Konstruksi Konflik dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi (Analisis Framing tentang Konstruksi Konflik Aceh dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”)

(1)

KONSTRUKSI KONFLIK

DALAM LAPORAN JURNALISME SASTRAWI

(Analisis Framing tentang Konstruksi Konflik Aceh dalam Laporan

Jurnalisme Sastrawi “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh

SHAHNAZ ASNAWI YUSUF 080904060

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012


(2)

ABSTRAK

Jurnalisme sastrawi merupakan gaya penulisan berita dengan mengadaptasi unsur-unsur dari sastra. Meskipun menggunakan unsur sastra yang didominasi fiksi, tapi jurnalisme sastrawi tetaplah jurnalisme yang menyucikan fakta. Genre ini sendiri pertama kali diperkenalkan Tom Wolfe di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an dengan nama new journalism (jurnalisme baru).

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi. Karya yang diterbitkan majalah Pantau pada tahun 2002 ini diakui Andreas Harsono (Direktur Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki Pantau. Tulisan ini sendiri telah dibukukan bersama karya-karya jurnalisme sastrawi lainnya dengan judul Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Tragedi Simpang Kraft—salah satu kejadian kekerasan dalam konflik Aceh—dikonstruksi dalam naskah jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pan dan Kosicki sendiri membagi perangkat framing dalam empat struktur besar yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat struktur ini yang akan dianalisis satu per satu untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah ini. Dari sini, kita bisa melihat bahwa suatu teks berita lahir bukan hanya dari apa adanya peristiwa, tapi juga dikonstruksi oleh pihak di belakang teks tersebut.

Wawancara dengan penulis menunjukkan bahwa penulis sendiri harus berupaya keras untuk menghasilkan sebuah tulisan yang independen, lepas dari bias penulis yang juga merupakan penduduk Aceh. Penulis menekankan pentingnya reporter untuk bersandar pada hasil reportase sendiri, tanpa menambah atau mengurangi hal sekecil apa pun.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan narasumber dari sudut pandang wartawan yang bertugas di daerah konflik tersebut membuat berita tidak terlalu berat ke salah satu pihak yang bertikai. Menulis mengenai kekerasaan yang dialami masyarakat Aceh juga tidak serta-merta membuat penulis memojokkan pihak militer. Tulisan ini cukup komprehensif dan proporsional karena merunut akar masalah kejadian di Simpang Kraft.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas anugerah pikiran dan berkah ilmu yang telah Ia berikan hingga skripsi yang berjudul Konstruksi Konflik dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi (Analisis Framing tentang Konstruksi Konflik Aceh dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”) ini dapat diselesaikan.

Penulisan skripsi yang mengangkat tema jurnalisme sastrawi ini berawal dari pemahaman peneliti mengenai jurnalisme sastrawi yang didapat selama aktif di Pers Mahasiswa SUARA USU. Genre ini sebenarnya mulai berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an. Namun genre ini masih asing di Indonesia karena minimnya pengetahuan tentang genre ini sendiri serta tidak adanya media massa yang hingga kini menerapkan genre ini.

Peneliti berharap skripsi ini tak hanya berguna untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, tapi juga sebagai sumbangsih langsung pada studi ilmu komunikasi. Semoga skripsi ini tidak hanya bermanfaat bagi peneliti, namun bagi siapa saja yang berminat untuk mendalami jurnalistik, terutama jurnalisme sastrawi.

Secara khusus peneliti berterima kasih kepada ayahanda H. Asnawi Yusuf serta kedua ibunda, Hj. Dra. Juliana dan Nazariah Yusuf. Terima kasih karena telah melahirkan, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang dan


(4)

kesabaran. Terima kasih atas semua doa dan dukungan yang selalu diberikan atas apa yang penulis tempuh.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang senantiasa memberikan bantuan dan semangat. Dengan segala kerendahan hati, peneliti menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen, staf, dan rekan-rekan di Departemen Ilmu Komunikasi, tempat peneliti menimba ilmu selama empat tahun ini.

5. Kakak, abang dan adik-adik peneliti: Nadia, Ahmad Shawqi, Annisa Maghfirah, Muhammad Daffa Alfaras, dan Farah Dzakirah. Menyenangkan sekali berada di rumah dengan kehadiran kalian yang luar biasa uniknya.

6. Khairil Hanan Lubis, yang dari awal kuliah hingga skripsi ini rampung senantiasa memberi motivasi dan dukungan.


(5)

Kepada kawan-kawan Pengurus 2011: Wan Ulfa Nur Zuhra, Ahmad Hidayat, Richka Hapriyani, Sandra Cattelya, dan Sriyanti. Dewan Redaksi 2011 yang tersayang: Moyang Kasih Dewimerdeka, Ridha Annisa Sebayang, M Januar, Febrian, Harry Yassir Elhadidy Siregar, Andika Bakti, Kartini Zalukhu, dan Muslim Ramli. Satu tahun itu benar-benar luar biasa. Terima kasih.

Juga untuk Bania Cahya Dewi, Viki Aprilita, dan Erny Suciaprianti. Tetap jadi pribadi unik! Serta untuk semua anggota SUARA USU yang tidak disebutkan satu per satu. Kakak, abang, adik dan kawan yang mewarnai hari selama tiga tahun lebih peneliti berada di rumah tanpa jeda tersebut. 8. Teman-teman di Ikatan Pemuda Pelajar Tanah Rencong (IPTR)

Komisariat USU. Terutama untuk tim kesenian, tetap semangat pertahankan budaya! Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli?

9. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari, penulisan skripsi ini masih jauh sempurna. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat.

Medan, Juli 2012 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 5

I.3 Pembatasan Masalah ... 6

I.4 Tujuan Penelitian ... 6

I.5 Manfaat Penelitian ... 7

I.6 Kerangka Teori ... 7

I.7 Kerangka Konsep ... 19

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Ruang Lingkup Ilmu Komunikasi ... 22

II.1.1 Definisi dan Konsep Komunikasi ... 22

II.1.2 Tingkatan Komunikasi ... 24

II.1.3 Jurnalistik ... 25

II.2 Jurnalisme Sastrawi ... 27

II.3 Media Massa dan Konstruksi Sosial ... 30

II.4 Pendekatan Politik Ekonomi Media ... 33

II.5 Analisis Framing ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 47

III.2 Metode Penelitian ... 48

III.3 Subjek Penelitian ... 50

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 51

III.5 Teknik Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Kodifikasi Naskah ... 53

IV.2 Analisis Naskah ... 76

IV.2.1 Sintaksis ... 76

IV.2.2 Skrip ... 93

IV.2.3 Tematik ... 102

IV.2.4 Retoris ... 106


(7)

BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan... 122 V.2. Saran ... 123 DAFTAR PUSTAKA ... 125 LAMPIRAN


(8)

ABSTRAK

Jurnalisme sastrawi merupakan gaya penulisan berita dengan mengadaptasi unsur-unsur dari sastra. Meskipun menggunakan unsur sastra yang didominasi fiksi, tapi jurnalisme sastrawi tetaplah jurnalisme yang menyucikan fakta. Genre ini sendiri pertama kali diperkenalkan Tom Wolfe di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an dengan nama new journalism (jurnalisme baru).

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi. Karya yang diterbitkan majalah Pantau pada tahun 2002 ini diakui Andreas Harsono (Direktur Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki Pantau. Tulisan ini sendiri telah dibukukan bersama karya-karya jurnalisme sastrawi lainnya dengan judul Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Tragedi Simpang Kraft—salah satu kejadian kekerasan dalam konflik Aceh—dikonstruksi dalam naskah jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pan dan Kosicki sendiri membagi perangkat framing dalam empat struktur besar yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat struktur ini yang akan dianalisis satu per satu untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah ini. Dari sini, kita bisa melihat bahwa suatu teks berita lahir bukan hanya dari apa adanya peristiwa, tapi juga dikonstruksi oleh pihak di belakang teks tersebut.

Wawancara dengan penulis menunjukkan bahwa penulis sendiri harus berupaya keras untuk menghasilkan sebuah tulisan yang independen, lepas dari bias penulis yang juga merupakan penduduk Aceh. Penulis menekankan pentingnya reporter untuk bersandar pada hasil reportase sendiri, tanpa menambah atau mengurangi hal sekecil apa pun.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan narasumber dari sudut pandang wartawan yang bertugas di daerah konflik tersebut membuat berita tidak terlalu berat ke salah satu pihak yang bertikai. Menulis mengenai kekerasaan yang dialami masyarakat Aceh juga tidak serta-merta membuat penulis memojokkan pihak militer. Tulisan ini cukup komprehensif dan proporsional karena merunut akar masalah kejadian di Simpang Kraft.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa. Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa dan ketatnya persaingan industri media massa adalah kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputan. Tentu saja dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik dan online jelas lebih unggul dibanding media cetak seperti surat kabar dan majalah. Saat masyarakat sudah bisa mendapat informasi dari laporan langsung di televisi atau mengakses berita terbaru di media online, surat kabar dan majalah harus menunggu waktu cetak dan waktu terbit secara berkala. Hal ini mendorong masyarakat lebih mengunggulkan media elektronik dan online ketimbang media cetak. Yang kemudian terjadi adalah masyarakat hanya mendapat informasi selintas dan tidak mendalam.

Seperti pada konflik Aceh, pemberitaan di media senantiasa menampilkan kejadian sepotong-sepotong. Aceh sendiri memang sudah bergejolak sejak Hasan Di Tiro mendirikan GAM pada tahun 1974, setelah sebelumnya pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Tengku Daud Beureueh usai pada 1962. Pemerintah lalu memberlakukan “Operasi Jaring Merah” atau yang biasa disebut DOM


(10)

(Daerah Operasi Militer) sejak 1989 sampai 1998. Forum Peduli HAM Aceh mencatat ada 1.321 kasus orang tewas atau terbunuh, 1.958 kasus orang hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran selama operasi ini (KontraS, 2006: 56).

Selama pemberlakuan DOM di Aceh, sumber berita media nasional dan lokal mayoritas berasal dari pihak TNI. Ini terjadi karena pihak GAM tidak terbuka pada media nasional yang dianggap berpihak pada Indonesia dan militer. Informasi ini juga disajikan dalam bentuk straight news atau terkadang indepth news. Semua media baik surat kabar, televisi, hingga online hanya sekadar memberitahu sebuah kejadian tanpa merunut kejadian sebelumnya. Padahal suatu kejadian terjadi akibat ada penyebabnya. Pemberitaan terus-menerus dari sebuah pihak tanpa ada keberimbangan tentu mengkonstruksi pemikiran dan pemahaman masyarakat.

Nurudin mengungkapkan media massa hendaknya tak sekadar memberitakan peristiwa semata. Namun juga bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan interpretatif pesan (Nurudin, 2003:93).

Media massa kini menghadapi tantangan menyajikan sebuah pemberitaan mendalam dan menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Praktik jurnalisme di media cetak sebenarnya bisa menjadi lahan yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan


(11)

dibanding media elektronik dan online yang cenderung hanya mengejar aktualitas. Sayangnya, media cetak masih menyajikan laporan mendalamnya dengan bentuk

indepth news yang kaku. Padahal pemberitaan yang mendalam akan

membosankan jika ditulis secara berat.

Salah satu bentuk penulisan yang bisa menyajikan berita mendalam secara lebih menarik adalah jurnalisme narasi atau lazim disebut jurnalisme sastrawi. Genre ini sebenarnya sudah dikenalkan di Amerika pada 1960-an oleh wartawan Amerika, Tom Wolfe (Harsono, 2008: vii). Hingga kini, gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media Amerika seperti The New Yorker, Atlantic Monthly, dan Harper's.

Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata ‘sastrawi’ dan ‘narasi’, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta (Harsono, 2008: xii).

Banyak yang menyalahartikan jurnalisme sastrawi dalam perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium penerapan jurnalisme sastrawi (Kurnia, 2002: 201). Padahal feature dan jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda secara substansi, meskipun feature juga bisa menerapkan beberapa hal yang ada dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori soft news, sedangkan


(12)

jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news dengan gaya sastra atau bernarasi.

Ada juga yang berpendapat kalau apa yang disajikan Tempo dalam Catatan Pinggir atau laporan utama sudah merupakan jurnalisme sastrawi. Padahal jelas, Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad merupakan kolom atau esai yang hanya berupa opini, meskipun didukung dengan literatur yang kuat, bahkan ada sedikit liputan. Sedangkan laporan utamanya, meski menggunakan deskripsi yang membuat tulisan jadi hidup, masih belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai jurnalisme sastrawi.

Jurnalisme sastrawi memang membutuhkan deskripsi yang kuat. Deskripsi di sini bukan berarti harus mendayu-dayu, tapi deskripsi yang memang mendukung cerita supaya cerita lebih hidup. Tapi bukan cuma deskripsi, jurnalisme sastrawi juga juga memerlukan apa yang sebuah karangan sastra perlukan, seperti penokohan, kronologis, alur yang kuat, konflik dan antiklimaks serta akhir yang memikat. Semuanya harus kuat, bukan hanya di pembuka tulisan seperti yang ditampilkan Tempo.

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu contoh tulisan yang dikemas dengan gaya penulisan sastrawi. Tulisan ini dimuat pada buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada tahun 2005 dan cetakan keduanya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008. Tulisan sepanjang hampir 12 ribu kata atau delapan puluh ribu karakter ini menceritakan


(13)

Kejadian ini dikenal dengan sebutan Tragedi Simpang KKA yang merupakan singkatan dari Kertas Kraft Aceh. Data dari NGO’s Coalition for Human Right mencatat ada 46 warga Aceh yang meninggal, 156 terluka parah dan

10 orang menghilang

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat ini terjadi di Simpang Pabrik KKA Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Kejadian ini dikisahkan ulang secara rinci dan runut, juga memiliki penokohan dan deskripsi yang detail. Tentu saja berita sepanjang ini sangat berbeda dengan berita yang biasa dikonsumsi masyarakat yang hanya menampilkan sebuah kejadian secara sepintas. Tulisan ini termasuk salah satu tulisan terbaik jurnalisme sastrawi yang dihasilkan oleh wartawan Indonesia. Berbeda dengan tulisan lain dari genre ini yang terkadang sedikit membosankan dan bertele-tele, tulisan ini benar-benar kuat dalam alur, konflik cerita, dan mampu membuat pembaca hanyut. Tulisan ini bahkan dibuat menjadi cerita pertama dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kuatnya unsur jurnalisme sastrawi yang ada dalam tulisan ini membuat tulisan ini sangat layak untuk diteliti dibanding beberapa tulisan lain yang ada di buku tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:


(14)

”Bagaimanakah konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat bagaimana sebuah naskah berita panjang mengkonstruksi sebuah isu. 2. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan

model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

3. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk meneliti konflik Aceh secara keseluruhan, tapi hanya meneliti sebuah naskah jurnalisme sastrawi yang membahas konflik Aceh khusunya tragedi Simpang KKA.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sebuah naskah jurnalisme sastrawi tentang sebuah kejadian pada konflik Aceh. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pada makna isi

pesan yang terkandung pada naskah berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.


(15)

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana berita panjang bisa mengkonstruksi sebuah isu.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khazanah penelitian tentang media dan bidang jurnalistik, khususnya tentang jurnalisme sastrawi dan konstruksi berita oleh media massa. 2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

3. Secara praktis, diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media dan memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

I.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).


(16)

Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

I.6.1 Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme sastrawi pertama kali dicetuskan oleh wartawan Amerika Serikat, Tom Wolfe, dengan nama new journalism. Beberapa pemikir jurnalisme kemudian mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang menggunakan nama narrative reporting, ada juga yang memakai nama passionate journalism. Pulitzer Prize menyebutnya explorative journalism.

Roy Peter Clark (dalam Harsono, 2008: viii), seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W+1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W+1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esai Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plotataualur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motivasi, dan how menjadi deskripsi narasi.

Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah karena panjangnya karya tersebut. Judulnya Hiroshima karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima. Karya ini dipilih oleh sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah


(17)

ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam bentuk buku yang juga berjudul Hiroshima oleh Komunitas Bambu pada tahun 2008.

Robert Vare (dalam Harsono, 2008: xii) yang pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones menjelaskan bahwa setidaknya ada tujuh pertimbangan dalam menulis tulisan bergenre ini. Tujuh hal tersebut ialah:

1. Fakta. Setiap detail yang dilaporkan harus berupa fakta. Walaupun menggunakan kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme yang mementingkan fakta.

2. Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik.

3. Karakter atau penokohan. Fungsinya adalah untuk membantu mengikat cerita.

4. Akses. Maksudnya di sini adalah, akses pada masing-masing narasumber yang menjadi karakter di tulisan. Akses juga bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

5. Emosi. Segala emosi akan membantu pembaca tetap tertarik untuk menghabiskan tulisan.

6. Perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan surat kabar dengan sebuah potret atau foto. Laporan panjang adalah sebuah film atau video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang


(18)

membedakan narasi dari feature. Feature hanya memotret sebuah kejadian atau kondisi, sedangkan jurnalisme sastrawi berupa video yang merekam secara runut dan detail.

7. Unsur kebaruan. Media lain mungkin telah menceritakan kondisi atau data dari sebuah kejadian, untuk itu jurnalisme sastrawi harus memberikan apa yang pembaca belum tahu. Tentu saja apa yang lebih dalam dari yang mereka dapatkan dari media lain.

I.6.2 Media Massa dan Konstruksi Sosial

Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas


(19)

Substansi teori konstruksi sosial media massa terletak pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial tersebut berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media massa, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif.


(20)

4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

Pada kenyataannya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.

Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan unsur kelayakan berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam keseluruhan teks berita. Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.

Ada empat teknik framing yang biasa dipakai wartawan untuk membingkai ketiga bagian tersebut, yaitu: (1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian sikap dan perilaku); (2) Empathy (membentuk pribadi


(21)

(4) Association (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita).


(22)

I.6.3 Pendekatan Politik Ekonomi Media

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2).

Secara lebih sederhana, pengertian ekonomi politik adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan

Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.


(23)

Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur. Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.

Sementara itu, dalam memberitakan suatu peristiwa, media massa dipengaruhi oleh beragam pengaruh. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu:

1. Level Individu/Pekerja Media

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.


(24)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.

3. Level Organisasi Media

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri.

Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis.

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media. 5. Level Ideologi

Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat


(25)

sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.

I.6.4 Analisis Framing

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Salah satu pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana adalah analisis framing yang tergolong dalam pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur


(26)

konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk


(27)

mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tak terelakkan.

Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2002: 252).


(28)

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan menggeneralkan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Konsep dibentuk dengan menggeneralkan hal-hal khusus. Jadi, konsep merupakan sejumlah ciri atau standar umum suatu obyek (Kriyantono, 2008: 17).

Konsep merupakan penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:34). Untuk itu, peneliti harus menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum melakukan pengumpulan data. Hal ini tertuang dalam kerangka konsep karena dengan menetapkan variabel, akan mempermudah penelitian. Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995:33).

Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis framing dengan model milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang terdiri dari empat struktur besar yaitu:

1. Struktur Sintaksis yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Dapat diamati dari bagian berita (lead yang dipakai, latar, headline, kutipan yang diambil, dan pernyataan penutup).


(29)

2. Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa ke dalam bentuk berita.

3. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

4. Struktur retoris, berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembacanya. (Eriyanto, 2002: 255)


(30)

PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta UNIT YANG DIAMATI

Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup

5 W + 1H

Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang Diterapkan dalam Penelitian Ini


(31)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala yang menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2004: 6). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2008: 43). Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah:

II.1 Ruang Lingkup Ilmu Komunikasi

II.1.1 Definisi Komunikasi

Harold Laswell mendefinisikan komunikasi dengan mencoba menjawab beberapa unsur berikut: who, says what, in which channel, to


(32)

whom, with what effect. Ini berarti bahwa komunikasi dalam prosesnya meliputi lima unsur yaitu adanya komunikator yang bertindak sebagai penyampai pesan, pesan, saluran sebagai sarana penyampai pesan, komunikan yang berperan sebagai penerima pesan dan efek yang merupakan umpan balik sebagai reaksi komunikan terhadap pesan yang disampaikan komunikator.

Definisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan proses atau pengoperan “sesuatu” berupa lambang atau simbol dalam bentuk informasi, karena kata kunci komunikasi adalah informasi. Sedangkan kegiatan komunikasi yang berlangsung lebih menunjukkan kepada komunikasi interpersonal atau disebut juga proses komunikasi secara primer dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai medianya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator pada komunikan.

Para pakar komunikasi memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi, meskipun adakalanya terdapat kesamaan dan tumpang tindih diantara berbagai pendapat tersebut. Thomas M Scheidel (dalam Mulyana, 2002: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk


(33)

Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat.

II.1.2 Tingkatan Komunikasi

Komunikasi memiliki tingkatan yang bisa dilihat dari jumlah orang yang terlibat, sifat pesan dan medium yang digunakan dalam proses penyampaian pesan. Komunikasi yang paling dasar adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Ini disebut komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem syaraf manusia.

Tingkatan komunikasi selanjutnya adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi ini dilakukan seseorang dengan orang lain, bersifat pribadi dan sampai pada tataran prediksi hasil komunikasinya pada tingkatan psikologis. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Komunikasi interpersonal tidak hanya sekadar penyampaian pesan, tapi juga menentukan kadar hubungan interpersonal.

Tingkatan selanjutnya adalah komunikasi kelompok. Jika pada komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok melibatkan beberapa orang


(34)

yang tergabung dalam sebuah kelompok. Sekelompok orang ini biasanya memiliki rasa keterikatan yang biasanya tidak dimiliki oleh orang lain yang bukan anggota kelompok. Setelah komunikasi kelompok, ada komunikasi organisasi yang menaungi proses komunikasi dalam suatu kelompok yang sudah terorganisasi. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi.

Tingkatan komunikasi yang terakhir adalah komunikasi massa. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah audiens yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media massa cetak atau pun elektronik sehingga pesan yang diterima secara serentak dan sesaat. Konteks komunikasi massa dikaitkan dengan komunikasi publik. Komunikasi publik adalah komunikasi antara komunikasi antara seorang pembicara dengan khalayak, yang tidak dikenali satu per satu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah, atau kuliah umum.

II.1.3 Jurnalistik

Jurnalistik berasal dari kata journal atau dujour yang merupakan terjemahan dari bahasa Latin diurnal yang berarti harian atau setiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. MacDougall (dalam Kusumaningrat) menyebutkan


(35)

melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis (Kusumaningrat, 2009: 15).

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan bahwa setidaknya ada sembilan elemen yang harus ditegakkan para pekerja media (Kovach, 2006: 6), yaitu:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.

4. Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita.

5. Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.

7. Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan.

8. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional.

9. Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Salah satu karya jurnalistik disebut berita. Berita merupakan bagian yang terpenting dari sebuah media. Ibarat sajian makanan, berita adalah menu utamanya. Orang mengonsumsi media karena ingin memenuhi kebutuhannya akan berita. Menurut Ensiklopedi Pers Indonesia (Junaedhi, 1991: 26), berita adalah laporan pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan baru saja terjadi yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa.

Pendapat senada juga diungkapkan Jakob Oetama (1987: 195), ia berpendapat berita bukanlah fakta. Berita adalah laporan tentang fakta.


(36)

Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan, dilaporkan oleh wartawan dan dimuat pada media yang bersangkutan. Dengan demikian, berita tersebut masuk kepada kesadaran publik hingga akhirnya menjadi pengetahuan publik secara aktual.

Kelengkapan fakta dalam laporan suatu peristiwa merupakan syarat dari suatu berita agar dapat disebut faktual. Sehingga fakta yang disajikan lewat laporan tersebut benar-benar nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya oleh siapa pun, langsung di tempat kejadian.

II.2 Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme sastrawi pertama kali dicetuskan oleh wartawan Amerika Serikat, Tom Wolfe, dengan nama new journalism sekitar tahun 1960-an (Harsono, 2008: vii). Beberapa pemikir jurnalisme kemudian mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang menggunakan nama narrative reporting, ada juga yang

memakai nama passionate journalism. Pulitzer Prize menyebutnya explorative

journalism. Hingga kini, gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media Amerika seperti The New Yorker, Atlantic Monthly, dan Harper's.

Bentuk penulisan jurnalisme sastrawi membuat laporan berita tidak lagi sekadar pengungkapan fakta, tetapi berusaha mengungkapkan “mengapa dan bagaimana” suatu peristiwa terjadi. Semua fakta dibentuk menjadi news story dengan menampilkan konfigurasi sosial untuk membangkitkan emosi terhadap pembaca. Laporan fakta ditulis dengan teknik bercerita sebagaimana halnya fiksi,


(37)

menyajikan peristiwa demi peristiwa berita dalam urutan yang membuat pembaca seolah-olah berada di lokasi kejadian (Setiati, 2005: 102).

Roy Peter Clark (dalam Harsono, 2008: viii), seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W+1H menjadi

pendekatan baru yang naratif. 5W+1H adalah singkatan dari who (siapa), what

(apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).

Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esai Nieman Reports, who berubah

menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when

menjadi kronologi, why menjadi motivasi, dan how menjadi deskripsi narasi. Robert Vare (dalam Harsono, 2008: xii) yang pernah bekerja untuk

majalah The New Yorker dan Rolling Stones menjelaskan bahwa setidaknya ada

tujuh pertimbangan dalam menulis tulisan bergenre ini. Tujuh hal tersebut ialah:

8. Fakta. Setiap detail yang dilaporkan harus berupa fakta. Walaupun

menggunakan kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme yang mementingkan fakta.

9. Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya

pikatnya bila ada konflik.

10.Karakter atau penokohan. Fungsinya adalah untuk membantu mengikat

cerita.

11.Akses. Maksudnya di sini adalah, akses pada masing-masing

narasumber yang menjadi karakter di tulisan. Akses juga bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.


(38)

12.Emosi. Segala emosi akan membantu pembaca tetap tertarik untuk menghabiskan tulisan.

13.Perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan surat kabar

dengan sebuah potret atau foto. Laporan panjang adalah sebuah film atau video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Feature hanya memotret sebuah kejadian atau kondisi, sedangkan jurnalisme sastrawi berupa video yang merekam secara runut dan detail.

14.Unsur kebaruan. Media lain mungkin telah menceritakan kondisi atau

data dari sebuah kejadian, untuk itu jurnalisme sastrawi harus memberikan apa yang pembaca belum tahu. Tentu saja apa yang lebih dalam dari yang mereka dapatkan dari media lain.

Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata ‘sastrawi’ dan ‘narasi’, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta (Harsono, 2008: xii).

Banyak yang menyalahartikan jurnalisme sastrawi dalam perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium penerapan jurnalisme sastrawi (Kurnia, 2002: 201). Padahal feature dan jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda


(39)

dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori straight news, sedangkan jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news dengan gaya sastra atau bernarasi.

Robert Vare (dalam Harsono, 2008: xiv) mengibaratkan laporan surat kabar biasa dengan selembar potret. Sedangkan laporan panjang—dalam hal ini laporan jurnalisme sastrawi—adalah suatu film yang berputar. Ini yang membedakan narasi dari feature. Narasi diibaratkan dengan video sedangkan feature semacam potret.

II.3 Media Massa dan Konstruksi Sosial

Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritis yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966 (Bungin, 2008: 193).

Bagi Berger dan Luckmann, realitas tidak terbentuk dengan sendirinya secara ilmiah, namun dibentuk dan dikonstruksi. Realitas berwajah ganda atau plural, setiap orang dapat memiliki konstruksi yang berbeda-beda terhadap sebuah realitas, selain itu realitas juga bersifat dinamis dan dialektis. Realitas tidak statis maupun tunggal karena ada relativitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan.


(40)

Menurut Berger dan Luckmann pula, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.

Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann telah direvisi dengan menambahkan variabel atau fenomena media massa yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi dan internalisasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai konstruksi sosial media massa. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:


(41)

keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif.

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, saat realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008: 188-189).


(42)

Objektivasi

Internalisasi

P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n

M E D I A M A S S A Eksternalisasi

Source Message Channel Receiver Effect - Objektif

- Subjektif - Inter Subjektif

Realitas Terkonstruksi:

- Lebih Cepat

- Lebih Luas

- Sebaran Merata

- Membentuk Opini Massa

- Massa Cenderung

Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori

- Opini Massa Cenderung Sinis

Proses Konstruksi Sosial Media Massa

Sumber: Bungin, 2008: 204

II.4 Pendekatan Politik Ekonomi Media

Pendekatan politik ekonomi media menjelaskan bahwa isi media massa ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar pengelolaan media, seperti faktor ekonomi dan politik. Pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana konten media tersebut. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2). Dalam pendekatan ini, kepemilikan media (media ownership) memegang arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat.


(43)

Secara lebih sederhana, pengertian ekonomi politik adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan ini menekankan penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat.

Jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audiens. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik.

Dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ‘ekonomi politik’ merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan. (http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/kapitalisme-organisasi-media-dan.html).

Ada tiga konsep awal dalam penerapan pendekatan ekonomi politik pada studi media massa, yaitu: komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apa pun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang


(44)

masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.

Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

Akhirnya komodifikasi dan spasialisasi menghasilkan strukturasi atau penyeragaman ideologi secara terstruktur. Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.

Pada dasarnya, apa yang disajikan oleh media adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Shoemaker, 1996: 60) mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu:

1. Level Individu/Pekerja Media

Faktor ini berkaitan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal


(45)

kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, bisa memengaruhi apa yang ditampilkan media. Selain personalitas, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme pengelola media. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa memengaruhi pemberitaan media. 2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media massa umumnya mempunyai patokan tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.

Saat ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media memengaruhi wujud akhir sebuah berita. Dalam hal ini media massa memiliki standard operational procedure dalam mencari dan menemukan berita. Kemampuan media di dalam rutinitas media juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia, materi, dan perlengkapan.


(46)

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetis memengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.

Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan berita agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media.


(47)

Pertama, sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk memengaruhi media dengan berbagai alasan seperti memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Media telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.

Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.


(48)

Ketiga, pihak eksternal. Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena dalam negara yang otoriter, negara menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diberitakan. Pemerintah memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media yang bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis. 5. Level Ideologi

Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.


(49)

II.5 Analisis Framing

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan dalam Sobur (2004:162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan


(50)

untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.

Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu, penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.

Prinsip analisis framing menyatakan bahwa pada fakta yang diberitakan dalam media terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi yang spesifik.


(51)

Penelitian ini menggunakan model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2002: 252).

Menurut Pan dan Kosicki ada dua dari konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan konsepsi sosiologis (sosial). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide.

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An Aproach to News Discourse” mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175).

Selanjutnya perangkat framing Pan dan Kosicki ini dibagi menjadi empat struktur besar (Eriyanto, 2002: 255):


(52)

1. Sintaksis

Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan bagan berita yaitu headline, lead, latar informasi, sumber, penutup, dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.

a. Headline

Berita yang menjadi topik utama media. b. Lead

Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita. c. Latar informasi

Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

d. Kutipan sumber berita

Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak memihak.

e. Pernyataan

Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita.


(53)

Bagian akhir berita. 2. Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita.

Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita, yaitu:

a. Who (siapa), siapa yang terlibat

b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa d. Where (dimana), lokasi peristiwa

e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi

f. How (bagaimana), bagaimana terjadinya peristiwa 3. Tematik

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

Tematik memiliki perangkat framing: a. Detail

Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang


(54)

baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan).

b. Koherensi

Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau sebab akibat.

c. Bentuk kalimat

Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada, berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat deduktif atau kalimat induktif.

d. Kata ganti

Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya: aku, dia, mereka, itu, dan lain-lain.

4. Retoris

Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca.


(55)

a. Leksikon

Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.

b. Grafis

Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, dan tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.

c. Metafora


(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah sebuah berita yang dikemas dengan menggunakan jurnalisme sastrawi. Tulisan ini dimuat dalam 39 halaman di buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat terbitan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008. Buku ini sendiri merupakan edisi revisi setelah sebelumnya diterbitkan oleh Pantau pada tahun 2005.

Ada delapan karya jurnalisme sastrawi dalam buku ini yaitu Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft oleh Chik Rini, Taufik bin Abdul Halim oleh Agus Sopian, Hikayat Kebo oleh Linda Christanty, Konflik Nan Tak Kunjung Padam oleh Coen Husain Pontoh, Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan oleh Alfian Hamzah, Koran, Bisnis, dan Perang oleh Eriyanto, Ngak-Ngik-Ngok oleh Budi Setiyono, dan Dari Thames ke Ciliwung oleh Andreas Harsono, yang menggantikan naskah Cermin Jakarta, Cermin New York di edisi perdana. Semua tulisan ini merupakan tulisan-tulisan pilihan yang pernah diterbitkan oleh majalah Pantau.

Tulisan Chik Rini memang layak menjadi tulisan pembuka karena pengemasan dan konten beritanya yang cukup menonjol dibanding tulisan lain. Ada tulisan yang pengemasan atau gaya tulisannya baik, namun isinya kurang


(57)

sosial dan human interest. Padahal, konflik termasuk salah satu poin penting dalam jurnalisme sastrawi. Suatu tulisan panjang lebih mudah dipertahankan jika ada konflik (Harsono, 2008: xii). Tanpa konflik, pembaca tidak akan bertahan untuk membaca berita panjang. Ada juga tulisan lain yang isunya sangat menarik karena mengandung konflik, namun pengemasannya tidak sekuat Chik Rini dalam menyusun adegan demi adegan yang bisa membawa pembaca seolah melihat langsung kejadiannya.

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft terdiri atas 11.899 kata, atau 30 halaman kertas A4. Ia ditulis dengan sudut pandang orang ketiga yang menceritakan bagaimana wartawan-wartawan yang bertugas di Aceh menjadi saksi mata atas pembantaian rakyat sipil di Aceh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Chik Rini melacak keberadaan para saksi mulai dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe dan Banda Aceh. Dia juga tinggal selama sebulan di Krueng Geukeuh, tempat peristiwa pembantaian Simpang Kraft terjadi. Dia juga melihat kembali rekaman film yang dibuat oleh wartawan-wartawan televisi dan mewawancara banyak saksi kunci. Tulisan yang pernah dimuat di majalah Pantau pada Mei 2002 ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat di Kyoto Review.

III.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan paradigma konstruktivis sebagai cara pandang dalam meneliti media. Konstruksi teks atau berita sebagai objek


(58)

penelitian akan dianalisis dengan menggunkan analisis framing yang dibuat oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun analisis isi. Sebagai kelanjutan analisis isi konvensional, analisis framing berusaha meninggalkan analisis isi konvensional disebabkan ketidakmampuan membaca urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial.

Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki berasumsi bahwa setiap berita memiliki frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi berita. Melalui tulisan A Framing Analysis: An approach to New Discourse, ada empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat teks framing. Analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam praktiknya mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing. Keempatnya adalah sintaksis, skrip, tematik dan retoris yang membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik berita dalan koherensi global (Sobur, 2004: 175). Selanjutnya Pan dan Kosicki mengkonsepsi perangkat framing tersebut seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.


(59)

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Sumber: Eriyanto, 2004: 256

III.3 Subjek penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah laporan jurnalisme sastrawi yang berjudul Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft yang ditulis oleh Chik Rini dan dimuat dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan

PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

7. leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta UNIT YANG DIAMATI

Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup

5 W + 1H

Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik


(60)

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data primer, yaitu data unit analisis dari teks yang tertulis pada

laporan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

b. Data sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

c. Wawancara, dengan penulis tulisan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Wawancara dilakukan untuk melihat dan mengetahui subjektivitas dan hal-hal lain yang memengaruhi penulis saat menggali informasi hingga menuliskannya.

III.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis.

Laporan jurnalistik terdiri atas sebelas bagian. Masing-masing bagian tersebut akan ditabulasikan dalam sebuah tabel untuk kemudian dibagi dalam empat struktur besar yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Setelah tiap bagian dianalisis, hasil tersebut akan dibahas secara menyeluruh dan umum untuk mendapat kesimpulan.


(61)

Tahap selanjutnya adalah melakukan wawancara dengan penulis laporan tersebut. Wawancara dilakukan untuk melihat latar belakang penulis, mencari tahu bagaimana proses pembuatan berita tersebut, juga mengonfirmasi temuan penelitian. Lalu, ditarik kesimpulan yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft membingkai dan mengkonstruksi tragedi pembantaian di simpang pabrik KKA.


(1)

J : Masa editing juga masa perbaikan. Kak chik pernah harus balik lagi ke aceh karena ada yang tertinggal.

T : Apa kesulitan terbesar saat liputan?

J : Kesulitannya itu ketemu narasumber. Itu susah banget. Pernah narasumber Kak Chik pergi ke barber shop, apa, tukang pangkas. Nunggu di situ Kak Chik. Pada waktu itu, orang tidak seperti sekarang terbukanya. Waktu itu Aceh masih konflik, curiganya besar. Itu susahnya yang Kak Chik rasakan. Jadi itu juga belajar ya. Artinya kita juga harus punya trik kalau mau menembus narasumber. Bawalah teman atau kita harus kenal kerabat dia mau teman mau saudara. Itu Kak Chik pelajari setelah bertahun-tahun nulis. Panjang ya? Kalau ke lapangan, temuilah wartawan-wartawan lokal di sana. Karena mereka yang punya link ke narasumber. Juga datangilah LSM, mereka juga akan sangat membantu. T : Bagaimana dengan kelima narasumber utama? Ada kesulitan dalam

liputan? Misalnya ada trauma?

J : Umumnya mereka waktu itu gampang bercerita. Ada juga di antara mereka bukan pencerita yang baik. Banyak lupa. Jadi kita kalau menghadapi yang kayak gitu, kita hanya untuk memastikan aja posisi dia. Mengingatkan lagi, betul enggak ini seperti ini? Tapi kalau mengharapkan dia akan menceritakan sesuatu yang bisa kita korek, ya susah.

T : Bagaimana dengan proses pemilihan judul?

J : Ini sih karena Imam juga. “Ini gila, ini gila.” Akhirnya ada kata gila di judul. Kegilaan. Meskipun untuk kalimat Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft itu dipoles editor, Mas Andreas. Tapi tetap awalnya dari statement, “Ini gila, ini gila.”

T : Jadi dari awal sudah ada terpikir unsur kata “gila” dari Kak Chik?

J : Belum. Judul itu terakhir. Kami berdua yang sepakati (Chik Rini dan Andreas Harsono).

T : Kalau kesulitan waktu nulis apa? J : Menjaga independensi.


(2)

T : Sulitnya gimana?

J : Kak Chik enggak suka dengan perjuangan GAM. Secara pribadi Kak Chik menganggap GAM bikin kesulitan dengan kehidupan masyarakat. Mungkin kalau tidak ada pemberontakan, Aceh tidak akan seperti ini. Itulah melepaskan itu. Ya di sini Kak Chik memposisikan, tentara yang salah. Dalam banyak dokumen dan berita, tidak terbawa-bawa nama GAM. Tidak ada satu pun. Tetapi Kak Chik memunculkan. Di sinilah Kak Chik ingin bilang bahwa ini juga ada peranan GAM. Enggak mungkin suatu hal itu tidak ada behind the scene-nya. Kak Chik selalu percaya itu. Dan itu memang terbukti kan dari wawancaranya Pak Marzuki sama Azhari bagaimana mereka melihat ada orang-orang bersenjata di lapangan. Kak Chik ingin memunculkan suatu hal itu pasti ada peranan mereka. Karena Kak Chik juga menulis jauh setelah peristiwa, dua tahun setelahnya. Nah, 2001 itu peranan GAM kan sudah besar di Aceh. Kak Chik percaya banyak kejadian sebelumnya itu ada settingan-settingan atau keterlibatan mereka juga. Waktu itu mungkin namanya belum Gam. Masih Aceh Merdeka. Di koran atau media lain enggak pernah ada cerita itu. Itulah salah satu yang ingin kak chik munculkan.

T : Tapi poin utamanya kan tetap pada tentara yang menembaki masyarakat. Unsur GAM-nya enggak kuat di sini…

J : Ya karena itu fakta. Itulah fakta. Itulah wartawan. Wartawan bukan menambah-nambahi. Wartawan hanya menulis fakta. Faktanya memang tentara yang nembak. Mana bisa bilang itu GAM yang nembak. Itulah, orang mengambil kesimpulan itu bukan karena kita yang nulis. Tapi silakan pembaca mengambil sendiri.

T : Walaupun memang di akhir Kak Chik ada selipkan tentang GAM ya (orangnya mengaku pada marzuki kalau dia anggota gam)…

J : Mungkin karena Kak Chik menulis dua tahun setelah kejadian. Kalau orang menulis pada waktu itu, pasti tidak akan pernah terpikir, karena


(3)

mereka (GAM) belum muncul. Kelompok ini kan belum muncul, belum kuat.

T : Untuk pengawalan liputan sendiri, bagaimana proses pengawalan dari editor?

J : Ya lapor dulu mau nulis ini. Kalau disetujui bikin proposal, TOR (term of reference), rencana budget. Setiap ke lapangan harus bikin laporan. Hari ini ngapain. Hari ini ngapain. Waktu itu udah ada email, ke warnet. Peranan editor itu memang besar. Makanya ketika menulis, carilah editor yang juga luar biasa. Kalau editor kita biasa-biasa aja, tulisan kita juga acakadut. Di situ lah belajar bagaimana menulis jurnalisme sastrawi, dalam proses editing. Kalau enggak kita enggak pernah tahu yang diinginkan itu apa. Sampai kadang-kadang dia minta detail, di situlah belajar. Dimerahin, di-highlight kan… coba gambarkan, seperti ini, orangnya seperti apa. Terus juga kalau di dialog enggak perlu ada kata ‘katanya’, ‘sebutnya’, itu diputusin, gitu, dibuang. Jadi di proses editing itu kita belajar banyak dan tahu apa yang dibutuhkan.

T : Lalu bagaimana mengenai proses verifikasi. Misalnya untuk deskripsi dan pengecekan fakta. Apa sepenuhnya percaya pada wartawan atau bakal ada mengecek fakta-fakta tertentu?

J : Kak Chik enggak tahu apa Mas Andreas waktu itu ada menghubungi narasumber Kak Chik apa enggak. Tapi memang kalau dia agak ragu, dia tanya, ini udah betul enggak? Ya bagaimana kita juga meyakinkan editor. “Ini udah oke nih, Mas”, “Ini udah dua orang yang ngomong gini-gini”, “Ini cuma satu, gimana ya Mas?”. Kayak Azhari kan, rata-rata satu. Susah ngecek dia. Karena enggak ada yang ngekor. Tidak ada yang satu sudut pandang dia. Tapi Kak Chik meyakinkan, “Oke mas. Sudah cek.”. Jadi sampai berapa kali verifikasi, balik ke orangnya. Ya itu tadi, susah cari orang yang bisa confirm tentang dia. Tapi itu bukan yang fatal-fatal ya. Maksudnya bukan fakta peristiwa yang penting kayak penembakan duluan atau pelemparan batu duluan. Kalau ini harus wawancara banyak


(4)

orang. Cari fakta peristiwa yang sebenarnya. Cek dan riceknya harus keras.

T : Istilah ‘dakwah GAM’. Itu istilah dari mana?

J : Itu istilah yang populer waktu itu. Di media juga. Orang-orang kampung menyebutnya seperti itu. Ada yang bilang dakwah GAM, ada yang bilang ceramah GAM. Itu Kak Chik dapat dari Pak Marzuki.

T : Kalau penggunaan ‘pemerintahan Indonesia Jawa’?

J : Nah, itu Mas Andreas tuh! Kak Chik juga terkejut-kejut itu. Tapi itu alasannya untuk menarik jarak. Bahwa kita si penulis, kita harus membayangkan bahwa yang membaca tulisan kita bukan orang indonesia. Tapi orang-orang luar. Penulis harus menarik diri sebagai orang Indonesia. Ada juga penyebutan ‘rezim Soeharto’. Kak Chik waktu itu di media kita waktu itu, di Analisa mana pernah nyebut-nyebut kayak gitu. Media kan sangat hati-hati. Jadi Kak Chik cukup terkejut-kejut dengan pemilihan katanya, rezim, tentara indonesia. Itu tuh ngerasa, apa kita bukan orang indonesia? Terkoyak-koyak juga nasionalisme kak chik. Kata Mas Andreas, “Kamu itu kok masih mikirin nasionalisme aja? Lihat itu tentara kamu, negara kamu, menembaki orang-orang.”

T : Kalau penggunaan topi taliban? Hanya sekadar untuk deskripsi, atau ada makna tersendiri?

J : Waktu itu tren. Ala taliban. Kelompok-kelompok taliban itu jadi tren di aceh. Salah satu kekuatan baru lah di aceh, semacam ormas-ormas gitu. Seperti FPI lah… Waktu itu pertama kali muncul di media kelompok taliban, rabithah taliban, ada juga organisasinya, rabitah taliban. Walaupun kita juga enggak pernah tahu. Makanya Kak Chik enggak bilang dia rabitah taliban.

T : Kakak kan orang Aceh juga ni kan, di bagian mana dalam tulisan ini yang sulit buat kakak untuk tidak subjektif?

J : Apa ya? Mungkin di hal-hal yang kita dipaksa harus menarik diri. Seperti pemilihan kata ‘rezim soeharto’, ‘tentara indonesia’… Itu kan suatu hal yang baru. Itu pemilihan kata-kata yang Kak Chik agak berat. Tapi pada


(5)

akhirnya itu berada di tangan editor. Secara kronologis Kak Chik enggak ada yang berat. Karena memang itu fakta yang kita dapat di lapangan. Tetapi untuk pemakaian istilah-istilah. Ya itu yang berat. Karena kita terbiasa di media mainstream kan, kalimatnya santun-santun kali. Dia enggak mau cari masalah. Kita kan tidak diajari untuk seperti itu. Makanya Kak Chik bilang di Pantau itu kelompok orang-orang berpikiran liberal semua. Kelompok orang anti islam pun ada di situ, kelompok liberal islam ada, marxis pun ada.

T : Tadi Kak Chik ada bilang, yang paling susah itu menjaga independensi saat menulis. Nah, gimana usaha Kak Chik hingga akhirnya Kak Chik bisa tetap independen?

J : Ya bersandar sama fakta di lapangan. Seperti apa adanya. Jangan nambah-nambahin apa-apa. Gak bisa kita bilang tentara itu menembak karena terpaksa udah dilempari. Ya udah, dia nembak, nembak aja. Dia ngamuk, kita tulis dia ngamuk. Dia menembak serampangan, tulis dia nembak serampangan. Itulah, belajar posisi wartawan itu tetap independen. Tulis apa adanya, tidak menambah-nambahi. Ternyata betul. Waktu Kak Chik belajar jurnalisme sastrawi, kan ada itu beberapa hal yang jadi sandaran. Salah satunya tulis apa adanya, tidak menambah-nambahkan. Bersandar pada reportase anda sendiri. Cuma kan waktu itu kak chik enggak belajar teorinya dulu. Kak chik duluan turun ke lapangan.

T : Gimana cara kakak supaya pembaca tahu kalau kakak sudah independen, hanya dengan membaca tulisan kakak?

J : Kakak sih enggak sampai ke sana. Enggak sampai pada kesimpulan kalau orang nganggap Kak Chik ini independen. Cuma waktu itu terbit, waktu itu kan majalahnya terbit terbatas di kelompok wartawan di aceh. Ya mereka bilang, “Kok berani kali nulis kayak gitu?”. Ya gitu lah. Kak chik enggak dalam posisi bilang “Aku udah independen ya”. Ya itu tadi, tulis mengalir apa adanya.


(6)

J : Ini ya, empati. Banyak orang aceh yang baca tulisan itu, terkesan biasa aja. Sesuatu yang sering terjadi itu bisa melunturkan empati orang. Alah bisa karena biasa. Sesuatu yang terjadi dianggap hal biasa. Lumrah. Yang banyak respons seperti menangis, itu orang di luar aceh. Kak chik berpikiran, kita di aceh, saat terus-menerus mengalami konflik, itu jadi hal yang biasa. Karena itu tadi, karena banyaknya darah, jadi terbiasa lihat darah. Inilah kenapa kak chik memutuskan berhenti menjadi wartawan.