Jenis kelamin Siklus kemoterapi

sindrom extrapirimidal dengan manifestasi yang terjadi yaitu distonia akut Darmansjah, 2005 dalam Putri, 2010. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noonan 2005, dalam Prapti, 2012 menunjukkan bahwa pasien usia tua 50 tahun memiliki respon terhadap anti-muntah lebih baik dibandingkan pasien usia muda 50 tahun. Penelitian lain yang juga mendukung pernyataan tersebut yaitu Molassiotis dan Olver 2005 menunjukan bahwa pasien dewasa muda usia 50 tahun mengalami gejala mual- muntah dalam kategori berat daripada pasien dewasa tua usia 50 tahun.

2.2.2 Jenis kelamin

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas yang menjalani kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan adalah perempuan 87,7 dan diikuti 12,3 laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Anderson 2002 yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih sering menderita penyakit kronis daripada laki-laki.Hal ini disebabkan karena harapan hidup perempuan lebih besar daripada laki-laki sehingga perempuan berpeluang besar menderita penyakit kronis dibandingkan laki-laki. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan skor gejala mual-muntah post kemoterapi dari responden perempuan dan laki-laki z = -0.31 dan p = 0.754. Akan tetapi, penelitian terdahulu menyatakan bahwa wanita lebih sulit mengontrol muntah dibandingkan dengan laki-laki Balfour, 2001. Sehingga mempengaruhi skor gejala mual-muntah pada pasien post kemoterapi. Universitas Sumatera Utara Dan apabila dihubungkan dengan diagnosa penyakit responden, perempuan juga berpeluang memiliki skor gejala mual-muntah yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.Hal ini disebabkan karena kanker payudara menempati tingkat pertama penyebab kematian di Indonesia Yastati, 2010 dalam Sinambela, 2011.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian yang diperoleh tidak sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu.

2.2.3 Siklus kemoterapi

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden 75,4 menjalani kemoterapi pada siklus 1-5 dan sisanya 24,6 pada siklus 6- 10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan skor gejala mual-muntah dari siklus 1-5 dan siklus 6-10 z = -2.24 dan p = 0.025. Sehingga dapat disimpulkan bahwa siklus kemoterapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala mual-muntah post kemoterapi. Pada dasarnya siklus kemoterapi dapat mempengaruhi gejala mual-muntah pada pasien post kemoterapi. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Grunberg dan Ireland 2005 yang mengatakan bahwa mual-muntah post kemoterapi dipengaruhi oleh siklus kemoterapi, semakin lanjut siklus kemoterapi maka mual-muntah akan bertambah berat. Selain itu, gejala mual-muntah biasanya lebih berat pada siklus berikutnya McRonald Fleisher 2005, dalam Prapti, 2012, terutama pada siklus keempat Roscoe, Morrow, Molassiotis, Oler, 2010. Tjokronegoro 2006 menjelaskan bahwa pemberian kemoterapi tidak hanya diberikan secara berulang artinya pasien menjalani kemoterapi setiap dua Universitas Sumatera Utara siklus, tiga siklus, ataupun empat siklus dimana setiap siklus terdapat pengobatan dengan kemoterapi diselingi dengan periode pemulihan kemudian dilanjutkan dengan periode pengobatan kembali dan begitu seterusnya. Penelitian lain yang mendukung adalah Sugiono 2007 menyatakan kejadian mual-muntah tertinggi terjadi pada siklus kedua kemoterapi 33.3. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu.

2.2.4 Riwayat Motion Sickness