1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataan dalam kehidupan bernegara di Indonesia ini khususnya di pemerintah daerah tidak ada sektor yang tidak tersentuh atau tidak dipengaruhi
oleh anggaran publik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, namun faktanya sebagian besar terdapat penyalahgunaan dalam APBD.
Sebagai contoh, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan BPK perwakilan Nusa Tenggara Timur NTT di Kupang, selama tahun 2004
sampai dengan 2008, tercatat 1267 kasus dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah pada level Propinsi maupun di seluruh Kabupaten Kota di
NTT dengan nilai nominal Rp. 3.711,89 triliun. Data BPK perwakilan NTT di Kupang juga menunjukan bahwa kasus dugaan penyimpangan pengelolaan
keuangan daerah di Propinsi dan seluruh kabupaten Kota di NTT yang sudah di tindaklanjuti hanya sebanyak 670 kasus dengan angka indikasi korupsi
sebesar Rp. 1.404,81 triliun. Itu berarti, terdapat 597 kasus yang belum ditindaklanjuti dengan total penyelewengan mencapai nilai nominal Rp.
2.307.08 triliun. Dengan data dugaan korupsi yang demikian, maka terbukti terjadi tindak korupsi dalam tahapan pengelolaan APBD.
Data di atas pada dasarnya tindakan korupsi dalam pengelolaan APBD dimunkinkan terjadi karena kurangnya pengendalian yang tegas dari pihak
yudikatif terhadap proses menyusunan dan pelaksanaan anggaran. Kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi juga karena adanya partisipasi dalam
2 penyusunan anggaran dengan memanfaatkan informasi yang dimiliki oleh
bawahan atau pihak yang tidak bertanggungjawab, dalam menyampaikan informasi yang bias dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya
dalam pencapaian target organisasi demi kebutuhan pribadi atau golongan untuk melakukan senjangan anggaran yang akan mengakibatkan kerugian bagi
negara dan mengganggu terhadap kesejahteraan masyarakat Sinlaeloe,
2013:1. Penyimpangan tersebut di atas, tidak sesuai dengan tujuan dari undang-
undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, dimana otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Siregar dan
Siregar, 2001:394 untuk kepentingan masyarakat. Selanjutnya, undang- undang ini diganti dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun
2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004, kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari
pertanggungjawaban vertikal
kepada pemerintah
pusat ke
pertanggungjawaban horizontal kepada masyarakat melalui DPRD Suhartono dan Solichin, 2006:2.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana telah dua kali dilakukan perubahan terakhir dengan Undang-
Undang No.12 Tahun 2008 bertumpu pada demokratisasi, pemberdayaan aparatur dan masyarakat serta peningkatan pelayanan umum kepada
3 masyarakat menempatkan posisi penting dan strategis daerah sebagai basis
otonomi dan unsur terdepan bagi masyarakat Muraz 2009:1. Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 definisi otonomi
daerah sebagai berikut : “… hak, wewenang,dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Sedangkan daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah :
“… kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesat
uan Republik Indonesia”. Otonomi daerah dapat pula diartikan sebagai kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi
masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut memberikan dampak perubahan pada sistem pemerintahan yang
mulanya menganut pola pertanggungjawaban terpusat beralih menjadi pola desentralisasi, dimana daerah diberikan kewenangan luas untuk mengelola
dan bertanggung jawab secara nyata atas potensi daerah yang dimiliki. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang- Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Kewenangan tersebut tidak
berlaku untuk urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah, meliputi politik luar negeri, pertahanan,
4 keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dengan adanya
sistem otonomi daerah tersebut, mengakibatkan pergeseran orientasi pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan
kebutuhan publik. Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia
dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era
perdagangan bebas. Tujuan otonomi daerah akan terealisasi apabila segenap lapisan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Langkah awal untuk
merealisasikan keberhasilan tersebut dapat dilakukan dengan perwujudan reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak hanya
sekedar perubahan format lembaga akan tetapi mencakup pembaharuan alat- alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik
tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governance benar-benar tercapai
Mardiasmo, 2009. Penyerahan tugas pemerintahan harus diikuti dengan penyerahan
perangkat, alat perlengkapan, dan sumber pembiayaan. Pemberian tugas harus bersamaan dengan pemberian sumber daya untuk melaksanakan tugas
tersebut. Pemberian wewenang melalui desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan menjadi dasar yang membentuk struktur keuangan baru di
daerah otonom. Dengan desentralisasi, daerah otonom diberi wewenang untuk mengurusi daerahnya sendiri dengan prakarsa masyarakat. Sumber daya yang
5 diperoleh oleh daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Siregar dan Siregar, 2001:395.
Reformasi sektor publik berarti juga adanya reformasi keuangan daerah. Reformasi keuangan daerah dalam pelaksanaannya akan berdampak
juga terhadap reformasi anggaran budgeting reform yang meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, perusahaan milik negaradaerah,
dan berbagai organisasi lainnya dibandingkan dengan masa sebelumnya, dari sudut pandang ilmu ekonomi sektor publik dapat dipahami sebagai suatu
aktivitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak
publik. Sektor publik dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak hanya faktor ekonomi, akan tetapi faktor politik, sosial, budaya, dan historis. Beberapa
tugas fungsi dapat juga dilakukan sektor swasta, akan tetapi untuk tugas tertentu tidak dapat digantikan oleh sektor swasta.
Anggaran tidak hanya penting bagi perusahaan swasta tetapi juga penting dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Anggaran
merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Dalam
organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politis. Jika pada sektor swasta anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang
6 tertutup untuk publik, tetapi sebaliknya pada sektor publik anggaran justru
harus diinformasikan kepada masyarakat untuk dikritik, didiskusikan dan diberi masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas
atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik Mardiasmo, 2009:61.
Penyusunan anggaran dalam pemerintahan harus benar-benar memfokuskan tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat bukan hanya untuk
mewujudkan kepentingan pribadi atau golongan semata. Untuk itulah diperlukan informasi yang benar-benar akurat dalam penyusunan anggaran
pemerintah daerah, jangan sampai usulan-usulan yang telah disampaikan oleh masyarakat tidak terakomodasi dalam anggaran, karena seluruh warga
masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif Andrianto, 2007:24. Untuk itu, Otonomi daerah jangan sampai menjadikan perpindahan praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari pusat ke “pusatnya” daerah. Apabila hal ini terjadi, maka hasilnya akan sama yaitu memperkaya sekelompok orang di ibu kota daerah
Siregar dan Siregar, 2001:402. Jika pada mulanya, pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah APBD propinsi memerlukan pengesahan Menteri Dalam Negeri dan APBD kabupatenkota dengan pengesahan Gubernur, maka saat
7 ini pertanggungjawaban APBD hanya memerlukan pengesahan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD melalui Peraturan Daerah Perda. Anggaran dalam pemerintahan merupakan dokumenkontrak politik antara
pemerintah dan DPRD untuk masa yang akan datang Mardiasmo, 2009:68. Melalui sistem ini, bawahan yang bertindak sebagai pelaksana
anggarandilibatkan dalam penyusunan anggaran yang yang termasuk sub bagian di dalamnya sehingga mencapai kesepakatan antara atasan sebagai
pemegang kuasa anggaran serta bawahan sebagai pelaksana anggaran. Diperlukan manajer yang memiliki kemampuan yang cukup dalam
memprediksi masa depan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, yakni faktor lingkungan baik ekternal maupun internal organisasi, partisipasi, dan
cara penyusunan yang baik untuk menghasilkan sebuah anggaran yang efektif. Pada saat terciptanya partisipasi dari pelaksana anggaran dan memberi
perkiraan yang bias pada pemegang kuasa anggaran inilah muncul senjangan anggaran budgetary slack.
Begitu pula dalam otonomi daerah yang terbentuk menciptakan kesenjangan dalam penganggaran daerah dimana kesenjangan terjadi antara
divisi-divisi yang ada dalam pemerintahan atau antara bawahan dengan atasan. Berdasarkan pada kondisi tersebut di atas, maka kemudian muncullah sistem
penganggaran yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajer atau bawahan yaitu penganggaran pastisipasi participatory budgeting. Anggaran
partisipatif adalah sebuah proses yang menggambarkan dimana individu- individu terlibat dalam penyusunan anggaran dan mempunyai pengaruh
8 terhadap target anggaran, dan perlunya penghargaan atas pencapaian anggaran
tersebut Brownell, 1982 dalam Falikhatun, 2007:2. Semakin tinggi keterlibatan individu dalam hal ini manajer tingkat bawah maka semakin
tinggi pula rasa tanggung jawab mereka untuk melaksanakan keputusan yang dihasilkan bersama tersebut.
Dalam konsep senjangan anggaran dapat dimulai dari pendekatan teori agensi yang merumuskan pemerintah sebagai agen dan masyarakat dalam hal
ini diwakili oleh DPRD diartikan sebagai principal. Adanya hubungan agen dan principal tersebut diharapkan dapat memudahkan proses pengawasan
anggaran agar tidak terjadi perilaku perilaku yang disfungsional, karena anggaran dalam pemerintahan merupakan wujud dari pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Terjadinya senjangan anggaran, bawahan cenderung mengajukan
anggaran dengan merendahkan pendapatan dan menaikkan biaya dibandingkan dengan perkiraan terbaik yang diajukan sehingga target
anggaran dapat mudah dicapai. Peneliti akuntansi menemukan bahwa senjangan anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk partisipasi
bawahan dalam penyusunan anggaran Yuwono, 1999 dalam Falikhatun, 2007:208.
Penelitian yang berkaitan dengan senjangan anggaran telah menguji berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan para manajer untuk
menciptakan senjangan anggaran. Pendekatan yang digunakan meliputi penggunaan model keagenan agency models untuk menciptakan senjangan
9 anggaran Young, 1985, atau dengan menggunakan berbagai faktor
kontinjensi contingency factors sebagai prediktor adanya senjangan anggaran Govindarajan, 1986. Meskipun berbagai pendekatan tersebut telah
banyak membantu memberikan penjelasan mengenai kecenderungan para manajer untuk menciptakan senjangan anggaran, namun hal tersebut masih
menjadi pertanyaan yang belum terjawab. Adanya hubungan antara partisipasi anggaran dengan prestasi kerja baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini factor anggaran yang memadai
dalam suatu
organisasi sanagtlah
penting, organisasi
bertanggungjawab dalam memastikan bahwa karyawan menerima dukungan anggaran yang memadai, dengan kecukupan anggaran diharapkan tidak terjadi
senjangan anggaran yang bertujuan untuk kepentingan pribadi saja. Penelitian yang dilakukan Dunk 1993 menunjukkan bahwa partisipasi
dalam penyusunan anggaran dapat mengurangi senjangan anggaran. Hal ini terjadi karena bawahan membantu memberikan informasi pribadi tentang
prospek masa depan sehinggaanggaran yang disusun menjadi lebih akurat. Sedangkan hasil penelitian Young 1985 berbeda dengan penelitian
dilakukan Dunk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa partisipasi anggaran dan senjangan anggaran mempunyai hubungan positif, yaitu
peningkatan partisipasi semakin meningkatkan senjangan anggaran. Penelitian mengenai hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan
telah banyak dilakukan. Misalnya Dunk 1993, meneliti pengaruh asimetri informasi dan budget emphasis terhadap hubungan antara partisipasi anggaran
10 dengan senjangan anggaran. Dalam hipotesisnya Dunk 1993 menyatakan
bahwa tidak ada interaksi antara partisipasi anggaran, asimetri informasi dan penekanan anggaran yang berpengaruh terhadap senjangan anggaran.
Sedangkan, simpulan yang diperoleh dalam penelitiannya menyatakan bahwa hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran tergantung
pada asimetri informasi dan penekanan anggaran.Penelitian mengenai hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan telah banyak dilakukan.
Falikhatun 2007 dalam penelitiannya menghasilkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif signifikan terhadap senjangan anggaran
budgetary slack. Arfan dan Ane 2007 yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa anggaran partisipasi positif dilakukan dengan senjangan
anggaran . Selain itu, variabel kecukupan anggaran terpenuhi menjadi murni moderating. Variabel strategik ketidakpastian lingkungan, komitmen
organisasi dan gaya kepemimpinan sebagai kuasi moderating dalam hubungan antara anggaran partisipasi dengan senjangan anggaran.
Penelitian ini dilakukan disamping untuk menguji kembali hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran, juga dipengaruhi oleh
faktor kontijensi dengan memasukan variabel moderasi seperti yang dilakukan Dunk 1993 dan Govindarajan 1986 dalam menguji hubungan tersebut.
Penelitian ini menggunakan asimetri informasi dan kecukupan anggaran sebagai variabel moderating dalam menguji partisipasi anggaran dan
senjangan anggaran.
11 Proses penyusunan anggaran di Kota Sukabumi melibatkan banyak
partisipasi baik dari unsur pemerintah, legislatif maupun masyarakat. Penyusunan anggaran terdiri dari beberapa tahapan mulai dari penetapan skala
prioritas program dan kegiatan, Musyawarah Rencana Pembangunan Musrenbang, tahap penyusunan anggaran dari masing-masing Satuan Kerja
Perangkat Daerah SKPD, penelitian oleh tim anggaran pemerintah daerah TAPD, pembahasan oleh legislatif dan diakhiri penetapannya oleh legislatif
bersama pemerintah daerah. Proses yang demikian dan penelitian terdahulu masih menunjukkan
perbedaan pada hasilnya yang menjadi dasar latar belakang penulisan penelitian ini, maka penulis tertarik melakukan penelitian serupa mengenai
pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan variabel asimetri informasi dan kecukupan anggaran sebagai variabel moderating di
instansi pemerintah daerah Kota Sukabumi.
B. Perumusan Masalah