... 84


(6)

xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Imelda Zahara

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Gading/04 Januari 1994 Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Status : Belum Kawin Nama Orangtua

Ayah : Ahmad Hariri Sibarani Ibu : Raja Maysarah

Anak ke : 6 dari 6 bersaudara

Alamat Rumah : Jl. Pattimura No. 08 Kota Tanjungbalai

Riwayat Pendidikan

Tahun 2000-2006 : SDN 132407 Tanjungbalai Tahun 2006-2009 : SMP Negeri 1 Tanjungbalai Tahun 2009-2012 : SMA Negeri 1 Tanjungbalai

Tahun 2012-2016 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU


Dokumen yang terkait

Analisis Risiko Keselamatan Kerja Dengan Metode HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) Pada Alat Suspension Preheater Bagian Produksi Di Plant 6 dan 11 Field Citeureup PT. Indocement Tunggal Prakarsa,Tahun 2013

13 92 267

IDENTIFIKASI DAN PENILAIAN BAHAYA PERMESINAN DENGAN PENDEKATAN HIRA (HAZARD IDENTIFICATION IDENTIFIKASI DAN PENILAIAN BAHAYA PERMESINAN DENGAN PENDEKATAN HIRA (HAZARD IDENTIFICATION AND RISK ASSESSMENT).

0 2 13

Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Menggunakan Pendekatan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) di PT Perkebunan Nusantara III PKS Aek Torop

13 59 174

Hazard Identification Risk Assessment And Control.

1 2 24

PENDAHULUAN Evaluasi Penilaian Risiko Pekerja Dengan Menggunakan Pendekatan Job Safety Analysis (JSA) Dan Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control(Hirarc) (Studi Kasus: PT. Aneka Adhilogam Karya).

0 3 7

Penyusunan Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) Di PT. X | Irawan | Jurnal Titra 2964 5520 1 SM

0 0 4

Analisis Risiko Kesetan dan Kesehatan Kerja dengan Menggunakan Pendekatan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) di PT Perkebunan Nusantara III PKS Aek Torop

0 0 11

Analisis Risiko Kesetan dan Kesehatan Kerja dengan Menggunakan Pendekatan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) di PT Perkebunan Nusantara III PKS Aek Torop

0 0 1

Analisis Risiko Kesetan dan Kesehatan Kerja dengan Menggunakan Pendekatan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) di PT Perkebunan Nusantara III PKS Aek Torop

0 0 10

Analisis Risiko Kesetan dan Kesehatan Kerja dengan Menggunakan Pendekatan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control) di PT Perkebunan Nusantara III PKS Aek Torop

0 2 27