100 Berita ini kemudian dilanjutkan dengan pengamatan penulis terhadap
kondisi Simpang Kraft saat ia melakukan liputan naskah ini, tiga tahun setelah tragedi Simpang Kraft berlansung. Penulis kemudian menginformasikan sekilas
tentang pemindahtugasan personel tentara yang terkait juga tentang camat yang selamat dari kejadian tersebut.
Tulisan ini ditutup dengan apatisnya sikap masyarakat untuk mencari keadilan. Kasus ini seolah tertutup dengan kejadian-kejadian kekerasan lain yang
terus berlangsung di Aceh. Tidak hanya dengan pemerintah dan aparat penegak hukum, mereka juga merasa tidak ada gunanya berbicara dengan wartawan dan
orang-orang dari lembaga swadaya masyarakat. Seperti pernyataan seorang pemuda yang dikutip penulis di dua paragraf dari akhir tulisan ini, “Kami sudah
terlalu banyak bicara sama LSM lembaga swadaya masyarakat dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pai-pai itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah
tembak kami orang Aceh.” Penulis kemudian menutup tulisan dengan ia yang tak bisa berkata untuk menanggapi pemuda tersebut.
IV.2.2 Skrip
Perangkat framing ini melihat bagaimana strategi wartawan bercerita. Kita bisa menilai gaya bertutur yang digunakan wartawan dari perangkat ini.
Bagaimana wartawan memulai sebuah tulisan, bagaimana klimaksnya, bagaimana karakter dan emosi manusia yang ada dalam sebuah tulisan. Perangkat ini bisa
diamati dari kelengkapan berita, yaitu unsur 5W 1H who, what, where, when, why dan how.
Universitas Sumatera Utara
101
Bagian Satu
Tiga orang tokoh utama diperkenalkan di bagian ini. Mereka adalah Umar HN yang merupakan koresponden RCTI, Imam Wahyudi yang merupakan
koordinator liputan daerah RCTI Jakarta dan Fipin Kurniawan, kamerawan RCTI yang dikirim untuk menemani Imam liputan di Lhokseumawe.
Penulis menjelaskan penyebab datangnya Imam dan Fipin ke Lhokseumawe dalam bagian ini. Bagian ini juga dimanfaatkan penulis untuk
mendeskripsikan riwayat kekerasan dan ketidakadilan yang ada di Lhokseumawe dan sekitarnya. Informasi yang diberikan di sini cukup untuk memberi wawasan
awal bagi pembaca yang tidak tahu mengenai Aceh.
Bagian Dua
Tidak ada nama tokoh yang disebutkan di bagian ini. Pada bagian ini, penulis membuat kesan seolah pembaca bisa merasakan nuansa desas-desus yang
membuat gelisah seluruh masyarakat Aceh di Lhokseumawe dan sekitarnya. Kutipan yang digunakan berupa celetukan-celetukan dari orang yang tidak dibuat
jelas namanya. Kemungkinan besar penulis tidak mengetahui siapa yang melontarkan pernyataan tersebut. Tapi dengan pengemasan seperti ini, kesan yang
muncul bukanlah ketidaktahuan penulis, melainkan seperti sebuah kesengajaan untuk membuat pembaca penasaran dan terus melanjutkan bacaannya.
Penulis mengemas bagian ini dengan deskripsi kedua kampung yang dilanda kegelisahan karena tentara telah melanggar perjanjian untuk tidak masuk
Universitas Sumatera Utara
102 ke kampung. Mereka juga mendengar bahwa tentara telah melakukan kekerasan
dan menangkap warga setempat. Dari sinilah, warga berencana untuk mengadakan demonstrasi.
Emosi yang dirasakan penduduk kampung tersebut dijelaskan secara implisit dari pernyataan dan tindakan warga. Penulis membuat kesan bahwa
penduduk yang gelisah mulai marah dan berang atas perlakuan tentara yang telah melanggar kesepakatan.
Bagian Tiga
Strategi bercerita penulis sangat cermat dalam mengemas bagian dua dan tiga. Di bagian tiga, semua informasi yang terkesan masih simpang siur di bagian
dua, dikupas secara runut dan lengkap. Hadirnya bagian tiga ini membuat pembaca yang awalnya tidak mengerti bisa mulai paham letak akar permasalahan
dari kejadian di Simpang Kraft. Penulis menampilkan empat nama dalam bagian ini. Sersan Dua Aditia,
yang hilang saat memata-matai kegiatan di Cot Murong; Marzuki Muhammad Amin, Camat Dewantara; Komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan;
dan Teungku Hanafiah, ulama yang ditugaskan untuk mencari Sersan Aditia yang hilang. Keempat tokoh ini bukanlah tokoh utama dalam cerita ini. Namun dua dari
empat tokoh ini Sersan Aditia dan Marzuki Muhammad Amin memegang peranan penting dalam terjalinnya keutuhan cerita. Nama mereka pun beberapa
kali disebutkan di bagian-bagian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
103
Bagian Empat
Pada bagian ini, ritme tulisan kembali turun. Setting kembali pada tiga wartawan yang sebelumnya diperkenalkan di bagian satu. Selain mereka bertiga,
penulis juga memperkenalkan dua tokoh lain yang mengambil peran penting dalam berita ini. Mereka adalah Azhari, asisten koresponden kantor berita Antara
di Aceh dan Ali Raban, yang bekerja untuk Umar. Penulis menggambarkan kegiatan yang kelima wartawan ini lakukan di
pagi hari, dan bagaimana proses saat mereka mendapat informasi mengenai pemblokiran jalan di Krueng Geukeuh. Penulis mencantumkan perdebatan Umar
dan Ali Raban saat Umar memaksa untuk membeli makanan, padahal mereka harus segera ke lokasi kejadian. Penggambaran seperti ini sangat humanis dan
menunjukkan karakter asli dari tokoh yang terlibat.
Bagian Lima
Bagian ini mengangkat sudut pandang Azhari yang duluan sampai ke lokasi pemblokiran jalan di Krueng Geukeuh. Secara keseluruhan, bagian ini
berisi tentang pengamatan dan pengalaman Azhari setelah dia sampai ke lokasi tersebut. Penulis menjelaskan dengan detail apa yang dilihat Azhari, mulai dari
pertemuannya dengan teman sekolahnya yang bernama Sabri, tim Gegana yang kaget atas adanya pemblokiran jalan, hingga detail kondisi massa di waktu itu.
Penulis juga memunculkan adegan saat iring-iringan mobil yang juga membawa truk tangki minyak berusaha menerobos massa. Isi dari mobil tersebut
ternyata tentara. Mereka memaksa melewati pemblokiran jalan dengan alasan
Universitas Sumatera Utara
104 sudah ditunggu. Pada akhirnya, ketika massa tahu mereka adalah tentara, massa
mengamuk dan iring-iringan mobil tersebut lari sebelum terjadi kerusuhan. Ini memang bukan konflik puncak yang ada dalam cerita ini. Namun penulis selalu
menyelipkan konflik yang menjadi klimaks di tiap bagian, meskipun bagian tersebut hanyalah bagian pengantar dan pelengkap untuk menuju cerita utama.
Watak Azhari juga mulai muncul di bagian ini. Pada bagian empat saat penulis mengenalkan Azhari, penulis mengatakan kalau Azhari adalah orang yang
selalu hati-hati dan cenderung penakut. Dalam bagian ini penulis memang memuat tindakan Azhari yang sengaja menyembunyikan atribut kewartawanannya
dan berbaur dengan massa. Pembaca bisa menilai dari tindakan ini kalau Azhari memang orang sebagaimana yang dideskripsikan penulis pada bagian tiga.
Bagian Enam
Jika pada bagian lima isinya dari pengalaman dan pengamatan Azhari, di bagian ini penulis menyajikan apa yang dialami dan diamati keempat wartawan
RCTI—Imam, Fipin, Umar dan Ali Raban—saat mereka sampai di lokasi tersebut satu jam setelah Azhari sampai. Keempatnya tidak bisa menyembunyikan atribut
wartawan yang mereka kenakan. Penulis memang mendeskripsikannya dengan detail, “Imam membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI, Fipin dan Ali
memanggul kamera berlambang RCTI dan Imam memakai rompi wartawan berwarna krem berlogo RCTI.” Hal ini pula yang membuat mereka jadi pusat
perhatian. Selanjutnya, penulis menyajikan dialog adu mulut antara Imam dan seseorang yang menginterogasinya.
Universitas Sumatera Utara
105 Pengemasan penulis yang merekam adegan ini melalui dialog membuat
interogasi ini jadi lebih hidup dibanding jika hanya dibuat dalam kalimat tidak langsung. Pembaca pun bisa merasakan suasana apa yang dialami Imam pada saat
itu. Bagian ini menekankan kalau wartawan tidak mudah mendapat akses untuk liputan pada saat itu. Semuanya pasti mendapat sambutan yang tidak
menyenangkan. Bagian ini juga menguatkan alasan Azhari bagian lima yang menyembunyikan identitasnya sebagai wartawan. Bagian ini memberikan kesan
kalau wartawan memang pasti mendapat tekanan sebelum diizinkan masuk bersama massa dan meliput di lapangan.
Konflik di bagian ini surut saat ada seorang tokoh yang mengenali Umar. Tokoh tersebut pun membiarkan mereka masuk. Orang yang awalnya
menginterogasi mereka malah menawarkan diri untuk mengantar mereka. Bagian ini memberikan kesan kalau masyarakat Aceh bisa terbuka pada pihak-pihak atau
orang yang sudah mereka kenal. Jika sudah kenal, mereka yang awalnya defensif, menjadi tidak sungkan untuk membantu.
Bagian Tujuh
Kembali lagi penulis menghilangkan tokoh utama dalam bagian ini dan hanya mendeskripsikan apa yang terjadi pada massa yang melakukan demonstrasi.
Penulis menampilkan aktivitas yang dilakukan pendemo di dua titik konsentrasi massa, yaitu di depan Koramil Dewantara dan di Simpang Kraft.
Penulis awalnya menjelaskan kondisi Simpang Kraft. Mulai dari deskripsi lokasi tersebut, hingga deskripsi aktivitas yang sedang berlangsung pada saat itu.
Universitas Sumatera Utara
106 Di bagian ini, penulis juga mulai menunjukkan bahwa kondisi semakin memanas
dengan datangnya bantuan untuk Arhanud Rudal dari Batalyon 113 Korem Lilawangsa, juga dengan usaha masyarakat yang menjemput camat untuk
menenangkan massa demonstrasi dan tentara yang sudah saling berhadap- hadapan.
Bagian ini dikemas dengan piawai untuk mengantar pembaca menuju klimaks pada bagian selanjutnya. Penulis memberikan informasi mengenai
demonstrasi yang dilakukan kaum perempuan dan anak-anak di depan markas Arhanud Rudal yang dibubarkan dengan tembakan peringatan. Selanjutnya
penulis menjelaskan tentang keadaan di Simpang Kraft yang semakin padat.
Bagian Delapan
Lima orang tokoh utama dalam cerita ini muncul dalam bagian ini. Selain mereka, ada juga tiga orang lain yang disebutkan namanya dalam bagian ini.
Bagian ini memang bagian inti dari tulisan ini, yang merupakan kejadian Simpang Kraft sendiri, yang menjadi klimaks dari tulisan secara keseluruhan.
Penulis mengawali tulisan dengan gambaran kondisi di Simpang Kraft. Setelah wartawan RCTI merasa gambar yang mereka punya cukup untuk
dijadikan berita, mereka pun ingin segera mengirimkan rekaman tersebut. Namun tiba-tiba tentara menembaki massa. Pemunculan adegan yang tak terduga seperti
ini membuat emosi pembaca naik. Terlebih setelah sebelumnya penulis menyebutkan bahwa antara tentara dan demonstran malah tidak saling
menghiraukan dan sempat berbagi api rokok.
Universitas Sumatera Utara
107 Kondisi klimaks tidak berakhir pada saat penembakan berakhir. Emosi
pembaca juga masih dibawa saat wartawan yang menjadi tokoh dalam tulisan ini melihat korban-korban yang ada di jalan tersebut. Bagaimana mereka melihat
orang yang satu jam sebelumnya mereka jumpai, bisa tewas mengenaskan atau pun terluka parah. Penulis menceritakan bagian ini dengan apa adanya, sehingga
pembaca bisa merasakan emosi yang ada di lokasi tersebut.
Bagian Sembilan
Bagian ini menggambarkan pasca kejadian Simpang Kraft. Mulai dari siang hingga malam hari. Penulis masih menggunakan kelima wartawan ini untuk
menceritakan pengalaman mereka saat keliling rumah sakit dan klinik guna mendapatkan jumlah korban. Dari sinilah penulis menggambarkan bagaimana
kondisi rumah sakit yang menampung terlalu banyak korban, dan bagaimana kondisi para korban.
Penulis tidak membiarkan bagian ini datar dengan hanya menampilkan kondisi korban. Penulis memberikan pengantar untuk konflik selanjutnya yang
akan dihadapi oleh kelima wartawan ini. Ketidakpahaman masyarakat atas berita TVRI yang direlai di RCTI membuat masyarakat Aceh berpikir bahwa RCTI telah
menyebarkan berita bohong. Inilah yang akan dihadapi kelima wartawan tersebut setelah pemberitaan tersebut disiarkan.
Universitas Sumatera Utara
108
Bagian Sepuluh
Bagian ini merupakan bagian terakhir yang membahas tentang kejadian Simpang Kraft. Penulis yang memunculkan gejala konflik di bagian sembilan,
memunculkan rintangan nyata yang dihadapi kelima wartawan tersebut di bagian ini. Berita yang tidak berimbang di media membuat masyarakat Aceh sulit
memercayai wartawan. Mereka juga kerap mendapat teror, seperti ancaman
pembakaran rumah, intimidasi saat meliput di lapangan, hingga Imam yang diburu oleh pihak tentara.
Penulis mengembalikan pusat cerita kepada wartawan, seperti awal ketika penulis membuka ceritanya. Pada akhir bagian ini, penulis memberikan semacam
antiklimaks dengan memberi informasi bahwa gambar rekaman kejadian yang sebenarnya telah ditayangkan ke seluruh dunia.
Bagian Sebelas
Bagian ini merupakan epilog yang berisi tentang kondisi masing-masing tokoh sentral dalam tulisan ini. Penulis membawa pembaca dari kronologis
kejadian Simpang Kraft pada tahun 1999 ke massa saat penulis melakukan peliputan untuk tulisan ini di tahun 2002. Penulis m enceritakan apa yang dialami
oleh Imam yang trauma berat, Fipin yang berkat video kejadian tersebut mendapatkan penghargaan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, serta Ali Raban
yang tidak lagi bekerja bersama Umar. Penulis benar-benar menurunkan tempo tulisan pada bagian ini.
Seyogianya epilog, bagian ini berisi tentang apa yang terjadi pada masyarakat
Universitas Sumatera Utara
109 Aceh di daerah tersebut dan bagaimana kondisi Simpang Kraft kini. Penulis lalu
menutup tulisan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama yang mengisahkan pengalamannya saat hendak mewawancara korban tragedi Simpang
Kraft. Akhir tersebut membuat pembaca mengerti bahwa masyarakat Aceh sudah apatis untuk mencari keadilan.
IV.2.3 Tematik