memperoleh informasi.Walaupun perlindungan konsumen sudah diatur oleh UUPK. Namun, masih ada saja pelaku pe-bisnis manufaktur,
distribusi, dunia perbankan dan jasa lainnya acap kali tidak berorientasi pada konsumen dan atau membiarkan bawahan atau cabang atau penyalur
mencari lubang ketidaktahuan konsumen tentang hak hak konsumen yang sengaja ditutupi tutupi demi memperoleh laba.
Tidak ada salahnya kalau secara periodik manajemen baik pucak maupun menengah bisnis yang merasa profesional belajar kembali ke
serangkaian konsep dasar hak-hak konsumen sebelum mensosialiasikan pada masyarakat konsumen dengan plan and program terjadwal yang
bukan bersifat pameran omong kosong dan cari nama saja. Inilah wujud saling menghargai pelaku supply dan demand co-creation of values
dalam perekonomian.
87
C. Penyelesaian Sengketa Oleh Komisi Informasi
Secara prinsip sengketa berarti ketidaksepakatan antara dua belah pihak terhadap masalah apakah suatu informasi boleh dikemukakan kepada publik atau
tidak. Koalisi berpendapat bahwa jika akses informasi ditutup, maka si pelaku terkena hukum pidana alias masuk penjara. Mengingat nilai informasi bergantung
pada waktu, maka penyelesaian sengketa informasi haruslah menganut prinsip- prinsip cepat, tepat waktu, murah dan sederhana. Penyelesaian sengketa juga
harus dilakukan secara kompeten dan independen. Dalam RUU KMI, hal ini dilakukan oleh Komisi Informasi. Dalam konstitusi Kanada, Thailand dan Swedia
87
ibid
Universitas Sumatera Utara
disebutkan juga peran Komisi Informasi sebagai lembaga yang mengurusi persengketaan informasi, mengatur ancaman pidana kepada mereka yang
menghambat pelaksanaan tugas dan penegakan putusan Komisi Informasi.
88
Secara prinsip, setiap orang yang sengaja menghalangi akses informasi publik sudah seharusnya menerima ancaman pidana. Ini karena informasi publik
sejatinya adalah milik publik, pelanggaran terhadap hak publik atas informasi berarti pelanggaran hak asasi. Undang-undang di Amerika dan Kanada juga
mengatur ancaman pidana bagi pejabat publik yang tidak menjalankan tugasnya dalam menyediakan informasi publik. Ancaman tersebut diberikan dalam berbagai
bentuk, antara lain: 1.
Mereka yang dengan sengaja menghancurkan informasi 2.
Mereka yang dengan sengaja membuat informasi yang tidak benar . 3.
Pejabat publik yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendokumentasikan dan memberikan informasi.
Ketiga ketentuan ini dibuat untuk memastikan kewajiban para pejabat publik agar terbuka dan memberikan akses kepada publik untuk mendapatkan
informasi yang menjadi hak mereka.
89
Meskipun Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik UU KIP menjamin hak memperoleh informasi publik yang
dilakukan melalui permohonan informasi publik, namun UU KIP juga menekankan keharusan adanya alasan bagi setiap permohonan informasi publik
saat mengajukan permintaan informasi publik. Aturan ini ditegaskan dalam Pasal
88
Haryanto,Ignatius, Op.cit
89
ibid
Universitas Sumatera Utara
4 ayat 3 UU KIP. Apa makna yang tersembunyi dari ketentuan Pasal 4 ayat 3 UU KIP tersebut?
Tampaknya pembuat UU KIP menyadari bahwa dengan diundangkannya UU KIP, di kemudian hari akan terjadi puluhan bahkan ratusan gelombang
permohonan informasi publik kepada Badan Publik. Suka tidak suka Badan Publik akan mengalami kewalahan dalam melayani permohonan informasi publik
itu, yang bisa jadi dilakukan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pengundangan UU KIP. Pada gilirannya hal itu justru menghambat tugas-tugas
penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Badan Publik. Oleh karena itu
“penyertaan alasan permintaan” dalam permohonan informasi diharapkan mampu menjadi filter pertama sebagai syarat prosedural dari berbagai
permohonan informasi yang dialamatkan kepada Badan Publik. Terlepas apakah alasan permintaan dalam permohonan informasi publik disampaikan secara
tertulis atau tidak tertulis, yang terpenting bahwa alasan permintaan informasi publik harus dinyatakan declare
90
. Tidak dipenuhinya syarat prosedural tadi, memberi hak kepada Badan
Publik untuk menolak permintaan informasi publik. Pasal 6 ayat 2 UU KIP menegaskan bahwa Badan Publik berhak menolak memberikan informasi publik
apabila tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undang an. Frasa “ketentuan
peraturan perundang-undang an” harus ditafsirkan sebagai seluruh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tentu saja termasuk UU KIP. Dan UU KIP Pasal 4 Ayat 3 jelas memerintahkan kepada pemohon informasi publik untuk
90
www.komisiinformasi.go.id diakses tanggal 12 Mei 2015
Universitas Sumatera Utara
menyertakan alasan
permintaan informasi
publik dalam
permohonan informasinya.
91
Harus diakui bahwa keberadaan Pasal 6 Ayat 2 Jo. Pasal 4 Ayat 3 UU KIP seolah memberi peluang kepada Badan Publik untuk mempertahankan
“ketertutupannya”, karena dengan mudah hanya berdasarkan alasan prosedural dapat menolak permintaan informasi publik. Padahal tidak semua permintaan
informasi publik dilakukan tanpa itikad baik, sekedar iseng atau tanpa maksud dan tujuan yang jelas sebagaimana diamanatkan oleh UU KIP. Di sinilah
pentingnya diakukan uji kegunaan oleh Komisi Informasi. Sedikitnya terdapat tiga alasan juridis mengapa uji kegunaan harus dilakukan oleh Komisi Informasi.
92
Selain itu, soal “menggunakan informasi publik” dalam penyelesaian sengketa informasi terkait dengan pelaksanaan putusan Komisi Informasi, yang pada posisi
ini harus diakui Komisi Informasi belum mempunyai instrumen hukum untuk menjangkau tahapan tersebut. Akibatnya Komisi Informasi tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan pengawasan yang memastikan pelaksanaan putusan Komisi Informasi.
Namun demikian, dengan melakukan uji kegunaan, kelemahan tersebut dapat diminimalisasi. Komisi Informasi secara maksimal dan optimal sesuai
dengan kewenangan yang melekat padanya telah mengupayakan agar pasca- putusan penyelesaian sengketa di Komisi Informasi, pengguna informasi publik
meggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku.
91
ibid
92
ibid
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa Informasi di Komisi Informasi
93
D. Akibat Hukum dari Penyelesaian Sengketa oleh Komisi Informasi atas Informasi yang diberikan BPOM Terkait Keselamatan Konsumen
Sebagai contoh yang terjadi saat ini terkait kasus Glanz yang merupakan akibat Hukum dari Penyelesaian Sengketa Oleh Komisi Informasi atas Informasi
yang diberikan BPOM terkait Keselamatan Konsumen. Produk kosmetik saat ini telah menjadi kebutuhan manusia baik pria maupun wanita. Glanz adalah salah
satu produk kosmetik yang beredar di Indonesia, namun peredaran produk
93
Sudibyo, dkk Panduan Sederhana Penerapan UU KIP Jakarta: 2008
Universitas Sumatera Utara
tersebut belum terdaftar di BPOM sehingga produk tersebut dikatakan sebagai produk illegal. Timbul permasalahan bagaimanakah akibat hukum terhadap
produk kecantikan Glanz yang tidak didaftarkan di BPOM? Data hasil penelitian diperoleh bahwa Produk kecantikan Glanz yang dijual di masyarakat tetapi tidak
memiliki izin edar dari BPOM dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif. Produsen kecantikan Glanz telah melanggar ketentuan dalam Undang-undang No.
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c, Pasal 7 huruf a, Pasal 7 huruf d, dan Pasal 8 ayat 1 huruf a, Keputusan Kepala BPOM RI No.
HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik Pasal 2 huruf c dan Pasal 10 ayat 1, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 jo Pasal 197.
94
Produsen juga dapat dituntut secara perdata dengan ganti rugi dengan mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menegaskan bahwa tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu menggantikan kerugian tersebut.
Ketentuan ini untuk memberikan kepastian adanya tanggung jawab pelaku usaha apabila menyebabkan kerugian pada konsumen. Masyarakat harus cepat tanggap
bila menemukan obat dan kosmetik palsu untuk segera melaporkan ke pihak yang berwajib.
Kini banyak pengusaha baik dalam bentuk badan hukum maupun individu melakukan transaksi jual beli dengan pembeli melalui layanan website atau
bentuk blog dengan berbagai macam barang. Salah satunya yang sedang ramai diperjualbelikan adalah produk kecantikan bagi konsumen kaum perempuan. Jenis
94
UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
Universitas Sumatera Utara
dari produk kecantikan bermacam-macam bentuknya yaitu obat-obatan dan kosmetik.
Bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu merkuri Hg, asam retinoat Retinoic Acid, zat warna rhodamin Merah
K.10 dan merah K.3. Merkuri Hg Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam konsentrasi kecil saja dapat bersifat racun. Pemakaian Merkuri Hg
dapat menirnbulkan berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit,
kerusakan permanen pada susunan syaraf, otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin. Bahkan paparan jangka pendek dalam dosis tinggi dapat
menyebabkan diare muntah-muntah, kerusakan ginjal, bahkan dapat menyebabkan kanker. Bahaya penggunaan asam retinoat dapat menyebabkan kulit kering, rasa
terbakar, teratogenik cacat pada janin. Bahan pewarna Merah K.1O dan Merah K.3 merupakan zat warna sintetis yang umumnya digunakan sebagai zat warna
kertas, tekstif atau tinta. Zat warna ini merupakan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker.
Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, dinyatakan bahwa definisi
kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
bagian luar atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
Universitas Sumatera Utara
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Ini berarti bahwa sesuatu dimasukkan ke dalam kosmetik jika memenuhi maksud dan fungsi sebagaimana
tersebut di atas.
95
1.
Perlindungan Konsumen
Membahas mengenai perlindungan konsumen sangatlah penting untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian konsumen dan pelaku usaha. Konsumen
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemakai barangbarang hasil produksi seperti bahan pakaian, makanan, dan sebagainya. Istilah konsumen
sebagai alih bahasa dari Consumer, secara harfiah berarti seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa atau seseorang atau sesuatu perusahaan
yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu juga sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.
Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual, menarik perhatian dan selalu hangat untuk dipersoalkan, dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan.
Menurut The UN Guideline for Consumer Protection, Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. ARES39248 pada 16 April 1985 tentang Perlindungan
konsumen antara lain menggariskan konsumen sedunia mempunyai hak-hak dasar. Hak- hak dasar itu meliputi hak mendapatkan informasi yang jelas, benar,
jujur dan hak mendapaikan jaminan keamanan dan kesehatan. Konsumen juga mempunyai hak memilih, untuk didengar, mendapatkan ganti rugi dan
mendapatkan lingkungan yang bersih. Masalah tersebut sejak lama
diperbincangkan di forum nasional dan internasional. Para pembela konsumen dan
95
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik,
Universitas Sumatera Utara
pejabat pemerintah telah berbicara banyak mengenai arti penting perlindungan konsumen. Tapi kenyataannya, konsumen masih sering menjadi korban.
Pemerintah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung konsumen dan pengatur kegiatan produsen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa pemerintah belum mampu menjadi pengatur relasi yang adil antara konsumen dengan pelaku usaha. Dilihat dari perspektif hukum, seharusnya
pemerintah mampu mewujudkan keadilan melalui konstitusi dan perturan- peraturan di bawahnya serta memastikan tegaknya peraturan tersebut sehingga
konsep hukum perlindungan konsumen tidak hanya berisi rumus-rumus tentang hak-hak dan kepentingan konsumen.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK dijelaskan bahwa perlindungan
Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam ayat 2
menyatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
96
Pada Pasal 1 ayat 3, UUPK, Pelaku Usaha diartikan sebagai orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi
97
96
UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
97
UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Universitas Sumatera Utara
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa batasan hukum konsumen mencakup keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, konsumen lebih lemah kedudukannya dari pelaku usaha.
Selain memperoleh hak , sebagai balance, pada Pasal 5 UUPK, konsumen juga diwajibkan untuk:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 2.
Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Selanjutnya dalam ketentuan dalam Keputusan Kepala BPOM Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik, antara lain:
98
1. Pasal 2 huruf c
Kosmetik yang diproduksi danatau diedarkan harus terdaftar pada dan mendapat izin edar dari BPOM.
2. Pasal 10 ayat 1
98
Keputusan Kepala BPOM Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik
Universitas Sumatera Utara
Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk mendapatkan izin edar dari Kepala Badan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bahwa penjual produk kecantikan Glanz telah melanggar ketentuan tersebut karena produk yang
diperdagangkan tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan BPOM dan tidak memiliki ijin edar dari BPOM. Selain itu, kosmetik Glanz yang
diperdagangkan tidak memiliki izin edar dari BPOM. Apabila penjual memiliki itikad baik maka tidak akan menjual produk tersebut karena keamanannya belum
terjamin. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 19 Ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai sesuai dengan ketentuan peraturan
perUndang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti kerugian tersebut harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum. Gugatan sengketa konsumen yang diajukan oleh
perorangan dapat dilakukan melalui pengadilan, apabila upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan tidak berhasil atau tidak tercapai
kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
Penjual produk kecantikan Glanz juga dapat dibebankan tanggung jawab atas sanksi pidana berkenaan dengan pelanggaran dalam melakukan praktek
niaga. Tanggung jawab pelaku usaha untuk pemberian ganti kerugian tidak menghilangkan tanggung jawab pidana berdasarkan pembuktian terhadap unsur
kesalahan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana, maka walaupun telah terjadi kesepakatan antara pihak
penjual dan pembeli yang bersengketa dan dikuatkan dengan surat perjanjian damai, tidak akan menghilangkan tanggung jawab pidana dari pihak pelaku usaha.
Produk kecantikan Glanz dapat dikenakan sanksi adminitratif sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Kepala BPOM Republik
Indonesia No. HK. 00.05.4.1745 Pasal 39 berupa:
99
1. Peringatan tertulis.
2. Penarikan kosmetik dari peredaran termasuk penarikan iklan.
3. Pemusnahan kosmetik.
4. Penghentian sememntara kegiatan produksi, impor, distribusi,
penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan kosmetik 5.
Pencabutan sertifikat atau izin edar. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 62 ayat 1, Pelaku usaha yang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak memenuhi standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perUndang-undangan dapat dipidana penjara paling lama 5 lima Tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,-dua miliar rupiah.
99
ibid
Universitas Sumatera Utara
Selain sanksi pidana, dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 63, berupa: 1.
Perampasan barang tertentu. 2.
Pengumuman keputusan hakim. 3.
Pembayaran ganti rugi. 4.
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen.
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
6. Pencabutan izin usaha.
Kegiatan memproduksi danatau mengedarkan produk yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas Tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,- satu miliar lima ratus juta rupiah sesuai dengan Pasal 197 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Selain itu, produsen produk kecantikan yang sengaja mengedarkan tanpa izin dan produk kecantikan tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat berakibat
menurunnya kesehatan berupa rusaknya jaringan kulit maupun yang dapat mengakibatkan pemakai meninggal dunia, maka dapat dikenakan Pasal 351 dan
Pasal 338 KUHP. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan. Dengan demikian, rusaknya jaringan kulit akibat pemakaian produk kecantikan ilegal yang
mengandung bahan berbahaya dan berakibat pemakainya mengalami penderitaan,
Universitas Sumatera Utara
maka dapat dikenakan Pasal penganiayaan dan apabila menjadikan matinya orang, pihak produsen dapat dikenakan Pasal 338 KUHP.
Berdasarkan urian di atas, penulis berpendapat bahwa produk kecantikan Glanz yang tidak didaftarkan di BPOM namun beredar dan dijual di
masyarakat telah melanggar peraturan hukum yang ada. Dengan demikian, akibat hukum terhadap produk kecantikan Glanz yang tidak didaftarkan di BPOM, dapat
dikenakan beberapa ketentuan perUndang-undangan yaitu Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Perlindungan Konsumen dan Keputusan Kepala BPOM Republik Indonesia No. HK. 00.05.4.1745 yang sanksinya dapat berupa sanksi pidana dan sanksi
administratif.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan