34 Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan, dilaporkan oleh
wartawan dan dimuat pada media yang bersangkutan. Dengan demikian, berita tersebut masuk kepada kesadaran publik hingga akhirnya menjadi
pengetahuan publik secara aktual. Kelengkapan fakta dalam laporan suatu peristiwa merupakan syarat
dari suatu berita agar dapat disebut faktual. Sehingga fakta yang disajikan lewat laporan tersebut benar-benar nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya
oleh siapa pun, langsung di tempat kejadian.
II.2 Jurnalisme Sastrawi
Jurnalisme sastrawi pertama kali dicetuskan oleh wartawan Amerika Serikat, Tom Wolfe, dengan nama new journalism sekitar tahun 1960-an
Harsono, 2008: vii . Beberapa pemikir jurnalisme kemudian mengembangkan
temuan Wolfe. Ada yang menggunakan nama narrative reporting, ada juga yang memakai nama passionate journalism. Pulitzer Prize menyebutnya explorative
journalism. Hingga kini, gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media
Amerika seperti The New Yorker, Atlantic Monthly, dan Harpers
. Bentuk penulisan jurnalisme sastrawi membuat laporan berita tidak lagi
sekadar pengungkapan fakta, tetapi berusaha mengungkapkan “mengapa dan bagaimana” suatu peristiwa terjadi. Semua fakta dibentuk menjadi news story
dengan menampilkan konfigurasi sosial untuk membangkitkan emosi terhadap pembaca. Laporan fakta ditulis dengan teknik bercerita sebagaimana halnya fiksi,
dengan mengungkap adegan demi adegan, suasana demi suasana. Wartawan
Universitas Sumatera Utara
35 menyajikan peristiwa demi peristiwa berita dalam urutan yang membuat pembaca
seolah-olah berada di lokasi kejadian Setiati, 2005: 102. Roy Peter Clark dalam Harsono, 2008: viii, seorang guru menulis dari
Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W+1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W+1H adalah singkatan dari who siapa, what
apa, where di mana, when kapan, why mengapa, dan how bagaimana. Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esai Nieman Reports, who berubah
menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motivasi, dan how menjadi deskripsi narasi.
Robert Vare dalam Harsono, 2008: xii yang pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones menjelaskan bahwa setidaknya ada
tujuh pertimbangan dalam menulis tulisan bergenre ini. Tujuh hal tersebut ialah: 8.
Fakta. Setiap detail yang dilaporkan harus berupa fakta. Walaupun menggunakan kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme yang
mementingkan fakta. 9.
Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik.
10. Karakter atau penokohan. Fungsinya adalah untuk membantu mengikat
cerita. 11.
Akses. Maksudnya di sini adalah, akses pada masing-masing narasumber yang menjadi karakter di tulisan. Akses juga bisa berupa
wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
36 12.
Emosi. Segala emosi akan membantu pembaca tetap tertarik untuk menghabiskan tulisan.
13. Perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan surat kabar
dengan sebuah potret atau foto. Laporan panjang adalah sebuah film atau video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan
narasi dari feature. Feature hanya memotret sebuah kejadian atau kondisi, sedangkan jurnalisme sastrawi berupa video yang merekam
secara runut dan detail. 14.
Unsur kebaruan. Media lain mungkin telah menceritakan kondisi atau data dari sebuah kejadian, untuk itu jurnalisme sastrawi harus
memberikan apa yang pembaca belum tahu. Tentu saja apa yang lebih dalam dari yang mereka dapatkan dari media lain.
Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap
dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata ‘sastrawi’ dan ‘narasi’, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta Harsono, 2008: xii.
Banyak yang menyalahartikan jurnalisme sastrawi dalam perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya
Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium penerapan jurnalisme sastrawi Kurnia, 2002: 201. Padahal feature dan
jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda secara substansi, meskipun feature juga bisa menerapkan beberapa hal yang ada
Universitas Sumatera Utara
37 dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature
merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori straight news, sedangkan jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news
dengan gaya sastra atau bernarasi. Robert Vare dalam Harsono, 2008: xiv mengibaratkan laporan surat
kabar biasa dengan selembar potret. Sedangkan laporan panjang—dalam hal ini laporan jurnalisme sastrawi—adalah suatu film yang berputar. Ini yang
membedakan narasi dari feature. Narasi diibaratkan dengan video sedangkan feature semacam potret.
II.3 Media Massa dan Konstruksi Sosial